Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kematian akibat PPOK ini menyumbang 6% dari semua kematian secara global. Data prevalensi spesifik untuk PPOK di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 yaitu 3,7 per seribu orang. Penelitian terdahulu di Indonesia menyatakan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih efektif-biaya apabila dibandingkan dengan terapi formoterol-budesonid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya yang lebih baik antara terapi terapi salmeterol-flutikason dan terapi formoterol-budesonid pada pasien PPOK rawat jalan di RSUP Persahabatan tahun 2021-2022. Penelitian retrospektif ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan menggunakan data rekam medis pasien, yaitu nilai COPD Assesmen Test (CAT), jenis kelamin, usia, dan komorbiditas. Selain itu, digunakan data billing pasien dilihat dari perspektif rumah sakit yang terdiri atas biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya jasa tenaga kesehatan, dan total biaya pengobatan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 64 sampel, yang terdiri atas 32 sampel terapi salmeterol-flutikason dan 32 sampel terapi formoterol-budesonid. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan nilai inkremental efektivitas antara kedua terapi sebesar 46,9%. Kemudian didapatkan nilai inkremental biaya antara kedua terapi sebesar Rp11.561. Sementara itu, berdasarkan perhitungan didapatkan rasio efektivitas-biaya (REB) untuk terapi salmeterol-flutikason adalah sebesar Rp982.164 /unit efektivitas dan untuk terapi formoterol-budesonid adalah sebesar Rp2.287.610/unit efektivitas. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih memiliki efektivitas-biaya dengan nilai rasio inkremental efektivitas-biaya terapi sebesar Rp247/unit efektivitas.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized by airflow limitation that is not completely reversible. The total number of deaths from COPD reaches 6% of all deaths globally. Specific prevalence data for COPD in Indonesia are based on Basic Health Research (RISKESDAS) data in 2013 is 3.7 per thousand people. Previous research in Indonesia stated that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective than formoterol-budesonide therapy. The purpose of this study is to analyze the better cost-effectiveness between salmeterol-fluticasone therapy and formoterol-budesonide therapy in COPD outpatient at Persahabatan General Hospital in 2021-2022. This retrospective study is an observational study with cross-sectional study design using patient medical record data, which consisted of COPD Assessment Test (CAT) scores, gender, age, and comorbidities. In addition, patient billing data is used from a hospital perspective which consisted of drug costs, other drug costs, laboratory fees, health worker service fees, and total medical costs. There were 64 samples used in this study, consisting of 32 samples from salmeterol-fluticasone group and 32 samples from formoterol-budesonide group. Based on results of the study, the increased effectiveness value between the two therapies was 46,9%. Then, the incremental cost value between the two therapies was obtained at IDR11.561. Meanwhile, based on calculations, the average cost-effectiveness ratio (ACER) for salmeterol-fluticasone therapy was IDR 982.164/effectiveness unit and for formoterol-budesonide therapy was IDR 2.287.610/effectiveness unit. Based on the research, it can be concluded that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective with an incremental cost-effectiveness ratio is Rp247 per unit of effectiveness.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Penggunaan antibiotik memiliki peran penting dalam mengatasi infeksi bakteri; namun, penggunaan yang berlebihan dan tidak rasional dapat menyebabkan resistensi antibiotik, yang menjadi perhatian kesehatan global. Penelitian ini mengevaluasi penggunaan antibiotik di Puskesmas Pasar Rebo pada periode Januari–Juni 2023 dengan menggunakan metode ATC/DDD dan DU 90%. Data dikumpulkan secara retrospektif dari sumber sekunder, termasuk laporan LPLPO, dan dianalisis secara kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan total penggunaan antibiotik sebesar 610,81 DDD/1000 kunjungan rawat jalan, dengan amoksisilin, siprofloksasin, dan klindamisin menjadi antibiotik yang paling banyak digunakan, masing-masing menyumbang 69,39%, 13,44%, dan 6,54% dari total penggunaan. Antibiotik ini mendominasi segmen DU 90%, menunjukkan peran signifikan dalam pengobatan rawat jalan. Temuan ini sejalan dengan studi lain yang mengidentifikasi antibiotik serupa dengan tingkat penggunaan tinggi di fasilitas layanan kesehatan primer di Indonesia. Penelitian ini menekankan perlunya pemantauan dan evaluasi berkelanjutan terhadap peresepan antibiotik untuk meningkatkan penggunaan yang rasional dan mengurangi risiko resistensi. Penelitian lanjutan disarankan untuk menitikberatkan pada kesesuaian pemilihan antibiotik dengan kondisi klinis. Evaluasi ini merupakan langkah penting menuju peningkatan pengelolaan antibiotik di layanan kesehatan primer.

The use of antibiotics plays a critical role in treating bacterial infections; however, excessive and irrational use can lead to antibiotic resistance, a global health concern. This study evaluates the antibiotic usage at Puskesmas Pasar Rebo for the period of January–June 2023, employing the ATC/DDD and DU 90% methodologies. Data were collected retrospectively from secondary sources, including LPLPO reports, and analyzed quantitatively. Results show a total of 610.81 DDD/1000 outpatient visits, with amoxicillin, ciprofloxacin, and clindamycin being the most utilized antibiotics, contributing to 69.39%, 13.44%, and 6.54% of total usage, respectively. These antibiotics dominate the DU 90% segment, indicating their substantial role in outpatient treatment. The findings align with other studies identifying similar high-usage antibiotics in primary healthcare facilities across Indonesia. The study highlights the need for continued monitoring and evaluation of antibiotic prescriptions to enhance rational use and reduce the risk of resistance. Future research is recommended to focus on the appropriateness of antibiotic selection concerning clinical conditions. This evaluation serves as a vital step toward improving antibiotic stewardship in primary healthcare settings. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Proses kualifikasi peralatan merupakan langkah penting dalam memastikan konsistensi dan akurasi data analisis di industri farmasi. Laporan ini membahas pengembangan protokol Kualifikasi Instalasi (KI) dan Kualifikasi Operasional (KO) untuk alat Micro Balance di PT. Pfizer Indonesia, yang direlokasi pada Desember 2023. Relokasi alat tersebut memerlukan kualifikasi untuk menjamin alat tetap berfungsi sesuai spesifikasi yang ditetapkan. Pendekatan metodologi menggunakan Failure Modes, Effects, and Criticality Analysis (FMECA) untuk menilai risiko terkait kompleksitas alat, sensitivitas, dan rekomendasi produsen. Berdasarkan tinjauan risiko, Micro Balance diklasifikasikan sebagai medium risk, sehingga memerlukan kualifikasi instalasi dan operasional. Protokol yang disusun mencakup verifikasi parameter teknis seperti identifikasi alat, stabilitas lingkungan, serta pengujian operasional yang melibatkan pengukuran berat terkalibrasi. Proses ini memastikan alat beroperasi optimal sesuai regulasi Good Manufacturing Practices (cGMP). Kesimpulan menunjukkan bahwa pelaksanaan kualifikasi secara sistematis mampu menjaga mutu alat selama dan setelah relokasi. Protokol ini dapat menjadi acuan dalam implementasi serupa di masa depan, mendukung kepatuhan terhadap standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang ditetapkan oleh BPOM.

Equipment qualification is a crucial step in ensuring the consistency, and accuracy of analytical data in the pharmaceutical industry. This report discusses the development of Installation Qualification (IQ) and Operational Qualification (OQ) protocols for a Micro Balance device at PT. Pfizer Indonesia, which was relocated in December 2023. The relocation required qualification to ensure the device operates according to the specified standards. The methodology employed Failure Modes, Effects, and Criticality Analysis (FMECA) to assess risks related to the device's complexity, sensitivity, and manufacturer recommendations. Based on the risk assessment, the Micro Balance was classified as medium risk, necessitating installation and operational qualifications. The protocols developed included verification of technical parameters such as device identification, environmental stability, and operational testing involving calibrated weight measurements. This process ensures the device functions optimally under Good Manufacturing Practices (cGMP) regulations. The findings conclude that systematic qualification implementation maintains equipment quality during and after relocation. This protocol can serve as a reference for similar implementations in the future, supporting compliance with Good Manufacturing Practices (GMP) standards established by the Indonesian Food and Drug Authority (BPOM)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan salah satu peran penting apoteker untuk memastikan terapi pasien yang aman, efektif, dan rasional. Laporan ini membahas PTO pada seorang pasien neonatal dengan diagnosis Hyaline Membrane Disease (HMD) dan Sepsis Neonatus Awitan Dini (SNAD) di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSPAD Gatot Soebroto. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif prospektif dengan pendekatan berdasarkan klasifikasi masalah terkait obat (PCNE V9.1). Hasil pemantauan menunjukkan tiga masalah terkait obat yang teridentifikasi, yaitu: interaksi mayor antara Cefoperazone Sodium dan Heparin Sodium yang menyebabkan tanda-tanda pendarahan, interaksi moderat antara Gentamisin dan MgSO4 yang dapat menyebabkan kelemahan neuromuskular, serta selisih dosis pada penggunaan Cefoperazone Sulbactam dan Gentamisin. Intervensi dilakukan dengan penghentian Heparin, pemantauan kadar elektrolit untuk interaksi Gentamisin-MgSO4, serta penyesuaian dosis berdasarkan berat badan pasien terbaru. Kesimpulan dari PTO ini menekankan pentingnya kolaborasi antar tenaga kesehatan dalam terapi pasien neonatal untuk mengoptimalkan efek terapi dan mencegah komplikasi yang merugikan. Diharapkan laporan ini dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan PTO untuk pasien neonatal di fasilitas kesehatan lainnya.

Drug Therapy Monitoring (DTM) is a vital role of pharmacists to ensure safe, effective, and rational therapy for patients. This report discusses DTM for a neonatal patient diagnosed with Hyaline Membrane Disease (HMD) and Early-Onset Neonatal Sepsis (EONS) in the Neonatal Intensive Care Unit (NICU) at RSPAD Gatot Soebroto. The study was conducted using a descriptive prospective method with an approach based on the classification of drug-related problems (PCNE V9.1). The monitoring results identified three drug-related problems, including a major interaction between Cefoperazone Sodium and Heparin Sodium leading to signs of bleeding, a moderate interaction between Gentamycin and MgSO4 potentially causing neuromuscular weakness, and dose discrepancies in the administration of Cefoperazone Sulbactam and Gentamycin. Interventions were performed by discontinuing Heparin, monitoring electrolyte levels for the Gentamycin-MgSO4 interaction, and adjusting doses based on the patient's latest body weight. The conclusions from this DTM highlight the importance of collaboration among healthcare professionals in neonatal therapy to optimize therapeutic effects and prevent adverse complications. This report is expected to serve as a reference for implementing DTM in neonatal patients at other healthcare facilities. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan salah satu peran penting apoteker untuk memastikan terapi pasien yang aman, efektif, dan rasional. Laporan ini membahas PTO pada seorang pasien neonatal dengan diagnosis Hyaline Membrane Disease (HMD) dan Sepsis Neonatus Awitan Dini (SNAD) di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSPAD Gatot Soebroto. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif prospektif dengan pendekatan berdasarkan klasifikasi masalah terkait obat (PCNE V9.1). Hasil pemantauan menunjukkan tiga masalah terkait obat yang teridentifikasi, yaitu: interaksi mayor antara Cefoperazone Sodium dan Heparin Sodium yang menyebabkan tanda-tanda pendarahan, interaksi moderat antara Gentamisin dan MgSO4 yang dapat menyebabkan kelemahan neuromuskular, serta selisih dosis pada penggunaan Cefoperazone Sulbactam dan Gentamisin. Intervensi dilakukan dengan penghentian Heparin, pemantauan kadar elektrolit untuk interaksi Gentamisin-MgSO4, serta penyesuaian dosis berdasarkan berat badan pasien terbaru. Kesimpulan dari PTO ini menekankan pentingnya kolaborasi antar tenaga kesehatan dalam terapi pasien neonatal untuk mengoptimalkan efek terapi dan mencegah komplikasi yang merugikan. Diharapkan laporan ini dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan PTO untuk pasien neonatal di fasilitas kesehatan lainnya.

Drug Therapy Monitoring (DTM) is a vital role of pharmacists to ensure safe, effective, and rational therapy for patients. This report discusses DTM for a neonatal patient diagnosed with Hyaline Membrane Disease (HMD) and Early-Onset Neonatal Sepsis (EONS) in the Neonatal Intensive Care Unit (NICU) at RSPAD Gatot Soebroto. The study was conducted using a descriptive prospective method with an approach based on the classification of drug-related problems (PCNE V9.1). The monitoring results identified three drug-related problems, including a major interaction between Cefoperazone Sodium and Heparin Sodium leading to signs of bleeding, a moderate interaction between Gentamycin and MgSO4 potentially causing neuromuscular weakness, and dose discrepancies in the administration of Cefoperazone Sulbactam and Gentamycin. Interventions were performed by discontinuing Heparin, monitoring electrolyte levels for the Gentamycin-MgSO4 interaction, and adjusting doses based on the patient's latest body weight. The conclusions from this DTM highlight the importance of collaboration among healthcare professionals in neonatal therapy to optimize therapeutic effects and prevent adverse complications. This report is expected to serve as a reference for implementing DTM in neonatal patients at other healthcare facilities. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Pemetaan suhu ruang penyimpanan merupakan langkah penting dalam menjaga mutu, khasiat, dan keamanan obat sesuai pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Penelitian ini dilakukan di ruang penyimpanan obat narkotika PT. Kimia Farma Trading & Distribution Cabang Jakarta 1 untuk mengevaluasi kesesuaian suhu penyimpanan. Pengumpulan data dilakukan menggunakan thermo data-logger RC-5 yang dipasang di area terpilih berdasarkan tingkat fluktuasi suhu. Data suhu dicatat setiap 30 menit selama 3 hari berturut-turut, kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak Elitech Log V7.2.1 dan Microsoft Excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata suhu ruang penyimpanan pada area yang tidak langsung terpapar pendingin udara (thermo data-logger A) adalah 25,1°C, dengan suhu maksimum 25,4°C dan suhu minimum 25,0°C. Fluktuasi suhu sebesar 0,4°C mencerminkan kestabilan lingkungan penyimpanan. Namun, data pada area yang langsung terpapar pendingin udara (thermo data-logger B) tidak tersedia karena kendala teknis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa suhu ruang penyimpanan narkotika di area yang dianalisis masih sesuai dengan standar CDOB. Namun, diperlukan pemetaan tambahan dengan jumlah data logger yang lebih banyak untuk memastikan kesesuaian di seluruh area penyimpanan. Evaluasi rutin perlu dilakukan untuk menjaga kualitas penyimpanan, terutama pada area dengan risiko fluktuasi suhu tinggi.

Temperature mapping of storage rooms is essential for maintaining the quality, efficacy, and safety of medications in accordance with Good Distribution Practices (GDP). This study was conducted in the narcotics storage room of PT. Kimia Farma Trading & Distribution Jakarta Branch 1 to evaluate storage temperature compliance. Data collection was performed using an RC-5 thermo data-logger installed in selected areas based on temperature fluctuation levels. Temperature readings were recorded every 30 minutes over 3 consecutive days and analyzed using Elitech Log V7.2.1 software and Microsoft Excel. The results showed that the average temperature in the storage area not directly exposed to air conditioning (thermo data-logger A) was 25.1°C, with a maximum temperature of 25.4°C and a minimum of 25.0°C. The temperature fluctuation of 0.4°C reflects stability in the storage environment. However, data from the area directly exposed to air conditioning (thermo data-logger B) was unavailable due to technical issues. This study concludes that the storage room temperature for narcotics in the analyzed area complies with GDP standards. However, additional mapping with more data loggers is required to ensure compliance across the entire storage area. Routine evaluations are recommended to maintain storage quality, especially in areas with high-temperature fluctuation risks."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Resistensi antibiotik merupakan permasalahan kesehatan global yang memerlukan perhatian serius, terutama di negara-negara berkembang dengan tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi seperti Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan pengunjung Apotek Kimia Farma 321 Lamongrejo mengenai penggunaan antibiotik secara rasional dan memberikan intervensi edukasi terkait. Metode yang digunakan adalah observasional non-eksperimental dengan rancangan cross-sectional. Data dikumpulkan melalui survei terstruktur yang terdiri dari 16 pertanyaan serta dilengkapi dengan kegiatan edukasi dan pembagian brosur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik (60%), diikuti oleh sangat baik (20%), cukup (15%), dan kurang (5%). Analisis topik survei menunjukkan bahwa pengetahuan terkait cara penggunaan antibiotik memiliki tingkat pemahaman terendah (76,7%), dengan kesalahan persepsi terutama pada penghentian konsumsi antibiotik saat gejala membaik. Intervensi edukasi terbukti efektif dalam meningkatkan pemahaman responden terkait penggunaan antibiotik yang tepat. Kesimpulan penelitian ini menekankan pentingnya pelaksanaan edukasi berkelanjutan untuk mencegah resistensi antibiotik. Studi lanjutan dengan cakupan responden yang lebih luas dan pendekatan multidisiplin diperlukan untuk mengoptimalkan strategi pengendalian resistensi antibiotik.

Antibiotic resistance is a global health issue requiring serious attention, particularly in developing countries with high antibiotic usage rates, such as Indonesia. This study aims to evaluate the knowledge level of visitors to Kimia Farma Pharmacy 321 Lamongrejo regarding rational antibiotic use and to provide educational interventions on the subject. The study employed a non-experimental observational method with a cross-sectional design. Data were collected through a structured survey comprising 16 questions, complemented by educational activities and the distribution of brochures. The results indicated that the majority of respondents demonstrated a good level of knowledge (60%), followed by very good (20%), sufficient (15%), and poor (5%). Topic-specific analysis revealed that knowledge related to antibiotic usage had the lowest understanding level (76.7%), with misconceptions particularly evident in stopping antibiotic consumption when symptoms improve. Educational interventions proved effective in enhancing respondents’ understanding of proper antibiotic use. The study concludes that continuous educational efforts are essential to prevent antibiotic resistance. Further research with a larger sample size and a multidisciplinary approach is recommended to optimize strategies for controlling antibiotic resistance. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library