Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rozamon
Abstrak :
Menjadi orang tua merupakan salah satu sumber perasaan bermakna (Dwivedi, 2000). Kebanyakan orang tua menjadi orang tua tanpa persiapan yang matang, banyak yang beranggapan bahwa keterampilan menjadi orang tua akan muncul secara alamiah, hal ini bisa henar bila orang tua memiliki dan menikmati masa kecil yang nyaman (Dwivedi, 2000). Namun Namun pada kenyataannya banyak orang tua yang tidak beruntung memiliki pengalaman masa kecil yang baik, bahkan tidak jarang mengalami kekerasan dari orang tuanya (Dwivedi 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang menjadi obyek kekerasan di masa kecil akan melakukan kekerasan kembali kepada anak-anaknya ketika mereka menjadi orang tua, sehingga terjadi suatu intergenerational transmission of abuse (McCord, 1995; Kaplan 1999). Beberapa penelitian retrospective juga menunjukkan bahwa pemberian hukuman fisik oleh orang tua terhadap anak berkorelasi dengan bagaimana cara orang tua tersebut dibesarkan (McCord, 1995). Mengapa orang tua korban yang menjadi korban kekerasan dan pengabaian di waktu kecil melakukan kekerasan dan pengabaian kembali terhadap anak-anaknya. Proses parenting yang dijalankan oleh orang tua tergantung pada karakteristik orang tua, karakteristik anak dan konteks lingkungan ( Martin dan Colbert 1997). Ketiga determinant tersebebut menentukan bagaimana proses parenting yang dijalankan, melakukan kekerasan dan pengabaian atau tidak. Pengalaman kekerasan dan pengabaian yang diderita oleh orang tua merupakan hanyalah salah satu faktor dari karakteristik orang tua yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dan pengabaian kembali terhadap anak. Determinannya ikut berperan dalam menyebabkan terjadinya kekerasan. Namun perannya cukup besar, 30 % dari pelaku kekerasan terhadap anak mengalami kekerasan yang sama dari orang tuanya. (Hoffman, Paris dan Hall 1977). Oleh karena itu pada penelitian ini akan ditelusuri proses yang mendasari transmisi kekerasan antar generasi. Simons (1991) mengungkapkan bahwa faktor modeling dan parenting cognition berperan dalam menyebabkan transmisi tersebut, disamping juga menggali parenting determinan pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek yang melanjutkan kekerasan dan pengabaian terhadap anak memiliki karakteristik yang khas, disertai konteks lingkungan yang memicu terjadi kekerasan. Penilaian terhadap karakteristik anak juga berperan. Modeling tampak berperan dalam menyebabkan transmisi kekerasan. Selaian itu pengalaman kekerasan membuat terbentuknya skema kognitif yang khas, yang mempengaruhi interaksi selanjutnya dengan anak berupa parenting dengan kekerasan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozamon
Abstrak :

ABSTRAK
Masyarakat Minangkabau merupakan suatu masyarakat etnik matrilineal terbesar di dunia (Zed, 1992), dan jelas merupakan satu-satunya contoh untuk Indonesia. Sistem Matrilineal meletakkan perempuan pada posisi yang menguntungkan. Tanner (1992) dan Naim (1991) mengatakan bahwe pada Masyarakat dengan sistem matrilineal maka kedudukan laki-laki dan perempuan cenderung egaliter, sehingga perempuan tidak terlalu bergantung pada suami. Syarifuddin malah mengatakan (1982) bahwa perempuan Minangkabau lebih mandiri dibandingkan dengan perempuan lainnya di Indonesia.

Saat ini dengan semakin tingginya intensitas interaksi dengan budaya Iain, maka terjadi pergeseran (Naim, 1991). Sairin (1992) mengatakan bahwa arah perubahan tersebut belum diketahui dengan pasti apakah akan berpegang teguh pada prinsip mairilineal ataukah berubah kearah masyarakat patrilineal. Navis (1990) memperkirakan telah terjadi deidentifikasi budaya pada masyarakat Minangkabau.

Reenan (1939) mengatakan perubahan yang paling mendasar pada masyarakat Minangkabau adalah pada kemandirian perempuan Minangkahau terhadap suami dalam menjalankan perannya dalam keluarga. Perubahan ini menurut Keenan akan menimbulkan dampak emosional tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti ingin mengetahui bagaimanakah perbandingan kemandirian perempuan Minangkabau yang ada di pedesaan dan di Jakarta dalam menjalankan peran rumah tangga. Serta bagaimanakah harapan mereka sebetulnya terhadap peran mereka dalam rumah tangga. Apakah mereka mengharapkan akan mempertahankan kemandirian terhadap suami, ataukah mereka mengharapkan suami lebih banyak berperan, seperti kecenderungan masyarakat non-matrilineal.

Para ahli mengemukakan, bahwa untuk setiap peran, melekat harapan terhadap peran. Ketidaksesuain antara harapan dengan kenyataan peran akan menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan (Biddle & Thomas, 1966).

Menurut Burr (dalam Terry dan Scott, 1987), ketidak sesuaian antara harapan dan perilaku peran akan menimbulkan kesenjangan peran. Sédang Brehm (1992) mengatakan bahwa ketidaksepakatan mengenai siapa yang akan mengerjakan pekerjaan tertentu dalam rumah tangga akan menimbulkan role strain atau ketegangan peran.

Banyak peneliti yang meyakini bahwa ketegangan peran merupakan salah satu penyebab utama konflik perkawinan serta perceraian(Frank, Anderson, & Rubinstein, 1979; Jacobson , Follette, & McDonald, 1982, dalam Brehm 1992).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurkesuma (1995) menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau akan memiliki nilai kemandirian bila ia memiliki identitas sosial sebagai perempuan Minangkabau. Dengan kondisi peralihan sekarang ini, diperkirakan akan terjadi transisi, antara apakah akan mempertahankan kemandirian, ataukah akan bergantung pada suami. Seperti yang telah dikatakan oleh para ahli di atas hal tersebut akan menimbulkan kesenjangan, dan ketegangan. Bila kenyataan ternyata tidak sesuai dengan harapan maka akan menimbulkan kekecewaan. Reenan juga memperkirakan bahwa perubahan dalam kemandirian terhadap suami akan menimbulkan dampak emosional tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis selanjutnya ingin mengetahui, perempuan Minangkabau yang memiliki kemandirian bagaimanakah yang akan mengalami ketegangan Peran? Apakah yang memiliki kemandirian tinggi, kemandirian rendah, ataukah kemandirian sedang?

Maka dalam penelitian ini yang ingin diketahui adalah: Bagaimanakah kemandirian perempuan Minangkabau di pedesaan dan di Jakarta 2.Bagaimanakah harapan perempuan Minangkabau terhadap kemandirian dalam menjalankan peran? Serta, 3. Adakah hubungan antara kemandirian dengan ketegangan peran?

Subjek Penelitian adalah 31 orang perempuan Minangkabau yang telah menikah dan tinggal di pedesaan Sumatera Barat, 30 orang perempuan Minangkabau yang telah menikah dan merantau ke Jakarta, serta 30 orang perempuan Minangkabau yang telah menikah dan lahir, besar serta tinggal di Jakarta.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan kemandirian dan perbedaan ketegangan peran pada perempuan Minangkabau yang ada di pedesaan; yang merantau ke Jakarta; serta yang lahir, tinggal dan besar di Jakarta, tetapi perbedaan tersebut tidak cukup berarti sehingga tidak siginifikan. Ketiga kelompok perempuan Minangkabau berada pada tingkat kemandirian Sedang. Selanjutnya diketahui bahwa secara secara umum perempuan Minangkabau mengharapkan kemandirian dalam menjalankan peran yang lebih tinggi dari kemandirian yang dimilikinya saat ini.

Terlihat adanya hubungan yang bermakna antara tingkat kemandirian dengan ketegangan peran. Ketegangan peran yang tinggi ditemukan pada kelompok perempuan Minangkabau yang memiliki kemandirian rendah dan kemandirian tinggi.

Untuk Iebih dapat melihat perbedaan kemandirian perempuan Minangkabau di pedesaan Sumatera Barat dengan di Jakarta, maka disarankan agar subjek pedesaan dibatasi dari desa yang tergolong masih terisolir, sehingga pengaruh budaya luar dapat diminimalkan.
1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library