Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Prasetya
"[ABSTRAK
Business Transfer adalah salah satu bentuk corporate action yang banyak terjadi di antara
kalangan pengusaha di dalam prakteknya dewasa ini. Ketentuan Undang-undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Undang-undang Perseroan Terbatas) tidak mengatur
secara tegas mengenai Business Transfer, namun mengatur mengenai pemisahan yang
memiliki kesamaan unsur-unsur dengan statu Business Transfer. Walaupun demikian,
pengaturan mengenai pemisahaan di dalam Undang-undang ini masih sangat terbatas, dan
belum ada suatu peraturan pelaksanaan terkait pelaksanaan pemisahan oleh suatu Perseroan
Terbatas. Penelitian hukum ini mengemukakan dan berusaha meneliti tiga pokok
'permasalahan, yakni: (i) apakah pelaksanaan Business Transfer dapat dianggap sebagai suatu
pemisahan menurut Undang-undang Perseroan Terbatas; (ii) Bagaimanakah tata cara
pelaksanaan pemisahan menurut Undang-undang Perseroan Terbatas; dan (iii) apakah
pelaksanaan Business Transfer oleh suatu perseroan terbatas, yakni PT. SSAT telah
memenuhi ketentuan mengenai pemisahan yang diatur di dalam Undang-undang Perseroan
Terbatas. Dengan menggunakan metode penelitian normatif untuk menjawab pokok-pokok
permasalahan diatas, dapat diketahui bahwa pada hakikatnya pelaksanaan suatu Business
Transfer dapat dipandang sebagai pemisahan. Dengan mendasarkan pada Undang-undang
Perseroan Terbatas, pelaksanaan suatu pemisahan harus memenuhi ketentuan Pasal 127
iuncto Pasal 87 ayat (l) mengenai pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat dan
Pasal 89 Undang-undang Perseroan Terbatas ketentuan mengenai kuorum Rapat Umum
Pemegang Saham. Sedangkan berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan terhadap
Business Transfer yang dilakukan oleh PT. SSAT, dicapai kesimpulan bahwa pelaksanaanya
belum memenuhi syarat-syarat prosedural dari pemisahan yang diatur di dalam Undangundang
Perseroan Terbatas. Ketiadaan pengaturan yang menyeluruh mengenai pemisahan di
dalam prakteknya dapat menimbulkan kerancuan dan potensi diabaikannya kepentingan
pihak ketiga.

ABSTRACT
Business Transfer is one of corporate action which often occurred in the midst of
entrepreneurs as of late. The provisions under Law Number 40 Year 2007 on Limited
Liability Company (Company Law) does not regulate expressly about business transfer, only
spin-off which may seem to have similar traits to a business transfer. However, provisions
related to spin-off under the Company Law is also still very limited, and there has been no
implementing regulation on spin-off issued by the Government. This legal research focuses
on three issues, which are: (i) whether a business transfer can be deemed as a spin-off under
the Company Lawl' (ii) how is a spin-off canied out under the Company Law1' and (iii)
whether the performance of a business transfer by a company named PT. SSAT has been
carried out in accordance to the provisions concerning spin-off under the Company Law.
Using a normative method to obtain answers to the abovementioned issues, it is found that
principally, a business transfer can be deemed as a spin-off. Based on the Company Law, the
canying out of a spin-off must be made in accordance to Article 127 concurrently with
Article 87 Paragraph (1) conceming the passing of a resolution based on consensus and
Article 89 of the Company Law concerning the quorum of a General Meeting of
Shareholders. On the other hand, an empirical research on the carrying out of a business
transfer by PT. SSAT proves that its performance was not made in accordance to the
procedural requirements of a spin-off under the Company Law. The absence of a thorough
regulation on spin-off in its practice may very well cause ambiguity and potentially cause
uncertainty towards the interests of third parties.;Business Transfer is one of corporate action which often occurred in the midst of
entrepreneurs as of late. The provisions under Law Number 40 Year 2007 on Limited
Liability Company (Company Law) does not regulate expressly about business transfer, only
spin-off which may seem to have similar traits to a business transfer. However, provisions
related to spin-off under the Company Law is also still very limited, and there has been no
implementing regulation on spin-off issued by the Government. This legal research focuses
on three issues, which are: (i) whether a business transfer can be deemed as a spin-off under
the Company Lawl' (ii) how is a spin-off canied out under the Company Law1' and (iii)
whether the performance of a business transfer by a company named PT. SSAT has been
carried out in accordance to the provisions concerning spin-off under the Company Law.
Using a normative method to obtain answers to the abovementioned issues, it is found that
principally, a business transfer can be deemed as a spin-off. Based on the Company Law, the
canying out of a spin-off must be made in accordance to Article 127 concurrently with
Article 87 Paragraph (1) conceming the passing of a resolution based on consensus and
Article 89 of the Company Law concerning the quorum of a General Meeting of
Shareholders. On the other hand, an empirical research on the carrying out of a business
transfer by PT. SSAT proves that its performance was not made in accordance to the
procedural requirements of a spin-off under the Company Law. The absence of a thorough
regulation on spin-off in its practice may very well cause ambiguity and potentially cause
uncertainty towards the interests of third parties., Business Transfer is one of corporate action which often occurred in the midst of
entrepreneurs as of late. The provisions under Law Number 40 Year 2007 on Limited
Liability Company (Company Law) does not regulate expressly about business transfer, only
spin-off which may seem to have similar traits to a business transfer. However, provisions
related to spin-off under the Company Law is also still very limited, and there has been no
implementing regulation on spin-off issued by the Government. This legal research focuses
on three issues, which are: (i) whether a business transfer can be deemed as a spin-off under
the Company Lawl' (ii) how is a spin-off canied out under the Company Law1' and (iii)
whether the performance of a business transfer by a company named PT. SSAT has been
carried out in accordance to the provisions concerning spin-off under the Company Law.
Using a normative method to obtain answers to the abovementioned issues, it is found that
principally, a business transfer can be deemed as a spin-off. Based on the Company Law, the
canying out of a spin-off must be made in accordance to Article 127 concurrently with
Article 87 Paragraph (1) conceming the passing of a resolution based on consensus and
Article 89 of the Company Law concerning the quorum of a General Meeting of
Shareholders. On the other hand, an empirical research on the carrying out of a business
transfer by PT. SSAT proves that its performance was not made in accordance to the
procedural requirements of a spin-off under the Company Law. The absence of a thorough
regulation on spin-off in its practice may very well cause ambiguity and potentially cause
uncertainty towards the interests of third parties.]"
2015
T44053
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Prasetya
"ABSTRAK
Genderang perang harga yang dimulai oleh sejumlah maskapai penerbangan baru
telah menyulut kegerahan maskapai-maskapai lainnya yang sudah sejak lama bermain di
industri penerbangan nasionaL Kegerahan tersebut timbul karena adanya kekhawatiran
dan maskapai-maskapaj penerbangan lama yang merasa takut kehilangan konsumennya
oleh ulah masakapal-maskapal baru yang menetapkan harga yang sangat murah bahkan
hingga mencapai batasan harga minimum INACA. Agar tidak tersisih dan persaingan,
mau tidak mau maskapai-maskapaj penerbangan yang lama pun akhirnya ikut-ikutan
menetapkan harga yang semurah-murahnya bagi konsumen. Akibatnya hampir seluruh
maskapai penerbangan nasional saat ini ikut dalam perlombaan saling memperebutkan
konsumeri dengan cara-cara yang dapat dikatakan sudah tidak sehat lagi. Fenomena
seperti inilah yang menggambarkan persaingan di industri penerbangan nasional saat ini.
Untuk tetap bertahan di dalam persaingan seperti itu tidaklah mudah. Beban biaya
operasional yang tinggi, ditambah dengan beban kurs mata uang rupiah terhadap dollar
yang belum membaik, akan memberatkan kelangsungan hidup suatu maskapai. Star Air
sebagai salah satu dan sekian banyak pemain baru sudah merasakan dampaknya.
Beberapa rute penerbangannva sudah nilai tidak dioperasikan karena besamya beban
biaya operasional yang tidak dapat ditutupi lagi dengan harga tiket yang diberlakukannya
saat ini. Beratnya beban biaya operasional yang tinggi ini juga mulai dirasakan efeknya
oleh Merpati dan Garuda. Kedua maskapal tersebut terpaksa harus menaikkan harga
tiketnya akibat kenaikan harga premi asuransi pasca pemboman WTC. Padahal
persaingan saat ini menuntut mereka untuk mengefisienkan segala bentuk biaya agar dapat memberlakukan harga yang kompetitif untuk beraing dengan maskapai lainnya.
Terlepas dari fenomena perang harga yang terjadi saat ini, langkah berani Pelita, Mandala, Bouraq, dan DAS dalam membentuk strategi aliansi untuk meminimalisir dampak persaingan harga tersebut, nampaknya perlu diacungi jempoL. Berbagai manfaat
seperti efisiensi biaya dan peningkatan jumlah konsumen yang diperoleh keempat
maskapai semakin mempertegas prospek yang menguntungkan dan strategi aliansi ini.
Melihat aksi rnaskapai-maskapai penerbangan nasional saat ini dengan berbagai
macam strateginya mulai dari strategi perang harga sampai dengan strategi aliansi, maka
pada karya akhir ini akan dibuat suatu usulan strategi aliansi yang melibatkan kerjasama
dua maskapai penerbangan nasional, yaitu Merpati dan Garuda. Adapun maksud dari
usulan ini adalah untuk menciptakan maskapai penerbangan nasional yang mempunyai
daya saing di rute domestik dan internasional dalam rangka menghadapi persaingan
yang semakin ketat di industri penerbangan nasional.
Usulan strategi aliansi Merpati ? Garuda ini díbuat berdasarkan tiga tahapan
analisis, yaitu analisis manajemen strategik, analisis pembentukan sinergi, dan analisis
kesiapan internal perusahaan Pada analisis manajemen strategik dilakukan analisis untuk
mengetahui competitive positions dan Lingkungan ekstemal perusahaan dalam rangka
menyusun strategi aliansi yang sesuai dengan kemampuan dan kompetensi masing
masing perusahaan. Kemudian, pada analisis pembentukan sinergi dibahas mengenai
cakupan penghematan biaya dan peningkatan pendapatan yang dapat diperoleh,
khususnya pada hal-hal yang berhubungan dengan pensinergian masing-masing rute
penerbangan dan pemanfaatan secara bersama-sama fasilitas operasional dan resources
yang dimiliki kedua maskapai. Terakhir, pada analisis kesiapan internal perusahaan
dibahas tiga hal penting yang perlu dipersiapkan dalam menjalankan proses pembentukan
aliansi tersebut, yaitu budaya dan struktur perusahaan, sistem administrasi dan informasi,
dan kualitas jasa pelayanan penerbangan.
Dari hasil ketiga analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik suatu kesimpulan
yang menyatakan bahwa aliansi Merpati ? Garuda akan memberikan dampak positif bagi
kedua maskapai. Adapun dampak positif yang dimaksud adalah tercapainya penghematan
biaya operasional dan meningkatnya pendapatan perusahaan dan kegiatan usahanya. Dan
kedua dampak positif tersebut, balk Merpati maupun Garuda, kini dapat bersama-sama
meningkatkan kual itas dan kuantitas pelayanannya untuk kemudian memantapkan
posisinya dalam persaingan di industri penerbangan nasional.
Untuk melengkapi usulan strategi aliansi yang telah dibuat tersebut, maka pada
bagian akhir dan karya akhir inI diberikan beberapa saran untuk mendukung keberhasilan
strategi aliansi Merpati ? Garuda. Adapun saran-saran tersebut dimaksudkan agar usulan
strategi ini nantinya dapat benar-benar diaplikasikan ke dalam strategi perusahaan dan
memberikan benefit jangka panjang yang sesuai dengan tujuan semula dan pembentukan
strategi aliansi, yaitu untuk meningkatkan daya saing maskapai penerbangan nasional
baik pada rute domestik maupun intemasional."
2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library