Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neni Anggraini
"Tujuan : Mengetahui prevalensi ambliopia dan sebaran faktor ambliogeniknya serta mengetahui hubungan antara faktor risiko terhadap kejadian ambliopia pada murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Jakarta.
Metode : Survei epidemiologi dengan disain potong lintang, dengan penggunaan kuesioner untuk menilai faktor risiko sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan, perilaku dan pemanfaatan fasilitas kesehatan dari orang tua murid.
Hasil : Ambliopia didefinisikan sebagai tajam penglihatan dengan koreksi <619 yang tidak disebabkan oleh kelainan struktur bola mata maupun jalur penglihatan posterior dan didasari oleh adanya suatu faktor ambliogenik. Dari 948 murid berusia lebih atau sama dengan 6 tahun, ditemukan 26 murid dengan ambliopia (2,7%). Faktor ambliogenik pada murid SDN di Jakarta seluruhnya didasari oleh kelainan refraksi (defocused eye). Sebaran faktor ambliogenik terbanyak adalah isoametropia (69,2%), diikuti dengan anisometropia (23%) dan campuran dengan strabismus (7,8%). Faktor risiko tingkat perilaku orang tua secara bermakna mempengaruhi kejadian ambliopia (p<0,01). Faktor risiko sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan, perilaku dan pemanfaatan fasilitas kesehatan dari orang tua tidak terbukti secara berrnakna mempengaruhi kejadian ambliopia.
Kesimpulan : Prevalensi ambliopia pada populasi murid SDN di Jakarta sesuai dengan prevalensi ambliopia anak usia sekolah di berbagai negara, namun lebih tinggi dibandingkan di negara-negara yang sudah melakukan skrining penglihatan secara rutin.

Objectives : To elucidate the prevalence of amblyopia, ambliogenic factors distribution and the association of risk factors and amblyopia in Jakarta public elementary school children.
ethods : Epidemiology survey cross sectional study. Questionnaires asking about socioeconomic status, educational level, knowledge and behavior, and utilization of health facility were sent to the parents and the results were analyzed statistically in finding the association with amblyopia.
Results : Amblyopia was defined as corrected visual acuity < 619 in the affected eye not attributable to any underlying structural abnormality of the eye or visual pathway, together with the presence of an amblyogenic risk factor. Of 948 pupils, 26 were recorded to have amblyopia. The prevalence of amblyopia in Jakarta public elementary school children were 2,7%. Arnbliogenic factors in all amblyopia cases were refractive errors. The major types of amblyopia were ametropic amblyopia (69,2%), anisometropic amblyopia (23%) and mixed amblyopia with strabismus (7,8%). Parent's behavior was the only risk factor which associated statistically significant with amblyopia (p<0,01). Other risk factors such as socioeconomic status, level of parents? education, knowledge and utilization of health facility were not associated with amblyopia.
Conclusions : The prevalence rate of amblyopia in this population of Jakarta public elementary school children were the same as other countries, but higher than those reported in countries who already have routine visual screening program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21259
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Anggraini
"Pseudotumor orbita merupakan inflamasi orbita nonspesifik yang menyerupai tumor tanpa diketahui penyebabnya. Patogenesis sampai saat ini belum diketahui tetapi inflamasi kronik diduga sebagai dasar terjadinya pseudotumor orbita. Terapi utama pseudotumor orbita adalah kortikosteroid. Namun, angka keberhasilan yang rendah dan angka kekambuhan yang tinggi serta angka kegagalan terapi yang tinggi menjadi masalah pada tatalaksana pseudotumor orbita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor prediksi kekambuhan pseudotumor orbita dari segi klinis, histopatologi, serta jumlah sel mast, ekspresi IgG4, TNF-alpha;±, dan TGF-β.
Penelitian dilaksanakan dengan metode potong lintang dengan jumlah sampel 50 kasus yang terdiagnosis sebagai pseudotumor orbita berdasarkan histopatologi. Data klinis diambil dari rekam medis, selanjutnya pada blok parafin dilakukan pemeriksaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia (anti-mast cell tryptase antibody, antibodi IgG4, TNF-α, dan TGF-β).
Karakteristik klinis yang berhubungan dengan kekambuhan adalah proptosis (p = 0,012), penurunan visus terkait penyakit (p = 0,010), massa di kelopak dan/atau konjungtiva (p = 0,007), hambatan gerak (p = 0,034), lokasi (p = 0,002), dan tatalaksana (p = 0,002). Jenis histopatologi serta jumlah sel mast, ekspresi IgG4, TNF-α, dan TGF-β tidak bermakna memengaruhi kekambuhan (p > 0,05). Ekspresi TGF-β antara tipe limfoid dan tipe sklerosis berbeda secara bermakna (p = 0,011). Ekspresi TGF-β pada tipe limfoid (33*,3 ± 12 sel/LPB) lebih tinggi daripada tipe sklerosis (21,2 ± 9,4 sel/LPB).
Kesimpulan: Lokasi dan tatalaksana pseudotumor orbita dapat dijadikan faktor prediksi kekambuhan pseudotumor orbita. Terdapat perbedaan ekspresi TGF-β pada tipe limfoid dan sklerosis.

Orbital pseudotumor is a non-specific orbital inflammation that resembles a tumor with unknown cause. Pathogenesis has not yet been known but chronic inflammation is thought to be the basis for orbital psedotumor. The main therapy for orbital pseudotumor is corticosteroids. However, low success rates, high rates of recurrence and high rates of treatment failure are problems in the management of orbital pseudotumors.
The study aims to determine the predictive factors for recurrence of orbital pseudotumor in terms of clinical, histopathological, mast cell count, expression of IgG4, TNF-α, and TGF-β. This study was cross-sectional in design. The subjects consisted of 50 patients with histopathology-proven orbital pseudotumor. Clinical data was taken from medical records and paraffin-embedded tissue blocks were sectioned and evaluated by histology and immunohistochemistry using anti-mast cell tryptase, IgG4, TNF-α, and TGF-β antibodies.
The clinical characteristics associated with recurrence were proptosis (p = 0.012), related disease visual impairment (p = 0.010), mass in the palpebra and/or conjunctiva (p = 0.007), extraocular movement limitation (p = 0.034), location (p = 0.002), and treatment (p = 0.002). Histopathological type and mast cell tryptase count, expression of IgG4, TNF-α, and TGF-β did not significantly affect recurrence (p > 0.05). TGF-β expression between lymphoid type and sclerosing type was significantly different (p = 0.011). TGF-β expression in lymphoid type (33.3 ± 12 cell/LPB) was higher than sclerosing type (21.2 ± 9.4 cells/LPB).
Conclusion: Location and treatment of orbital pseudotumor can be used as predictive factor of recurrent orbital pseudotumor. There are differences in TGF-β expression on lymphoid and sclerosing type.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library