Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novie Yektiningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Peran jender merupakan peran yang dilaksanakan oleh Iakl-lakl dan perempuan karena jenis kelamin mereka berbeda, peran ini tidak sama sesuai mlai dan norma sosial-budaya yang mengkonstrukslkannya. Kebutuhan praktls jender adalah kebutuhan yang muncul dalam keseharfan, sedangkan kebutuhan strategis jender merupakan upaya jangka panjang dan berkaltan dengan upa ya memperbaiki posisi sosial perempuan. Saat pendapafzn keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar, maka perempuan akan bekerja untuk menambah keuangan keiuarga. Perempuan berpendidikan tinggi akan bekerja di sektor fomral, sedangkan perempuan yang berpendidikan relalif rendah akan terserap di selctor informal. Penelitian ini akan melihat upaya peningkatan tzaraf hidup pembatik tulis melalui peran jender yang berlaku dalam komunitas tensebut, dengan menggunakan metode Diskusi Kelompok Terarah (Focused Group Discussion, FGD) dan Pnoses Hirarki Analitik (Analyticai Hierarchy Process, AHP). FGD Dari Hasil FGD, diketahui bahwa mayontas pembatik berpendidikan rendah dan memiliki suami yang bekerja sebagai tukang/ buluh. Jika sedang bekerja, pendapatan suami adalah Rp. 20.000,- perharinya. Tapi seringkali suami terpaksa tinggai dlmmah selama berbulan-bulan karena tidak mendapat pekerjaan. Jika suami tidak bekerja, maka pendapatan kaum pembatik yang menjadi bantalan ekonomi keluarga. Padahal produktivitas mereka terbatzs 3 lembar kain (tapih) perbulan dan harga jual Rp. 70.000 - Rp 120.000, dengan demikian keuntungan bersih yang dicapai tidak iebih dari 150.000,- Beberapa pembatik mulai melakukan spesialisasi dengan menyerahkan tahap-tahap bertentu dalam pengolahan kain batik untuk dikerjakan oleh rekan sesama pembatik. Hasilnya cukup menggembimkan, produktivitas meningkat hingga 60%, yaitu S lembar tapih perbulan. Meski demikian penambahan produktivims ini belum dibarengi dengan peningkatan permintaan. Akibatnya pembatik kurang termotivasi untuk menekuni pekerjaannya. Kecilnya skala usaha membuat pembatik tidak memisahkan manajemen keuangan usaha dengan keuangan keluarga. Akibatnya saat keluarga menghadapi kebutuhan mendesak, produksi terhenti karena dana yang tersedia dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Jika kekurangan modal, pembatik akan meminjam dan rekan sesama pembatik ataupun sanak famili. Pilihan int dirasakan Iebih praktis, tanpa mengikut sertakan lembaga keuangan yang dianggapnya memniki prosedur berbellt. Sebagai mata pencahanan, IKRT Batik Tegalan masih dipandang sebelah mat:a. Penyebabnya antara Iain tidak jelasnya a1okasi waktu dan produktivitas yang menurun saat pembatik memiliki anak balita. Meski pembatik tidak merasakan adanya beban ganda akibat beragam peran yang hams dllakukan, sikap ini dlsebabkan sistem sosial yang beriaku menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab urusan rumah tangga. Sama halnya dengan pekerjaan rumah tangga lain, batik dianggap sebagai umsan perempuan. Hubungan antar pembatik juga kurang harmonis. Hal ini terutama disebabkan keberadaan kelompok dalam komunitas batik yang tidak banyak berfungsi. Padahal jlka dimanfaalkan secara malcimal, kelompok dapat menjadi jembatan informasi antar pembatik, antara pembatik dengan pemennlah (berkaitan dengan berbagai program/ kebijakannya) dan antara pembatik dengan konsumen. Menilik sisi psikologis perempuan yang nelatif Iebih mudah bersosialisasi, maka manajemen kelompok yang balk akan membuat pembatik dapat sallng memotlvasi. AHP Tahap selanjutnya, hasil FGD yang diperbandingkan dengan berbagai penelitlan serupa kemudian menjadi input bagi hirarki backward pmcess dalam tahap AHP. Hirarki backward proces dari peningkatan taraf hidup perempuan pembatik terdiri alas lima level. Level Pertama mempakan tujuan utama (GOAL) yang lngln dlcapal, adalah Penlngkatan Taraf Hidup Perempuan Pembatik Tulis Tegalan melalul Pelan Jender. Level 2 adalah Skenasio, ada 3 (tiga) altematif skenarlo (berupa pendekatan-pendekatan atas peran jender para pembatik) yang yang dapat dilakukan untuk mencapai GOAL, yaitu: (1) Meningkatkan kesejahteraan keluarga, (2) Melestarikarl budaya Iokal, (3) Pemberdayaan perempuan. Level 3 adalah Kendala, ada 4 (empat) kendala besar dalam melaksanakan skenario untuk mencapai tujuan, yaitu: (1) Keterbatasan modal, (2) 'l'ldak adanya informasi pasar yang lebih Iuas, (3) Beban ganda penempuan, (4) Manajemen kelcmpok yang tidak berfungsi. Level 4 adalah Pelaku, secara garis besar ada 4 pelaku yang terlibat dalam proses ini, yaitu: (1) Pemerintah Kota Tegal, (2) Lembaga Keuangan atau perbankan, (3) Pembatjk, (4) Masyarakat. Level 5 adalah Kebijakan, ada 5 alternatif kebijakan yang dapat dilakukan, yaitu: (1) Pelatihan Teknls, (2) Membuka akses ke pasar yang lebih Iuas, (3) Kemudahan plnjaman modal, (4) Pelatihan manajernen usaha berbasis pola usaha perempuan, (5) Kemitraan dengan designer. Kuesioner' AHP dibagikan kepada 13 orang expert yang dipercaya mengetahui permasalahan yang berkaltan dengan upaya peningkatan taraf hidup pembatik Kota Tegal. Dalam penghitungan persepsi skala Iokal, total expert dibagi menjadi empat unsur. Keempatnya memberikan jawaban balk dengan tlngkat lnkonsistensi dibawah 0,1, yaltu unsur Pemerintah (0,02), unsur Pembatik (0.02), unsur Lembaga Keuangan/ Perbankan (0.03) dan unsur Masyarakat (0.05). Dalam skala priorltas Iokal, rnasing-masing unsur memberikan persepsi yang bervariasi. Unsur Pemerintah memprionlaskan skenario: peningkalan kesejahtelaan keluarga (0.561), kendalaz keterbatasan modal (0.486), pelaku: Pemkot Tegal (0.463) dan kebijakan: kemudahan pinjaman modal (O.2S6). Unsur Pembatik memprlonlaskan skenario: peningkamn kesejahteraan keluarga (0.561), kendala: liclak adanya informasl pasar yang lebih Iuas (0362), pelaku: Pemkot Tegal (O.522) dan kebijakan: pelalihan manajemen dan pola usaha perempuan (0.242). Unsur Lembaga Keuangan/ Perbanksan memprioritaslcan skenarlo: pemberdayaan perempuan (0.653), kendala: tidak adanya informasi pasar yang Iebih luas (0.353), pelaku: Pemkot Tegal (0.350) dan kebijakan: pelaljhan teknis (0.281). Unsur Masyarakat memprioriliaskan skenario: peningkalian kaejahteraan keluarga (O.593), kendala: keterbatasan modal (0.499), pelaku: Pemkot Tegal (0.461) dan kebljakan: kemudahan plnjaman modal (0.333). Sedangkan dalam priodtas global dimana pemenntah sebagai pengambil kebijakan memiliki bobot 20%, maka persepsi yang dihasilkan memprioritaskan skenario: peningkatan kesejahteraan keluarga (0.S23), kendala: keterbatasan modal (0.458), pelakuz Pemkot Tegal (0,474) dan kebijakan: kemudahan plnjaman modal (0253). Persepsi global ini memlliki tingkat inkonslstensi 0.03. Kesirnpulan Penelitian Secara umum, keberadaan komunltas pembaljk bukan hanya untuk melestarikan tradisi lokal, namun yang Iebih penting Iagi, membatik merupakan altematif pekerjaan bagi para perempuan yang tidak memillki kesempalan untuk bekerja di sektor formal. Stagnasl usaha batik Tegalan sesungguhnya tirnbul kanena kebljakan yang dlbuat tidak tepat sasaran. Bebefapa kesimpulan yang clapat: diambil setelah melakukan penelitjan adalah: 1. Pemerintah masih mempunyai porsi terbesar sebagai pihak yang bertanggung jawab dan dapat meningkatkan taraf hidup pembatik Tegalan. Meski Lembaga Keuangan/ Bank juga dapat berperan dalam pengembangan IKRT Batik, namun patut dlpertlmbangkan kondisi psikologis pembatik yang tidak terblasa berhubungan dengan Perbankan. 2. Ketidak sesuaian persepsi antara Pemerintah dan Masyarakat menjadikan kebijakan yang diberikan tidak menyentuh akar permasalahan. Pemerintah (clan institusi lain pendukungnya) menganggap kendala terbesar adalah permodalan, maka kebijakan yang muncul Iebih diprioritaskan pada pernberian modal Pembatik justru menganggap kendala yang Iebih penting adalah kurangnya lnformasi pasar, sehingga selain pelatihan manajemen yang berbasis pola usaha perernpuan, kebijakan Iain yang diharapkan adalah membuka pasar yang Iebih luas. Akibat ketidak sesuaian ini, maka suntikan modal dari Pemerintah tidak menambah output produksi. Penyebabnya, pembatik tidak mengetahui pasar Iain untuk menyalurkan kelebihan produksinya. Pemasaran terhenti, perputaran modalpun terhambat. 3. Prloritas kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Iebih difokuskan pada sisi penawaran (supply side) akibatnya pembatik menjadi obyek kebijakan karena skillnya dianggap kurang dan menjadi penyebab tidak munculnya market clearing di pasar batik. 4. Sebaglan besar para pengrajin masih menganggap kegiatannya hanya sebagai pengisi waktu luang, sehingga motlvasi untuk mengembangkan usahanya sangat terbatas. 5. Apablla kebljakan yang ditempuh adalah bantuan/ kemudahan permodalan, dalam-hal ini tentu saja pernberi kredit harus yakin bahwa membatik merupakan kegiatan yang bernilai ekonomis. Aspek jender dalam pemenuhan kebutuhan ini adalah dengan memperhatikan kesulitan yang ?khas" perempuan seperti kepemilikan kolateral dan pola usaha yang khas} sehingga kredit yang diberlkan dapat sesuai dengan kondisi pengusaha IKRT Inl. y 6. Upaya peningkatan taraf hidup perempuan pembatik seharusnya benar-benar merupakan kebijakan yang bersifat partisipatif. Untuk itu karakter pembatik yang tidak dapat dilepaskan dari kultur Iokal harus difahami oleh para pembuat kebijakan. Saran dan Rekomendasi Kebijakan 1. Upaya melibatkan Lembaga Keuangan/ Bank sebaiknya difasilitasi oleh Pemerlntah Kota Tegal, karena walau bagai mana pun Perbankan tetap memillki orientasi keuntungan dalam menjalankan usahanya. Dengan jaminan ataupun pengakuan pemerintah pada Perbankan terhadap industri kerajinan batik, maka BUMD ini akan dapat memberikan kredit Iunak yang sesual dengan karakteristik sosial-budaya mereka. 2. Langkah awal menuju profesionalitas dapat dimulai dengan pembukuan keuangan usaha yang terpisah dari keuangan keluarga. Laporan ini dapat menjadi pertimbangan saat melakukan perrnohonan kredit usaha kecil ke Perbankan. Sedangkan secara umum beban ganda dapat dlatasi dengan kerja bersama dalam kelompok. 3. Sisi penawaran yang selama ini menjadi fokus pengembangan IKRT Batik sebaiknya juga diimbangi oleh sisi permintaannya (demand side). Kerjasarna dengan designer dapat memecahkan masalah ini, karena pembatik tidak hanya dapat mempelajari trend, tapi juga mendapatkan pangsa pasar dan sarana promos! produk. 4. Bantuan modal, pelatihan teknls serta pelatihan manajemen yang selama ini diadakan oleh Disperinclag Kota Tegal akan lebih baik lagi jika mempertimbangkan pola usaha bersama/ kelompok, dengan pertimbangan nllai budaya dan tradisi yang berlaku dalam komunitas tersebut. 5. Membangun pengertian masyarakat di setiap kesempatan bahwa batik rnemiliki misi budaya, sehingga tidak hanya menjadi tanggung ja :ab perempuan saja. 6. Pendekatan pemberdayaan perempuan akan sangat bermanfaat bagi pengembangan IKRT Batik karena masalah yang dihadapi sangat spesifik dan kompleks. Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah melibatkan kaum perempuan dalam setiap proses pengammtan kebijakan di Ilngkungan mereka, misalnya melalui Musrenbangkel, bukan hanya sebagal wakll dari organisasi khas perempuan seperti PKK, tapi sebagai pengusaha kecil yang berpotensi. 7. Para pengambil kebijakan sebaiknya mengembangkan wawasan dan pengetahuan mengenai pemberdayaan perempuan, khususnya IKRT yang dijalankan oleh pengusaha perempuan. Pengembangan wawasan bukan hanya bagi dinas atau kantor tertentu saja.
2006
T34542
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library