Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sartika Djamaluddin
Abstrak :
Sektor produksi dan rumahtangga adalah dua entitas ekonomi yang saling berhubungan. Sektor produksi memegang peranan penting dalam melakukan proses produksi dan menghasilkan barang dan jasa. Adapun rumahtangga berperan penting sebagai penyedia faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, tanah atau kewirausahaan. Dalam hat ini maka kedua unit ekonomi tersebut berinteraksi. Hubungan ini tergambar pula dalam perekonomian Jakarta. Metodologi sekaligus basis data yang digunakan dalam studi ini adalah SNSI DKI Jakarta 2000. Analisis pengganda neraca yang diperoleh dari hasil pengolahan data menunjukkan bahwa jika dikembangkan maka seluruh- sektor produksi akan memberikan kenaikan pendapatan terhadap seluruh golongan rumahtangga. Kenaikan pendapatan tertinggi akan dinikmati oleh rumahtangga golongan 10 (kaya), disusul oleh rumahtangga golongan 9 dan seterusnya hingga rumahtangga golongan 1 (miskin) memperoleh kenaikan pendapatan terkecil. Pengaruh terbesar yang diterima oleh rumahtangga miskin (Gol.1) berasal dari sektor angkutan jalan raya (no.39) dengan pengganda neraca sebesar 0,0134.5. Artinya jika terjadi kenaikan pennintaan akhir (omset penjualan) sebesar Rp 100.000 disetiap sektor produksi maka sektor yang memberikan kenaikan pendapatan tertinggi terhadap rumahtangga miskin adalah sektor angku tan jalan raya (no. 39) yaitu sebesar Rp 1.345, disusul kemudian oleh sektor perdagangan besar dan eceran (no. 36), sektor Industri bahan bakar, minyak dan gas (no.31) dan sektor pertanian (no. 22, 23, 24, 25). Adapun sektor produksi yang memberikan kenaikan pendapatan terbesar kepada rumahtangga kaya adalah sektor jasa yang meliputi jasa pemerintahan umum (no. 45) yang memberikan kenaikan sebesar Rp 38.217, jasa sosial kernasyarakatan dan hiburan (no. 46) sebesar Rp 37.014, disusul kemudian oleh jasa bank dan lembaga keuangan non bank (no. 43) sebesar Rp 35.526, sektor perdagangan besar dan eceran (no.36) sebesar Rp 33.278, sektor hotel (no.37) sebesar Rp 32.640 dan sektor industri bahan bakar, minyak dan gas (no. 31) sebesar Rp 32.449. Hal lain yang juga ditemukan dalam studi ini adalah adanya kontribusi scktor produksi di bcrbagai lapangan usaha lcrhadap ketinipangan distrihusi pendapatan rumahtangga di Jakarta. Dengan membandingkan pendapatan disposabe] per rumahtangga antara rumahtangga miskin dan kaya (rasio ketimpangan kayamiskin) maka ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta pada tahun 2000 adalah 1 29,38. Berdasarkan fakta ketimpangan tersebut, penulis mengidentifikasi terdapat 16 sektor produksi, dart 26 sektor produksi, yang menghasilkan rasio ketimpangan kaya-miskin kurang dari 29,38. Dengan kata lain ada 16 sektor, yang jika dikembangkan, memberikan pengaruh kecil terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Sektor-sektor ini bergerak dalam aktivitas pertanian, industri, perdagangan, restoran, angkutan dan bangunan. Sektor produksi yang dianggap paling kecil pengaruhnya terhadap distribusi pendapatan atau yang dianggap paling mampu mengurangi ketimpangan pendapatan rumahtangga di Jakarta adalah sektor angkutan jalan raya. Sektor ini ternyata menghasilkan rasio ketimpangan kaya-miskin scbesar 18,73. Melalui pengamatan jalur strukturalnya, sektor angku tan jalan raya ternyata banyak mcnyerap tenaga kerja dan rumahtangga golongan bawah yang bekerja sebagai tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual (buruh kasar) baik penerima upah dna gaji maupun bukan penerima upah dan gaji. Sementara itu sektor yang dianggap paling besar kontribusinya terhadap ketimpangan distribusi pendapatan adaolah sektor jasa sosial kemasyarakatan dan hiburan. Hasil temuan ini memberikan informasi yang sangat panting kepada pemerintah daerah Jakarta agar berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ekonomi di sektor produksi mengingat setiap sektor produksi memiliki kontribusi terhadap ketimpangan distribusi pendapatan rumahtangga. Oleh karena itu guna mengurangi ketimpangan pendapatan di Jakarta maka disarankan pcngcmbangan sektor angkutan jalan raya mendapat prioritas utama, selain sektor-sektor produksi lainnya.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sartika Djamaluddin
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk mengukur nilai kualitas hidup kota berdasarkan besarnya kompensasi yang bersedia dibayarkan rumah tangga terhadap kenyamanan fasilitas publik kota. Pengukuran kenyamanan dilakukan dengan menggunakan model Hedonik Berger-Blomquist-Hoehn yang dikembangkan. Hasil pengukuran tersebut digunakan untuk Menganalisis perkembangan nilai kualitas hidup kota, mengidentifikasi sektor-sektor publik yang menjadi sumber perubahan kenyamanan kota serta menganalisis variasi kenyamanan antar kota. Pengukuran dilakukan terhadap 28 kota di Pulau Jawa tahun 2002 dan 2005. Pengukuran indeks kualitas hidup menggunakan basis data Survei Ekonomi Nasional (susenas) core dan Potensi Desa (podes). Jumlah total individu yang libatkan pada estimasi model hedonik upah adalaha sebesar 30.007 individu tahun 2002 dan 34.760 individu tahun 2005. Adapun otal rumah tangga ang dilibatkan adalah sebesar 21.439 rumah tangga pada tahun 2002 da 24.530 rumah tangga pada tahun 2005. Hasil pengukuran IKH menunjukkan bahwa kualitas hidup kota di Pulau Jawa pada tahun 2002 dan tahun 2005 sangat bervariasi. Beberapa kota mengalami peningkatan kualitas hidup seperti Kota Tangerang, Magelang, Surakarta, Salatiga dan Semarang. Penurunan kualitas hidup hampir terjadi di semua kota besar diantaranya kota-kota di DKI Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Malang mengalami penurunan kualitas hidup. Perbedaan kualitas hidup antar kota berpotensi mendorong terjadinya migrasi. Rumah tangga cenderung pindah menuju kota yang kualitas hidupnya tinggi. Guna membatasi masuknya migran, pemerintah kota dapat mengenakan kebijakan (sejenis pajak) kepada migran maksimum senilai perbedaan kualitas hidup antar kota tujuan dan asal migrasi. Sebaliknya jika beniat mendorong masuknya migran, pemerintah dapat mengenakan kebijakan (sejenis subsidi), minimun sebesar perbedaan kualitas hidup antar kota tujuan dan asal migrasi. Selain mengetahui nilai kenyamanan kota secara total, analisis dekomposisi memungkinkan pemerintah mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan kualitas hidup suatu kota, baik secara menyeluruh maupun parsial. Analisis tersebut juga mampu menunjukkan pergeseran peranan masing-masing sektor publik antara waktu. Sebagai studi aplikasi pertama yang mengukur nilai kualitas hidup atau kenyamana kota di Indonesia, penulis berharap studi-studi lanjutan dapat dikembangkan di masa akan datang guna menganalisis hubungan antara kualitas hidup dengan variabel-variabel ekonomi lainnya, seperti migrasi, investasi daerah, pertumbuhan kota. ......The objective of the study is to measure the quality of life according to the amount a household is willing to pay as a compensation for the public facilities in their cities. The level of amenities is measured by using Hedonic Model developed by Berger-Blomquist-Hoehn. The result will be used in analyzing the progress of the quality of life in each town, identifying certain public sectors which drive changes in amenities level as well as analyzing the amenities variation among the cities. The study, which measures the quality of life of 28 cities in Java during 2002 and 2005, is making use of data from National Social Economic Survey (susenas) and Village Potential Statistics (podes). In total, thc number of individual observation involved in hedonic wage model estimation was 30,007 in 2002 and 34,760 in 2005. ln addition, the number of households being involved in 2002 and 2005 amounted to 21,439 and 24,530 households respectively. The result of the quality of life index measurement shows that quality of life in cities in Java both in 2002 and 2005 quite vary. Among the cities which experienced an improved quality of life including Tangerang, Magelang, Surakarta, Salatiga and Semarang. In the contrary, a decrease in quality of life almost took place in all other big cities such as Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Malang and all cities in Jakarta Provinces. In fact, the difference level of quality of life among the cities may potentially drive migration in which people tend to move to other city with higher quality of life. ln order to restrict migration to their town, the local government CBI) apply certain policy (such as tax) to the migrants as much as maximum the quality of life?s difference between the migrants? city and the destination city. However if local government wants to attract migrants coming to their towns, they can apply a favorable policy such as certain subsidy to the migrants at least as much as the quality of life?s difference between the migrants? city and the destination city. Through decomposition analysis, the government may not only able to know the city?s quality of life in total but also able to identify each sector?s contribution to the quality of life?s changes within the city. The analysis can show any changes in each public sector's role every year. As the first study which measures quality of life index in Indonesia, the author is expecting some relevant studies which take in to account other variables such as migration, regional investment and city?s growth to be done in the near fiiture.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
D969
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sartika Djamaluddin
Abstrak :
Tujuan utama skripsi ini adalah menyelidiki tingkat mobilitas modal Indonesia. Bagi Otoritas moneter, tingkat mobilitas modal dapat dijadikan sebagai salah satu bahan evaluasi untuk melihat efektivitas kebijakan makroekonominya -fiskal dan moneter- terhadap peningkatan output perekonomian. Pengukuran tingkat mobilitas modal Indonesia saya lakukan dengan menggunakan model Peter Montiel dan Nadeem U. Hague (1989). Model ini saya olah dengan menggunakan metode OLS (ordinary Least Square). Hasil pengukuran tersebut adalah tingkat mobilitas modal Indonesia dalam periode ini ternyata tinggi, yaitu dengan indeks 0.73 dalam kisaran o (nol) hingga 1 (satu). Implikasinya, menurut Mundell-Fleming (1963), dalam jangka pendek kebijakan moneter efektif untuk meningkatkan output perekonomian tetapi dalam jangka panjang kebijakan moneter harus didukung oleh kebijakan fiskal yang eskspansif. Tingkat mobilitas modal yang tinggi merupakan sinyal yang penting bagi sektor swasta untuk berhati-hati terhadap pinjaman luar negerinya. Tingkat mobilitas modal yang tinggi mencerminkan semakin besarnya potensi terjadinya capital inflow dan capital outflow yang. nantinya akan sangat mempengaruhi kondisi stabilitas makroekonomi.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
S19257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library