Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur`ainun
Abstrak :
Anak adalah generasi penerus, dan juga sekaligus merupakan salah satu aset penting yang ikut menentukan masa depan dan kelangsungan hidup suatu bangsa. Menyadari akan hal tersebut, negara berusaha untuk memberikan jaminan agar setiap anak Indonesia dapat tumbuh kembang secara wajar dan optimal dalam lingkungan masyarakat luas serta mendapatkan hak-haknya. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal (2) yang menyebutkan bahwa: Penyelenggaran perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan penghidupan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam kenyataannya, tidak semua anak dapat menikmati masa kecilnya dengan normal dan dalam lingkungan masyarakat luas. Di antaranya adalah anak-anak yang harus menjalani kehidupannya di dalam lingkungan penjara, atau yang secara resmi disebut Lembaga Pemasyarakatan. Untuk selanjutnya anak-anak ini disebut sebagai Anak Didik Pemasyarakatan yang terbagi dalam tiga kategori yaitu (Sujatno, 2004): 1. Anak Pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak, paling lama sampai berumur 18 tahun. 2. Anak Negara, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak, paling lama sampai berumur 18 tahun. 3. Anak Sipil, adalah anak yang atas permintaan orang tua dan walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak, paling lama sampai berumur 18 tahun. Dari uraian di atas diketahui bahwa batasan umur seorang warga binaan anak adalah mencapai usia hingga 18 tahun, meskipun kenyataannya di Lapas Anak dapat dijumpai anak didik yang berusia hingga 21-24 tahun. Dalam psikologi perkembangan, usia ini dapat digolongkan ke dalam tahap remaja atau masa adolesen (Hurlock, 1996). Visi dari Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri seperti yang tercantum dalam rencana strategis Ditjen Pemasyarakatan adalah memulihkan kesatuan hubuagan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sebagai individu, anggota masyarakat dan mahluk Tuhan YME. Sedangkan rumusan misinya adalah melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembiinbingan para WBP serta pengelolaan benda sitaan negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Untuk mewujudkan misi tersebut, dalam kenyataannya bukanlah hal yang mudah. Dalam buku 40 tahun Pemasyarakatan (Ditjen PAS, 2004) menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan tetap dianggap oleh sebagian besar masyarakat adalah penjara. Para narapidana seperti di pengasingan dalam tembok penjara yang tinggi dan seram, serta kegiatan pembinaan dan pemberian pekerjaan dalam Lapas ternyata tidak memberi manfaat bagi para narapidana setelah mereka babas kelak. Hal-hal tersebut di atas hanyalah sebagian temuan kecil yang merupakan masalah-masalah dalam pembinaan narapidana. Pemenjaraan bagi setiap orang berarti juga dipisahkannya individu tersebut dari lingkungan masyarakat disertai dengan segala pembatasan-pembatasan dalam setiap segi kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Cooke, Baldwin & Howison (1990) bahwa terdapat berbagai permasalahan yang timbul serta berbagai pengarulmya bagi seseorang sebagai akibat dari pemenjaraan, seperti loss of control, loss of family, lack of stimulation, lack of communication, dan loss of models.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ainun
Abstrak :
Latar Belakang: Meningkatnya populasi geriatri membuat sindrom frailty akan banyak ditemui di praktik klinik sehari-hari. Fenotip frailty dikaitkan dengan rendahnya massa otot secara teori, namun masih terdapat perbedaan hasil di antara penelitian yang ada. Tujuan: Mengetahui rerata indeks massa otot pada populasi geriatri di rawat jalan dan hubungannya dengan status frailty. Metode: Penelitian menggunakan desain potong lintang terhadap pasien berusia ≥60 tahun di poliklinik Geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, periode waktu April-Juni 2018. Dilakukan pengambilan data antropometri, pengisian kuesioner Cardiovascular Health Study (CHS) dan pengukuran indeks massa otot dengan dual energy X-ray absoprtiometry (DXA). Parameter indeks massa otot diukur berdasarkan appendicular lean mass (ALM) yang disesuaikan dengan tinggi badan (ALM/TB2) dan indeks massa tubuh (ALM/IMT). Hasil: Didapatkan proporsi subjek frail, pre-frail dan robust berdasarkan skor CHS berturut-turut adalah 29,17%, 58,33% dan 12,5%. Terdapat perbedaan rerata indeks massa otot dengan parameter ALM/TB2 antara pasien yang frail dan yang tidak (6,54 (1,01) Kg/m2 vs 7,03 (0,91) Kg/m2; p=0,01), namun tidak halnya dengan ALM/IMT (p=0,72). Tidak terdapat hubungan yang bermakna baik antara kejadian sindrom frailty dengan indeks massa otot ALM/TB2 (PR 2,03; 95% IK 0,80-5,15; p=0,13) maupun ALM/IMT (PR 5,09; 95% IK 0,45-58,06; p=0,2). Dari analisis multivariat faktor perancu didapatkan hubungan bermakna antara nutrisi (PR 3,67; 95% IK 1,59-8,49; p=0,02) dan status fungsional (PR 4,94; 95% IK 2,01-11,75; p=0,00) dengan kejadian sindrom frailty. Simpulan: Indeks massa otot yang rendah saja tidak dapat dijadikan faktor prediktif terjadinya sindrom frailty, melainkan perlu digabungkan dengan parameter lain seperti kualitas atau fungsi otot, status fungsional dan nutrisi. Penggunaan indeks massa otot dengan parameter ALM/TB2 lebih disarankan.
Background: Population ageing worldwide is rapidly accelerating along with development of frailty syndrome. A theoretical link between frailty and low lean mass has been established, and low lean mass as frailty predictor, but studies conducted show inconclusive result. Objectives: To obtain appendicular lean mass values among geriatric outpatients and its association with frailty status. Methods. Cross-sectional study conducted to elderly patients (≥60 years old) in the Geriatric Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital in April-June 2018. Each subject underwent anthropometric measurement, frailty evaluation using Cardiovascular Health Study (CHS) questionnaire dan lean mass measurement using dual energy X-ray absoprtiometry (DXA). Appendicular lean mass (ALM) measured was adjusted by height squared (ALM/ht2) and BMI (ALM/BMI) Results: The proportion of frail, pre-frail and robust according to CHS were 29,17%, 58,33% and 12,5% respectively. We found significant difference in ALM/ht2 between frail dan non-frail subjects (6.54 (1.01) Kg/m2 vs. 7.03 (0,91) Kg/m2; p=0.01) but nonsignificant result for ALM/BMI (p=0.72). No association was found between frailty and muscle mass index of ALM/ht2 (PR 2.03; 95%CI 0.80-5.15; p=0.13) or ALM/BMI (PR 5.09; 95% CI 0.45-58.06; p=0.2). From multivariate analysis, there was significant association between nutritional status (PR 3,67; 95% CI 1,59-8,49; p=0,02), functional status (PR 4,94; 95% CI 2,01-11,75; p=0,00) and frailty. Conclusion: Low lean mass alone cannot be used as predictive factor for frailty syndrome, further analysis using another parameter such muscle's quality or function, nutritional status and functional status are needed. This study supports ALM/ht2 as chosen muscle index.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Nur Ainun
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S4777
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ainun
Abstrak :
Mahasiswa FIK UI berasal dari daerah yang berbeda-beda di Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan pandangan sehat dan sakit yang berbeda. Perbedaan budaya dapat menghalangi dalam memberikan asuhan keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan asal daerah tempat tinggal mahasiswa dalam penerapan keperawatan transkultural. Sebanyak 98 mahasiswa pada tahap profesi dari program ekstensi maupun reguler dilibatkan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan kuesioner culture skill oleh Novieastari 2013. Desain pada penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan teknik sampling quota sampling. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara asal daerah tempat tinggal dengan penerapan keperawatan transkultural p value = 0,388 . Mahasiswa yang berasal dari daerah yang berbeda-beda tetap memiliki kemampuan penerapan keperawatan transkultural yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keberhasilan proses pembudayaan selama mahasiswa menjalani Pendidikan di FIK UI. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan penelitian mengenai penerapan keperawatan transkultural pada tingkat akademik lainnya.
Nursing Students of Universitas Indonesia have different home town. It makes the view about health and illness can be different too. Culture can distract when nursing care is delivered. The aim of this research was to discover the relationship between nursing student's home town with ability to apply transcultural nursing. There were 98 nursing professional students. This research used culture skill questionnaire from Novieastari 2013. This research uses cross sectional design with quota sampling technique. The result shows that there is no relationship between nursing student's home town with ability to application transcultural nursing p value 0,388 . Students that are from different home town have same ability to apply transcultural nursing. It means that students have cultural process successfully among they have studied at Faculty of Nursing at Universitas Indonesia. This research is recommended to do research about another cultural research at nursing students.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S67563
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library