Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kiryanto
Abstrak :
ABSTRAK
Krisis ekonomi yang melanda negara-negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia, telah berdampak kurang menguntungkan bagi sektor perbankan. Berbagai pandangan berkembang menjadi polemik berkepanjangan menyusul terjadinya krisis ekonomi dan perbankan di negara-negara tersebut dengan segala argumentasinya. Sebelumnya krisis yang sama juga pernah terjadi di negara-negara Amerika Latin (Brasil, Chile, Meksiko, Argentina).

Bahkan krisis ekonomi di Argentina yang tak dapat dikendalikan oleh pemerintahnya mengejutkan seantero dunia menyusul mundurnya Presiden dan kabinet pemerintahan atas desakan rakyat yang semakin merana karena didera oleh krisis. Adalah tumpukan utang luar negeri yang (sekitar 130 milyar dolar AS) yang menyebabkan hancurnya kredibilitas pemerintah Argentina di mata rakyatnya sebingga mendesak dilakukannya pemilihan Presiden baru beserta kabinetnya.

Untuk kawasan Asia, bermula dari krisis ekonomi yang dipicu oleh gejolak nilai tukar di Thailand yang pada gilirannya mengimbas ke negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia. Pada saat itu tak seorang pun memperkirakan bahwa krisis ekonomi akan menjalar ke krisis perbankan dengan segala akibatnya.

Keterpurukan perbankan Indonesia semakin mendalam ketika terapi yang dijalankan pemerintah, yakni melikuidasi 16 bank swasta dan membekukan kegiatan usaha sejumlah bank lainnya, temyata direspon negatif oleh masyarakat luas. Tak sedikit pengamat dan analis dari dalam dan luar negeri mengecam langkah pemerintah yang dinilai berani itu. Sejak saat itu, kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan Indonesia mulai menurun. Ditolaknya sejumlah letter of credit (LOC) yang diterbitkan oleh bank-bank di Indonesia dalam transaksi perdagangan internasional, menunjukkan turunnya kepercayaan internasional.

Kendati Dana Moneter Interniasional (IMF) yang mulai masuk ke Indonesia pada bulan Oktober 1997 berada di belakang kebijakan yang tidak populer itu, namun kecaman dan sorotan tetap saja tertuju kepada pemerintah. Jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru tak pelak lagi merupakan akumulasi puncak kekecewaan masyarakat atas langkah-langkah yang ditempuh pemerintah yang dinilai justru semakin menjauhkan masyarakat dari level kesejahteraan yang memadai.

Keputusan pemerintah untuk menambah modal bank-bank yang bermasalah melalui program rekapitalisasi pada akhirnya bisa diterima semua pihak, kendati sebelumnya sempat terjadi polemik mengenai keputusan pemerintah tersebut. Keputusan politis yang diberikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengakhiri polemik itu, disusul langkah pemerintah menerbitkan obligasi senilai hampir Rp 500 trilyun untuk keperluan menambah modal bank-bank bermasalah.

Proses restrukturisasi perbankan mencakup restrukturisasi bidang operasional dan keuangan merupakan tahapan pealing dalam percepatan penyehatan perbankan, khususnya PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Universal Tbk. Pemilihan Bank BNI sebagai representasi bank milik pemerintah dan Bank Universal sebagai representasi bank swasta nasional dimana keduanya merupakan bank publik rasanya cukup tepat dan bisa dipenanggungjawabkan.

Didukung kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih propasar, program rekapitalisasi perbankan diharapkan dapat mendorong pemutihan sektor perbankan nasional yang pada gilirannya diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Yang lebih kritikal untuk menyehatkan perbankan adalah komitmen dan konsistensi manajemen bank-bank dalam menjalankan Business Plan dimana didalamnya mencakup target-target kuantitatif dan kualitatif yang harus dicapai (milestone). Hal ini sesual dengan Final Peformance Contract atau Kontrak Kinerja yang ditandatangani oleh manajemen bank-bank dan Pemerintah yang diwakili oleh Manteri Keuangan.

Dalam peIaksanaan restrukturisasi perbaikan memang dihadapkan pada berbagai hambatan dan kendala baik yang datang dan internal bank maupun eksternal bank. Kalau kinerja usaha Bank BNI dan Bank Universal pasca rekapitalisasi dijadikan sebagai studi kasus, hal ini cukup menarik mengingat ternyata kinerja yang dihasilkan diantara keduanya relatif berbeda.

Perbedaan yang mencolok tampaj pada kinerja tahun 2000 dan semester 1/ 2001 dimana Bank BNI secara kuantitatif mampu membukukan hasil usaha yang jauh lebih baik dibandingkan Bank Universal. Hal ini terutama tampak dari indikator laba bersih dan rasio kecukupan modal (CAR). Pada gilirannya perbedaan semakin tampak manakala Pemerintah memutuskan untuk menggabungkan Bank Universal dengan empat bank swasta nasional lainnya (Bank Bali, Bank Prima Ekspres, Bank Patriot, Bank Artha Media).

Secara umum dapat dikatakan bahwa tekanan yang dihadapi Bank BNI relatif lebih ringan dibandingkan yang dihadapi Bank Universal. ini terutama kalau mengacu pada masalah aktivitas kredit, dimana Bank Universal memiliki eksposur kredit yang besar kepada kelompok usaha sendiri sehingga melanggar, bukan saja melampaui, ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit atau BMPK (Legal Lending Limit LLL).

Bank Universal dihadapkan pada kesulitan untuk merestrukturisasi kreditnya karena sebagian besar tertanam di kelompok usaha sendiri. Hal ini berbeda dengan yang dihadapi Bank BNl, yang relatif lebih mudah dalam merestrukturisasi kreditnya karena tidak ada pelanggaran atas ketentuan BMPK. Restrukturisasi kredit menjadi salah satu faktor kunci dalam mendorong percepatan penyehatan bank.

Kemampuan Bank BNI dan Bank Universal mencetak laba positif pada tahun 2000 (masing-masing sebesar Rp 295 milyar dan Rp 3,5 milyar) dan per Juni 2001 (masing-masing sebesar Rp dan 1,05 trilyun dan Rp 6,2 milyar ) dan secara khusus kemampuan Bank BNI membukukan laba bersih yang mengesankan pada kuartal III/2001 (sebesar Rp 1,3 trilyun) cukup memberikan petunjuk bahwa pencapaian kinerja Bank BNI relatif jauh lebih baik dibandingkan Bank Universal, kendati pendapatan Bank BNI dari hasil bunga obligasi rekapitalisasi cukup dominan.

Kendati studi kasus ini hanya mencakup dua bank rekap, namun tetap menarik untuk mengkaji kenapa satu bank rekap (Bank BNI) secara relatif lebih berhasil dalam memperbaiki kinerjanya setelah direkap dibandingkan bank lainnya (Bank Universal). Ditambah dengan kajian singkat tentang perkembangan terakhir (per November 2001) kinerja bank-bank rekap, semakin mengukuhkan kesimpulan bahwa berhasil tidaknya manajemen bank-bank dalam meningkatkan kinerja usahanya pasca rekapitalisasi terpulang kembali kepada kapabilitas manajemen dalam mengimplementsikan Business Plan secara konsisten dan committed.

Menghadapi ikiim usaha yang diliputi ketidakpastian sebagaimana dinyatakan secara resmi oleh Gubernur Bank Indonesia pada awal tahun 2002, manajemen Bank BNI dan Bank Universal (sambil menunggu keputusan final mergernya) dituntut untuk mampu menyikapi perubahan Iingkungan usaha yang bergerak dinamis untuk menjaga dan meningkatkan kinerjanya.
2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library