Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imas Emalia
"Awal abad ke-20 adalah masa yang penuh dengan gejolak perjuangan rakyat. Semua penderitaan yang dialami masyarakat Indonesia memunculkan berbagai protes sosial hampir di setiap pelosok Nusantara. Di Keresidenan Cirebon akibat adanya Landreform 1918 ternyata lebih banyak merugikan masyarakat petani dibandingkan dengan keuntungannya yang diambil pihak perkebunan swasta. Bencana kelaparan terjadi hampir di setiap daerah Keresidenan Cirebon. Banyak penduduk yang mengalami perpindahan ke daerah-daerah pegunungan untuk sekedar sekedar mencari makanan sebagai penyambung kehidupan.
Hal semacam ini yang memicu masyarakat untuk mendukung berbagai gerakan politik, termasuk gerakan politik keagamaan islam yang marak saat itu. Melalui para ulama yang pulang dari berhaji dan membawa budaya baru yang dipengaruhi gerakan Wahabbiyah di sana, mereka terorganisasikan dalam menuntut hak dan kebebasan. Seperti kemunculan Sarekat Islam (SI) di Surakarta dan Muhammadiyah di Yogyakarta yang dipelopori kaum santri dan pedagang yang datang dari berhaji, adalah awal dari kebangkitan Islam di Indonesia.
Di Keresidenan Cirebon ini pengaruh kraton juga sangat kuat di hati masyarakat. Campur tangan pemerintah kolonial dalam kraton sangat dirasakan sebagai momok dalam kehidupan. Akan tetapi kenyataan itu selalu mewarnai kehidupan. Akibat hal itu para penghulu kraton menjauhkan diri dari kehidupannya di kraton Kasepuhan dan Kanoman. Pendirian tarekat merupakan cara untuk menggalang umat dalam membela hak dan kebebasannya menjalankan peribadatan dan membebaskan dari keterkungkungan penderitaan yang dialaminya. Dukungan gerakan tarekat terhadap SI dan PO di Keresidenan Cirebon semakin memperkuat perjuangan masyarakat Keresidenan cirebon.
Bahkan pusat kegiatan tarekat ini selain di pesantren-pesantren juga di kraton. Konsep gerakan tarekat ini adalah selain menjalankan ajaran Islam yang sebenar-benarnya juga adalah nonkooperatif dengan kolonialisme. Dukungan kraton terhadap gerakan tarekat ini juga menunjukkan kraton bersifat antikolonialisme. Kraton juga mendukung terhadap berbagai kegiatan SI dan PO dalam memprotes dan mengkritik sistem sewa tanah dan perpajakan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda, Kraton juga mendukung berlakunya sistem pendidikan yang berdasarkan al Qur'an yang diterapkan oleh SI dan PO.
Keberhasilan organisasi ini adalah merupakan suatu cara untuk menyuarakan persatuan di antara organisasi-organisasi Islam. Selain itu juga dalam rangka membebaskan umat Islam dari keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan ketertindasan dari kolonialisme. Usahausaha ini ditempuh juga dengan diselenggarakannya kongres Al Islam I yang mula pertama diprakarsai oleh Central Sarekat Islam (CSI) dan disambut baik oleh seluruh organisasi Islam Indonesia, dan SI Cirebon yang akhirnya menerima kepercayaan sebagai tuan rumah penyelenggara. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika pergerakan di Keresidenan Cirebon sangat berarti dalam jajaran sejarah pergeran."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imas Emalia
"Artikel ini menjelaskan tentang derajat kesehatan masyarakat pribumi di Kota Cirebon pada masa kolonialisme Belanda antara 1906-1940. Fokus kajiannya adalah menganalisis derajat kesehatan pada masa modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kota Cirebon yang semula sebagai kota tradisional/kota kesultanan diubah fungsinya menjadi kota kolonial (modern) oleh pemerintah Hindia Belanda bersamaan dengan pembentukan kota-kota lainnya di Jawa dan Madura pada 1906. Selama paruh pertama di awal abad ke-20, masyarakat pribumi di Kota Cirebon menghadapi proses modernisasi yang berbasis industrialisasi ekonomi. Namun karena seringkali proyek pembangunan tidak tuntas akibatnya lingkungan kota menjadi tidak sehat. Sisa material bangunan, genangan air, galian-galian tanah yang kotor, dan kurangnya jatah air bersih bagi masyarakat pribumi menjadi pangkal kemunculan berbagai bibit penyakit yang menyerang para pekerja dan menular secara luas. Kondisi ini yang menjadi derajat kesehatan masyarakat pribumi buruk dan tidak pernah meningkat. Dalam menangani wabah penyakit pun terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat pribumi dengan pemerintah kolonial. Bagi masyarakat pribumi praktik pengobatan didasari oleh pengetahuan agamanya yang kemudian diekspresikan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karenanya mereka seringkali menolak tawaran sistem pengobatan dan propaganda kesehatan modern yang ditawarkan oleh pemerintah karena khawatir aqidahnya terganggu. Sementara bagi pemerintah kolonial praktik pengobatan didasari oleh ilmu pengetahuan yang berkembang di Eropa. Hanya saja dalam praktiknya, aspek kesehatan modern ini dikaitkan dengan pengembangan perekonomian untuk mengumpulkan sebanyak-banyak keuntungan. Komersialisasi dan diskriminasi pelayanan kesehatan pada akhirnya membuat masyarakat pribumi tetap mempraktikkan pengobatan tradisional yang dipahaminya.

This dissertation aims to describe the health level of the native people in Cirebon during the Dutch colonial era (1906-1940), focusing on the health level when the Dutch colonial government carried out modernization. The City of Cirebon which was originally a traditional city/sultanate city led by the sultans was changed into a colonial (modern) city by the Dutch East Indies government concurrently with the formation of other cities in Java and Madura in 1906. Through the first half of the 20th century, the native people of Cirebon overcame a process of modernization based on economic industrialization. Modernization was also carried out in the health sector which included policies and eradicating disease outbreaks. However, since there were many incomplete development projects, the city environment became unhealthy. They created leftover building materials, puddles, dirty soil excavations, and caused a lack of clean water for the native people. This condition then became the basis for the emergence of various germs that attack the workers and spread widely. There were different perception between the colonial government and the native people in dealing with the disease outbreaks. For the native people, the health knowledge was referred on their religious knowledge which was then expressed in their daily lives. While for the colonial government, the understanding of health referred to science development in Europe. In reality, this aspect of modern health is associated with economic development to collect as many benefits. The construction of hospitals, procurement of medical devices, and health services are also commercial in nature. The health perceptions of the native people also did not reduce the value of beliefs in their religious practices. Therefore the native people often rejected the offer of medical systems and other health propaganda from the government for they fear that their faith will be corrupted.  So in that condition, the spread of the epidemic of dissidents became widespread in Cirebon.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2605
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library