Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gregorius
"Komplek bangunan Temple of Heaven merupakan kompleks kuil tempat kaisar Cina yang sedang berkuasa di masa Dinasti Ming dan Qing melakukan ritual penyembahan dan persembahan kurban kepada penguasa langit untuk meminta hujan dan hasil panen pertanian yang baik. Tata ruang dan konstruksi bangunan-bangunan yang ada dalam kompleks Temple of Heaven memiliki makna budaya yang terkandung, salah satunya adalah adanya pengaruh ajaran Tao. Secara khusus, jurnal ini meneliti pengaruh ajaran Tao terhadap bangunan Temple of Heaven di Beijing. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ini mengungkap apa saja pengaruh ajaran Tao terhadap bangunan Temple of Heaven.

The Temple of Heaven building complex is the imperial temple complex where the ruling emperor of Ming and Qing dynasties performed the worship and sacrificing ritual in order to beseech rain and good harvests to the God of Heaven. The layout and the construction of the buildings inside the complex are containing the value of culture, which one of it is Taoism. This journal is specifically research the influence of Taoism on the Temple of Heaven building complex. The method used in this research is a qualitative method. The result of this research will reveal the influence of Taoism on the Temple of Heaven building complex."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Keraf, Gregorius
"Tujuan penelitian untuk disertasi ini adalah mencoba mengungkapkan morfologi Dialek Lamalera, sebuah dialek yang dipergunakan penduduk desa Lamalera, yang terletak di pantai Selatan pulau Lembata. Persiapan-persiapan berupa penelitian pendahuluan telah diadakan di Jakarta pada pertengahan tahun 1973 dengan mempergunakan informan penutur asli yang berada di Jakarta. Penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan selama empat bulan dari bulan Desember 1974 hingga bulan Maret 1975.
Dialek Lamalera sebagai obyek penelitian hanya akan bisa dilihat lebih jelas, bila statusnya di antara dialek/bahasa sekitarnya sudah diungkapkan secara lebih pasti. Sebab itu sudah dilakukan pula pencatatan tambahan berupa pengumpulan kosa kata dasar (basic vocabulary} dari 36 desa di Flores Timur. Data-data tersebut menghasilkan suatu klasifikasi linguistis sebagai yang terlihat dalam Lampiran VI. Di sana dapat dilihat dengan jelas di mana tempat dialek Lamalera di antara bahasa-bahasa sekitarnya, yang lazimnya disebut sebagai bahasa Soler. Uraian singkat sebagai latar belakang mengenai bahasa di Flores Timur ini akan dikemukakan dalam no. 4 dan 5.
Mengambil sebuah aspek yang lebih sempit dari morfologi Dialek Lamalera kami hindari dengan suatu alasan bahwa literatur mengenai bahasa Solor sangat kurang, sehingga aspek yang lebih sempit ini akan ketiadaan landasan yang lebih kuat. Sebab itu sebagai suatu karya awal yang mencoba melihat aspek bahasa-bahasa ini secara linguistis, kami menganggap perlu mengambil suatu topik yang lebih luas yaitu morfologi. Dengan landasan ini diharapkan akan muncul karya karya baru yang mencoba menganalisa dan mengupas aspek-aspek yang lebih sempit atau lebih khusus pada masa-masa mendatang.
Mengapa justru dialek Lamalera? Sebagai alasan pertama dapat dikemukakan bahwa dialek ini merupakan salah satu dari bahasa Lamaholot (istilah yang sekarang dikenal adalah bahasa Solar) sebagai yang pernah diselidiki oleh P.A. Arndt SVD. Dengan demikian hasil penelitian yang dikemukakan dalam uraian ini dapat kiranya dibandingkan dengan kesimpulan-kesimpulan atau deskripsi yang pernah dilakukan itu.
Dari sekian banyak dialek/bahasa Lamaholot, dialek Lamalera memperlihatkan identitas sendiri berupa fonem﷓fonem tertentu (i./f/ dan /.f } di samping struktur morfologis dan perbendaharaan kata yang khas, bila dibandingkan dengan dialek-dialek atau bahasa-bahasa yang ada di sekitarnya.
Ketiga, dalam sejarah Lamalera sudah disebut dalam berita mengenai perkembangan agama Katolik, yaitu mengenai pembunuhan dua orang pastor dalam tahun 1662. Sesudah itu Lamalera perlahan-lahan berkembang menjadi pusat pengembangan keagamaan di pulau Lembata, yang secara resmi ditetapkan sebagai satu paroki pada tahun 1921, dengan pusatnya di Lamalera. Penyampaian pengajaran agama, ibadahibadah keagamaan dilakukan dengan dialek Lamalera ke seluruh pulau ini. Dalam tahun 1937 disusunlah sebuah buku kebaktian Soedoe Horinat yang dipakai pula di semua gereja di seluruh Lembata, dengan mempergunakan dialek Lamalera. Semua kotbah dan injil juga disampaikan dengan dialek ini kepada penganut agama katolik di seluruh pulau Lembata. Sehingga dengan demikian, walaupun tidak menjadi bahasa standar untuk kabupaten Flores Timur, namun sekurang-kurangnya selama puluhan tahun dialek ini memegang peranan yang sangat penting sebagai bahasa ?resmi? dalam bidang keagamaan, termasuk daerah Kedang di ujung timur Lembata, yang secara linguistis sudah termasuk dalam keluarga bahasa yang lain.
Alasan lain adalah bahwa dalam waktu yang terbatas tidak akan dicapai hasil yang memuaskan bila peneliti tidak mengenal dan tidak mengetahui semua latar belakang masyarakat yang dapat mempengaruhi analisa bahasa ini. Penulis sendiri adalah seorang penutur asli dialek ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D166
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junior B. Gregorius
"Menurut ketentuan ICUHP, ancaman pidana seorang pelaku pembantu d~kurangi sepertiga dari pidana pokok bagi pelaku utama. Sebaliknya dalam UUTPPU, pelaku pembantu diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama. Ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam Tesis ini, pertama: apakah ratio legis pembentuk UUTPPU menentukan sanksi pidana yang sama bagi pelaku pembantu dan pelaku utama, sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) UUTPPU; kedua: bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam Money Laundering Act di negara-negara lain? ketiga: bagaimanakah penerapan konsep-konsep teoritis yuridis kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu eks Pasal 56 dan 57 KUHP dalam UUTPPU pads kasus-kasus pencucian uang?;
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama; bahwa badan legislatif menganggap UUTPPU adalah undang-undang pidana khusus yang mcngatur dan menentukan pidana secara khusus, dimana perbuatan pelaku pembantu dianggap sama akibatnyanya dengan perbuatan pelaku utama, yaitu dapat membahayakan perekonomian negara dan masyarakat, sehingga secara yuridis sanksi pidananya ditentukan same. Selain itu, Indonesia harus mengikuti model hukum pidana pencucian uang yang diberikan oleh FATF, dimana FATF berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang tidak mengenal pengurangan pidana terhadap pembantuan;
Kedua; Baik dalam UUTPPU maupun dalam Money Laundering Act di negara-negara lain, pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu same dengan pertanggungjawaban pidana pelaku utama, kecuali penerapan ancaman pidananya yang jauh lebih tinggi di Indonesia.
Ketiga; tanggungjawab pembantuan (penyertaan) yang dalam KUHP termasuk sebagai dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund), dalam UUTPPU, tanggungjawab pembantuan termasuk dasar perluasan tindak pidana (tatbestandaushdehnungsgrund); selain itu, penerapan kesalahan pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman pada teori ilmu hukum Pasal 56 KUHP, sedangkan penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUTPPU.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa putusan kasus pencucian uang, Penulis menyarankan supaya kemampuan teoritis dan praktis para penegak hukum terutama jaksa dan hakirn perlu ditingkatkan, sehingga dengan kemampuan yang memadai, dalam membuat dakwaan dan putusan dapat menjamin kepastian hukum.

Based on Indonesian Criminal Code, the criminal sanction against the accomplice should be reduced one-third from total criminal sanction against the principal. In the other hand, it is stated in Indonesian Money Laundering Act that the criminal sanction for accomplice is equal with the principal. There are three research questions appointed: firstly; in what legal reasoning was Legislator determine the same criminal sanction both for principal and accomplice so as stipulated in Article 3 (2) of Indonesian Money Laundering Act?;
Secondly: how is the implementation of accomplice's criminal responsibility according to Indonesian Money Laundering Act in comparison with the accomplice's criminal responsibility in other countries Money Laundering Act? thirdly: how is the implementation in Indonesian Money laundering Act relating to the legal theoretical concepts of accomplice's offence and criminal responsibility based on Article 56 and 57 of Indonesian Criminal Code?.
This research which is using qualitative descriptive interpretive method, has had the following conclusion:
Firstly, according to the Legislator, Indonesian Money Laundering Act is including one of special criminal code model, which is regulated and applied the special terms and conditions, considered therefore that the accomplice's offence has the same danger and impacts as the principal against Indonesian economic stability, so that it is legal to determine the same criminal sanction for both principal and accomplice. Beside that, Indonesia should also follow money laundering regulation guideline' prepared by Financial Action Task Force (FATF), which in this case, FATF orientated on various international conventions stipulated no differences on criminal sanction between principal and accomplice. Secondly, both in Indonesian Money Laundering Act and other countries Money Laundering Act, the implementation of accomplice's criminal responsibility is just the same, except the criminal sanction applied in Indonesia seems to be higher than other countries.
Thirdly; the accomplice's responsibility which in Indonesian Criminal Code is subject to 'an extensive basis of criminal responsibility' (Strafausdehnungsgrund); and in Indonesian Money Laundering Act, become 'an extensive basis of criminal act' (Tatbestandausdehnungsgrund). Also, the implementation of accomplice's offence in Indonesian Money Laundering Act should be referred to Article 56 of Indonesian Criminal Code, and concerning to accomplice's criminal responsibility should be based on Article 3 (2) of Indonesia Money Laundering Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Tornado Gregorius
"Jakarta memiliki banyak sekali peninggalan arsitektur kolonial, yang tersebar di seluruh wilayah kota. Arsitektur kolonial mempunyai gaya berbeda dengan bangunan lainnya sesuai dengan masa didirikannya bangunan tersebut. Terutama gaya arsitektur kolonial Belanda di Jakarta yang dibangun pada awal abad ke-20. Pada masa tersebut muncul suatu gaya arsitektur yang disebut gaya Indis. Skripsi ini membahas mengenai gaya bangunan yang diadopsi oleh gereja Pniel. Metode penelitian dilakukan dengan cara membandingkan elemen-elemen yang ada pada gereja Pniel dengan bangunan yang ada di Eropa dan Indonesia. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, diketahui terdapat beberapa macam unsur gaya yang dipadukan pada bangunan Gereja Pniel. Perpaduan dua gaya antara Eropa dan tradisional Indonesia ini disebut dengan arsitektur Indis. Maka dari itu, diperoleh kesimpulan bahwa gereja Pniel di Pasar Baru merupakan salah satu bangunan bergaya Indis.

Jakarta have a lot colonial architecture building all over the city. They have many different style and characters. This colonial architectural style is mostly developed during the first half of the twentieth century. A new phenomenon occurs in the field of architecture, usually called as the Indische style. The focus of this thesis is architectural style were adopted by Pniel Church. Method used in this research is comparison of elements of the Pniel Church with building from similiar period in Europe and Indonesia. Analysis result shows that there some architectural style applied in Pniel Church. There is a mixture of European style with tradisional style. The mixture of those architectural style called as Indische Architecture. This research conclude that Pniel Church is one of the Indische architecture building."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S60
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Keraf, Gregorius
Ende, Flores: Arnoldus, 1978
499.221 5 KER m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Harry Gregorius
"Repatriasi harta wajib pajak pada Program Pengungkapan Sukarela atau yang disingkat dengan PPS diatur dalam Bab 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan disahkan pada tanggal 29 Oktober 2021. Aturan turunan dari Undang-Undang ini dibuatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.03/2021 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 52/KMK.010/2022. Kementerian keuangan mencatat bahwa nilai repatriasi aset yang akan dibawa oleh wajib pajak senilai Rp13,7 triliun. Oleh karena itu, penelitian ini mengevaluasi kebijakan repatriasi aset luar dari luar negeri ke dalam negeri pada Program Pengungkapan Sukarela. Peneliti menggunakan teori evaluasi kebijakan yang dikemukakan oleh Theodoulou dan Kifonis. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan repatriasi aset pada Program Pengungkapan Sukarela dan faktor penghambat dalam menjalankan repatriasi aset oleh Direktorat Jenderal Pajak. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivis dengan jenis penelitian deskriptif. Tehnik pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan stakeholder. Hasil dari evaluasi kebijakan menunjukkan bahwa evaluasi kebijakan pada proses kurang dipersiapakan dengan baik, evaluasi kebijakan pada hasil secara persentase lebih tinggi dari pada program tax amnesty, evaluasi kebijakan pada dampak memberikan penerimaan dalam waktu yang cepat dan pemerintah dapat menggunakan dana repatriasi yang ada di SBN untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, manfaat jangka pendek kebijakan menghasilkan penerimaan negara dalam waktu yang cepat dengan biaya yang minim. Terdapat juga hambatan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu kebijakan yang dijalankan diwaktu yang tidak tepat karena pandemi COVID-19, asset wajib pajak yang tidak liquid ditambah lagi bayang-bayang resesi global akibat pandemi, program yang kurang menarik bagi wajib pajak, kurangnya kepastian hukum atas kebijakan Program Pengungkapan Sukarela, serta kondisi ekonomi dan politik di Indonesia yang belum stabil akibat pandemi.

Repatriation of taxpayer assets in the Voluntary Disclosure Program or abbreviated as PPS is regulated in Chapter 5 of the Law of the Republic of Indonesia Number 7 of 2021 concerning Harmonization of Tax Regulations and ratified on 29 October 2021. Derivative regulations from this Law were made in Regulation of the Minister of Finance of the Republic of Indonesia Number 196/PMK.03/2021 and Decree of the Minister of Finance Number 52/KMK.010/2022. The Ministry of Finance noted that the value of asset repatriation to be brought by taxpayers is IDR 13.7 trillion. Therefore, this study evaluates the policy of repatriating foreign assets from abroad to within the country in the Voluntary Disclosure Program. The researcher uses the policy evaluation theory put forward by Theodoulou and Kifonis. The purpose of this study is to evaluate the asset repatriation policy in the Voluntary Disclosure Program and the inhibiting factors in carrying out asset repatriation by the Directorate General of Taxes. This study uses a post-positivist approach with a descriptive research type. Data collection techniques were obtained through library research and field studies. Field studies were carried out by means of in-depth interviews with relevant stakeholders. The results of the policy evaluation show that the policy evaluation process is not well prepared, the policy evaluation results in a higher percentage than the tax amnesty program, the policy evaluation on the impact of providing revenue in a fast time and the government can use repatriation funds in SBN to meet APBN financing needs, short-term benefits of policies generate state revenue in a fast time with minimal costs. There are also obstacles faced by the Directorate General of Taxes, namely policies implemented at the wrong time due to the COVID-19 pandemic, taxpayer assets that are not liquid plus the shadow of a global recession due to the pandemic, programs that are less attractive to taxpayers, lack of legal certainty over the Voluntary Disclosure Program policies, and economic and political conditions in Indonesia that have not been stable due to the pandemic.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangentang, Athanasius Gregorius
"Customer Equity (Ekuitas Pelanggan) merupakan suatu framework yang dapat digunakan untuk menentukan aspek apa yang paling signifikan bagi customer dari suatu perusahaan serta juga untuk mengidentifikasi kekuatan/kelemahan yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Lemon et al. (2001) menjabarkan 3 (tiga) penggerak utama dari Customer Equity yaitu brand equity, value equity, dan relationship equity. Penelitian ini bertujuan menganalisa pengaruh dari ketiga penggerak utama ini terhadap loyalitas pelanggan, dengan ditambahkan variabel Trust sebagai mediator, di dalam konteks sektor Business-to-Business (B2B) dari jasa layanan I.T. di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya Value Equity dan Relationship Equity yang terbukti berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan akan tetapi seluruh ketiga penggerak tersebut terbukti mempengaruhi Trust secara signifikan.

Customer Equity is a framework that can be used to analyze and determine which aspect is most significantly influencing customers and also to identify company's stregths/weaknesses. Lemon et al. (2001) described 3 (three) key drivers of Customer Equity, which are: Brand Equity, Value Equity, and Relationship Equity. This research intends to analyze the effects of the 3 (three) drivers on customers? loyalty, by adding trust as a mediating variable, in Business-to-Business (B2B) I.T. Services context. The result shows that only Value Equity and Relationship Equity that are statistically proven to be positively related with Customer Loyalty, but on the other hand, the whole drivers are proven to be positively related with Trust.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library