Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gracia Jovita Kartiko
Abstrak :
Latar Belakang: Filariasis limfatik merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan proporsi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria antara dua daerah endemis dan mengukur distribusi faktor risiko yang berhubungan signifikan dengan kejadian filariasis pada kedua daerah tersebut. Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan desain studi cross-sectional. Analisis dilakukan terhadap proporsi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria dan distribusi faktor risiko filariasis pada kedua daerah. Analisis menggunakan uji proporsi kelompok tidak berpasangan Chi-Square. Hasil: Prevalensi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria pada penduduk kelurahan Jati Karya (73.9%) secara signifikan (p<0.001) lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk kelurahan Jati Sampurna (53.2%). Analisis distribusi faktor risiko menunjukkan faktor risiko yang signifikan (p=0.001) menentukan perbedaan prevalensi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria antara kedua daerah adalah status kependudukan, yang dibedakan menjadi penduduk asli dan pendatang. Kesimpulan: Prevalensi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria signifikan lebih tinggi pada penduduk kelurahan Jati Karya dibandingkan dengan penduduk kelurahan Jati Sampurna. Tingginya prevalensi filariasis pada penduduk kelurahan Jati Karya dipengaruhi penduduk asli yang secara signifikan lebih tinggi menyebabkan risiko pajanan filariasis lebih tinggi pada penduduk kelurahan Jati Karya dibandingkan dengan penduduk pada kelurahan Jati Sampurna. ......Background: Lymphatic filariasis is an infectious disease caused by nematode and transmitted by mosquito?s bite. This research aims to compare filariasis proportion based on IgG4 antifilaria status between two endemic areas and to measure filariasis risk factors distribution in these two endemic areas. Method: The method used in this research is observational analitic with cross-sectional design. The number of filariasis based on IgG4 antifilaria in the two regions was then compared, and the distribution of the risk factors of filarial infection affecting the difference of filariasis prevalence between the two regions were analyzed. Data analysis was made using Chi-Square test. Result: Filariasis status based on IgG4 antifilaria in subjects living on kelurahan Jati Karya (73,9%) was significantly (p < 0.001) higher than subjects living on kelurahan Jati Sampurna (53.2%). Analysis of distribution of filariasis risk factors showed that the most important risk factors affecting the difference of IgG4 antifilaria status between the two regions was the demographic profile (p = 0.001), which was divided into indigenous and migrants. Conclusion: Filariasis prevalence based on IgG4 antifilaria status was significantly higher in the residents of kelurahan Jati Karya than in the residents of kelurahan Jati Sampurna. The high prevalence of filariasis in kelurahan Jati Karya was affected by demographic profile, where indigenous people in kelurahan Jati Karya had significantly higher filarial status than those in kelurahan Jati Sampurna. As a result, compared to the residents of kelurahan Jati Sampurna, there was an increase in filariasis exposure to the residents of kelurahan Jati Karya.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
Abstrak :
Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri. Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC). Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas. ......Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia. Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM. Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve. Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity. Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library