Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Senoaji
"Dalam PKPU, Perjanjian Homologasi merupakan pengesahan Perjanjian Perdamaian yang disahkan oleh Pengadilan Niaga yang berisi tentang jangka waktu pembayaran. Apabila pihak Debitor tidak dapat memenuhi isi dari Perjanjian Perdamaian yang sudah di Homologasi, maka pihak Kreditor dapat mengajukan tuntutan pembatalan perdamaian. Sifat Perjanjian Homologasi mengikat semua Kreditor si Debitor. Pada dasarnya perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari peristiwa tersebut timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akibat apabila Debitor lalai memenuhi isi Perjanjian Perdamaian maka Kreditor dapat menuntut Pembatalan Perdamaian, yang menyebabkan Debitor pailit.
PKPU merupakan sebuah cara yang digunakan oleh Debitor maupun Kreditor dalam hal Debitor atau Kreditor menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian antara Debitor dan Kreditor supaya tidak perlu dipailitkan.
Terkait praktik di Indonesia, PKPU sering diupayakan terlebih dahulu supaya Debitor tetap membayar utang-utangnya kepada Kreditor dengan menentukan bagaimana metode cara pembayaran utangnya tersebut di dalam Perjanjian Homologasi. Namun dalam hal Pembatalan Perdamaian dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, Debitor atau Kreditor tidak dapat mengajukan upaya kasasi oleh karena menurut Undang-Undang tidak mengenal adanya upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU. Skripsi ini merupakan penelitian hukum yang memiliki bentuk yuridis normatif.

Suspension of Payment's Homologation Agreement is legalizing Peace Agreement by Commerical Court which contains the time period of payment. If Debtor can't fulfill contens of Peace Agreement which had been homologated, the Creditors can sue Cancellation of Agreement. The characteristic of Homologation Agreement is binding Debtor's Creditors. Basically agreement is an act between one or more party which one or more party are binding one to another. The agreement is arising the legal relation between one or more party in which entitled the rights and obligations of one or more party. The consequences of failing the agreements is the Creditors may sue Cancellation of Agreement, which causes Debtor bankcrupt.
Suspension of Payment is a way used by the Debtor or the Creditors in the case of judjing the Debtors or Creditors feels that Debtor can't pay his debt, or insolvency in the time given to them by the agreement, which has passed the deadline, with the intention of fulfilling Peace Agreement between the Debtor and Creditors, so there is no need for Debtor to go Bankcrupt.
Related to the practice in Indonesia, Suspension of Payment is prefered to be use, so the Debtor still pays its debts to the Creditors, to determine the methods of payment in Homologation Agreement. However in case of Cancellation of Agreement, is granted by Commercial Court, Debtor can't submit cassation because in Regulations does not recognize any legal effort againts Suspension of Payment's Verdict. This thesis has normative juridical methods.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64235
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panudju Senoaji
"Pada awal abad ke 20 atau tepatnya pada jaman Meiji (1868-1912), Jepang merupakan satu-satunya negara non Barat yang berhasil melakukan modernisasi. Bukti nyata dari keberhasilan usaha-usaha modemisasi Jepang pada jaman Meiji adalah tampilnya Jepang sebagai sebuah negara industri. Dengan kekuatan industri yang dimilikinya, Jepang kemudian menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan militer dunia. Tampilnya Jepang sebagai kekuatan ekonomi dan militer dunia, membuat statusnya dalam percaturan ekonomi politik intemasional juga mengalami perubahan, dan sebuah negara semi kolonisasi menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat. Keberhasilan Jepang menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat justru bertolak belakang dengan situasi umum yang terjadi di negara-negara Asia pada awal abad ke-20. Hampir sebagian besar wilayah Asia merupakan wilayah_wilayah kolonisasi negara-negara Barat. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, Jepang merupakan negara yang sangat miskin akan sumber daya alam. Selain itu hubungan Jepang dengan dunia pada khususnya dengan dunia Barat relatif terlambat. Mengapa hanya Jepang yang sukses dalam menjalankan program-program modemisasi, sedangkan negara-negara lain di Asia tidak? Faktor-faktor apakah yang telah membedakan Jepang dengan negara-negara lain di Asia? Menurut Paul Baran searang ahli ekonomi politik beraliran mantis, seperti yang dikutip oleh Yoshihara Kunio, modal utama dari keberhasilan industrialisasi Jepang adalah kemerdekaan politik. Dia mencoba membandingkan Jepang dengan India. Menurutnya Jepang dapat berdiri sebagai negara industri karena Jepang merupakan negara yang merdeka sedang India tetap terbelakang karena telah mengalami pemerasan akibat kolonisasi Inggris. Kunio lantas mencoba melengkapi argumen yang dikemukakan oleh Paul Baran diatas dengan membandingkan Jepang dan Muang Thai. Selain tidak pernah mengalami kolonisasi negara-negara Barat, Muang Thai pada masa pemerintahan Raja Chulalongkorn (1868-1910) atau hampir bersamaan dengan jaman Meiji juga melakukan usaha-usaha modernisasi. Tetapi apa yang dicapai oleh Muang Thai tidak seperti yang dialami oleh Jepang. Menurut Kunio keberhasilan modemisasi yang diperoleh Muang Thai hanya bersifat kuantitatif tidak kualitatif, artinya hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat, sedangkan mayoritas besar rakyat tetap tidak berpendidikan dan hidup dalam keadaan miskin. Suatu situasi yang sangat berlawanan dengan keadaan di Jepang. Keberhasilan modernisasi yang dicapai oleh Jepang pada jaman Meiji juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti unsur-unsur dalam kebudayaan Jepang. Kebudayaan Jepang dapat dianggap sebagai kebudayaan rasa malu."
2000
S13802
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Wahyu Senoaji
"ABSTRAK
Insinerator adalah alat pengolah Iimbah Cara pengolahannya dengan membakar Iimbah tersebut. Dalam membakar Iimbah, insinerator harus mengikuti standar kesehatan, agar hasil dari pembakaran tidak membahayakan Iingkungan.
Untuk mencapai standar kesehatan tersebut, dalam pengolahannya, insinerator mempunyai cara tersendiri. Gas hasil pembakaran tidak langsung dibuang ke Iingkungan, melainkan diolah dulu di dalam insinerator tersebut.
Cara pengolahannya, gas hasil pembakaran tersebut dipanaskan kembali hingga 1000 ° C. Pada suhu ini, senyawa berbahaya yang masih dikandung oleh gas hasil pembakaran diharapkan terurai, sehingga tidak berbahaya Iagi.
Setelah dipanaskan hingga 1000 ° C , gas tadi kemudian didinginkan, kemudian dibuang melalui cerobong asap. Di sini kita melihat, bahwa energi yang dikandung gas hasi\ pembakaran tidak dimanfaatkan kembali.
Kemudian juga melihat bahwa Iimbah yang rnasuk ke dalam ruang bakar untuk dibakar, tidak mengalami proses apapun_ Seperti pengeringan misalnya.
Oleh karena itu dibuat suatu rancangan berupa alat penukar kalor di mana hasil energi tersebut dimanfaatkan untuk pengeringan Iimbah sebelurn masuk ke dalam ruang bakar.
Alat penukar kalor dirancang dengan menggunakan tabung_ Di mana di dalam tabung tersebut dialirkan udara Iingkungan, dan di harapkan setelah keluar tabung, udara tersebut menjadi panas dan bisa dimanfaatkan untuk pengeringan

"
1996
S36266
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azis Bayu Senoaji
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana proses formulasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 yang terbit tanggal 1 April 2019. Peraturan tersebut diundangkan karena Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku dinilai belum secara spesifik menjelaskan definisi dari Bentuk Usaha Tetap sehingga menimbulkan banyaknya sengketa. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana proses formulasi dari kebijakan ini ditinjau dari metode formulasi kebijakan untuk mengetahui apakah dalam formulasinya kebijakan tersebut sudah memenuhi kaidah yang berlaku. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur dalam mencari data penelitian. Hasil penelitian ini menyimpulkan jika dilihat dari teori formulasi kebijakan publik Patton dan Sawicky, dan dari teori kebijakan publik Kelsen yaitu teori grundnorm kebijakan ini tidak memenuhi kriteria yang diminta oleh kedua teori tersebut. Seharusnya pihak external diikutsertakan dalam memformulasikan kebijakan ini dan konsideran yang tepat untuk kebijakan ini seharusnya merujuk kepada UU PPh dan UU KUP

This thesis discusses how the formulation process of the Minister of Finance Regulation Number 35/PMK.03/2019 which was published on April 1, 2019. The regulation was enacted because the applicable Income Tax Act is considered not to have specifically explained the definition of Permanent Establishments so as to cause disputes. By using a qualitative approach, this study aims to analyze how the formulation process of this policy is reviewed from the policy formulation method to determine whether the formulation of the policy meets the applicable rules. This study uses in-depth interviews and literature studies in finding research data. The results of this study concluded that when viewed from Patton and Sawicky's public policy formulation theory and Kelsen's public policy theory, namely the grundnorm theory does not fulfilled in this policy. External party should have been invited to co-formulate the policy and the right consideration for this policy should refer to the Income Tax Law and the General Provisions and Tax Procedures Law"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Senoaji
"Latar Belakang: KGB pelvis merupakan salah satu faktor prognostik penting dalam kanker serviks. Penggunaan booster radiasi adalah tindakan noninvasif dan memberikan hasil yang menjanjikan. Teknik SIB sebagai modalitas pemberian booster terunggul telah diaplikasikan di RSCM sejak Januari 2020, namun belum pernah dinilai tingkat keberhasilannya. Tujuan: Mengetahui perbedaan respon klinis, kesintasan, dan toksisitas akut pada populasi kanker serviks IIIC1 antara yang mendapat radiasi teknik SIB dengan teknik non-SIB. Studi ini juga bertujuan mencari faktor prognostik kesintasan. Metode: 125 pasien kanker serviks IIIC1, 35 mendapatkan teknik SIB, 90 mendapatkan teknik non-SIB. Dari populasi tersebut, dinilai respon klinis tumor primer dan KGB berdasarkan MRI evaluasi pertama. Toksisitas akut dinilai berdasarkan penilaian mingguan. Pada pasien juga dilakukan uji Kaplan-Meier untuk mengetahui kesintasan dan analisis multivariat untuk mengetahui faktor prognostik yang memengaruhi kesintasan Hasil: Median Follow-up adalah 64 minggu pada grup SIB dan 84 minggu pada grup non-SIB. Grup yang mendapatkan SIB memiliki median ukuran KGB yang lebih besar dibandingkan grup non-SIB (p= 0,000). Respon komplit tumor primer ditemui pada 92,3% pasien grup non-SIB dan 81,8% pasien grup SIB yang tidak berbeda bermakna. Respon komplit KGB ditemukan pada 95,4% pasien grup non-SIB dan 91% pasien grup SIB. Median kesintasan 83 minggu pada grup SIB dan 127 minggu pada grup non-SIB, yang berbeda bermakna secara statistik. Analisis subgrup dengan membandingkan pasien dengan ukuran KGB yang sama pada kedua grup, menunjukkan tidak ada perbedaan kesintasan pada kedua grup. Uji multivariat menunjukkan 6 variabel yang memengaruhi prognostik kesintasan pasien kanker serviks IIIC1. Ukuran tumor primer, ukuran short-axis KGB, histopatologi non-KSS, NLR preterapi adalah faktor prognostik kesintasan yang buruk, sedangkan kadar hemoglobin dan pemberian kemoterapi adalah faktor prognostik kesintasan yang baik. Kesimpulan: Kesintasan pasien yang mendapatkan SIB lebih rendah dibandingkan grup non-SIB (p= 0,048) namun dengan membandingkan ukuran KGB yang sama, memperlihatkan kesintasan yang tidak berbeda (p= 0,26). Walaupun demikian, respon lokoregional 6 bulan pada kedua grup menunjukkan hasil yang serupa (p= 0,489)

Background: Pelvic lymph nodes is important prognostic factors in cervical cancer. The use of radiation boosters is noninvasive and provides promising results. The SIB technique as the best booster modality has been applied at RSCM since January 2020, but its level of success has never been assessed. Aims: To determine the differences in clinical response, survival and acute toxicity in the IIIC1 cervical cancer population between those who received SIB technique radiation and non-SIB technique radiation. This study also aims to find prognostic factors for survival. Methods: 135 IIIC1 cervical cancer patients included, 35 received SIB techniques, 90 received non-SIB techniques. The clinical response of the primary tumor and KGB was assessed based on the first MRI evaluation. Acute toxicity was assessed based on weekly assessments. The Kaplan-Meier test also carried out the to determine survival. Multivariate analysis is done to determine prognostic factors that influence survival.. Results: Median follow-up was 64 weeks in the SIB group and 84 weeks in the non-SIB group. The group that received SIB had a larger median lymph node size than the non-SIB group (p= 0,000). Complete response of primary tumor was found in 92.3% of patients in the non-SIB group and 81.8% of patients in the SIB group, which was not significantly different. Complete KGB response was found in 95.4% of patients in the non-SIB group and 91% of patients in the SIB group. Median survival was 83 weeks in the SIB group and 127 weeks in the non-SIB group, which was statistically significantly different. Subgroup analysis comparing patients with the same lymph node size in both groups showed no difference in survival in the two groups. Multivariate testing shows 6 variables that influence the prognostic survival of IIIC1 cervical cancer patients. Primary tumor size, short-axis lymph node size, non-SCC histopathology, pretherapy NLR are poor survival prognostic factors, while hemoglobin levels and chemotherapy administration are good survival prognostic factors. Conclusion: The survival of patients who received SIB was lower than the non-SIB group (p= 0.048) but when comparing the same lymph node size, survival was not different (p= 0.26). However, the 6-month locoregional response in both groups showed similar results (p= 0.489)"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library