Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Wijaya
"Kepulauan Seribu sebagai satu-satunya wilayah kepulauan yang ada di Jakarta memiliki banyak keunggulan, diantaranya potensi di bidang pariwisata, khususnya wisata bahari. Sebagai daerah yang terdiri dari gugusan pulau-pulau, banyak potensi dan daya tarik yang dimiliki dan belum tergali selama ini mulai dari kekayaan laut, keindahan alam serta adat istiadat masyarakat Kepulauan Seribu. Berkaitan dengan potensi yang dimilikinya maka sangatlah penting bagi Kepulauan Seribu untuk membuat rumusan strategi bagi pengembangan pariwisata, terutama wisata bahari dengan melibatkan seluruh stakeholders yang ada dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Penelitian ini mencoba untuk menawarkan sebuah rumusan strategi yang didasarkan pada usaha untuk mensinergiskan beberapa pandangan dan preferensi para penilai yang diasumsikan sebagai "the experts" dalam bidang pengembangan pariwisata, terutama wisata bahari. Penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh beberapa penemuan empiris sebelumnya tentang strategi yang cocok untuk mengembangkan potensi pariwisata di Kepulauan Seribu. Beragamnya masukan mulai dari konsep perencanaan sampai pada rencana tindak (action plans) pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu menjadikan rumusan strategi ini tambah kompleks dan rumit. Hal ini disebabkan oleh banyaknya stakeholders yang memiliki kepentingan terhadap upaya pengembangan wisata bahari.
Dengan menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process (ABP), rumusan strategi pengembangan wisata bahari yang selanjutnya dijabarkan dalam pelaksanaan program-program dengan memperhatikan kepentingan stakeholders dapat ditentukan berdasarkan skala prioritas. Hasil yang diperoleh dari pendekatan AHP berdasarkan interaksi 3 kelompok stakeholders antara lain: (1) Masyarakat lokal lebih memprioritaskan program pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat dibandingkan 3 program lainnya dengan bobot prioritas 0.329. (2) Sementara PEMDA lebih menitikberatkan pada program pengadaan berbagai informasi dan promosi obyek wisata dengan bobot 0.379. (3)Pihak swasta/investor menginginkan program pengadaan sarana dan prasarana penunjang pariwisata yang memadai didahulukan dari program lainnya. Bobot prioritasnya sebesar 0.432.(4) Secara keseluruhan, jika ketiga kelompok dipertautkan berdasarkan kepentingan masingmasing dan kelompok pelaksana program maka diperoleh hasil sintesis bahwa program pengadaan informasi dan promosi obyek wisata harus menjadi prioritas utama dibandingkan program lainnya, dengan bobot prioritas 0.299 dan indeks inkonsistensi keseluruhan yang dapat diterima yakni sebesar 0.01.
Adapun saran atau rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yakni berkaitan dengan keterbatasan tools ini, walaupun pendekatan berdasarkan penilaian (jugments) "the experts" ini penting, namun pendekatan ini raja tidak cukup. Dibutuhkan pendekatan kuantitatif sebagai pembanding dari hasil sintesis ARP. Kedua pendekatan tersebut harus berjalan sinergis, sehingga preferensi the experts tidak terkesan mengutamakan subjektivitasnya belaka namun didasarkan pada pengamatan empiris serta analisis yang mendalam terhadap sebuah fenomena, khususnya tentang pariwisata bahari di Kepulauan Seribu."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T13603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Indra Wijaya
"Penelitian ini adalah mengenai pengukuran kualitas sebuah proyek dalam hal ini Projek Implementasi Modernisasi 3G Radio Access Netwrok. Ada tiga kendala yang dihadapi dalam proyek yang dikenal sebagai Triple Project Constraint. Tiga hal tersebut berupa Performance, Time dan Cost, di mana ketiga hal tersebut akan sangat mempengaruhi Scope yang merupakan output dari proyek yang dikerjakan. Dalam penelitian ini digunakan metode Lean-Six Sigma (Define, Measure, Analyze, Improve, Control - DMAIC). Dengan metode tersebut dapat dianalisa beragam kendala yang dihadapi, resiko - resiko yang mungkin terjadi dan bagaimana mengatasinya serta perbaikan agar proyek yang dikerjakan dan proyek selanjutnya lebih baik lagi.
Untuk menerapkan metode Lean-Six Sigma tersebut, digunakan beberapa tools, antara lain; Proses - proses dari PMBOK (Project Management Body Of Knowledge), diagram ishikawa, diagram pareto, PPMO sigma level serta PERT analysis. Hasil dari penelitian ini, ditemukan beberapa waste (pekerjaan yang tidak menghasilkan nilai tambah) yang ada dalam proses proyek tersebut. Dari data proyek yang dikerjakan, dapat ditentukan proses kerja yang dilakukan berada pada level sigma tertentu. Sedangkan, untuk output dari proyek yang dikerjakan, proyek tersebut memiliki benefit bagi kedua belah pihak. Misalnya adalah, bagi pihak pelaksana proyek tentunya mengharapkan margin dari proyek yang dilaksanakan, sedangkan bagi pihak pemberi proyek mendapatkan output dari proyek yang sesuai dengan kontrak perjanjian, antara lain; modernisasi perangkat 3G Radio Access Network, dimungkinkannya migrasi yang "halus" (smooth migration) menuju teknologi Long Term Evolution - LTE.

The measuring of the quality of a project is proposed. In this case Modernization Project Implementation 3G Radio Access Netwrok. There are three obstacles faced in the project that are known as the Triple Project Constraint. Three things are of Performance, Time and Cost, where those three things will greatly affect the Scope which is the output of the project done. In this study Lean-Six Sigma method (Define, Measure, Analyze, Improve, Control - DMAIC) is used. With these methods can be analyzed a variety of obstacles faced, the risks that might occur and how to handle projects and how the future of the project can be done better.
To apply the method of Lean-Six Sigma is used several tools, among others; The Process of PMBOK (Project Management Body Of Knowledge), Ishikawa diagrams, Pareto diagrams, PPMO sigma level and PERT analysis. The results of this research, found some waste (jobs that do not generate value added) in the process of the project. From data of the project, can be determined who carried out the work process at the level of a specific sigma. Meanwhile, for the output of the project, it has benefits for both parties. Example is, of course, the project expects margins of the projects implemented, whereas for the giver of the project to get the output of the project in accordance with contract agreements, among other 3G devices modernization Radio Access Network, the possibility of smooth migration toward Long Term Evolution - LTE technology.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
T28196
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Indra Wijaya
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas tentang pemindahan Ibu Kota Kabupaten Tangerang dari Kecamatan Tangerang ke Tigaraksa pada tahun 1987 hingga 2010.  Adanya Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang pengembangan Jabotabek, membawa dampak signifikan terhadap Kabupaten Tangerang, terutama wilayah Kecamatan Tangerang yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang. Guna mengimbangi laju pertumbuhan penduduk maupun ekonomi di Kecamatan Tangerang dan sekitarnya, maka dibentuk Kota Administratif Tangerang pada tahun 1981.  Kota Administratif Tangerang makin berkembang dari tahun ke tahun yang menyebabkan ketimpangan di Kabupaten Tangerang dalam hal demografi dan ekonomi ditambah dengan rencana pengembangan Kota Administratif Tangerang, maka Kabupaten Tangerang berencana memindahkan Ibu Kota Kabupaten Tangerang ke lokasi baru.  Pada pemilihan lokasi baru, terpilihlah Kecamatan Tigaraksa. Tigaraksa dipilih dikarenakan daerah tersebut masih sepi ditambah dengan adanya developer yang mempunyai lahan di daerah tersebut, yaitu PT. Panca Wiratama Sakti (PWS).  Dalam prosesnya pembangunan ini mengalami hambatan, salah satunya adalah krisis moneter yang menyebabkan proses pembangunan tidak sesuai target awal, walau hingga akhirnya pada tahun 2000 Tigaraksa resmi menjadi Ibu Kota Kabupaten Tangerang yang baru dan membawa dampak terhadap masyarakat maupun pemerintah daerah. Penelitian ini dilakukan dengan heuristik, kritik, dan interpretasi terhadap wawancara pegawai pemerintahan dan warga sekitar, dokumen Bappeda, surat kabar sezaman dan juga buku-buku terkait.

ABSTRACT
This Thesis discusses the displacement of the Capital of Tangerang Regency from Tangerang to Tigaraksa in 1987 to 2010. The presence of Presidential Instruction No.13 of 1976 concerning the development of Jabotabek, had a significant impact on Tangerang Regency, especially the Tangerang Sub-distric and surrounding sub-distric which are also the Capital of Tangerang Regency.  In order to keep pace with population and the economic growth in Tangerang Sub-distict and surrounding sub-district, the Administrative City of Tangerang was formed in 1981. In kept growing from year to year which caused inequality in Tangerang Regency in terms of demography and economy coupled with its development plan.  The Tangerang Regency planned to move the Capital of Tangerang Regency to new location. In the process of selecting a new location, Tigaraksa Sub-District was chosen, because the area was still quiet, coupled with the existence of developers who owned land in the area, namely PT. Panca Wiratama Sakti (PWS). In the process of this development,it experienced obstacles, one of which was the monetary crisis which caused the development process that was not in accordance with the initial target, even though finally in 2000, Tigaraksa officially became the new Capital of Tangerang Regency and had an impact on the society and local government. This research was conducted with heuristics, criticism and interpretation by interviewing government officials and local people, and also with the documents of Bappeda, contemporary newspapers and related books."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wijaya
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S17953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Indra Wijaya
"Rekam medis elektronik (RME) telah diimplementasikan di Rumah Sakit Khusus BIMC sejak tahun 1998. Pada tahun 2005, BIMC berganti status dari sebuah sentra medis menjadi sebuah rumah sakit khusus. RME dimodifikasi sesuai kebutuhan. Hingga tahun 2011, belum pernah dilakukan evaluasi terhadap RME. Metode penelitian ini adalah explanatory sequential yang merupakan kombinasi metode kuantitatif dengan metode kualitatif, dengan metode kuantitatif dilakukan terlebih dahulu.
Penelitian kuantitatif dilakukan dengan menyebarkan self-assessment questionnaire kepada seluruh pengguna RME yaitu dokter, perawat, administrator, staf radiologi, staf farmasi, dan staf teknologi informasi (TI), sedangkan penelitian kualitatif dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi dengan peran peneliti sebagai human instrument.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa atribut RME berpengaruh terhadap kinerja RME dengan atribut presentation sebagai atribut RME yang paling berpengaruh. Penelitian juga mendapatkan adanya faktor lain yang berpengaruh terhadap kinerja RME, yaitu kemampuan pengguna RME dan perangkat keras. Untuk meningkatkan kinerja RME perlu dilakukan peningkatan terhadap semua faktor yang berpengaruh terhadap kinerja RME.

Electronic medical record (EMR) has been implemented in BIMC since 1998. In 2005, BIMC developed into a hospital from a mere medical center. EMR was adjusted to the needs then. Up to 2011, EMR has not been formally evaluated. This study is a mixed methods research, namely explanatory sequential design, in which quantitative research was performed previously followed by qualitative one.
Quantitative data was derived by distributing self-assessment questionnaires to the EMR users consists of doctors, nurses, administrators, radiology staff, pharmacy staff, and IT staff. Qualitative data was obtained from interview, observation, and documentation with researcher as the human instrument.
The results showed that EMR attributes influenced its performance with presentation as the most influential attribute. Research revealed that there are two other factors influencing EMR performance. They are EMR users? ability and hardware. EMR performance can be increased by improving those three factors mentioned above.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31801
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wijaya
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang ada atau tidaknya pengaruh antara dimensi atau variabel intrinsik religiusitas, ekstrinsik religiusitas, materialisme dan long term orientation terhadap tujuh dimensi dari etika konsumen. Pengumpulan data menggunakan teknik convenience sampling secara offline. Dari pengumpulan dan pengolahan data dengan program IBM SPSS Statistic 22 yang dilakukan terhadap 550 responden masyarakat kota Depok, dapat ditemukan bahwa social (ekstrinsik religiusitas) dan planning (long-term orientation) berpengaruh negatif terhadap passive, active, legal, dan no harm/no foul. Sedangkan materialisme berpengaruh positif terhadap active, illegal, passive, active, legal, no harm/no foul dan downloading. Social (ekstrinsik religiusitas), tradition dan planning (long-term orientation) berpengaruh positif terhadap recycling dan doing good. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa sikap negatif akan menyukai atau melakukan kegiatan tidak etis dan menghindari kegiatan yang etis dari perilaku konsumen.

ABSTRACT
This study aimed to investigate the influence between dimensions or variables of intrinsic religiosity, extrinsic religiosity, materialism and long-term orientation towards 7 dimensions of ethical consumers. Data collected using a convenience sample techniques and delivered offline. From the collection and processing of data by IBM SPSS Statistics 22 program, conducted on 550 respondents from Depok city community. It can be found that social (extrinsic religiosity) and planning (long-term orientation) negatively affect the passive, active, legal, and no harm / no foul. While materialism have positive affect on active, illegal, passive, active, legally, no harm / no foul and downloading. Social (extrinsic religiosity), tradition and planning (long-term orientation) have positive affect on recycling and doing good. This suggests that some of the negative attitudes would have or liked unethical behavior and avoid activities that ethical towards consumer behavior.
"
2016
S63113
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franky Indra Wijaya
"Latar Belakang: Angka mortalitas penyakit kritis menurun di seluruh dunia, namun pasien yang selamat mengalami disabilitas fungsional yang signifikan akibat penghancuran otot. Kelemahan otot yang terjadi pada pasien ICU (Intensive Care Unit) ini disebut sebagai ICU-AW (Intensive Care Unit Acquired Weakness). Penilaian tebal otot diafragma telah dipakai untuk memprediksi usaha napas dan penggunaan ventilator. Pennation angle merupakan pola susunan serat otot dalam hubungannya dengan aksis otot yang berfungsi sebagai penghasil kekuatan otot.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan perubahan pennation angle otot rektus femoris yang berhubungan terhadap perubahan tebal otot diafragma.
Metode: Sebanyak 34 subjek penelitian yang dirawat di Intensive Care Unit dengan menggunakan ventilasi mekanik, dilakukan penghitungan tebal otot diafragma dan pennation angle otot rektus femoris hari pertama hingga hari kelima perawatan menggunakan ultrasonografi. Kemudian dihitung rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dan perubahan tebal otot diafragma serta dilakukan analisa korelasi.
Hasil: Tidak terdapat korelasi antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dengan rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga kelima (R = 0,041 - 0,211, p = 0,231 - 0,816). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari pertama (R = -0,615 hingga -0,777, p = 0,001). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima (R = 0,471 - 0,728, p = 0,001 - 0,005). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga kelima dengan tebal otot diafragma hari pertama (R = -0,538 hingga -0,710, p = 0,001).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dengan rasio perubahan tebal otot diafragma. Terdapat korelasi negatif antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga hari kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari pertama. Terdapat korelasi positif antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan
pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima. Terdapat korelasi negatif antara rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga hari kelima dengan tebal otot diafragma hari pertama.

Background: Critical disease mortality rates decline worldwide, but survivors experience significant functional disability due to muscle destruction. Muscle weakness that occurs in ICU patients is referred to as ICU-AW. Assessment of diaphragm muscle thickness has been used to predict breathing effort and ventilator use. Pennation angle is a pattern of muscle fibers in relation to muscular axis that functions as a muscle strength.
Purpose: Determine the changing ratio in pennation angle of the rectus femoris muscle which is associated with changing ratio of diaphragm muscle thickness.
Methods: 34 research subjects who were admitted to the Intensive Care Unit using mechanical ventilation, thickness of diaphragm muscle and pennation angle of the rectus femoris muscle were measured on the first day until the fifth day of treatment using ultrasonography. Then the changing ratio of diaphragm muscle thickness and the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle were calculated on the second to the fifth day then the correlation analysis were done.
Result: There was no correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle with the changing ratio of diaphragm muscle thickness on the second to the fifth day (R = 0.041 - 0.211, p = 0.231 - 0.816). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with pennation angle of the rectus femoris muscle on the first day (R = -0,615 to -0,777, p = 0.001). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day (R = 0.471 - 0.728, p = 0.001 - 0.005). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of diaphragm muscle thickness of the second to the fifth day with the diaphragm muscle thickness on the first day (R = -0,538 to -0,710, p = 0.001).
Conclusion: There is no correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle with the changing ratio of diaphragm muscle thickness. There is a negative correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with the first day of pennation angle of the rectus femoris muscle. There is a positive correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with the rectus femoris muscle pennation angle on the second to the fifth day. There is a negative correlation between the diaphragm thickness changes on the second to the fifth day with the thickness of the diaphragm muscle on the first day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wijaya
"Latar Belakang: Sindrom renal-retinal diabetes (SRRD) merupakan koinsidensi nefropati dan retinopati diabetik yang menimbulkan komplikasi serius berupa penurunan kualitas hidup dan peningkatan mortalitas dengan risiko kardiovaskular sebesar 4,15 kali lipat. Sementara itu, angka deteksi dini retinopati dan nefropati masih rendah dan faktor-faktor yang berhubungan dengan SRRD pada penyandang DMT2 di Indonesia belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom renal-retinal diabetes pada DMT2 di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang yang dilakukan pada 157 subjek DMT2 berusia > 18 tahun. Data karakteristik subjek didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan foto fundus retina, dan pengambilan sampel darah dan urin. Hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan SRRD dianalisis secara bivariat dengan chi square dan multivariat dengan regresi logistik menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 21.0.
Hasil: Sebanyak 157 pasien terlibat dalam penelitian ini. Prevalensi SRRD adalah 28,7%, dengan rerata usia 56 (27-76) tahun, rerata IMT 25,7 (21,3-33,8) kg/m, median durasi DM 12 (1-25) tahun dengan HbA1c 8,6 (4,8-15,8) %, prevalensi hipertensi 86,7%, prevalensi dislipidemia 91%, 76,4% pasien tidak merokok, 33,3% pasien albuminuria derajat A2 dan 66,7% derajat A3. Pada SRRD, prevalensi derajat nefropati berdasarkan klasifikasi adalah 0% risiko rendah, 13,3% risiko sedang, 20% risiko tinggi, dan 66,7% risiko sangat tinggi dan prevalensi derajat retinopati diabetik adalah 42,2% NPDR, 55,6% PDR, 24,2% DME, dengan angka deteksi dini retinopati dan nefropati adalah sebesar 20% dan 17,8%. Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara durasi DM (p=0,001) dan albuminuria (p=0,008) dengan kejadian SRRD.
Simpulan: Proporsi SRRD pada penyandang DMT2 cukup tinggi (28,7%) dan pada studi ini, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian SRRD pada DMT2 adalah durasi DM dan albuminuria.

Backgrounds: Diabetic renal-retinal syndrome (DRRS) is a coincidence of diabetic nephropathy and retinopathy that cause serious complications as decreased quality of life and increased mortality with cardiovascular event risk 4,15 times higher. Meanwhile, early detection rate of retinopathy and nephropathy are still low and associated factors of DRRS among Indonesian type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients has not been known.
Objective: To obtain the factors related to DRRS among T2DM patients in Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods: This was a cross-sectional study involving 157 T2DM subjects aged 18 characteristics were obtained from anamnesis, physical examination, retinal fundus, and blood and urine sample. Bivariate and multivariate analysis using statistical package for the social sciences (SPSS) version 21.0 was used to analyze the factors related to DRRS.
Results: 157 patients were included in this study. The prevalence of DRRS was 28,7% with median age was 56 (27-76) year old, mean BMI was 25,7 (21,3-33,8) kg/m2, median duration of DM was 12 (1-25) year old and HbA1c 8,6% (4,8-15,8%), prevalence of hypertension was 86,7%, prevalence of dyslipidemia was 91%, 76,4% patients were not smoker, 33,3% patients with albuminuria grade A2 and 66,7% patients with grade A3. In DRRS, the prevalence of nephropathy was classified as 0% low risk, 13,3% moderate risk, 20% high risk, and 66,7% very high risk and the the prevalence of diabetic retinopathy was 42,2% NPDR, 55,6% PDR, 24,2% DME with early detection rate of retinopathy and nephropathy were 20% and 17,8%. Bivariate and multivariate analysis showed significant correlation with duration of DM (p=0,001) and albuminuria (p=0,008) with DRRS.
Conclusions: DRRS proportion in T2DM was high (28,7%) and this study showed that duration of DM and albuminuria were correlated with DRRS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Indra Wijaya
"Kebijakan kontra-terorisme adalah salah satu pilar utama Indonesia melawan terorisme serta upaya mencegah adanya serangan serangan teror di seluruh wilayah Indonesia. Penelitian ini berusaha memberikan penilaian obyektif terhadap efektivitas kebijakan kontra-terorisme Indonesia. Aksi-aksi serangan teror yang masih terjadi di Indonesia, terutama selama periode 2009 – 2018 adalah salah satu indikator ketidakefektivan kebijakan kontra-terorisme Indonesia. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah mengapa kebijakan kontra-terorisme Indonesia masih kurang efektif. Banyak pendapat menyatakan bahwa salah satu sebab ketidakefektivan kebijakan kontra-terorisme di Indonesia adalah ketidakmampuan regulasi tentang pemberantasan tindak pidana terorisme memberikan landasan hukum untuk mencegah serangan teror sebelum kejadian. Tesis ini mengajukan alternatif jawaban terhadap pertanyaan mengapa kebijakan kontra-terorisme Indonesia dinilai kurang efektif. Pertama, berdasarkan tipologi Zelinsky dan Shubik, terjadi evolusi perubahan organisasi teroris di Indonesia. Kedua, berdasarkan kerangka pemikiran Ranya Ahmed, terjadi perubahan target sasaran serangan teror di Indonesia. Ketiga, menurut Leo Suryadinata dan Kirsten Schulze terjadi perubahan taktik operasional dari kelompok teroris di Indonesia. Ketiga kerangka pemikiran tersebut memberikan hipotesa penelitian bahwa evolusi perubahan kelompok teror di Indonesia tidak dapat diakomodasi oleh kebijakan kontra-terorisme yang ada. Kebijakan yang kurang beradaptasi terhadap evolusi kelompok teroris di Indonesia menjadikan kebijakan kontra-terorisme kurang efektif mencegah serangan aksi teror di Indonesia.

Counter-terrorism policy is a main pilar on Indonesia’s attempt to eradicate terrorism and also an effort to prevent terrorists’ attacks within the territory. This study aims to objectively measures the effectivity of Indonesian counter-terrorism policy. Terrorists’ attacks which still happened within the period of 2009-2018 were a clear indication that the counter-terrorism policy remains ineffective. Hence, the main question in this study is why the policy is still ineffective. Previous studies suggest that Indonesian laws and regulations do not accommodate appropriate measures to prevent terrorists attacks from happening. This study would like to add an alternative answer to the question. It is important to acknowledge in this study that terrorists’ networks do evolve. A study made by Zelinsky and Shubik recognised terrorists organisation and structure might evolve based on command and financial structures. Another study made by Ranya Ahmed concluded that terrorist networks have different targets in their actions. Another study also assumed that terrorist networks might change their operational tactics due to modification in technology. Based on those assumptions, a working hypothesis of this study is Indonesian counter-terrorism policy is not flexible enough and not able to accommodate different evolutions of Indonesian terrorist networks."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Indra Wijaya
"Sejak tahun 2020 dan selama pandemi COVID-19, Indonesia mewajibkan pemakaian masker di semua aktivitas kerja termasuk di dalam perusahaan. Oleh karena itu, PT.X mewajibkan semua pekerjanya menggunakan masker termasuk pekerjaan fisik dan sesuai dengan standar pemerintah dan kemudahan bernapas maka dipilihlah masker medis 3 lapis. Melalui observasi pendahuluan menunjukkan dari 12 pekerja fisik, 92% merasakan keluhan cepat lelah dan sesak napas ketika bekerja, sehingga penelitian ini bertujuan ingin mengetahui hubungan antara pemakaian masker medis 3 lapis melalui %CVL (cardiovascular load) dengan keluhan kesehatan subjektif pada pekerja fisik. Hasil dari penelitian melalui analisis tabel silang/crosstab antara variabel “jenis keluhan kesehatan subjektif” dengan “%CVL” menunjukkan terdapat hubungan antar variabel “jenis keluhan kesehatan subjektif” dan variabel “%CVL” dengan interpretasi semakin tinggi %CVL suatu pekerjaan fisik maka semakin tinggi risiko negatif terhadap keluhan kesehatan subjektif (seperti keluhan cepat lelah sampai sesak napas). Kemudian, untuk analisis tabel silang/crosstab antara variabel “waktu mengalami keluhan kesehatan subjektif” dengan “%CVL” menunjukkan terdapat hubungan antar variabel dengan interpretasi semakin tinggi %CVL suatu pekerjaan fisik maka semakin semakin cepat pekerja merasakan keluhan kesehatan subjektif tersebut. Sedangkan, untuk parameter lain seperti karakteristik pekerja dan kondisi lingkungan kerja di PT.X tidak menunjukkan hubungan dan interpretasi yang bermakna terhadap keluhan kesehatan subjektif pekerja fisik ketika penggunaan masker. Sehingga, dapat disimpulkan secara umum bahwa terdapat hubungan antara pemakaian masker medis 3 lapis melalui %CVL dengan keluhan kesehatan subjektif pada pekerja fisik, semakin besar nilai %CVL (atau semakin lelah) maka semakin berat keluhan kesehatan subjektif yang dialami (cepat lelah sampai sesak napas) dan semakin cepat pekerja fisik mengalami keluhan kesehatan subjektif dalam 1 putaran pekekerjaan. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penilaian kembali bahaya dan risiko pemakaian masker pada pekerjaan fisik di perusahaan untuk menemukan pengendalian yang lebih memadai.

Since year 2020 and during COVID-19 pandemic period, in Indonesia, mask usage is mandatory for every working activites including in industry. Hence, mask usage is mandatory in PT.X including for physical activities and based on local/government regulation also breathability aspect, PT.X decided to use 3 ply medical mask as standard mask. From pre observation that had already been conducted revealed that from 12 physical workers as respondent, 92% were experiencing health issue during wearing the mask. Then, this condition proves that wearing the mask during physical activity resulting new hazard that need to be mitigated properly. The purpose of researcher in this thesis is to find relation between 3 ply medical mask usage through %CVL (cardiovascular load) measurement with subjective health issue of physical workers. The result of this research from crosstab analysis between variable “health issue type” vs “%CVL” shows meaningful relation with interpretation the higher of %CVL from physical activity will impact to higher risk of negative health issue (tired quickly until shortness of breath). Then, for crosstab analysis between variable “experiencing health issue times” vs “%CVL” shows meaningful relation with interpretation the higher of %CVL from physical activity will make respondent feel subjective health issue faster. While, for other parameters (worker characteristic and workplace area characteristic in PT.X) vs variable of “health issue type” and “experiencing health issue times” show no meaningfull relation and interpretation. Hence, in general, we can conclude that there is meaningfull relation between 3 ply mask usage through %CVL measurement with health issue of physical workers. The higher of %CVL value or more tired condition of the physical worker resulting more severe for the health issue such us feel tired quickly until shortness of breath and in term of the time, worker will get this health issue faster in one work cycle. Considering this condition, the %CVL value can be as refference/baseline to do reassessment regarding hazard and risk for mask usage during physical work/activity in the workplace area to find further sufficient mitigation."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>