Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Turnomo Rahardjo
"Penelitian fenomenologis tentang bahasa kampanye pemilu 1997 ini berangkat dari satu pengamatan terhadap bahasa kampanye yang terdapat dalam berbagai spanduk pada masa kampanye Pemilu 1997.
Hasil dari pengamatan tersebut memperlihatkan kecenderungan adanya bentuk bahasa kampanye yang hegemonik melawan bahasa kampanye yang berbentuk rekayasa simbol yang bersifat hegemoni tandingan.
Dalam pengertian yang lebih lugas, bahasa politik pemerintah Orde Baru yang memperlakukan kata "pembangunan" sebagai simbol ideologis, telah mendominasi bahasa kampanye Golkar. Dalam kampanye Pemilu 1997, bahasa kampanye Golkar yang lebih menekankan pada keberhasilan-keberhasilan pembangunan mendapatkan "perlawanan" dari PPP dan PDI melalui bahasa kampanye mereka yang mencoba mempertanyakan keberhasilan-keberhasilan pembangunan tersebut.
Landasan teoritik yang digunakan untuk mengkaji persoalan bahasa kampanye tersebut adalah genre interpretive theory, yaitu teori yang berusaha mengungkapkan Cara-Cara orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri. Dalam lingkup yang lebih sempit, penelitian ini ditelusuri melalui gagasan fenomenologi-hermeneutika yang menjelaskan bahwa realitas tentang sesuatu dapat diketahui melalui pengalaman alamiah yang diciptakan melalui penggunaan bahasa.
Gagasan teoritik lain yang digunakan adalah pemikiran Jurgen Habermas mengenai Universal Pragmatics, yaitu prinsip-prinsip universal tentang bahasa atau studi mengenai aspek-aspek umum penggunaan bahasa.
Disamping itu, penelitian ini juga dibahas dengan melihat bahasa dalam dimensi ontologis dan epistemologis. Dalam dimensi ontologis, bahasa bukanlah sesuatu yang transparan yang menangkap dan memantulkan segala sesuatu di luarnya secarajernih. Sedangkan dalam dimensi epistemologis, dinyatakan bahwa bukan manusia yang memakai bahasa, tetapi justru bahasa yang memakai manusia.
Dalam tataran metodologis, penelitian ini secara ontologis berusaha mengkaji bahasa kampanye sebagal suatu realitas yang hadir sebagai konstruksi mental dan dipahami secara beragam oleh individu-individu. Sedangkan dalam dimensi epistemologis, peneliti dan realitas yang ditelitinya menyatu ke dalam suatu entitas. Dan dalam asumsi metodologis, konstruksi mental digali secara fenomenologishermeneutik, yaitu melalui proses pemahaman.
Data penelitian ini diperoieh dari 25 co-researchers yang terdiri dari praktisi politik (13 orang), pengamat politik (4 orang), dan subjek yang terlibat dalam pemaknaan bahasa kampanye (8 orang) melalui kegiatan wawancara mendalam
Temuan dari penelitian ini menegaskan, bahwa telah terjadi konflik melalui bahasa (kampanye) antar OPP (Golkar dan Partai Politik) yang bersumber pada persoalan kekuasaan. Dalam pengertian yang lebih konkret, bahasa kampanye Golkar yang formal dan berusaha untuk melakukan pembenaran-pembenaran terhadap kebijakan pembangunan seperti yang sudah digariskan oleh penguasa harus berhadapan dengan bahasa kampanye partai politik yang terungkap secara spontan dan kritis.
Dalam konteks konflik kekuasaan tersebut, bahasa kampanye tidak sekadar dipahami sebagai instrumen atau alat propaganda dari OPP tertentu untuk menegakkan citra dirinya dihadapan masyarakat dan juga untuk meraih simpati massa yang sebanyak-banyaknya. Namun lebih dari itu, bahasa kampanye perlu dipahami sebagai representasi dari berbagai macam kuasa. Bahasa kampanye juga merupakan salah satu ruang bagi konflik berbagai kepentingan dan kekuasaan dinyatakan. Karenanya, tidak berlebebihan bila dikatakan bahwa bahasa {kampanye} adalah kuasa (language is power)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turnomo Rahardjo
"Konflik yang terjadi berulangkali di Indonesia menjadi satu pertanda bahwa situasi mindless masih mewarnai komunikasi antaretnis yang berlangsung selama ini. Setiap individu dari kelompok yang berbeda bersikap reaktif daripada proaktif, dan menginterpretasikan perilaku orang dari kelompok lain berdasarkan perspektif kelompoknya. Dalam situasi komunikasi yang terpolarisasi maka penghargaan terhadap keberadaan masing-masing kelompok cenderung rendah.
Keberadaan warga etnis Cina di Indonesia hingga sekarang masih menjadi masalah. Di kalangan masyarakat etnis non Cina masih berkembang pandangan yang tidak menguntungkan terhadap keberadaan etnis Cina. Warga etnis Cina juga sering menjadi sasaran kekerasan dalam hampir setiap kerusuhan sosial yang terjadi.
Studi ini memiliki relevansi penting dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultur secara demografis maupun sosiologis, karena studi ini berharap dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana setiap individu dari kelompok etnis Cina dan etnis Jawa menegosiasikan identitas kultural mereka dalam sebuah ruang sosial. Disamping itu, studi juga berharap bisa mengkonstruksikan bangunan komunikasi antarbudaya yang memungkinkan warga dari kedua kelompok etnis bisa menciptakan relasi yang setara sebagai hasil dari negosiasi identitas diantara mereka.
Landasan teoritik dari studi ini adalah genre interpretif, yaitu pemikiran yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks. Sejalan dengan pemikiran genre interpretif, maka studi ini juga merujuk pada gagasan fenomenologi sebagai basis berpikir dalam studi ini. Fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran. Asumsi utama dari fenomenologi adalah bahwa orang secara aktif akan menginterpretasikan pengalaman mereka dengan memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat. Penelitian ini menerapkan prinsip triangulasi dengan mengkombinasikan metoda kuantitatif (survei) dengan metoda kualitatif (fenomenologi). Dalam pelaksanaannya, studi ini menerapkan model triangulasi: the dominant-less dominant design, menggunakan paradigma dominan (interpretif) dan dilengkapi dengan satu komponen kecil dari paradigma alternatif (positivisme). Studi ini dilaksanakan di wilayah Sudiroprajan Solo, sebuah kawasan permukiman yang memungkinkan setiap individu dari kedua kelompok etnis bisa berkomunikasi dalam intensitas yang tinggi.
Hasil studi ini memperlihatkan bahwa warga kedua kelompok etnis di wilayah penelitian mampu menciptakan situasi komunikasi yang mindful, karena mereka memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya yang memadai, yaitu kemampuan mengintegrasikan motivasi, pengetahuan, dan kecakapan untuk bisa berkomunikasi secara layak, efektif, dan memuaskan. Bangunan komunikasi antarbudaya yang dapat dikonstruksikan di wilayah penelitian adalah bangunan multikulturalisme yang karakteristiknya terlihat dari kemampuan warga kedua kelompok dalam memberi apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural yang ada. Namun demikian, bangunan multikulturalisme ini bertentangan dengan konsep bangsa Indonesia yang menekankan pada model indigenous. Konstruksi model yang lebih dekat dengan moto: `Bhinneka Tunggal lka' (Unity in Diversity) adalah Budaya Ketiga (Third-Culture), yaitu integrasi yang terjadi antara dua kelompok atau lebih ke dalam sebuah kelompok baru.
Implikasi dari hasil studi ini adalah bangunan atau model yang menjelaskan tentang komunikasi antarbudaya yang mindful masih sebatas menawarkan gagasan yang berkaitan dengan persoalan komunikasi, dalam arti bagaimana mengintegrasikan faktor motivasi, pengetahuan, dan kecakapan agar bisa berkomunikasi secara layak, efeklif, dan memuaskan. Berdasarkan studi yang dilakukan, maka cakupan teoritis (theoritical scope) dari bangunan tentang komunikasi antarbudaya yang mindful perlu diperluas dengan memasukkan faktor setting atau lingkungan permukiman dan faktor sosial-ekonomi penduduk sebagai faktor yang dapat memberi kontribusi terciptanya situasi komunikasi yang mindful."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D577
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turnomo Rahardjo
"Studi ini diharapkan bisa memberikan penjelasan tentang bagaimana setiap orang dari dua kelompok etnis yang berbeda dapat mengegosiasikan identitas kultural mereka dalam sebuah ruang sosial yang memungkinkan mereka bertemu, berkomunikasi dan saling mempengaruhi. Dengan pendekatan fenomenologi, studi ini mengkombinasikan metodologi guna memeperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena yang dikaji. Model triangulasi yang dipakai adalah the dominant-less dominant design, yaitu paradigma dominan (interpretif) dilengkai satu komponen kecil paradigma alternatif (positivisme). Studi menghasilkan konstruksi bangunan komunikasi yang memungkinkan kedua kelompok etnis menjalin komunikasi yang memungkinkan kedua kelompok etnis menjalin interaksi yang setara sebagai hasil dari negosiasi identitias kultural."
2004
JPIN-III-2-MeiAugust2004-97
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Turnomo Rahardjo
"Studi ini diharapkan bisa memberikan penjetasan tentang bagaimana setiap orang dari dua kelompok etnis yang berbeda dapat menegosiasikan identitas kultural mereka daiam sebuah ruang sosial yang memungkinkan mereka bertemu, berkomunikasi, dan saling mempengaruhi. Dengan pendekatan fenomenologi. Studi ini mengkomhinasikan metodologi guna memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena yang dikaji. Model triangulasi yang dipakai adalah the dominant-less dominant design, yaitu paradigma dominan (interpretij) dilengkapi satu komponen kecil paradigma alternatif (positivisme). Studi menghasilkan konstruksi bangunan komunikasi yang memungkinkan kedua kelompok etnis menjalin interaksi yang setara sebagai hasil dari negosiasi identitas kultural."
2004
TJPI-III-2-MeiAugust2004-97
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library