Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laode Harjudin
"Upaya memahami realitas kekuasaan telah melahirkan beragam konsep yang
cukup memperkaya khasanah teori poiitik. Teori dan analisis politik pun berkembang
bersamaan dengan perubahan pola dan realitas kekuasaan. Sebagian besar analisis
lebih banyak memahami fenomena kekuasaan pada level permukaan dari struktur
kekuasaan. Padahal pemapanan dan perubahan kekuasaan tidak terbatas pada upaya
kontroi mekanisme teknis-struktural, tetapi tak kalah hebatnya pengendaiian terhadap
wacana sosial dan kultural yang mewujud dalam konstruksi bahasa yang ditanamkan
secara ideologis.
Berangkat dan pemahaman di atas, Studi ini berusaha menjelaskan proses
pengokohan hegemoni kekuasaan melalui konstruksi dan pengendalian wacana poiitik
pada masa Orde Baru dengan memilih rentang waktu menjelang SU MPR 1998 hingga
munculnya Era Reformasi 1998. Karena itu, Studi ini berupaya menjelaskan 'bagaimana
proses konstruksi bahasa politik dalam memperkokoh hegemoni kekuasaan?
Sedangkan manfaat penelilian : secara teoritis, penelitian ini, diharapkan mampu
memperkaya keberagaman wawasan tentang kajian poliiik dari perspektif analisis
wacana kritis (critical discourse analysis), dan secara praktis dapat memberikan
konstribusi terhadap usaha memahami mekanisme penguasa dalam memperkokoh
hegemoninya.
Analisis kajian ini lebih banyak menekankan perspektif interpretatif dalam
paradigma kritik. Perspektif yang cukup memberi nuansa kritis adalah analisis wawna
kritis yang dikembangkan Nomian Fairclough. Perspektif ini berusaha menemukan
makna dari suatu teks dan berusaha menjelaskan proses produksi wacana dalam konteks sosial. Interpretasi dan makna teks dan, Iebih luas, wacana menghendaki
kehadiran hermeneutik yang dielaborasi oleh Gadamer dan Heidegger, sebagai sebuah
metode penafsiran. Sinergi dua perspektiftersebut bisa mampu mengungkapkan makna
dari permainan wacana yang implisit. Sehingga maksud-maksud terselubung pun
terdeteksi. Bahasa sebagai unit analisa dilihat dari kaca mata genealogis, Foucault. Dari
sini, bahasa tidak dilihat sekedar sebagai perkara gramatik, tetapi Iebih merupakan
ajang perlarungan kekuasaan. Ruang (space) tempat konflik berbagai kepentingan
polilik, kekuasaan, dan hegemoni tergelar.
Pada talaran yang Iebih konseptual, studi ini menemukan wujudnya pada
pemikiran Antonio Gramsci Dalam memandang kekuasaan, Gramsci Iebih
mengedepankan penekanan kultural-ideologis yang sekaligus, konsep ini, menandai
perpisahannya dengan konsep Manda yang economic determinant Gramsci
mengembangkan istilah hegemoni yang berarli konstruksi ideologi oleh pihak yang
dominan untuk mencapai konsensus dari pihak yang dikuasai melalui penggunaan
kepemimpinan moral, intelekual dan politik yang menjelmakan diri dalam bentuk
monopoli teks dan tafsirnya. Proses ke arah pencapaian dan restrukturisasi hegemoni
ditempuh dengan 'teknologisasi wacana'. Proses ini merupakan bagian dari stiategi
dominasi sosial kelompok yang dominan untuk memantapkan eksistensinya secara
hegemonik lewat kontrol praktek wacana (discursive practice).
Di masa kekuasaan rezim Orde Baru berlangsung, proses-proses seperti
dijelaskan itu telah memgroleh peneguhan selama Iebih kurang 32 tahun. Wacana
politik berhasil dikontrol dalam koridor negara Pancasila dengan mempropagandakan
kata ?pembangunan" dan ?stabilitasi". Di atas dan dengan kedua kata inilah berlangsung
pengoperasian ideologi yang menyamar dalam kemasan-kemasan wacana polilik.
Setiap bahasa politik yang mewujud dalam pemyataan-pernyataan elite di tingkat
negara selalu mencerminkan bias pro hegemoni negara. Argumen ?untuk kepentingan
bersama' tidak Iebih dari sebuah kalimat yang sarat muatan ideologi. Tujuannya untuk
merangkul keterlibatan banyak orang agar kekuasaan letap legitimate. Cara itu
merupakan penggiringan kesadaran sehingga masyarakat, secara perlahan-lahan
terhegemoni, dan kekuasaan tetap Iestari dalam genggaman tangan penguasa. Kecuali
ketika rakyat terbangun dari ketidaksadaran dan mulai menggugat berbagai hal, maka
bangunan kekuasaan mengalami keruntuhan. Tamatlah Orde Baru."
Lengkap +
2001
T2506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Harjudin
"Disertasi ini mengkaji perubahan desain institusional melalui amandemen konstitusi dengan fokus pada pertarungan kepentingan dan kekuasaan atas perubahan kekuasaan presiden dalam konteks demokrasi presidensial. Penelitian ini menjelaskan pertanyaan berikut: 1) Bagaimana interaksi kepentingan dalam proses pembahasan dan perdebatan tentang perubahan kekuasaan Presiden dalam amandemen UUD 1945? 2) Bagaimana sistem presidensial Indonesia yang terbentuk berdasarkan hasil perubahan kekuasaan presiden dalam amandemen UUD 1945?, 3) Faktor-faktor apa saja yang membuat sistem presidensial Indonesia dapat berjalan dan berbeda dibandingkan dengan sistem presidensial di negara-negara lain?
Studi ini menguji tiga teori utama: 1) teori kepentingan dari John Elster, 2) teori konsensus demokrasi dari Arent Lijphart dan Maswadi Rauf, dan 3) teori Scott Mainwaring tentang problematik sistem presidensial digabungkan dengan sistem multipartai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara dan penelusuran dokumen atau kepustakaan (library research) untuk memperoleh data.
Hasil Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses pembahasan amandemen konstitusi terutama berkaitan dengan kekuasaan presiden diwarnai pertarungan kepentingan yang menghasilkan system presidensial yang tidak menegaskan fungsi masing-masing cabang pemerintahan. Temuan penelitian ini menunjukkan proses pembahasan amandemen konstitusi terkait kekuasaan presiden diwarnai oleh tarik-menarik dua kepentingan yaitu kepentingan kelompok (partai) dan kepentingan institusional (eksekutif dan legislatif). Pertarungan kepentingan tersebut mencapai konsensus dengan melahirkan sistem presidensial model Indonesia yang berbeda dengan negara-negara lain dengan ciri utama ketelibatan presiden dalam proses pembahsan rancangan undang-undang bersama DPR. Temuan penting penelitian adalah faktor konstruksi konstitusi yang dapat mengatasi deadlock antara eksekutif dan legislatif dengan mekanisme saling bypassing antara presiden dan DPR dalam proses pengambilan keputusan.
Implikasi teoritis penelitian ini, menunjukkan bahwa teori kepentingan dari John Eslter tentang tiga tipe kepentingan ( kepentingan personal, kepentingan kelompok /partai politik, dan kepentingan institusional) tidak sepenuhnya berlaku. Dalam proses pembahasaan amandemen konstitusi lebih banyak terjadi pertarungan kepentingan kelompok (partai politik) dan kepentingan institusional. Sementara kepentingan personal kurang memainkan perannya. Studi ini mengkofirmasi teori konsensus demokrasi yang dikemukakan oleh Arend Lijphart dan Maswadi Rauf dimana pertarungan kepentingan para aktor bermuara pada konsensus sebagai bagian kesepakatan untuk lebih mengedepankan musyawarah ketimbang voting dalam pengambilan keputusan dan kekuatan fraksi-fraksi di MPR dalam proses pembahasana mandemen konstitusi relatif setara. Studi ini menunjukkan bahwa asumsi yang dibangun oleh Scott Mainwaring bahwa kombinasi presidensialisme dan multipartai dapat memungkinkan terjadinya deadlock yang berpotensi mengakibatkan kelumpuhan yang mengganggu kestabilan demokrasi tidak terbukti. Studi ini membuktikan sistem presidensial multipartai dapat berjalan di Indonesia dengan mengatasi masalah dalam hubungan eksekutif dan legislatif dengan konstruksi konstitusi yang, terutama, menciptakan mekanisme saling bypassing antara presiden dan DPR dalam pembahasan dan persetujuan undang-undang.

This study discusses the shift in institutional design resulting from a constitutional amandment that is centered on a conflict of interest and power over the change in presidential power in a presidential democracy. It aims to elaborate these three questions: first, the interaction of interests during the discussion and debate process concerning the change in the presidential power in the 1945 constitutional amendment; second, the presidential system that formed through the change in presidential power in the 1945 constitutional amendment; and third, the factors that allows Indonesia's presidential system to run and what distinguishes it with presidential systems in other countries.
This study aims to corroborate three main theories: first, John Elster's theory of interest; second, Arent Lijphart's and Maswadi Rauf's theory of democratic consensus; and third, Scott Mainwaring's theory concerning problems that arise when a presidential system merges with a multiparty system. This research uses a qualitative approach, an in-depth interview with the elites of the House of Representatives regarding the issue, and library research to acquire data.
This research concludes that the process of amending the constitution, specifically with regards to the presidential power, is highlighted with a conflict of interest, resulting in a presidential system that does not accentuate each of the governmental branches' function. The principal finding of this research reveals that in the process of amending the constitution, specifically the presidential power, there is a conflict of interest between the parties' interest and the institutional (executive and legislative) interest. One paramount finding of this research is the factors of constitutional construction that can overcome a deadlock between the executive and legislative using a bypassing mechanism between the president and the House of Representatives when making decisions.
The theoretical implication of this research shows that John Elster's theory of interest on the three types of interest (personal, political party, and institutional) does not fully apply. The reason is that the conflict of interest between the political party and the institutional interest is dominant, while there is only a fraction of personal interest. This study confirms Arend Lijphart's and Maswadi Rauf's democratic consensus theory, where the conflict of interest of the actors amounts to the consensus of all the parties, instead of using a voting system when making decisions. This study reveals that Mainwaring's assumption that combining a presidential and multiparty system could result in a deadlock that may disrupt the democratic stability is not applicable. The reason is that Indonesia adopts such system, but has never faced a deadlock.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2687
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library