Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rienna Diansari
"Latar Belakang: Menurut Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, laju kematian akibat patologi aorta torakalis di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju, dengan median pertambahan percepatan +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 pada tahun 1990 dibandingkan 2010. Asia Tenggara merupakan salah satu negara dengan penambahan laju kematian tertinggi yaitu 41%. Di Indonesia, pasien datang dalam kondisi penyakit lanjut karena keterlambatan diagnosis dan manajemen dan hal ini menjadikan pasien berada pada kondisi patologi aorta yang kompleks. Kondisi patologi aorta yang kompleks tentunya membutuhkan tindakan bedah aorta yang kompleks pula. Sejauh ini belum terdapat studi yang secara khusus meneliti luaran klinis bedah aorta torakalis kompleks dibandingkan dengan non-kompleks, terutama pada populasi di negara berkembang.
Tujuan: Mengetahui hubungan kompleksitas pembedahan dengan mortalitas in-hospital dan kesintasan jangka menengah pasca bedah aorta torakalis serta faktor lain yang berhubungan.
Metode: Studi kohort retrospektif ini menggunakan data sekunder. Dilakukan pengambilan data dasar melalui rekam medis dan registri terhadap pasien pasca bedah aorta torakalis (1 Januari 2018 – 31 Desember 2021) di PJNHK. Analisa kesintasan 1 dan 3 tahun dilakukan dengan follow up melalui telepon dan pesan digital. Kemudian dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara kompleksitas pembedahan sebagai prediktor utama serta variabel lainnya dengan luaran primer (mortalitas in-hospital) dan sekunder (kesintasan jangka menengah).
Hasil: Total 208 pasien diinklusikan ke dalam analisis luaran primer; 157 (75,5%) menjalani bedah aorta torakalis kompleks dan 51 (24,5%) menjalani bedah aorta torakalis non-kompleks. Mortalitas in-hospital serupa pada kedua kelompok (23,6% vs 13,7%; p = 0,194). Pada analisa multivariat, sindrom malperfusi (OR 3,560; p = 0,002), durasi CPB > 180 menit (OR 4,331; p = 0,001), dan prioritas pembedahan (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) adalah prediktor independen mortalitas in-hospital. Follow-up kesintasan 1 dan 3 tahun pasca bedah aorta torakalis adalah 92,6% dan 80,3%, secara berurutan. Regresi Cox mengidentifikasi diabetes (HR 4,539; p = 0,025) dan status prosedur emergensi (HR 9,561; p = 0,015) sebagai prediktor independen mortalitas 1 tahun, dan diabetes (HR 3,609; p = 0,004), diseksi aorta (HR 2,795; p = 0,029) dan diameter aorta maksimum (HR 1,034; p = 0,003) sebagai prediktor independen mortalitas 3 tahun. Kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah.
Kesimpulan: Pada pasien yang menjalani tindakan bedah aorta torakalis terbuka, kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah. Kesintasan jangka pendek dan menengah lebih banyak dipengaruhi faktor komorbid maupun faktor durante pembedahan

Background: According to Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, a prominent increase of overall global death rate is seen on developing country compared to developed country, with relative change in median daeath rate of +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 in 1990 vs 2010. South-east Asia is nation with highest increase of 41%. This is due to delayed in diagnosis and treatment and leads to late stage and complex aortic disease. The more complex the disease, the more complex the surgical procedure will be. Up until now, there is no data regarding the impact of surgical complexity on short and mid-term survival in patients underwent aortic surgery, especially in developing country.
Objectives: This study aimed to investigate the impact of surgical complexity on short and mid-term mortality and other influencing factors.
Methods: This retrospective cohort study used secondary data. Basic data was obtained through medical record and registry of patients underwent thoracic aortic surgery (January 1st, 2018 to December 31st, 2021) in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). One-year and 3-year survival analysis was obtained through phone calls and digital messages. Statistical analysis was done to investigate the impact of surgical complexity as the main predictor and other variables on primary (in-hospital mortality) and secondary (mid-term survival) outcome.
Results: A total of 208 patients were included in the analysis; 157 (75,5%) underwent complex surgery, and 51 (24,5%) underwent non-complex surgery. In-hospital mortality was similar actoss 2 groups (23,6% vs 13,7%; p = 0,1240). On multivariable analysis, malperfusion syndrome (OR 3,560; p = 0,002), CPB duration > 180 minutes (OR 4,331; p = 0,001), and surgical priority (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) were identified as independent predictor of in-hospital mortality. One and 3-year survival were 92,6% and 80,3%, respectively. Cox regression identified diabetes (HR 4,539; p = 0,025) and emergency procedure (HR 9,561; p = 0,015) as independent predictors for 1-year mortality, and diabetes (HR 3,609; p = 0,004), aortic dissection (HR 2,795; p = 0,029), and maximum aortic diameter (HR 1,034; p = 0,003) for 3-year mortality. Surgical complexity was not associated with early and mid-term mortality.
Conclusions: In patients undergoing thoracic aortic surgery, surgical complexity was not associated with early and mid-term survival. Short and mid-term survival was largely determined by patient comorbidities and intra-surgery factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rienna Diansari
"Keberhasilan pemberantasan penyakit malaria berhubungan dengan tingkat perilaku masyarakat dalam mencegahnya. Salah satu pencegahan malaria yang paling murah dan efektif adalah menggunakan kelambu berinsektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perilaku murid Madrasah Tsanawiyah Negeri Bayah mengenai penggunaan kelambu. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 12-14 Agustus 2009 dengan mewawancarai 106 murid yang dipilih secara Simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan murid yang memiliki tingkat perilaku baik mengenai penggunaan kelambu adalah 0 orang (0%), cukup 25 orang (23,6%), dan kurang 81 orang (76,4%). Jumlah siswa laki-laki (54,7%) lebih banyak dari siswa perempuan. Sebagian besar murid memperoleh kurang dari 3 sumber informasi yaitu sebanyak 65,1%. Sumber informasi yang paling berkesan adalah nonmedia (58,5%). Sebagian responden tidak memiliki kelambu (67,9%). Kelambu yang dimiliki kebanyakan adalah kelambu biasa. Pada uji Fisher, tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat perilaku dalam penggunaan kelambu dengan usia (p=0,571), jenis kelamin (p=0,097), tingkat pendidikan (0,164), jumlah sumber informasi (p=0,493), dan sumber informasi paling berkesan (0,525). Disimpulkan tingkat perilaku murid mengenai penggunaan kelambu tergolong kurang dan tidak berhubungan dengan karakteristik mereka.
The success of malaria control is associated with the behaviour level of the people to prevent it. One ofthe most cheapest and ejfective method is using an insecticide-treated net. The objective of this study is to identify the behaviour level of Islamic Junior High School students of Bayah about the use of bed net This cross sectional study was carried out on Augfst 12?-14th, 2009 and involving 106 students who were chosen using random sampling technique. The results showed that the number of students with good, fair and poor behaviour level about the use of bed net was 0 (0%), 25 (23, 6%%) and Sl (70 4%), respectively. The number of male students (54, 7%) are more than the jemale students. Most ofthe students got less than 3 sources of information (65,l %). The most impressive source according to the students came from non media (58,5%). Most of the students don ?t have any kind of bed net (67,9%). Those who has it mostly has the ordinary type. Based on the Fisher test, there were no signwcant d#rences between the behaviour level ofthe use of bed net with age (p= 0,5 71), sex (p=0,097), education level (p= 0,1 64) the number of information sources (p= 0,493), and the most impressive source of information (p= 0,525). It was concluded that the behaviour level ofthe students about the use of bed net was poor and had no association with students? characteristics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library