Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indri Savitri
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada penerapan program intervensi berbasis Developmental-Individual-Relationship (DIR) yang dikembangkan oleh Greenspan dan Wieder (1998, 2000, 2006) bagi anak penyandang autis. Aspek Developmental memfokuskan pada tahap komunikasi fungsional yang akan dikembangkan pada anak. Aspek Individual menekankan pada penerimaan keunikan anak. Aspek Relationship menitikberatkan pada fokus relasi yang interaktif antara orangtua dan anak. Dasar pemikiran menggunakan pendekatan tersebut adalah autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif sehingga anak mengalami kendala dalam aspek pemrosesan sensorik dan mengembangkan kapasitas dalam komunikasi dan menjalin relasi sosial (social engagement). Pendekatan DIR sifatnya menyeluruh yang mencakup intervensi pada aspek pemrosesan sensorik dan social engagement. Tujuan dari penelitian ini agar anak penyandang autis dapat mengembangkan kemampuan untuk melakukan ’shared attention’, ’engagement’, dan ’purposeful emotional interaction’ yang merupakan tahap awal dari perkembangan komunikasi fungsional. Penelitian ini termasuk penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini adalah seorang anak laki-laki berusia 6,5 tahun yang mengalami gangguan autis dengan derajat berat. Ia tergolong low funetioning. Penelitian berlangsung selama 3 bulan dari Akhir September - Akhir Desember 2006. Program Intervensi pertama adalah pemberian terapi sensory intégration yang diberikan oleh ahli terapi di bidangnya dari Awal Oktober hingga Minggu kedua Desember 2006 di sebuah rumah sakit ibu dan anak selama 8 sesi. Intervensi kedua adalah diet yang diawasi oleh seorang dokter ahli alergi yang banyak menangani anak berkebutuhan khusus di rumah sakit yang sama. Program diet dilakukan dari bulan Oktober Minggu ke 2 sampai pelaksanaan keseluruhan intervensi selesai. Intervensi ketiga yaitu kegiatan floortime di rumah yang dilakukan oleh peneliti selama 22 sesi yang berlangsung dari tanggal 14 Desember - 20 Desember 2006. Dari 22 sesi tersebut, ibu dari Subjek juga dilibatkan untuk bermain dengan pendekatan floortime bersama dengan subjek. Pengumpulan data dilakukan dengan merekam proses intervensi secara audiovisual dan wawancara dengan ibu. Analisis data secara kualitatif merujuk pada perilaku yang menggambarkan masing-masing aspek dari komunikasi fungsional berdasarkan panduan Greenspan dan Wieder. Dari analisis film dan wawancara dapat disimpulkan bahwa: 1) terapi sensory intégration membantu S dalam melakukan shared attention atau pengembangan kapasitas komunikasi fungsional tahap pertama. Terapi sensory intégration memperbaiki fungsi pemrosesan informasi sensorik S sehingga S mulai dapat menerima ragam sensasi dan mulai menyimak lingkungan; 2) Intervensi dengan diet memperbaiki fungsi pencernaan sehingga S mulai memiliki regulasi dalam hal tidur. Diet juga membantu mengelola kebiasaan makan S menjadi teratur; 3) Terapi Jloortime mempermudah S mengembangkan kapasitas komunikasi fimgsionalnya baik dari shared attention, engagement, dan purposeful emotional interaction. Dengan catatan: selama Jloortime peneliti juga memperhatikan profil sensorik S sehingga terapis dapat mengatasi masalah perilaku yang terjadi dalam proses terapi; 4) Terapi Sensory Integration saja tidak cukup kuat untuk membantu S mengembangkan kapasitas komunikasi fungsionalnya. Terapi sensory integration fokus pada kemampuan S menerima dan memproses berbagai sensasi sehingga S dapat menyelesaikan tantangan selama terapi; 5) Terapi Fioortime tanpa diawali dengan perbaikan integrasi sensorik dan fungsi pencernaan juga sulit dilakukan karena perilaku S masih sulit diarahkan.
2007
T37866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Savitri
Abstrak :
Maslach memandang burnout sebagai sindrom psikologis yang meliputi tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan low personal accomplishment (Maslach, 1982; 1993). Dimensi kelelahan emosional mencerminkan terkurasnya sumber-sumber diri sehingga individu tidak mampu memberikan pelayanan dengan baik. Kemudian dimensi depersonalisasi ditandai oleh kecenderungan individu bersikap negatif dan sinis terhadap penerima pelayanan. Sedangkan dimensi low personal accomplishment mengacu pada penilaian negatif terhadap kinerja diri. Fenomena burnout umumnya dialami oleh profesional yang bekerja di bidang pelayanan sosial. Maslach (1993) serta Pines dan Aronson (1993) berpendapat bahwa para profesional di sektor pelayanan sosial selalu dituntut untuk memberikan pelayanan dengan baik. Hubungan antara pemberi dan penerima pelayanan yang bersifat asimetris menyebabkan pemberi pelayanan dituntut secara kontinyu memperhatikan kesejahteraan penerima pelayanan. Padahal selama proses pemberian pelayanan mereka menghadapi situasi yang kompleks sehingga rentan terhadap emosi negatif. Situasi yang kompleks tersebut misalnya penerima pelayanan yang tidak kooperatif, beban kerja, konflik dengan rekan kerja, sampai masalah birokrasi. Dengan berjalannya waktu energi pemberi pelayanan akan terkuras sehingga berkembanglah fenomena burnout. Dalam memahami proses burnout memang tidak terlepas dari teori stres umum (Chemiss, 1980). Ia menjelaskan Iebih lanjut, burnout diawali oleh adanya persepsi individu terhadap tuntutan pekerjaan yang berlebihan (stres). Kemudian individu berupaya mengatasi ketidaknyamanan akibat stres (coping). Ketika upaya mengatasi pemwasalahan selalu menemui kegagalan, individu menjadi tidak berdaya. Ketidakberdayaan tersebut menyebabkan individu menggunakan mekanisme pertahanan intrapsikis seperti menjaga jarak dari klien serta memperlakukan mereka secara sinis. Simtom-simtom tersebut mencerminkan individu mengalami burnout. Peneliti tertarik untuk melihat burnout pada guru SLB tuna ganda, yaitu individu yang mengajar siswa yang memiliki Iebih dari satu kelainan. Dawson dkk., (dalam Stieler, 1994) mengatakan bahwa guru SLB tuna ganda rentan terhadap timbulnya frustrasi karena menghadapi karakteristik siswa yang tidak responsif, labil secara emosi, dan daya tangkap siswa sangat terbatas. Kondisi ini menuntut perhatian dan pelayanan guru terus menerus secara individual. Selain itu tugas-tugas guru SLB tuna ganda pun beragam, selain melayani siswa secara individual, mereka juga memodifikasi perilaku siswa, menjalin kerjasama dengan orangtua dan profesional lain, serta menyelesaikan tugas-tugas tambahan lain. Dengan beragamnya tuntutan yang dihadapi guru SLB tuna ganda maka dengan berjalannya waktu, rnereka rentan terhadap burnout. Dengan demikian permasalahan yang ingin diteliti adalah bagaimanakah gambaran burnout yang dialami guru SLB tuna ganda pada dimensi kelelahan emosional, depersonalisasi, dan low personal accomplishment? Faktor-faktor apa sajakah yang merupakan sumber burnout?, serta bagaimanakah proses berkembangnya burnout yang dialami oleh guru SLB tuna ganda? Melalui wawancara mendalam diperoleh hasil sebagai berikut gambaran dimensi kelelahan emosionai ditandai dengan perasaan frustrasi, lelah secara psikologis, jenuh, dan tidak berdaya yang bersifat kronis. Kemudian gambaran dimensi depersonalisasi yang tercermin dari informan adalah kehilangan idealisme terhadap siswa, sikap apatis untuk menerapkan metode Iain, malas mengajar, serta perilaku mudah membentak siswa. Adapun dimensi low personal accomplishment yang dialami informan meliputi perasaan gagal sebagai guru, meragukan kompetensi diri, merasa tidak berharga, tidak ada keinginan untuk mengembangkan potensi diri di pekerjaan, tidak memiliki target (kecuali demi meraih kepangkatan), serta perasaan putus asa terhadap pekerjaannya. Adapun sumber-sumber burnout yang diperoleh dari penelitian ini meliputi empat matra yaitu keterlibatan dengan siswa, lingkungan kerja, individu, dan keluarga. Matra keterlibatan dengan siswa tuna ganda yaitu perasaan jenuh. kesal, dan Ielah menghadapi perubahan pada siswa yang sangat Iambat karena karakteristik siswa tuna ganda yang keterbelakangan mental, daya tangkap terbatas, labil secara emosi, serta tidak mampu menolong diri. Kondisi tersebut selalu menuntut kesabaran dan kompetensi guru untuk mengulang-ulang pelajaran dalam jangka waktu yang Iama. Sedangkan matra lingkungan kerja sebagai sumber burnout meliputi beban kerja secara kuantitas dan kualitas, konflik dengan rekan, kontrol yang rendah terhadap pekerjaan, konflik peran, ambiguitas peran, jalur komunikasi dari atas tidak jelas, sikap orangtua tidak kooperatif, serta dukungan sosial yang tidak dirasakan dari rekan dan atasan. Adapun matra individu yang merupakan sumber burnout adalah harapan yang tidak realistis terhadap siswa, konsep diri yang tergolong rendah, sikap tertutup, penekanan keberhasilan pada hasil akhir, locus of control cenderung eksternal, kurang gigih dalam berusaha, dan penghayatan terhadap makna kerja untuk mencapai kemapanan secara materi. Sedangkan matra keluarga yaitu konflik peran pada wanita bekerja. Penelitian ini juga memperoleh hasil bahwa burnout yang dialami informan berkembang karena strategi coping yang tidak adekuat dalam menghadapi permasalahan siswa dan permasalahan lain di tempat kerja. Informan menggunakan strategi coping yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan emosional (emotion-regulating function), seperti penghindaran terhadap masalah, penyangkalan terhadap masalah, maupun upaya melupakan permasalahan. Penggunaan strategi coping tersebut disebabkan oieh kegagalan berulang kali dalam mengembangkan siswa. Ada sejumlah faktor internal dan eksternal yang turut mempengaruhi kegagalan dalam mengembangkan siswa. Faktor eksternal meliputi karakteristik psikologis siswa tuna ganda dan sikap orangtua yang tidak kooperatif. Sedangkan faktor internal yang turut andil menyebabkan kegagaian dalam mengembangkan siswa meliputi: harapan yang tidak realistis terhadap siswa, locus of control cenderung eksternal, ragu terhadap kompetensi diri dan kurang gigih dalam berusaha. Penggunaan strategi coping yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan emosional memang adaptif untuk jangka pendek. Namun jika berlangsung lama, ternyata tidak efektif. Permasalahan yang dihadapi informan tetap muncul karena karakteristik siswa tuna ganda yang dihadapi informan merupakan stressor yang kronis. Dengan bertambahnya waktu energi informan terfokus untuk mengatasi pemasalahan yang tidak kunjung dapat diatasi sehingga semakin lama menguras sumber-sumber diri informan. Pada akhirnya informan mengalami humour, yaitu kelelahan emosional. Kemudian keIelahan emosional tersebut menyebabkan perkembangan depersonalisasi dan low personal accomplishment. Penelitian ini juga mendapatkan informan yang tidak mengalami burnout. Proses yang dialami informan yang tidak mengalami burnout yaitu mereka menggunakan strategi coping yang mengarah pada pemecahan masaIah. Hal ini tampak dari membuat program yang disesuaikan dengan kemampuan siswa, berkonsultasi dengan rekan, pakar, dan atasan mengenai masalah pekerjaan, selalu mencoba metode secara konsisten, membuat suasana belajar yang berbeda, serta mengisi hidup secara variatif. Penggunaan strategi coping tersebut dilakukan setelah informan dapat 'menerima keterbatasan siswa tuna ganda apa adanya'. Selanjutnya penggunaan strategi coping yang mengarah pada pemecahan masalah menyebabkan informan meraih keberhasilan dalam mengembangkan siswa setahap demi setahap. Keberhasilan yang diraih secara bertahap tersebut mengembangkan sense of personal accomplishment. Penelitian ini bersifat deskriptif sehingga perlu dikembangkan untuk penelitian selanjutnya dengan menggunakan desain korelasional maupun penelitian longitudinal untuk memahami keterkaitan antara sumber burnout, burnout, dan dampak dari burnout di Indonesia. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan pendekatan lain seperti pendekatan organisasional terhadap burnout. Sedangkan saran metodologis untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan triangulasi metodologis. Adapun saran praktis untuk informan yang mengalami burnout yaitu konseling karir untuk menetapkan harapan yang realistis serta menyadari kekuatan dan keterbatasan diri. Selain itu pemberian pelatihan seperti pelatihan keterampilan sosial dan pelatihan strategi coping yang adaptif, akan membantu informan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan mengatasi masalah. Pihak sekolah sebaiknya membentuk support group untuk mengembangkan dukungan sosial antara sesama guru maupun guru dengan orangtua siswa.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2656
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library