Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratyan Noer Hartiko
Abstrak :
Notaris memiliki kewajiban yang tercantum dalam UUJN yaitu mengenai kewajiban menjaga kerahasiaan isi akta. Hal tersebut juga tercantum dalam sumpah jabatan Notaris. Oleh karenanya undang-undang memberikan kewajiban Notaris untuk menolak memperlihatkan isi akta, termasuk memberikan salinan akta kepada pihak yang tidak berkepentingan. Namun ketidakjelasan mengenai konsep pihak yang berkepentingan dengan akta, membuat Notaris dapat mengalami gugatan pelanggaran kode etik, karena dianggap tidak memberikan salinan akta. Padahal pihak yang meminta bukanlah pihak yang di dalam akta, namun pihak terafiliasi dari pihak yang di dalam akta. Hal ini karena konsep pihak yang berkepentingan dalam hukum dapat diartikan berbeda-beda. Hal ini lah yang wajib dipahami oleh Notaris agar mereka dapat meberikan salinan akta sesuai pasal 54 UUJN dan tetap menjaga kode etik Notaris terutama mengenai kewajiban merahasiakan isi akta.
Notaries have an obligation as stated in Notary Law namely an obligation of confidentiality regarding the contents of the deed. It is also stated in the Notary Oath. Therefore, the law provides Notary an obligation to refuse to show the contents of the deed, including giving a copy of the deed to unauthorized parties. But the vagueness of the concept of concerning parties with the deed, making a Notary experience lawsuit of Notary code violations, because they did not provide a copy of the deed. Whereas the requesting party is not a party in the deed, but the affiliated parties of party in the deed. This is because the concept of concerning parties in the law can be interpreted differently. This is the one that must be understood by the Notary so that they can give a copy of the deed in accordance with Article 54 of Notary Law and maintain a code of ethics, especially regarding an obligation of confidentiality regarding the contents of the deed.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratyan Noer Hartiko
Abstrak :
Perekonomian global dan arus investasi lintas batas negara semakin berkembang dengan sangat pesat. Pesatnya arus investasi lintas batas negara membawa keuntungan sekaligus ancaman. Dalam hal perpajakan, investasi lintas batas negara bisa menyebabkan pemungutan pajak berganda oleh dua negara terhadap objek pajak yang sama. Hal ini dikarenakan yuridiksi negara dalam memungut pajak atas warga negara yang berada di negara asing untuk berinvestasi dan warga negara asing yang berinvestasi di negara tersebut. Keadaan ini menyebabkan satu objek pajak dikenakan pajak yang sama oleh kedua negara. sehingga pelaku bisnis mencoba untuk melakukan penghindaran pajak berganda. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak sebuah negara. Salah satu solusi menghadapi permasalahan ini adalah dengan membuat perjanjian penghindaran pajak berganda antar dua negara. Dalam perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya mengikuti model yang telah ada dan dipakai luas di dunia seperti OECD model (model yang dikembangkan Organization for Economic Cooperation and Development) dan UN model (model yang dikembangkan United Nations). Masing-masing model memiliki perbedaan terutama dalam hak menarik pajak oleh negara. Namun semua kembali kepada negosiasi antara kedua negara dalam menentukan isi pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda mereka. Indonesia sendiri telah melakukan negosiasi pertama mengenai perjanjian penghindaran pajak berganda dengan Belanda dimulai tahun 1970-an dan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda ini selain sebagai perjanjian untuk menghindarkan pajak berganda, juga sebagai upaya Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain. Semakin berkembangnya perekenomian global, perjanjian penghindaran pajak berganda ini diamandemen beberapa kali hingga tahun 2002. Namun renegosiasi ini belum selesai dan akan terus terjadi, selama perekonomian global terus berkembang dan undang-undang pajak penghasilan terus berubah menyesuaikan kondisi masing-masing negara. ......Global economic and transnational of investment flows growing very fast. The rapid grow of transnational of investment flows bring both benefits and. In term of taxation, transnational investment could lead to double tax collection by both of the countries to same tax object. This is due to jurisdiction of the country in collecting taxes on citizens residing in foreign countries to invest and foreign citizens who invest in the country. This situation led to an same tax object of is taxed by both countries. So business people trying to do the avoidance of double taxation. This can lead to loss of potential tax revenues of a country. One of the solutions to this problem is to make a tax treaty between two countries. In the tax treaties typically follow a model that already exist and are used widely known in the world such as the OECD model (model developed by the Organization for Economic Cooperation and Development) and UN model (model developed by the United Nations). Each of model has its differences, especially in the right to tax by the country. But all returned to the negotiation between the two countries in determining the content of articles in their tax treaty. Indonesia itself has been negotiated the first tax treaty with the Netherlands began in the 1970s and within tax treaty is in addition to a treaty to avoid double taxation, as well as Indonesia's efforts to gain recognition from other countries. The continued development of global economies, this double taxation avoidance agreement was amended several times until 2002. However, renegotiation is not completed and will continue to occur, as long as the global economic continues to grow and the income tax law continue to change adjusting the conditions of each countries.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1330
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library