Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Samsu Hendra Siwi
Abstrak :
Manusia, kegiatan dan wadah merupakan tiga hal penting dalam bahasan arsitektur. Setiap kegiatan manusia membutuhkan ruang. Setiap saat manusia tidak hanya aktif di dalam ruang, merasakan ruang, berada dalam ruang dan berpikir tentang ruang tetapi manusia juga menciptakan ruang untuk menstrukturkan ekspresi dunianya ke dalam bentuk nyata. Ruang sebagai eksistensi, memberikan pemahaman antara hubungan kepentingan manusia dengan lingkungannya. Ruang menjadi bahasan arsitektur yang sebelumnya sudah menjadi bahasan filsafat dan psikologi. Dalam perkembangannya, ruang dipahami secara subjektivis maupun secara objektivis baik secara epistemologi maupun ontologi. Pada subjektivisme, eksistensi ruang mengacu pada pikiran yang bukan dari sumber-sumber objektif. Kesadaran akan ruang tidak mengacu pada objek di luar. Sedangkan persepsi ruang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman individual penahu. Manusia mengetahui adanya ruang disebabkan oleh idea. Ruang merupakan forma intuisi kita sendiri. Ruang bukan sesuatu bentuk phenomena indera luar, tetapi merupakan kondisi subjek pada perasaan yang merupakan intuisi eksternal yang independen. Pada objektivisme, pengetahuan bersumber pada: a-posteori pengalaman. Paham ini menekankan bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang diasalkan dari dan atau dikonfirmasikan oleh pengetahuan inderawi. Ruang sebagai kajian pengetahuan diartikan sebagai objek di luar subjek. Ruang sebagai objek material merupakan wadah fisik yang dapat diamati oleh indera manusia sehingga harus terukur, menempati suatu posisi, mempunyai bentuk dan berada. Ruang tidak bergantung pada persepsi manusia (subjek) walaupun persepsi kita terhadap ruang akan membawa kesadaran kita. Ruang dalam pandangan objektivis ini menjadikan arsitektur dipandang sebagai seni visual yang mementingkan indera penglihatan. Paham subjektivis dan objektivis mengandung kelemahan-kelemahan. Pemahaman ruang arsitektur secara subjektivis menerjemahkan keberadaan ruang bahwa ruang berada di benak subjek. Pada kenyataannya ruang arsitektur merupakan ruang materiil yang merupakan perwujudan dari ide ruang yang immateriil. Ide ruang direalisasikan menjadi ruang fisik tidak akan sama persis, sehingga antara ide dan realitas tidaklah sama persis, walaupun ada usaha untuk menyamakannya. Dalam arsitektur, ide/ pikiran ruang dapat bersumber dari proses kreatif yang berupa intuisi maupun dari pengalaman inderawi. Hal inilah sebagai kritik terhadap teori pengetahuan yang subjektivis maupun yang objektivis. Pada objektivisme selain tersebut di atas, juga mengandung kelemahan. Bila objektivis memandang hal yang tampak saja, arsitektur bukan hanya permasalahan yang tampak saja akan tetapi juga yang tidak tampak, seperti harapan, keinginan-keinginan, fantasi, obsesi dan sebagainya. Hal yang tampak maupun yang tidak tampak merupakan phenomena yang harus dapat ditangkap yang kemudian direduksi sehingga akan mendapatkan yang esensi. Seluruh dimensi manusia (manusianya sendiri, kegiatan dan lingkungannya) menjadi phenomena dalam fenomenologi. Fenomenologi dipakai sebagai pendekatan untuk menjawab kelemahan-kelemahan dari subjektivisme dan objektivisme. Dengan Fenomenologi ruang akan lebih kaya makna dan dapat terungkap secara lebih lengkap. Fenomenologi merupakan metoda untuk menangkap semua phenomena yang ada, akan tetapi untuk mengungkapkan phenomena yang tak tampak yang berupa ketidaksadaran pada subjek manusia diperlukan suatu pendekatan psikologi yaitu Psikoanalisis.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T7027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samsu Hendra Siwi
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini memberikan pemahaman tentang boundaries dalam membentuk privasi di hunian muslim sebagai manifestasi praktik spasial berdasarkan praktik religius. Privasi bagi penghuni (perempuan muslim) di hunian muslim berbeda dengan pembagian zona privasi pada umumnya (zonasi di hunian terbagi dalam zona publik, semi privat dan privat). Penelitian ini untuk menjawab apakah makna boundaries bagi orang muslim dalam praktik spasial di hunian. Bagaimanakah proses terjadinya boundaries dalam praktik spasial di hunian muslim Bagaimana wujud boundaries dalam praktik spasial di hunian muslim Melalui pendekatan kualitatif metoda case studies mengambil 9 informan dengan kriteria perempuan muslim dengan tipe pakaian dari tidak memakai pakaian hijab sampai dengan perempuan muslim dengan memakai hijab dan cadar, dengan 6 hunian dilakukan observasi dan wawancara mendalam, kemudian dikoding, dan dianalisa dengan mencari relasi antara reaksi penciptaan boundaries diri dengan lingkungannya dalam praktik spasial baik fisik maupun non fisik di huniannya. Penelitian memberikan beberapa temuan yaitu: boundaries dengan konsep saya melihat tetapi tidak terlihat boundaries yang memberikan pembatas antara ruang kami dan ruang mereka pengertian inside-outside berdasarkan pada boundaries ketubuhah dalam aturan Syariah Islam; penentuan penciptaan boundaries sebagai respon kehadiran orang dengan deteksi melalui indera tubuh (visual dan suara) dan terciptanya escape room sebagai manifestasi kebutuhan perempuan muslim dalam praktik spasial terkait dengan praktik religinya. Penelitian ini juga menemukan bahwa pakaian sebagai boundaries diri terhadap lingkungannya terkait dengan kehadiran orang lain (outsider) yang bukan mahram, bahkan pakaian dapat sebagai escape room yang artinya sebagai tempat melarikan diri dari pandangan orang lain. Kehadiran orang lain (outsider) sebagai indentifikasi ruang publik sehingga cara berpakaian (tipe pakaian) sebagai indikasi privat-publik sebuah ruang di hunian. Setiap pelaku (penghuni muslim) tidak bisa digeneralisasi tentang kebutuhan privasinya, bahkan setiap penghuni membutuhkan privasi yang berbeda tergantung hukum mahram, kehadiran tamu dan aurat. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tentang tindak menciptakan boundaries yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari melalui praktik berpakaian yang akan berimplikasi pada praktik spasial di hunian. Penelitian ini secara konseptual memberikan kontribusi pada pemahaman boundaries yang terkait dengan praktik religius khususnya pada hunian muslim.
ABSTARCT
This dissertation provides an understanding of boundaries in privacy in Muslim dwellings as a manifestation of spatial practice based on religious practice. Muslim womens privacy is different with privacy zones in general housing (zoning areas is divided into public, semi-private and private zones). This research is to answer what is the meaning of boundaries for Muslims in spatial practices in dwelling? What is the process of form of boundaries in spatial practices in Muslim dwellings? What is the form of boundaries in spatial practice in Muslim dwellings? Through a qualitative approach the case studies method takes 9 informants with the criteria of Muslim women with clothing types (not hijab-clothes to Muslim women by hijab and veils), with 6 houses carried out in-depth observation and interviews, then coded, and analyzed a relationship between the reaction of creation of self-boundaries and their environment in spatial practices both physically and non-physically in their dwellings. The research findings are namely: boundaries with the concept of I see but not seen; boundaries that provide a boundary between "our" space and "their" space; inside-outside understanding based on body boundaries in Islamic Sharia rules; determining the creation of boundaries in response to the presence of people with detection through the senses of the body (visual and sound) and the creation of an escape room as a manifestation of the needs of Muslim women in spatial practices related to their religious practices. This study also found that clothing as a self-boundary to the environment is related to the presence of other people (outsiders) who are not mahram, even clothes can be an escape room which means as a place to escape from the view of others. The presence of another person (outsider) as an indication of public space so that the way to clothes (type of clothing) as an indication of private-public space in a dwelling. Every actor (Muslim occupant) cannot be generalized about their privacy needs, even every occupant needs different privacy depending on the law of mahram, the presence of guests and aurat. The purpose of this study is to discripof the act of creating boundaries carried out in everyday activities through the practice of clothing will have implications for spatial practices in dwelling. This research conceptually contributes to the understanding of boundaries related to religious practice, especially in Muslim dwellings.
2020
D2756
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library