Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Griselda Meira Dinanti
Abstrak :
Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan RUPS Tahunan , berdasarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas UU Perseroan Terbatas Pasal 78 ayat 2 wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 enam bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, namun kewajiban ini tidak diikuti dengan sanksi, Tesis ini, mengambil contoh RUPS Tahunan yang melebihi jangka waktunya diselenggarakan oleh PT Bank Bank, sebagai perseroan terbatas yang menjalankan usaha perbankan, Bank tidak hanya diatur dengan UU Perseroan Terbatas, tetapi tunduk juga kepada pertaturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan, yang secara implisit mengatur kewajiban penyelenggaraan RUPS Tahunan. Dan atas keterlambatan penyelenggaraan tersebut dapat menimbulkan pertanyaan bagaimana akibat hukum bagi perseroan terbatas dan bagaimana tanggung jawab dari Direksi atau Dewan Komisaris atau Pemegang Saham perseroan atas keterlambatan penyelenggaraan RUPS Tahunan tersebut. Penelitian ini menggunakan bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Simpulan dari penelitian ini, bahwa dengan keterlambatan penyelenggaraan RUPS Tahunan dapat membawa akibat hukum kepada perseroan terbatas yaitu RUPS Tahunan tersebut tidak sah sehingga tidak sah pula keputusan yang diambil dalam RUPS Tahunan tersebut, dan atas keterlambatan ini Direksi dan Dewan Komisaris Bank dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi karena tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan prinsip sebagaimana diamanatkan oleh perundang-undangan. Selain itu pemegang saham Bank, apabila dapat dibuktikan menyebabkan keterlambatan penyelenggaraan RUPS Tahunan, maka dapat juga bertanggungjawab atas akibat yang ditimbulkan dari keterlambatan penyelenggaraan RUPS Tahunan.
The Annual General Meeting of the Shareholders AGMS , pursuant to Law No. 40 year 2007 concerning Limited Liability Company Company Law on Article 78 paragraph 2 shall be conducted no later than 6 six months after the closing of the company fiscal year, but this mandatory rule does not provide its sanction. This thesis, take an example of a delayed AGMS conducted by PT Bank the Bank , as limited liability company the Company which runs banking business, the Bank not only regulated by the Company Law, but also subject to the regulations which issued by Bank Indonesia and or the Financial Services Authority OJK , which implicitly regulates the obligation to conduct the AGMS on time. And of the delay of the conducting AGMS, may raise question how the legal consequence to the Company and how is the responsibility of the Board of Directors BOD or Board of Commissioners BOC or the Shareholders of the Company of the delay of conducting the AGMS. This research uses a judicial normative form which is descriptive analytical. The conclusion of this research, that the delay of conducting of the AGMS may cause legal consequence to the Company that is the AGMS was not valid, therefore any decision take on that AGMS is not valid also, and upon the delay, the BOD, BOC may personally liable because they does not perform their function as mandated by the law. Besides, the shareholders of the Bank, if it can be proven to cause the delays of the AGMS, they may also liable for the consequence that raised by the delay of conducting the AGMS.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griselda Meira Dinanti
Abstrak :
Perkawinan beda agama saat ini sudah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh pasangan-pasangan di Indonesia, tetapi sayangnya hal ini tidak diikuti dengan perkembangan hukum yang secara tegas mengatur hal tersebut. Setiap pasangan yang hendak melakukan perkawinan tentu saja menginginkan perkawinannya berjalan dengan lancar dan tidak berbenturan dengan peraturan hukum yang nantinya akan mengganggu jalannya perkawinan mereka, begitu juga dengan pasangan yang berbeda agama. Setiap perkawinan agar sah sudah seharusnya dilakukan berdasarkan hukum agama dan juga hukum negara, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka agar terjamin secara hukum perkawinan harus dicatatkan pada lembaga-lembaga yang telah ditunjuk oleh Undang-Undang yaitu Kantor Catatan Sipil bagi pasangan non Islam atau Kantor Urusan Agama bagi pasangan yang beragama Islam. Dalam perkawinan beda agama yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana hukum perkawinan di Indonesia mengatur perkawinan beda agama dan juga pencatatan perkawinan tersebut serta akibat hukum yang ditimbulkannya. Bentuk penelitian yang digunakan adalah kepustakaan dan lapangan yang bersifat deskriptif analitis. Maka dapat penulis simpulkan, bahwa Undang-Undang Perkawinan mengatur secara implisit mengenai perkawinan beda agama melalui Pasal 2 ayat (1) dimana sahnya perkawinan dikembalikan lagi kedalam hukum agama. Penelitian ini mengkhususkan kepada Agama Islam dan Kristen. Dalam Islam perkawinan beda agama diharamkan, sedangkan pada agama Kristen, dari penelitian ditemukan pada beberapa gereja memperbolehkan perkawinan beda agama dengan syarat tertentu. Berdasarkan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pencatatan perkawinan beda agama dapat dilakukan pada Kantor Catatan Sipil melalui suatu penetapan pengadilan negeri, sedangkan dalam hal ini Kantor Urusan Agama tidak dapat mencatatkan perkawinan beda agama karena bertentangan dengan hukum Islam. Dengan dicatatkannya perkawinan beda agama, diakui secara hukum dan membawa akibat hukum terhadap pasangan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. ......Interfaith marriage is now a very common thing being done by couples in Indonesia. Unfortunately, it is not followed by the development of laws which expressly regulates interfaith marriages. Couples of same faith marriages and interfaith marriages want their marriages to run smoothly and not in conflict with the laws which will affect the course of their marriage. For a marriage to be valid it should be done under the laws of their own religion and also under the laws of the country. This is stipulated under Article 2 of the Matrimonial Act No.1 of 1974. In order to ensure that the marriage preformed is legal, it must be listed in the Civil Registry Office or the Office of Religious Affairs. The issues at hand are how Indonesian law regulates interfaith marriages, registry of interfaith marriages and the legal consequences thereof. The form of research used in this Undergraduate Thesis is normative juridical, which emphasizes on the use of primary data and secondary data as a source. In conclusion, interfaith marriages whether permitted or not is not strictly regulated in the Matrimonial Act No. 1 of 1974. It implicitly states in Article 2 of The Matrimonial Act No. 1 of 1974 where it states that the legality of the marriage is reverted to the law of their religion. This research is focused on Islamic and Christian laws. In Islamic law, interfaith marriages are forbidden. Where as in Christianity, some Churches allows interfaith marriages with specific terms. In cases of interfaith marriages, the marriages that have been previously performed may be registered at the Civil Registry Office through a Court order which the requests are previously filed by the couple of interfaith marriages to the District Court. This is in accordance with the provisions of Article 35 subsection (a) of The Civil Administration Act No. 23 of 2006. With the marriage being registered in the Civil Registry Office, the marriage is legal and the legal consequences arising from the marriage is regulated in accordance with the Act.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45400
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library