Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vitanova Saputri
"Birokrasi yang berbelit dan regulasi yang menghambat investasi masih menjadi keluhan klasik dunia usaha, pemerintah merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha dengan harapan dapat memperlancar perizinan untuk pengusaha termasuk bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) setelah mendapat persetujuan penanaman modal. Salah satu sektor yang rentan dengan urusan birokrasi dan regulasi adalah sektor energi dan sumber daya mineral. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan peraturan Presiden nomor 68 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian ESDM melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi sektor energi dan sumber daya mineral khususnya penyederhanaan perizinan pertambangan mineral dan batubara untuk mendongkrak investasi dan menjadikan Indonesia sebagai negara terkemuka dalam kemudahan berusaha. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dengan tipologi penelitian preskriftif kualitatif dengan menyandingkan data-data yang diperoleh dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penyederhanaan proses perizinan di sektor energi dan sumber daya mineral mampu mendongkrak minat para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Bahkan, kepercayaan para investor ini mendapat apresiasi dari Bank Dunia (World Bank) dengan menempatkan Indonesia ke peringkat 72 di tahun 2018 dalam Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EODB) di Indonesia. Peringkat tersebut merupakan keberhasilan tersendiri setelah pada tahun 2017 hanya menempati posisi ke-91 atau naik 19 peringkat.

Convoluted bureaucracy and regulation that hinder investment are still the classic complain in the business world, releasing the presidential regulation number 91 of 2017 on Acceleration of Doing Business, the government expects to ease permits for entrepreneurs such as micro, small and medium enterprises after acquiring capital investment agreement. One of the sectors susceptible to bureaucratic and regulatory matters is the energy and mineral resources sector. The Ministry of Energy and Mineral Resources has the task of administering government affairs in the field of energy and mineral resources to assist the President in conducting state government based on the presidential regulation number 68 of 2015 on the Organization and Work Procedures of the Ministry of ESDM carrying out deregulation and debureaucratization of energy and mineral resources sector, especially the simplification of mineral and coal mining license to heighten investment and to make Indonesia a leading country in the ease of doing business. This research is conducted using normative legal research methodology through the study of literature with the typology of qualitative prescriptive research by placing the acquired data side by side and then associating them with the legislation. The result of the research shows that the simplification of the licensing process in the energy and mineral resources sector is capable of heightening investors interest in investing their capital in Indonesia. The credence of the investors received appreciation from the World Bank by placing Indonesia 72nd in the 2018 ranking of the Ease of Doing Business (EODB) in Indonesia. The rank was a success because it was increased by 19 points in comparison with Indonesias 91st position in 2017."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitanova Saputri
"Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 (UUJN) merupakan penyempurnaan undang-undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi sebagian besar undang-undang yang mengatur mengenai kenotariatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. Pasal 1 UUJN menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan Pasal 15 ayat (2) huruf (g) menyatakan bahwa Notaris berwenang pula membuat akta risalah lelang yang berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHperdata merupakan Akta Otentik. Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Jabatan Notaris (RUUJN) Nomor 30 Tahun 2004 menyiratkan perubahan yang meliputi ketentuan tentang persyaratan dan kewajiban Notaris serta menghilangkan pasal tentang tugas dan kewenangan Notaris terutama berkaitan dengan pembuat akta pada bidang pertanahan dan pembuatan Akta Risalah Lelang.
Perubahan yang diusulkan dalam RUUJN terutama tentang hilangnya kewenangan Notaris membuat Akta Risalah Lelang menarik untuk penulis bahas karena hilangnya pasal tersebut sedikit banyak mengundang persepsi bahwa RUUJN mempersempit ruang lingkup kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum yang mana diketahui bahwa Akta Risalah Lelang adalah Akta Otentik dan Notaris berwenang untuk membuatnya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulis mencoba meneliti dari berbagai sumber serta melakukan wawancara dengan narasumber yang berkompeten di bidang lelang dan kenotariatan dan juga dengan informan untuk mengetahui bagaimana dampaknya RUUJN bagi kewenangan Notaris.
Kesimpulan yang penulis dapatkan, untuk membuat Akta Risalah Lelang harus terlebih dahulu menjadi Pejabat Lelang. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dalam Pasal 8 disebutkan bahwa Pejabat Lelang hanya terdiri dari Pejabat Lelang Kelas I dan II tidak disebutkan secara spesifik seorang Notaris adalah Pejabat Lelang dan berhak membuat Akta Risalah Lelang, sehingga terdapat disharmonisasi antara Pasal 15 ayat (2) huruf (g) dengan Pasal 8 PMK. Namun dihilangkannya pasal dalam RUUJN tersebut tidak serta merta membuat Notaris kehilangan kesempatan untuk menjadi Pejabat Lelang dan tidak berhak membuat Akta Risalah Lelang, kewenangan tersebut tetap ada selama Notaris memenuhi persyaratan dan ketentuan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan untuk diangkat menjadi Pejabat Lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf (a) RUUJN.

The Notary Act No. 30 of 2004 (UUJN) is a refinement and a unification of most of the colonial laws governing the notary which is no longer compatible with the development of laws and the needs of the community. In Indonesia, UUJN Article 1 states that the notary is a public official who is authorized to make authentic deeds and Article 15 paragraph (2) letter (g) states that the Notary is also authorized to make auction deeds namely "Risalah Lelang" which under the provisions of Article 1868 Civil Code is an authentic deeds.
Draft Law on Amendments to the Notary Act No. 30 of 2004 (RUUJN) implies changes that include on the requirements and obligations of Notaries and removes provision on the duties and authorities of the Notary primarily with regard deeds in relation to lands and auction. The proposed changes of RUUJN especially about removal of authority on auction deeds and this thesis is focussed on this matter. I’m interested in, analyzing the removal of the article on auction deeds which removes notary’s authorities to write auction deeds because it may narrow the scope of authorities of the notary. By using juridical normative research methods, I examined this matter from various sources and did some interviews to determine the impact of RUUJN to Notary authorities.
I conclude that, as stipulated in the Regulation of the Minister of Finance No. 93/PMK.06/2010 on Implementation Guidelines of Auction, Article 8 states that, auction deeds divided into first class auctioneer and second class auctioneer. This article does not specifically mention that notary is an auctioneer and automatically entitle’s to make auction deeds. So, there is disharmony between Article 15 paragraph (2) letter (g) UUJN with Regulation of the Minister of Finance No. 93/PMK.06/2010. However, the omission of the article in the RUUJN does not necessarily make the loss of the opportunity of notary to become an auctioneer and the lost of the authority to write auction deeds. The authorities remain as long as meet the terms and conditions specified in the law to be appointed as auctioneer as stipulated in article 3 letter (a) RUUJN.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library