Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muzakir
"Peraturan Pemerintah (PP) No.14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek. Kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan atas penerimaan bruto dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek tersebut bersifat final yang besarnya 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham. Kebijakan ini seperti teristimewakan dalam situasi harga-harga saham cenderung menaik (Bullish market). Sebaliknya, dalam situasi harga-harga saham cenderung menurun (Bearish market), maka kebijakan tersebut menjadi diskriminatif {tidak adil) karena pajak yang dipungut oleh pemerintah tersebut bersifat final. Kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final ini menimbulkan permasalahan dalam situasi Bearish market karena para investor pasti mengalami kerugian (capital loss), sedangkan kerugian operasional tersebut tidak bisa dikompensasikan ke tahun-tahun sebelumnya (Loss Carryback) atau ke tahun-tahun berikutnya (Loss Carryforward) yang tidak mengalami kerugian operasional, dan juga tidak bisa di-"restitusi"-kan (Unrefundable).
Metode yang digunakan untuk menelaah/meninjau dampak atau pengaruh kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut dilakukan adalah ; penelitian literatur (tinjauan pustaka), penelitian lapang untuk mencari/mengumpulkan data/informasi laporan keuangan Perusahaan Reksa Dana, dan menganalisis laporan keuangan Perusahaan Reksa Dana untuk tahun 1999 yang dibandingkan dengan tahun 1998. tahun 1997, dan tahun 1996.
Dari hasil telaah/tinjauan yang dilakukan terdapat beberapa kejanggalan yang menimbulkan ketidak adilan yaitu ; dalam transaksi penjualan saham yang merugi (capital loss) para investor masih harus membayar Pajak Penghasilan, biaya-biaya yang berhubungan dengan operasional perusahaan (investor) tidak bisa dikurangkan dari penghasilan, dan total kerugian hingga akhir tahun fiskal tidak bisa dikompensasikan ke tahun-tahun sebelum atau sesudah diderita kerugian, dan tidak bisa dimintakan pengembalian pajak yang telah dibayar kepada pemerintah (restitusi).
Idealnya, kebijakan terhadap dasar pengenaan Pajak Penghasilan haruslah berupa penghasilan neto (laba bersih sebelum Pajak Penghasilan) yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang berhubungan dengan proses mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut, hal ini sesuai dengan definisi penghasilan yang diberikan dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No.10 Tahun 1994 yaitu tambahan kemampuan ekonomis. Definisi penghasilan yang tertuang dalam ketentuan tersebut telah sesuai dengan definisi atau pengertian yang diyakini oleh masyarakat perpajakan Internasional seperti yang diberikan oleh the S-H-S Income Concept.
Selanjutnya, tambahan kemampuan ekonomis tersebut haruslah dapat terukur dan tidak membedakan jenis sumber dari tambahan kemampuan ekonomis yang dimaksud sehingga keadilan secara horizontal dapat diterapkan (equal treatment for the equals), dan tarif pajak yang dikenakan terhadap objek pajak penghailan haruslah bersifat umum atau seragam/sama untuk setiap wajib pajak (tax payer) dan tidak menerapkan Schedular Taxation. Tarif pajak penghasilan yang diyakini mengandung unsur keadilan secara vertikal haruslah berupa tarif progresif, sehingga setiap wajib pajak yang memiliki tambahan kemampuan ekonomis yang tidak sama (jumlah atau ability to pay-nya) akan menanggung beban pajak yang tidak sama pula yang besarnya sebanding dengan ketidaksamaannya tersebut (Unequal treatment for the uriequals). Idealisasi lainnya dalam kebijakan pengenaan pajak penghasilan tersebut haruslah memungkinkan setiap wajib pajak untuk melakukan pengkreditan pajak, atau restitusi pajak (refundable), atau kompensasi kerugian baik ke depan maupun ke belakang (Loss carryback or Loss carryforward).
Dengan demikian, salah satu saran atau rekomendasi yang dapat penulis kemukakan adalah agar Pemerintah merubah ketentuan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek, dari yang bersifat Final menjadi tidak Final."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T4349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isom Muzakir
"ABSTRAK
Telah dilakukan suatu studi pangembangan rangkaian Osilator Colpitts sebagai pengkondisi sinyal system pengukuran parameter Kerentanan magnetik bahan. Penelitian ini merupakan pengembangan lanjutan dari pemanfaatan rangkaian Osilator sebagai pengkondisi sinyal sensor resistif, kapasitif, dan Induktif.
Dari pengukuran didapat bahwa frekuensi Osilator berbanding lurus dengan invers akar Induktansi, yang berarti pula berbanding lurus dengan invers akar parameter kerentanan magnetik bahan.

ABSTRACT
A development study of Colpitts Oscillator circuit as The Magnetic Susceptibility parameter measurement system has described. This research is an advanced development of the usage of Oscillator as The Signal Conditioner part of resistive, capacitive, and inductive type of sensor.
Measurement yields a relation where Oscillator frequency equals to inverse of inductance root, these means that it also equal to inverse of root of sample's magnetic susceptibility parameter.
"
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Muzakir
"ABSTRACT
Setiap tahun, jumlah kecelakaan mobil sangat banyak terjadi di berbagai penjuru dunia, bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu faktor penyebab kecelakaan mobil ini adalah kecelakaan ganda, yang dimana hal tersebut bisa terjadi, diakibatkan pengendara kurang memperhatikan jarak aman antar kendaraan. Untuk menyiasati kecelakaan akibat hal tersebut, diciptakanlah teknologi Intelligent Cruise Control ICC, sebagai salah satu teknologi pengembangan dari teknologi Cruise Control CC. Perbedaannya terletak pada tujuan sistem. Jika CC hanya menjadikan mobil bergerak dalam kecepatan konstan, ICC menjadikan mobil bergerak dalam kecepatan konstan, serta menjaga jarak dengan mobil di depannya. Namun, mendesain ICC tidak bisa dilakukan secara acak. Hal ini disebabkan kualitas dari teknologi ICC tersebut sangat dipengaruhi oleh model mobil serta jenis pengendali yang digunakan. Jika model mobil dan pengendali tidak sesuai, maka teknologi tersebut tidak berjalan dengan baik. Dalam skripsi ini, peneliti mencoba mendesain teknologi ICC dengan bantuan pengendali prediksi bertingkat, dengan terlebih dahulu mengidentifikasi model yang digunakan, kemudian hasil model identifikasi dan pengendali akan diuji dalam bentuk simulasi untuk membuktikan kualitas model dan pengendali yang telah dirancang sebelumnya.

ABSTRACT
Every year, there are so many car accidents which is happened in the world, even, the accidents tends to increase from year to year. One of the factors causing this car accident is a collision, which can happen, due to the driver 39 s lack of attention to the safe distance between two vehicles. To minimalize the accident, Intelligent Cruise Control ICC technology was created, as one from so many technologies which is developed from Cruise Control CC technology. The difference lies in the purpose of the system. If the CC only keeps the car moving at a constant speed, the ICC keeps the car moving at constant speed, and also can keeps the car 39 s distance in front, However, designing an ICC can not be inconsequentially. This is due to the quality of the ICC technology is strongly influenced by the car model and the type of controller used. In this research, this paper tries to design the ICC technology with multistage model predictive controller MPC , by first to do is identifying the model that is used, then the result of the identification model and the controller will be tested in the form of simulation to prove the quality of the model and the controller that has been previously designed."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Athar Ismail Muzakir
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab utama kemiskinan di 26 Propinsi sejak tahun 2002-2007. Data yang digunakan adalah data panel propinsi dengan Indeks Foster- Grees-Thorbecke sebagai variabel terikat dan sembilan variabel bebas yang mewakili karakteristik determinan kemiskinan individu rumah tangga, aksesibilitas, dan makro.
Dengan menggunakan Model Random Effect, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan, rumah tangga yang menggunakan listrik, jumlah Puskesmas Keliling, dan pertumbuhan ekonomi terbukti mengurangi semua indikator kemiskinan. Adapun variabel rumah tangga yang menggunakan air bersih hanya terbukti mengurangi tingkat kesenjangan kemiskinan. Oleh karena itu meningkatkan mutu pertumbuhan ekonomi layanan pendidikan-kesehatan serta infastruktur dasar sangat penting bagi pemerintah untuk mengurangi kemiskinan.

This research aims to analyze determinant factor that influenced poverty in 26 Provinces from 2002 until 2007. It used panel data of provinces, where Index- Foster-Grees-Thorbecke as dependent variable and nine independent variables represented the determinant of poverty characteristics. The method of analysis used Random Effect model.
Generally, the variables of economic growth human capital and households using electricity have negative and significant correlation with all poverty indexes. The while variable of Households having clean resources of water has negative and significant correlation with head count index only. Therefore, improving quality of growth, education and health services, supplying basic infrastructure are needed to reduce the poverty indexes."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T26306
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Athar Ismail Muzakir
"Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi konsep kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang yang memiliki tipologi Global Value Chain (GVC) Hierarki. Sejak era reformasi hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dukungan kebijakan terutama dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan relatif lemah dibandingkan dengan periode orde baru. Padahal, sejak 2011-2013, terdapat sejumlah program pengembangan pesawat terbang yang berbasis pada penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti pesawat N 219, program N 245 yang merupakan upgrading dari CN 235, dan Program Upgrading N 250 menjadi R-80.
Kegagalan Program N 250 IPTN menunjukkan bahwa keberhasilan program upgrading teknologi tidak hanya disebabkan oleh masalah lemahnya manajemen perusahaan, tetapi juga tidak adanya kesinambungan dukungan politik pemerintah. Karena kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi bersifat kompleks dan problematis, baik terkait dukungan secara regulasi maupun political will dari pemerintah, maka penelitian ini menggunakan Soft Systems Methodology (SSM) untuk mengkonstruksi konsep kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan mempertimbangkan systematically desirable dan culturally feasible.
Penelitian ini juga melakukan analisis komparatif khususnya dengan Embraer Brazil dalam program pesawat EMB 120 yang sekelas dengan pesawat N 250 IPTN. Penelitian ini memberikan empat rekomendasi: pertama, selain dukungan secara regulasi, dukungan secara politik dibutuhkan untuk keberhasilan program upgrading teknologi. Kedua, komunikasi dua arah antar level kebijakan nasional dengan level inter sektoral sangat diperlukan, khususnya dalam proses pengarusutamaan arah kebijakan iptek sektor dirgantara. Ketiga, Industri Dirgantara dalam hal ini IPTN/PT DI harus memperkuat value chainnya baik terkait kemampuan manajemen, produksi dan jejaring. Keempat, tipologi GVC Industri Pesawat Terbang yang efektif bagi program upgrading teknologi pesawat terbang adalah bukan hierarki murni, karena kemampuan lead firm dalam melakukan codifiability dan kemampuan supplier untuk memenuhi requirement dari lead firm yang dibutuhkan justru sangat tinggi. Penelitian lanjutan dapat difokuskan pada analisis konsep proses kebijakan sebagai hierarki pada dinamika tipologi GVC sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat lebih efektif.

This research combines the concept of policy process as hierarchy and the concept of Global Value Chain (GVC) in reconstructing the concept of policy in upgrading technology in GVC of an aircraft industry with a hierarchical typology. Since the reformation order until the era of President Susilo Bambang Yudhoyono, policy support for aircraft industry is relatively weak compared to the period of the New Order. However, since 2011 until now, there has been a number of aircraft development programs that were based on technology development, both on-going and at the stage of planning, such as N 219 Air Craft Program, N 245 which is upgrading of CN 235 or R-80 which is upgrading of N 250.
Based on the failure of IPTN Indonesia, particularly the termination of N 250 program, which was not only caused by the poor management of the company as well as sectoral policy and national policy, but also by the lack of political commitment from the government. Because support for technology upgrade is very complex and problematical, either related to regulatory support or government political will, this research employs Soft Systems Methodology (SSM) to find the concept of policy for supporting technology upgrade in GVC- National Aircraft Industry which are both arguably desirable and also culturally feasible. This study provides an illustration of comparative analysis between EMB 120-Embraer Brazil and N 250 IPTN.
This paper recomends four conclusion: First, in addition to regulation support of the national development direction, political support from the government is also required. Second, a two-way communication is required between policy level and sectoral level, especially science and technology research sector, in the effort to mainstream aerospace technology development in the national development planning. Third, Aircraft Industry should also strengthen its value chain, especially improving the management system in terms of production, marketing and networking. Fourth, a GVC typology of aircraft industry which is effective for aircraft technology upgrade program is not completely hierarchical since lead firm codifiability and supplier competence in complying with the lead firm requirements are very high. For further research, the analysis of the concept of policy process as hierarchy for supporting technology upgrade with regarding to dynamic of typology of GVC could be conducted for carrying out technology upgrade effectively."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2068
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library