Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setyani
"Pelaporan PWS KIA secara rutin telah dilakukan oleh Puskesmas di Kabupaten Pandeglang, walaupun masih ada yang belum tepat waktu. Laporan tersebut menggambarkan cakupan program KIA di wilayah kerja Puskesmas. Selain berasal dari PWS tersebut laporan KIA juga diperoleh dari LB3 Puskesmas yang juga dilaporkan setiap bulan.
Ternyata pemanfaatan laporan-laporan tersebut terlihat masih belum optimal padahal laporan tersebut dapat menjadi bahan untuk mengevaluasi kinerja program KIA di Puskesmas. Dengan PWS KIA dapat terlihat daerah yang cakupannya rendah sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut terhadap keadaan tersebut. Program KIA perlu didukung oleh ketersediaan tenaga, sarana dan peralatan. ApabiIa daya dukung tersebut kuat maka cakupan program KIA akan baik. Untuk itu perlu dikembangkan sebuah sistem informasi evaluasi. Dengan adanya evaluasi program dapat dilihat keterkaitan antara kinerja program dan daya dukungnya.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Selain itu dilakukan pula plotting lokasi Puskesmas dan Pustu. Sistem informasi evaluasi program KIA dikembangkan dengan rancangan formulir input dan tampilan output yang berisi cakupan program KIA dan rasio sarana dan tenaga yang dibutuhkan sebagai bahan evaluasi. Selain itu dalam program aplikasinya akan dimunculkan pula peta lokasi Puskesmas dan peta tematik cakupan program KIA di Kabupaten Pandeglang.

Routinely, the reporting of PWS KIA had been conducted by Health Centers in the District of Pandeglang although some of them had not submitted the report punctually. That report depicted the coverage of KIA Program in the Health Center working area. Beside from PWS report, KIA report was also got from LB3 of Health Center in which reported every month.
The use of such report was not optimally done to evaluate the performance of KIA Program in Health Center. From PWS KIA could he assessed the area where had the coverage of KIA was low. So, the intervention could be conducted immediately on that area. KIA Program should be maintained by the availability of human resources, facilities, and equipments. The coverage of KIA Program would be excellent if those factors supported each other. For that reason, it was necessary to develop an evaluation information system so that the relationship between the performance of program and supporting factors could be reviewed.
The method of data collecting used observation and interview. Besides, the study also conducted the location plotting of Health Centers and Supporting Health Centers. Evaluation Information System for KIA Program was developed by input form design and output appearance that contained the coverage of KIA Program and the ratio between required facility and human resource to assess program evaluation. In addition, from application program could be appeared the location map and thematic map of the coverage of KIA Program in the District of Pandeglang.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robertha Setyani
"Kegiatan gugus kendali mutu di rumah sakit merupakan salah satu upaya dalam peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit. Walaupun kegiatan tersebut telah diterapkan sejak tahun 1986 ternyata hasil lomba gugus pada Konvensi Nasional I memperlihatkan sebagian besar gugus memiliki kinerja yang kurang.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja gugus kendali mutu di rumah sakit. Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan total sampel. Unit analisa pada penelitian ini adalah gugus kendali mutu dengan jumlah sampel total populasi sebanyak 72 gugus peserta Konvensi Nasional II. Pengumpulan data untuk memperoleh informasi tentang tingkat kinerja gugus di dapat dari hasil penilaian yang dilakukan oleh juri pada konvensi nasional dan gambaran faktor yang berhubungan dengan kinerja gugus diperoleh dari data yang tercantum dalam risalah yang dibuat oleh gugus kendali mutu.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dari 72 gugus yang diteliti ternyata 69,4% memiliki kinerja yang kurang; 68,7% pada rumah sakit di Jawa; 80,6% pada rumah sakit pemerintah; 58,3% didukung oleh pimpinan rumah sakit; 86,7% dengan anggota terbanyak 7 orang; 55,6% dengan tema perbaikan di bidang administrasi; 68,1% bertemu lebih dari dua belas kali untuk menyelesaikan sebuah tema perbaikan; 54,2% membuat program pelatihan gugus; 54,2% memiliki fasilitator bidang atau perawat; 55,6% belum pernah mengikuti Konvensi Nasional.
Dari 9 variabel yang berhubungan dengan kinerja gugus, ternyata variabel yang menunjukan adanya hubungan bermakna yaitu :lokasi rumah sakit dengan nilai p = 0,001 dimana gugus yang berda pada rumah sakit di Jawa memiliki kinerja yang lebih baik dari pada di luar Jawa; dukungan pimpinan rumah sakit dengan nilai p = 0,01, dimana gugus yang didukung oleh pimpinan rumah sakit memiliki kinerja yang lebih baik dan pada gugus yang tidak mendapat dukungan dari pimpinan rumah sakit; program pelatihan gugus dengan nilai p = 0,02 dimana gugus yang membuat program pelatihan memiliki kinerja yang lebih baik dari pada gugus yang tidak merencanakan program pelatihan dan pendidikan fasilitator dengan nilai p 0,04. dimana gugus yang dibimbing oleh fasilitator berpendidikan sarjan muda atau sarjana memiliki kinerja yang lebih baik dari pada gugus yang dibina oleh fasilitator berpendidikan bidan atau perawat.
Kesimpulan secara umum adalah gugus kendali mutu di rumah sakit memiliki kinerja yang kurang dan disarankan kepada: Rumah Sakit untuk meningkatkan komitmen pimpinan rumah sakit dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia dan sumberdaya pendukung kegiatan gugus, membuat rencana pelatihan bagi anggota gugus; dan mengangkat fasilitator yang memiliki pendidikan minimal sarjana muda.
Bagi Pusdiklat Kesehatan disarankan untuk: membuat pedoman pelatihan dan pedoman penilaian bagi gugus kendali mutu di rumah sakit, mengupayakan peningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada rumah sakit khususnya bagi rumah sakit di luar Jawa; membuat program pelatihan untuk meningkatkan kesdaran pimpinan dalam mendukung kegiatan gugus.

Factor connecting With Quality Control Performance in a Hospital, Participant of Second National ConventionQuality control activities in a hospital is one of activities in improving service quality in the hospital. Although the activity has been applied since 1986 in fact the result of control competition of the first National Showed most of the control performances are below the standard convention.
The purpose of this convention research is to find out information about factor connecting with the quality control performance in the hospital. These research uses survey with total sample, with the total amount of population samples are 72 controls, members of the second National Convention. Collecting data to get the control performance is found from mark assessed by juries and the description of factor relating with the control performance is found from summaries made by the control performance.
The experiment result showed of the 72 controls searched factually 69,4% have inferior performances; 68,7% on hospital in Java; 80,6% on state-on red hospital; 58,3% supported hospital chairmen's; 86,7% with members mostly 7 person; 55,6% with their titles in improving in administration division; 68,1% met move then twelve times to complete an improvement theme; 54,2% made control training program; 54,2% have nurse to delivers facilitator; 55,6% have yet no attended National Convention.
From 9 variables connecting with the control performance, in reality the variable showed a content correlation is geographic location of the hospitals with p=0,001, performance of quality control in the hospital in Java is better than out of Java; supported hospital chairmen's p=0,01. performance of quality control with supported hospital chairmen's is better than no supported chairmen's; the control training program with the p=0,02, performance quality control have training program is better than without training program; facilitator education p=0,04, performance quality control with facilitators having minimum formal education, i.e. Diploma is better than nurses
The summary in general is the quality control performance in the hospital has inferior performance and suggested to: The Hospital should improve commitment of the leadership of the hospital to intensity the quality and the quality of human resources and of supporting control-activity resources, make a training plan for control members, and to promote the facilitators having minimum formal education i.e. Diploma
For the center of the health of education and training advised to make training and grading standards for the quality control in the hospital, to accomplish enhancement of the quality of human resources in the hospital especially for the hospitals out of Java; make training program to a reich the leadership awareness since supporting the control activities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7765
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turita Indah Setyani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan ingin mengungkapkan mengapa dan apa tujuan para wanita disayembarakan dalam cerita dan lakon wayang serta citra dan posisi wanita Jawa melalui citra dan posisi para wanita yang disayembarakan itu. Cerita dan lakon wayang yang digunakan sebagai bahan untuk mengumpulkan data berasal dari teks, oleh karena itu penelitian ini bergantung pada teks yang berbicara, di mana berdasarkan teks-teks cerita dan lakon wayang tersebut diperoleh gambaran bagaimana sesungguhnya citra dan posisi wanita Jawa seperti yang tercermin dalam wayang.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam penelitian ini digunakan pendekatan intrinsik dan metode kualitatif, sebab penelitian bersifat deskriptif analisis sehingga ditemukan hasil yang obyektif dari gambaran keadaan sebenarnya sesuai dengan tujuan penelitian.
Berdasarkan hasil yang ditemukan itu, dapat diketahui bahwa penyebabnya adalah pertama karena memang sudah waktunya bagi para wanita yang disayembarakan tersebut untuk menikah, namun hingga dewasa belum mau menikah dan belum mempunyai pilihan untuk dijadikan suami, selain itu juga karena banyaknya raja dan satria yang ingin melamar mereka, kedua karena banyaknya pria yang ingin menyunting sang putri yang mempunyai kelebihan-kelebihan, ketiga karena memang untuk menanti jodoh yang sudah dipastikan; keempat karena hilangnya sang putri dari kerajaan, kelima untuk memperoleh pasangan yang sesuai dengan keinginan, dan keenam tidak disebutkan alasannya, maka diadakanlah sayembara. Oleh karena itu, dapat pulalah diketahui tujuan mereka disayembarakan, yaitu untuk mencari calon suami bagi mereka.
Sedangkan penggambaran tentang citranya secara garis besar para wanita yang disayembarakan itu taat dan patuh kepada ayah atau saudara laki-lakinya, serta memiliki sifat-sifat santun dan pasrah. Dengan citra yang senantiasa taat dan patuh serta setia dan pasrah tersebut, mengakibatkan para wanita menduduki posisi yang tersubordinat Hal itu diakibatkan oleh tidak diberinya wewenang dan hak untuk mengungkapkan pendapat pribadi yang sesuai dengan keinginan mereka. Sementara di sisi lain terdapat citra wanita yangpantang menyerah, sabar, belas kasih, dan pendendam. Disamping itu mempunyai watak yang teguh pada pendiriannya Dengan citra yang seperti itu mengakibaikan para wanita menduduki posisi yang sejajar dengan para pria. Posisi seperti itu diakibatkan oleh adanya kesempatan untuk menggunakan wewenang dan haknya mengemukakan sesuatu sesuai dengan keinginan, sehingga dapat menentukan dan memutuskan kehendaknya berdasarkan keadaan yang dialaminya.
Dengan demikian, dari hasil citra dan posisi wanita yang disayembarakan dalam cerita dan lakon wayang dapat diketahui bahwa citra dan posisi wanita Jawa tidak berbeda dengan citra dan posisi wanita yang disayembarakan tersebut Sebab selama ini konsep-konsep budaya Jawa yang menyatakan bahwa wanita adalah kanca wingking `sebagai yang dipimpin' dan laki-laki adalah kanca ngajeng `sebagai pemimpin atau yang memimpin' sudah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat nya Demikian juga dengan konsep gurulaki, swarga nunur naraka karat, menyebabkan wanita selatu berada pada posisi di belakang atau bahkan di bawah laki-laki. Meskipun konsep-konsep itu sudah tidak dianut secara fanatik, dan bahkan terdapat ungkapan-ungkapan yang menilai kedudukan wanita cukup tinggi, misalnya 'Ibu pertiwi', Ibu jari.'', dan `surga di bawah telapak kaki Ibu', namun tanpa disadari mereka (masyarakat Jawa) masih terkungkung oleh budaya yang melingkupinya.

ABSTRACT
Image and Position of Javanesse Woman: Case Study in Women Figure which are Contested in Stories and Lakon WayangThe objective of this research is to find out why and what the purpose of contested woman is in stories and lakon wayang and image and the position of Javanesse women as well in terms of the contested image and position of the women. Stories and lakon wayang are used as material to collect data originated from texts, therefore, this research is depending upon the speaking texts, where the real image and position of Javanesse women are obtained in accordance to the texts as reflected in wayang.
To answer the above question, intrinsic and qualitative methods are used in this research for the research is analysis descriptive, so the unbiased result of real image is obtained up to the objective of this research.
Based on the result, there are some reasons why the contest is conducted; first, they are already have to get married, but they don't want it yet, and also they aren't find yet a goad pair, apart from that, there are so many prince and king want to proposed them; second, quite a few nobles men want to marry them; third, they waiting for somebody who has a faith to be their husband; fourth, somebody kidnapped the princess; fifth, to find somebody who fulfilled her desired; sixth, contested performed without any reason. Therefore, we can find the purpose of the contest, that is to find a marriage partner.
From that research we can find out that the image of the Javanesse women are always obey to the father and the brother's will, have a loyal and submit to their fate,-The consequences of these characteristic put the women in the subordinate position. Women can't expose their right and opinion as their wanted to. In the other side, women are describe have strong character, patient, mercifully, and bears a grudge. Consquences on that image cause the women have a similar position with a man. In that case, women can dicided what ever she wanted to do.
Javanesse culture have a concept of that a women is kanca wingking (follower), and a man is kanca ngajeng (leader), and also guru lake, swrzrga nunut, naraka katut (should follow the man in a good place or a bad place). All of these concept make a woman always in the lower position or even under the man. Besides that perceptions, in the wayang plays, there are another concept which is contrary different as we mention before. For example; i pertiwi (home land); ibu fart (thumb) and surga di bawah telapak kaki ibu (heaven is under mother's foot). These concept try to put the women in a good position. But that can't change so much, because man still fells that he is a leader and the women is the follower. Until now that conditions still continue and that continuation influenced with the patron of education and socialization that still life in the society.
Actually with wayang we can change the perception of the society. For example with the presentation of the Damayanti story. With the lakon wayang we also can influence the mission of equality of man and woman. We can change the perception of the society about the images and position of woman, from the subordinate to equality.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Istika Setyani
"The prevalence of coronary heart disease in the adult population with diabetes mellitus (DM) is far greater (55%) than in the general public (2-4%). There is an acknowledged correlation between type I hidden ischemia and the incidence of myocardiac infarct. There needs to be a way to determine the presence or absence of ischemia. An alternative examination method is the Dobutamine Stress Echocardiography (DSE).
This study was conducted at the Metabolic-Endocrine and the Cardiology Out-Patient Clinics of the Department of Internal Medicine ofCipto Mangunkusumo Central Public General Hospital, Jakarta, from February to August 2001.
The aim of the study is to detect undetected myocardiac ischemia using the electrocardiography among patients with type 2 diabetes mellitus and podiatric abnormality and testing the correlation between certain factors (sex, age, body mass index, lipid profile, fasting blood glucose, post prandial blood glucose, HbAlc, peripheral vascular disease, smoking, retinopathy, and neuropathy) with myocardiac ischemia.
Methodology: The study was designed as a comparative study of the incidence of myocardiac ischemia between type 2 diabetes mellitus patients with and without podiatric abnormalities. The sample consisted of 28 patients. Samples underwent the dobutamine stress echocardiography
Results: dobutamine stress echocardiography examination using Apogee on 14 patients with type 2 diabetes mellitus with podiatric abnormality demonstrated a positive ischemic response in 4 people (28.6%). No positive findings were found in type 2 diabetes mellitus patients without podiatric abnormality.
Conclusion: 1. DSE could detect myocardiac ischemia in 28.6% of type 2 diabetes mellitus undetected with electrocardiography. 2. Other factors that influenced a positive dobutamine stress echocardiography were autonomic neuropathy, diabetic retinopathy, the duration of diabetes mellitus, fasting blood glucose, and podiatric abnormality."
2003
AMIN-XXXV-3-JulSep2003-119
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Setyani
"Dengan di sahkannya Undang-Undang No 31 Tahun 200.2 tentang Partai Politik dan Undang Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dapat memperluas partisipasi politik perempuan. Salah satu sarana untuk memperluas partisipasi politik adalah melalui partai politik. Atas dasar itu penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana PERAN PARTAI POLITIK DALAM PERLUASAN PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN NASIONAL dengan tujuan untuk menggambarkan kedudukan dan peran perempuan dalam parpol dan lembaga legislatif, memberi gambaran sejauh mana parpol membuka peluang perempuan menjadi anggota legislatif dan pengurus parpol, menguraikan kendala-kendala yang dihadapi dan strategi yang digunakan untuk memperluas partisipasi politik perempuan serta melihat pengaruh terhadap ketahanan nasional.
Penelitian ini dilakukan di DPP Partai terbesar dalam Pemilu 2004, yaitu Partai Golkar, PDI-Perjuangan, PKB, PPP, Partai Demokrat, PAN dan PKS. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawaneara dengan kader perempuan partai politik, dan pengumpulan data sekunder dari studi pustaka dan data dari lembaga-lembaga yang terkait. Analisa basil penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif Hasil Penelitian. Pertama kepengurusan di partai politik masih didominasi laid-laid, sedikit sekali perempuan yang menduduki jabatan sebagai pengambil keputusan, sedangkan peran perempuan sangat besar didalam menentukan kemenangan parpol dalam pemilu 2004. Di lembaga legislatif, sebagaian besar anggota legislatif perempuan ditempatkan pada komisi-komisi yang terkait dengan bidang kesejahteraan rakyat dan mereka berperan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dan masyarakat Kedua masih belum optimalnya partai politik memberikan peluang untuk perempuan menjadi anggota lembaga legislatif dan pengurus partai. Ketiga, kendala yang dihadapi dalam memperluas partisipasi politik perempuan adalah : a. faktor internal perempuan sendiri yaitu rendahnya kualitas dan kuantitas SDM kader perempuan, keterbatasan waktu, dan minimnya dana, b. faktor eksternal yaitu adanya keterkaitan dengan budaya patriarkhi, kurangnya kesadaran pemilih perempuan untuk memiliki wakil perempuan dan sistim peilu proporsional terbuka.
Strategi yang digunakan untuk mengatasi kendala tersebut adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM perempuan, memperkuat organisasi perempuan yang ada, mengadakan hubungan lintas jaringan dengan oraganisasi perempuan diluar partai, membangun akses ke media , melakukan lobying ke para elite partai politik serta sosialisasi dan pendidikan politik ke masyarakat. Perluasan partisipasi politik perempuan melalui keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dan kepengurusan parpol, akan memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dari aspek ideologi, sosial, po;itik dan ekonomi yang berdampak pada peningkatan ketahanan nasional.

The enactment of Laws No. 3112002 on Political Parties and Law No. 121 2003 on General Election may enhance-women's participation in politics. One of the facilities to enlarge the political participation is through political parties. This study is aimed at understanding the ROLE OF POLITICAL PARTIES IN ENHANCING WOMEN'S PARTICIPATION IN POLITICS FOR ENHANCING THE NATIONAL RESILIENCE. It is also aimed at illustrating the position and role of women in political parties and legislative bodies, to what extent political parties open opportunities to women to become legislative members and to be engaged in the management of political parties, describing the constraints being faced and strategies used for enlarging the women's participation in politics and looking at their effects to the national resilience.
This research was conducted at the Executive Boards of biggest Parties in the 2004 General Election, namely Golkar Party, PDI-P (PDT of Struggle), PKB, PPP, Democrat Party, PAN and PKS. Interviews with female cadres of political parties are used as method for data collection and collection of secondary data from bibliographic study and data from relevant institutions. Analysis of study results uses qualitative descriptive method.Results of Research. First, the management members in political parties are still dominated by men, only a small number of women serve as decision makers, despite the fact that the women's role is highly significant to win the 2004 general election. In legislative bodies, most female legislative members are placed in commissions associated with people's welfare and they have been playing a role in struggling in the women and people's interests. Second, the political parties have not been optimal in giving the opportunities to women to become legislative members and parties' executive members. Third, the constraints faced in enhancing the women's participation in politics are: a. The internal factors of women, i.e. low quality and quantity of female cadres and human resources, time limit, and inadequate funds, b. External factors, i.e. association with patriarchic culture, inadequate awareness of female voters to have female representatives and the open proportional general election system.
The strategies used to solve such constraints are to enhance the quality and quantity of female human resources, to strengthen existing women's organizations, to organize cross-network relation with women's organizations outside parties, to build access to media, to lobby political parties' elites and to promote political socialization and education to the community. Enhancement of women's participation in politics through women's representation in legislative bodies and the executive management of political parties will pave the way for the struggle of enhancing the community's welfare in regard to ideology, social, political and economic aspects which will bring about impact upon the national resilience enhancement.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turita Indah Setyani
"Tantu Pangelaran (TP) sebagai obyek penelitian visi yang penulis garap, merupakan salah satu upaya untuk meleng_kapi khasanah sastra Jawa. Dan teks TP yang dipergunkan ini adalah teks edisi Pigeaud, sebab teks tersebut telah menja_di teks edisi kritis dan telah pula diterbitkan dangan dicetak dalam huruf latin. Selain itu Pigeaud te1ah berhasil mengangkat TP sebagai buku Jawa tertua yang berisi mitologi Jawa asli, sehingga TP dapat dikatakan sebagai karya sastra Jawa asli. TP sebagai karya sastra Jawa asli tentunya mengandung sebagian warisan rohani dari bangsa Indonesia pada masa si_lam. Dan salah satu kandungan warisan tersebut dapat berupa visi. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan visi yang terkandung dalam TP. Dari tujuan ini kita dapat memperoleh visi yang diinginkan oleh TP itu sendiri, baik secara bagian-bagian maupun secara keseluruhan. Dan mem_peroleh visi/pandangan TP, berarti juga memperoleh visi/pan-dangan pengarangnya, sehingga kita dapat mengetahui betapa sesungguhnya visi pengarang TP itu sendiri.Masalahnya, bagaimana mencari dan menemukan visi TP? Untuk itu diperlukan konsep tentang visi dan metode untuk menganalisa visi tersebut. Visi adalah tanggapan keseluruhan pengarang tentang pengalamannya atas hubungan yang menyeluruh dengan dunia nyata, yang bertitik tolak dari pandangannya sendiri. Dan untuk mencari dan menemukan visi, berdasarkan tema ceritanya, sebab visi itu diungkapkan dalam cerita melalui pelayanan tema. Sedangkan untuk menganalisis visi tersebut, penulis menggunakan metode struktural. Berdasarkan metode ini, karya sastra TP akan dipandang sebagai struktur visi yang terdiri dari unsur-unsur visi yang secara keseluruhan membangun karya sastra TP yang utuh danmenyeluruh. Jadi cara kerja penulis aalam menggarap visi TP, yaitu TP dibagi menurut bagian-bagian ceritanya, dari masing-masing cerita dicari dan ditemukan tema serta ceritanya. Setelah visi ditemukan, dianalisis satu per satu, kemudian barulah disimpulkan secara keseluruhan. Dari keseluruhan penbahasan yang berupaya mengungkapkan visi yang terkandung dalam TP, dapatlah disimpulkan bahwa TP mempunyai dua macam orientasi visi, yaitu 1) visi yang berorientasi Jawa, sangat dominan dan meliputi visi tatanan hidup, visi asal mula, dan visi ajaran; 2) visi yang berorientasi India, tidak dominan dan meliputi visi asal mula serta visi tatanan hidup. Dengan adanya visi yang berorientasi India dalam TP, memberikan pandangan bahwa budaya Jawa tidak menutup kemung_kinan mengadakan penyerapan terhadap budaya luar (asing), dalam hal budaya India, sepanjang diperlukan dan tidak mengubah pola kepribadian budayanya sendiri."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudji Setyani
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
S28482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turita Indah Setyani
"ABSTRAK
Siapa yang tak kenal tokoh Rara Jonggrang. Sebagai suatu tokoh cerita namanya diabadikan melalui satu bagian area yang terdapat dalam candi Prambanan. Rara Jonggrang adalah nama untuk satu tokoh perempuan. Melalui deskripsi fisik yang terdapat dalam teks cerita sudah dapat dipastikan bahwa Rara Jonggrang adalah tokoh cerita yang cantik. Pertanyaannya sekarang siapa sebenarnya tokoh tersebut citranya sebagai satu tokoh dalam teks naskah Babad Prambanan? Untuk menjawab pertanyaan ini secara lengkap bukanlah hal yang mudah diperlukan suatu penelitian yang besar dan lengkap. Untuk itu dalam penelitian yang agak terbatas ini akan diungkapkan bagaimanakah citra tokoh Rara Jonggrang berdasarkan satu sumber yaitu teks naskah Babad Prambanan tertentu pula.
Penelitian ini tidak dilakukan berdasarkan kerja filologi tetapi di sini justru memanfaatkan hasil kerja filologi dalam kepentingan selanjutnya yaitu penelitian sastra. Oleh karena itu yang dipentingkan disini adalah hasil penelitian terhadap isi teks naskah tersebut sebagai data penelitian sastra.
Rara Jonggrang adalah tokoh cerita yang sudah melegenda. Sebagai tokoh cerita yang sudah melegenda, keberadaannya di masyarakat sebagai individu yang nyata sangat dipercayai. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah keberadaannya ini hanya merupakan simbol atau tanda atau lambang dari suatu peristiwa yang pernah terjadi di masyarakat ataukah ini merupakan sudut pandang masyarakat yang diserap oleh juru cerita dalam menghadapi situasi masyarakat. Yang jelas jawaban pertama diperoleh setelah membaca dan mengamati teks naskah Prambanan, Rara Jonggrang bukan tokoh utama cerita.
Ketika pengamatan terhadap tokoh Roro Jonggrang di dalam cerita yang muncul dari kemelut pergolakan perebutan kekuasaan antar kelompok-kelompok elit kesatrya yang memiliki kekuasaan pada jamannya.
Ketika tokoh Rara Jonggrang mulai muncul dalam cerita, tokoh ini sudah dibebani untuk membawa suatu misi yaitu pandangan tentang kedudukan perempuan dan peran perempuan dalam suatu kemelut kekuasaan. Citra yang diberikan pada tokoh Rara Jonggrang adalah sebagai tokoh yang tragis. Rara Jonggrang diibaratkan sebagai tokoh perempuan yang harus ditampilkan untuk mengakhiri suatu periode kekuasaan dari negri tertentu. Sebagai tokoh perempuan Rara Jonggrang memiliki deskripsi fisik yang lengkap, yaitu cantik, pandai dan sakti.
Tetapi gambaran pandai dan sakti ini diluluhkan oleh gambaran watak seorang perempuan yang diberikan kepada tokoh tersebut. Digambarkan dalam cerita untuk menghadapi kemelut situasi pada saat itu tokoh Rara Jonggrang digambarkan hanya mengandalkan kecantikannya saja, bukan kepandaian dan kesaktian. Dari sudut ini saja sudah dapat dipastikan betapa tragisnya tokoh Rara Jonggrang ini digambarkan dalam teks naskah Babad Prambanan tersebut.
Memang terlepas dari hasil pengamatan dan interpretasi setiap orang, tetapi inilah yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan dan pembahasan terhadap cerita Rara Jonggrang yang ada dalam teks naskah Babad Prambanan.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Turita Indah Setyani
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Turita Indah Setyani
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>