Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Syahri Helmi Zacky
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tantangan bagi Erdoğan dan AKP dalam memelihara kekuasaannya di Turki. Pasalnya, situasi ekonomi Turki yang sedang melemah serta persaingan politik domestik yang semakin ketat akan menuntut Erdoğan untuk berupaya lebih keras guna memelihara kekuasaannya dengan memenangkan pemilihan umum Turki 2023. Salah satu upaya yang dilakukan di tingkat internasional adalah penguatan hubungan bilateral dengan Israel. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif.Temuan data diperoleh melalui kajian kepustakaan terhadap berbagai sumber cetak maupun digital seperti laporan, artikel ilmiah, dan buku yang membahas mengenai pemikiran politik Erdoğan dan situasi politik domestik di Turki, serta sejarah hubungan Turki dan Israel. Penelitian ini menggunakan paradigma realisme politik Morgethau dan teori eksistensial Huntington. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penguatan hubungan diplomatik Turki-Israel merupakan salah satu strategi Erdoğan dalam memelihara kekuasaannya. Akan tetapi, strategi ini bukanlah faktor kunci kemenangan Erdoğan akan tetapi bersifat pendukung. Meskipun posisi Erdoğan dan AKP cukup kuat dalam politik domestik di Turki, akan tetapi berbagai tantangan ekonomi maupun politik di tingkat domestik ataupun global menuntut penyelesaian agar peluang kemenangan serta stabilitas Turki terjaga.
The background of this research is from the defiance of Erdoğan and the AKP in maintaining their power in Turkey. The weakening of Turkish economy and the strengthening of Turkish domestic politics competition enforce Erdoğan to work harder in order to maintain his power by winning 2023 Turkish election. One of the efforts at international level is the strengthening of bilateral relations with Israel. This research used qualitative method. The data were obtained by library research from various printed and digital sources such as reports, scientific journals,and books that analyze Erdoğan’s political framework, the current situation of Turkish domestic politics and history of Turkish-Israeli relation. This research used political realism Morgenthau paradigm and existential theory Huntington. The results of this research concluded that one of Erdoğan’s strategies to maintain his power by strengthening Turkish-Israeli relation. However, this strategy is not the main factor of Erdoğan’s triumph, but it’s solely a supporting factor. Even though Erdoğan’s position is still dominant in Turkey, but the economy and political issues both in domestic or global need to be done, in order to protect Erdoğan’s chance of winning and Turkish stability."
Jakarta : Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Syahri Helmi Zacky
"Jurnal ini dilatarbelakangi oleh perbedaan tata cara pembacaan kalimat “Wa Qutilū wa Qātalū” pada Qiraat Imam Ḥamzah dan Imam Al-Kisāī dengan “Wa Qātalū wa Qutilū” atau “Wa Qātalū wa Quttilū” pada Qiraat lainnya yang terdapat pada Q.S Ali-Imran ayat 195. Metode yang digunakan oleh peneliti adalah analisis deskriptif. Teori yang digunakan merupakan teori Abul Faḍl Ar-Rāzī mengenai Sabʻatu Aḥruf. Ilmu Qirā’āt Sabʻah adalah ilmu mengenai tujuh tata cara membaca al-Quran yang sahih dan mutawatir karena memiliki sanad periwayatan tersambung hingga Rasulullah dan memiliki kaidah-kaidah dan aturannya tersendiri. Pembacaan “Wa Qutilū wa Qātalū” pada Q.S Ali-Imran ayat 195 di Qiraat Imam Ḥamzah dan Imam Al-Kisāī berkaitan dengan ciri khas kedua Qiraat tersebut yang memiliki kaidah Taqdīm, dan Ta’khīr. Berdasarkan tinjauan secara morfologis (ṣaraf), kata Qutilū merupakan verba pasif (fiʻil majhūl) yang bermakna dibunuh atau terbunuh, sedangkan Qātalū merupakan verba aktif (fiʻil maʻlūm) yang bermakna berperang. Berdasarkan tinjauan sintaksisnya (naḥwu) partikel و yang memiliki makna mendahulukan kata pertama (as-sābiq), mengakhirkan kata pertama (al-lāḥiq), dan berbarengan atau bersamaan (muṣāḥibun) antara 2 kata yakni Qutilū dan Qātalū. Berdasarkan tinjauan linguistik pragmatik (balāghah) Taqdīm dan Ta’khīr pada ayat ini dapat menimbulkan 2 makna diantaranya: Taqdīm dengan niat Ta’khīr yakni menyebutkan kata Qutilū di awal dengan maksud diakhirkan sehingga maknanya sama dengan mayoritas kaidah qiraat yang lain yaitu mereka berperang dan terbunuh. Makna yang kedua berkaitan dengan majaz mursal kulliyyah yakni menyebutkan keseluruhan pada kata Qutilū dengan maksud sebagian saja, sehingga maknanya adalah sebagian dari mereka terbunuh pada saat peperangan dan sebagian dari mereka tetap hidup, dan terus berperang meskipun beberapa sahabatnya terbunuh, sehingga makna yang kedua merupakan pujian bagi para sahabat Rasulullah yang tetap berperang meskipun beberapa sahabat mereka gugur.
This research journal discusses the difference of qiraat recitation that was used on a sentence in QS. Al-Imran verse 195. The difference being the use of "Wa Qutilū wa Qātalū" in Imam Hamzah’s and Imam Kisai's qiraat compared to the use of "Wa Qātalū wa Qutilū” or “Wa Qātalū wa Quttilū” that was used in other qiraats. Abdul Fadl Ar-Razi's theory on Sabʻatu Aḥruf and the method of descriptive-analysis was used in this research. Qirā’āt Sabʻah is the study of the seven styles of qiraat; the science of reading the Qur'an. These seven styles have their own characteristics and principles while still being shahih and mutawatir. Qiraa'at Sab'ah can be traced back to the times of the Prophet Muhammad PBUH. The sentence “Wa Qutilū wa Qātalū” in verse 195 of QS. Al-Imran follows both Imam Hamzah’s and Imam Kisai's qiraat. These two qiraat have a distinct Taqdīm and Ta’khīr qualities. In morphology (ṣaraf), “Qutilū” means “killed” and is a passive verb (fiʻil majhūl) while “Qātalū” on the other hand is an active verb (fiʻil maʻlūm) meaning “to go to battle/war”. Meanwhile, in syntax (naḥwu), the particle “و” can be interpreted as as-sābiq, al-lāḥiq and muṣāḥibun in its use between “Qutilū” and “Qātalū”. As-sābiq refers to the 1st verb in a sentence (in this case “Qutilū”) as the verb that happened first. While al-lāḥiq means the opposite. The 2nd verb in a sentence (“Qātalū”.) happened before the 1st verb. Muṣāḥibun means that both verb happens simultaneosly. In pragmatics (balāghah), the sentence “Wa Qutilū wa Qātalū” invoke two meanings. First, Taqdīm and Ta’khīr; “Qutilū” was mentioned in the beginning but with the intention of it being mentioned in the ending. Thus rendering the meaning the same like the other qiraat; they go to war then got killed at the war. Second, majaz mursal kulliyyah; “Qutilū” only refer to a part and not a whole with the intention being: not everybody was “Qutilū” or killed, some are still alive and continued fighting during the war. That’s why the second verb is “Qātalū” which is also a praise toward the sahabat that keeps on fighting bravely."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library