Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Konda Kinanti Muroso
Abstrak :
Berdasarkan bentuk dari sel darah merah, mikrositik hipokromik anemia adalah tipe anemia yang paling sering dijumpai. Tipe ini bisa disebabkan oleh anemia dengan defisiensi besi atau beta thallasemia. Akan tetapi, tidak banyak literatur dan jurnal yang membahas tentang epidemiologi dari mikrositik hipokromik anemia. Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi proporsi dari mikrositik hipokromik anemia dan asosiasinya dengan umur dan jenis kelamin pada pasien rawat inap di RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dan data seperti umur, jenis kelamin, hasil hemoglobin, MCV dan MCH, dari pasien diambil pada bulan Maret 2011. 3197 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini, 1674 perempuan (52.4%), 1523 lelaki (47.6%). Pasien dengan mikrositik hipokromik anemia berjumlah 674 (21.1%). Umur median dari pasien dengan mikrositik hipokromik anemia adalah 46.50 tahun, sedangkan pasien tanpa mikrositik hipokromik anemia adalah 46 tahun (p = 0.791). Ditemukan 387 perempuan dengan mikrositik hipokromik anemia (23.1%) dan 287 lelaki dengan mikrositik hipokromik anemia (18.8%) (p = 0.03). Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada asosiasi antara umur dengan pasien yang mempunyai mikrositik hipokromik anemia. Akan tetapi, ditemukan asosiasi antara jenis kelamin dan mikrositik hipokromik anemia; jumlah wanita yang mempunyai mikrositik hipokromik anemia lebih banyak dibandingkan lelaki.
Worldwide, iron deficiency is one of the most frequent and significant causes of anemia. The commonest form of anemia is microcytic hypochromic anemia which may be caused by iron deficiency. This study aims to evaluate the proportion of microcytic hypochromic anemia and analyze its correlation with age and gender in the in-patient ward of RSUPN DR. Cipto Mangunkusomo. A cross-sectional study design was applied and the data on the patient?s age, gender, hemoglobin level, MCV and MCH level was taken on March 2011. 3197 subjects were included in this study, 1674 female (52.4%), 1523 male (47.6%). 674 subjects (21.1%) diagnosed with microcytic hypochromic anemia. The median age of patients with microcytic hypochromic anemia was 46.50 years old, while patients without microcytic hypochromic anemia was 46 years old (p = 0.791). There were 387 women (23.1%) found with microcytic hypochromic anemia, whereas, 287 men (18.8%) with microcytic hypochromic anemia (p = 0.03). Overall, the occurrence of microcytic hypochromic anemia is not associated with age, but an increased occurrence of microcytic hypochromic anemia was found in female patients as compared to male patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Konda Kinanti Muroso
Abstrak :
Sternotomi median saat ini merupakan akses utama untuk operasi jantung. Infeksi situs bedah (SSI) sternum adalah komplikasi yang menyusahkan dalam pembedahan jantung setelah median sternotomi. Insidensi SSI superfisial dan dalam pascaoperasi jantung bervariasi dari 1,3 hingga 12,8%. Bone wax adalah zat yang tidak dapat diserap dan diyakini bahwa bone wax dapat menyebabkan peradangan dan secara mekanis menghambat aktivitas osteoblastik, yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan risiko dehisensi sternum pascaoperasi. Selulosa Termodifikasi adalah alat pelindung sternum yang menutupi sternum setelah median sternotomi, dan memiliki perlindungan mekanis khusus yang mencegah lesi dan rasa sakit pascaoperasi. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi efektifitas Selulosa Termodifikasi dibandingkan dengan bone wax pada pasien pasca operasi jantung dalam mengurangi infeksi luka operasi pascaoperasi, efek hemostasis dari Selulosa Termodifikasi dibandingkan dengan bone wax, dan tingkat kepuasan para spesialis bedah Metodologi: Studi ini merupakan uji klinis terandomisasi, tunggal, dan dilakukan di sentral tunggal. Studi dilakukan pada pasien dewasa yang dilakukan operasi bedah jantung, dan dibagi menjadi kelompok yang menggunakan Selulosa Termodifikasi dan kelompok yang menggunakan bone wax. Keluaran pascaoperasi yang dinilai adalah infeksi luka operasi, pendarahan intraoperatif dari sternum, dan tingkat kepuasaan spesialis bedah. Hasil: Pasien pada kelompok Selulosa Termodifikasi memiliki infeksi luka operasi superifsial yang lebih rendah daripada kelompok bone wax, 2,9% vs 8,2%, p = 0,018. Kejadian infeksi luka operasi dalam juga lebih rendah pada kelompok Selulosa Termodifikasi dibandingkan kelompok bone wax, 1% vs 2,9%, p= 0,284 namun secara statistik tidak bermakna. Perdarahan sternum intraoperatif menunjukkan bahwa Selulosa Termodifikasi menyerap lebih banyak darah dibandingkan kelompok bone wax (84,97 ± 115,99 vs 81,18 ± 14,62, p = 0,012). Kesimpulan: Selulosa Termodifikasi memiliki kejadian infeksi pascaoperasi dan jumlah pendarahan dari sternum yang lebih rendah secara bermakna. dibandingkan dengan bone wax. ......Introduction: Median sternotomy is currently the main access for cardiac surgery. However, surgical site infection (SSI) of the sternum is a distressing complication in cardiac surgery after a median sternotomy. The incidence of postoperative superficial and deep SSI in cardiac surgery varies from 1.3 to 12.8%. In addition, bone wax is a nonabsorbable substance; it is believed that it may cause inflammation and mechanically inhibit osteoblastic activity, which may eventually lead to an increased risk of postoperative sternal dehiscence. Modified Cellulose is a sternal protection device that covers the sternum after median sternotomy, it has specific mechanical protection that prevents lesions on the sternum. The aim of this study was to evaluate the effectiveness of Modified Cellulose compared with bone wax in post-cardiac surgery patients in reducing surgical site infection, the hemostasis effect between Modified Cellulose compared with bone wax, and surgeons’ satisfaction. Methods: This study was conducted on adult patients who underwent cardiac surgery, and were divided into groups using Modified Cellulose and groups using Bone wax. Postoperative outcomes assessed were surgical wound infection, the quantity of blood lost from the sternal edges in the treatment and control group , and the degree of surgeon satisfaction. This study is a randomized, single, clinical trial conducted in a single centre Results: Patients in Modified Cellulose group developed less superficial surgical site infection compared to bone wax group (2.9% vs 8.2%, p = 0.018). Deep surgical site infection is also lower in the Modified Cellulose group compared to the bone wax group (1% vs. 2.9%, p = 0.284) but not statistically significant. Intraoperative sternal bleeding showed that Modified Cellulose absorbed more than the sterile drapes in the bone wax group (84.97 ± 115.99 vs 81.18 ± 14.62, p = 0.012). Conclusion: Modified Cellulose had a significantly lower incidence of postoperative infection and bleeding from the sternum compared to bone wax.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library