Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harlyjoy
"Penelitian ini merupakan penelitian prospektif dan dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara pemberian 1000 cc larutan Ringer laktat (RL) dengan 500 cc larutan Starch (HAES) 6% terhadap perubahan tekanan darah maternal dan nilai Apgar neonatus pada anestesia bedah sesar. Pada penelitian ini dipilih dengan cara random 40 wanita hamil aterm dengan status fisik ASA kelas I - II yang akan menjalani bedah sesar berencana dengan anestesia subarakhnoid. Ke 40 pasien ini terbagi dalam dua kelompok. Kelompok I akan menerima 1000 cc larutan RL dan kelompok II akan menerima 500 cc larutan HAES 6% sebagai larutan pengisian awal sebelum tindakan anestesia subarakhnoid. Perubahan tekanan darah maternal dalam penelitian ini adalah terjadinya hipotensi yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik dibawah 100 mmHg Hipotensi terjadi 50% pada kelompok yang mendapat 1000 cc larutan RL sementara pada kelompok II yang menerima 500 cc larutan HAES 6% hipotensi terjadi 25% penderita. Namun pada uji statistik ternyata perbedaan tersebut tidak bermakna (p>0,05). Sementara itu nilai apgar menit 1 dan 5 pada ke 40 neonatus tidak menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa penurunan tekanan darah maternal dan nilai Apgar neonatus menit pertama dan ke lima pada penggunanaan 1000 cc larutan RL sebagai larutan pengisian awal sebelum anestesia subarakhnoid pada bedah sesar tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p>0,05) di bandingkan dengan 500 cc larutan HAES 6%. Hal ini berarti penggunaan 1000 cc larutan RL sebagai larutan pengisian awal sebelum tindakan anestesia subarakhnoid masih dapat digunakan untuk mencegah penurunan tekanan darah maternal.

This study was a prospective study and was conducted to determine whether there was a difference between administering 1000 cc of Ringer's lactate (RL) solution and 500 cc of 6% Starch solution (HAES) on changes in maternal blood pressure and neonatal Apgar scores during cesarean section anesthesia. In this study, 40 term pregnant women with ASA class I - II physical status were randomly selected who would undergo planned caesarean section with subarachnoid anesthesia. These 40 patients were divided into two groups. Group I will receive 1000 cc of RL solution and group II will receive 500 cc of 6% HAES solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia. The change in maternal blood pressure in this study was hypotension which was defined as a decrease in systolic blood pressure below 100 mmHg. Hypotension occurred in 50% of the group that received 1000 cc of RL solution, while in group II which received 500 cc of 6% HAES solution, hypotension occurred in 25% of patients. However, in statistical tests it turned out that the difference was not significant (p>0.05). Meanwhile, Apgar scores at 1 and 5 minutes in the 40 neonates did not show a statistically significant difference (p>0.05). It can be concluded that the reduction in maternal blood pressure and the first and fifth minute Apgar scores of neonates when using 1000 cc of RL solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia for caesarean section does not show a statistically significant difference (p>0.05) compared with 500 cc of 6% HAES solution. This means that the use of 1000 cc of RL solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia can still be used to prevent a decrease in maternal blood pressure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Canina Harlyjoy
"Hipertensi, salah satu contoh penyakit degeneratif, patut diwaspadai di Indonesia karena adanya transisi epidemiologis penyebab kematian utama, yakni dari penyakit infeksi menjadi degeneratif. Hipertensi memiliki berbagai akibat yang membahayakan, salah satunya adalah peningkatan leptin yang nantinya dapat memengaruhi pulsasi GnRH. Ketika pulsasi GnRH terganggu, maka dapat memengaruhi sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang apabila terganggu, dapat menyebabkan gangguan menstruasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kadar FSH berdasarkan hipertensi pada perempuan usia subur, terutama pada perempuan dengan gangguan menstruasi.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional analitik dengan melibatkan 75 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian 'Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik'. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan menggunakan analisis bivariat uji T-Independen. Variabel bebas yang diuji adalah usia, aktivitas fisik, status gizi, gejala mental emosional, status hipertensi, serta status SOPK.
Berdasarkan analisis, didapatkan bahwa kadar FSH pada perempuan dengan hipertensi memiliki median yang lebih rendah (3,50: 1,70 - 4,80) dibandingkan dengan perempuan tanpa hipertensi (4,90: 1,20 - 33,40). Secara statistik, perbedaan tersebut bermakna dengan p = 0,025. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar FSH pada usia, aktivitas fisik, status gizi, gejala mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dapat disimpulkan bahwa terdapat peran hipertensi dalam perbedaan kadar FSH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.

Hypertension, as one of the degenerative disease, should be one of the main issue in Indonesia because of the epidemiologic transition of the main cause of death, which is from infection diseases to degenerative diseases. Hypertension could lead to many dangerous complications. One of which is increased level of plasma leptin. Increased level of plasma leptin could disturb the GnRH pulsatility. When the pulsatility of GnRH is disturbed, it could influence the secretion of Follicle Stimulating Hormone (FSH), which when disturbed could lead into an abnormal menstrual cycle.
This analytical cross-sectional study was conducted to compare the FSH level in abnormal cycling reproductive women according to their hypertension status, using secondary laboratory and SCL-90 questionnaire data from the 'Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik' research that was conducted since year 2009 to 2011. In this study, 75 samples were used and analyzed with SPSS for Windows 17.0 version program using the bivariate T-independent analysis. Independent variables in this study included age, physical activity, nutritional status, mental and emotional symptoms, hypertension status, and PCOS status.
The analysis showed that FSH levels in hypertensive women is lower (3,50: 1,70 - 4,80) than non-hypertensive women (4,90: 1,20 - 33,40) with a statistically significant difference (p = 0,025). However, other variables such as age, physical activity, nutritional status, mental and emotional symptoms, and PCOS status did not have significant different FSH levels. It can be concluded that hypertension could be associated with FSH level in abnormal cycling women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Canina Harlyjoy
"Latar belakang: Sebagai salah satu penyebab hipertensi, pengaruh langsung asupan asam lemak trans masih belum diketahui dengan pasti. Konsumsi jangka panjang dapat mengakibatkan inkorporasi asam lemak trans di membran neural otak yang dapat memengaruhi jalur sinyal neurotrophin, termasuk Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Sebagai neurotrophin yang terdapat di berbagai bagian dari tubuh, BDNF diperkirakan memiliki peran dalam pengaturan tekanan darah.
Tujuan: Mengetahui apakah terdapat hubungan antara asupan asam lemak trans dan kadar BDNF terhadap hipertensi di Kabupaten Natuna.
Metode: Studi potong lintang analitik ini menggunakan data sekunder hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan food recall yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Natuna pada Juli 2019, serta data primer berupa pemeriksaan kadar BDNF dari sampel darah yang sudah tersimpan di laboratorium RSPJDHK pada bulan September 2019. Hasil: Terdapat 181 penduduk Natuna yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Median asupan asam lemak trans subjek dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan kontrol (0,013: 0,0003 – 0,07 vs 0,010: 0,0006 – 0,06, p = 0,021). Analisis statistik menunjukkan bahwa interaksi kadar BDNF dengan asupan asam lemak trans memiliki efek modifikasi terhadap asupan asam lemak trans dan hipertensi (p = 0,011). Pada total subjek, asupan asam lemak trans memiliki OR 1,81 IK95% 1,10-2,99 p 0,020, namun OR 3,63 IK95% 1,69-7,77 p 0,001 pada BDNF di tertile bawah dan sedang. Uji analisis multivariat menunjukkan bahwa hasil tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor perancu.
Kesimpulan: Kadar BDNF memiliki efek modifikasi terhadap hubungan asupan asam lemak trans dan hipertensi, di mana peningkatan probabilitas hipertensi seiring penambahan asupan asam lemak trans hanya terjadi pada subjek dengan kadar BDNF rendah.

Background: As one of the major cause of hypertension, direct effect of trans fat intake and hypertension is not yet illuminated. Long-term consumption has been linked with trans fat incorporation in brain neural membrane that could lead into alteration of signaling pathways, including Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). As an ubiquitous neurotrophin, BDNF is believed to play a role in the regulation of blood pressure.
Objective: This study aimed to investigate the association between trans fat intake and BDNF level with hypertension in the population of Natuna.
Methods: This analytical cross-sectional study is using a secondary data including demographic data, physical examination, and food recall obtained from Natuna district population in July 2019. Primary data of BDNF level was obtained through analysis of blood samples stored in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) in September 2019.
Results: A total of 181 samples were obtained in this study. Compared to normontesive subjects, median of daily trans fat intake of hypertensive subjects was higher (0,013: 0,0003 – 0,07 vs 0,010: 0,0006 – 0,06, p 0,021). Statistitical analysis showed that plasma BDNF level has a modyfing effect in relationship of trans-fat intake and hypertension (p 0,011). In cumulative subjects, trans-fat showed an odds ratio (OR) of 1,81 95%CI 1,10-2,99 p 0,020, while the OR for those with low-middle tertile BDNF level was 3,63 95%CI 1,69-7,77 p 0,001. Further multivariate analysis showed that the interaction was statistically significant after adjustment to confounding factors.
Conclusion: Plasma BDNF level has a modifying effect in the relationship between trans-fat intake and hypertension. Increased probability of hypertension in accordance with trans-fat intake only occurred in subjects with low level plasma BDNF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alphadenti Harlyjoy
"LATAR BELAKANG: Medulloblastoma memiliki prognosis baik jika pasien menjalani tatalaksana multimodalitas lengkap, terdiri dari operasi, radioterapi, dan kemoterapi. Radioterapi dan kemoterapi memiliki banyak efek samping, namun dosisnya dapat dikurangi pada kelompok pasien dengan faktor prognosis tertentu. Saat ini belum diketahui faktor prognosis medulloblastoma di Indonesia. Penulis bertujuan mengetahui karakteristik medulloblastoma di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan menganalisis hubungannya dengan luaran mortalitas.
METODE: Penelitian retrospektif ini didasarkan pada rekam medis dan register pasien medulloblastoma yang menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011 - 2018. Cox regression analysis dipakai untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara demografi (usia dan jenis kelamin), karakteristik tumor (ukuran tumor praoperasi, lokasi tumor, komponen kistik, keterlibatan batang otak), serta tatalaksana (luas reseksi dan waktu pelaksanaan diversi liquor serebrospinal (LCS)) dengan luaran mortalitas.
HASIL: Dari 44 pasien medulloblastoma yang dioperasi pada tahun 2011 – 2018, mortalitas didapatkan pada 84,1% pasien, dengan median survival time 13 (8,67 – 17,32) bulan. Terdapat hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, dan luas reseksi dengan luaran mortalitas. Didapatkan HR (95% CI) untuk usia sebesar 0,44 (0,22 – 0,88; p = 0,022), untuk jenis kelamin 0,001 (0,000 – 0,27; REF: perempuan; p = 0,015), dan untuk luas reseksi berupa biopsi 31,52 (1,09 – 910,56; REF: Gross Total Resection (GTR); p = 0,044).
SIMPULAN: Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara usia, jenis kelamin, dan luas reseksi dengan mortalitas. Tidak terdapat hubungan bermakna antara ukuran tumor praoperasi, lokasi tumor, komponen kistik, keterlibatan batang otak, dan waktu pelaksanaan diversi LCS.

BACKGROUND: The current prognosis of medulloblastoma is better in patients who underwent complete treatment consisting of surgery, radiotherapy, and chemotherapy. Radiotherapy and chemotherapy is widely associated with multiple side effects, but reduction of dosage is advisable in patients with certain prognostic factors. No study of prognostic factors of medulloblastoma had been conducted in Indonesia. The author aimed to study the characteristics of medulloblastoma patients in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, and to analyze its association with mortality.
METHOD: This retrospective study was based on medical record and patient registry of medulloblastoma patients who underwent removal tumor in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital between 2011 – 2018. Cox regression analysis was used to determine statistical significance of patients’ demography (age and gender), tumor characteristics (preoperative size, location, cystic component, brainstem involvement), and treatment (extend of resection and timing of cerebrospinal fluid (CSF) diversion) with mortality as the outcome.
RESULT: 44 medulloblastoma patients were analyzed. The incidence of mortality is 84.1% and median survival time is 13 (8.67 – 17.32) months. Significant statistical association between age, gender, and extend of resection with mortality was identified, with HR (95% CI) for age was 0.44 (0.22 – 0.88; p = 0.022), gender was 0.001 (0.000 – 0.27; REF: female; p = 0.015), and biopsy was 31.52 (1.09 – 910.56; REF: gross total resection (GTR); p = 0.044).
CONCLUSION: There was significant statistical association identified between age, gender, and extend of resection with mortality. No significant statistical association was found between tumor size, location, cystic component, brainstem involvement, and timing of CSF diversion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library