Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Florence Japardi
"Tidak semua anak lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah orang tuanya sehingga Undang-undang mengatur bahwa anak tersebut hanyalah memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah disebut sebagai anak luar kawin. Pengaturan mengenai anak luar kawin di Indonesia dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melahirkan hubungan keperdataan seorang laki-laki dengan anak luar kawin adalah melalui pengakuan anak. Namun pengakuan terhadap anak luar kawin tidak selalu dapat terjadi dengan mudah,  terutama jika si anak lahir tanpa pernah terjadinya perkawinan yang sah antara orang tuanya sehingga membutuhkan usaha lebih dalam hal membuktikan siapa ayah biologis dari anak tersebut. Hal ini seperti yang terjadi dalam Putusan Nomor 746/Pdt.G/2021/Pn.Tng dan Putusan Banding 109/Pdt/2022/PT.BTN. Metode Penelitian yang digunakan Penulis dalam menulis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan menggunakan data sekunder. Penulis akan menganalisis menggunakan peraturan perundang-undangan buku, jurnal, artikel, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Penelitian ini dan mengaitkannya dengan Putusan Nomor 746/Pdt.G/2021/Pn.Tng dan Putusan Banding 109/Pdt/2022/PT.BTN. Berdasarkan analisis yang dilakukan Penulis, belum adanya tes DNA ataupun alat bukti lain yang mampu membuktikan kedudukan si anak sebagai anak biologis ayahnya, juga tidak dilakukannya perkawinan antara ibu dan ayah dari anak tersebut sehingga pengakuan anak tidak sesuai dengan yang diatur dalam UU Administrasi Kependudukan. Selain itu, masih terdapat disharmonisasi akan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengakuan anak di Indonesia sehingga keberlakuannya masing-masing masih menimbulkan kebingungan dan ketidakselarasan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

Not all children are born as a result of their parents' legal marriage, so the law stipulates that the child only has a civil relationship with his mother. A children who born outside of legal wedlock are referred to as child out of wedlock. Regulations regarding children out of wedlock in Indonesia can be found in the Civil Code, the Marriage Law, and the Compilation of Islamic Law. One of the efforts that can be made to establish a civil relationship between a man and a child out of wedlock is through child recognition. However, the recognition of a child out of wedlock is not always easy, especially if the child is born without a legal marriage between the parents, so that more effort is needed in terms of proving who the biological father of the child is. This is similar to what happened in Verdict Number 746/Pdt.G/2021/Pn.Tng and Appeal Verdict Decision 109/Pdt/2022/PT.BTN. The research method used by the author in writing this research is normative legal research, the research conducted using secondary data. The author will analyze using laws and regulations, books, journals, articles, and writings related to this research and relate them to Verdict Number 746/Pdt.G/2021/Pn.Tng and Appeal Verdict 109/Pdt/2022/PT. BTN. Based on the analysis conducted by the author, there is no DNA test or other evidence capable of proving the child's position as the father's biological child, nor has a marriage been carried out between the mother and father of the child so that the recognition of the child is not in accordance with what is regulated in the Population Administration Law. Apart from that, there is still disharmony of laws and regulations governing the recognition of children in Indonesia so that their respective implementation still creates confusion and inconsistency between one law and another."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florence Japardi
"Perkawinan beda agama merupakan fenomena yang sering ditemukan di masyarakat Indonesia yang menganut agama yang beragam. Perdebatan mengenai diperbolehkan atau tidaknya untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Indonesia terus menjadi pembahasan di masyarakat. Pembahasan dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan perkawinan beda agama, terkhusus mengenai keselarasan antara SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta Hukum Agama yang diakui di Indonesia. Lebih lanjut, dibahas pulamengenai kesesuaian pertimbangan hukum hakim dalam memutus penetapan perkawinan antara umat yang memiliki agama yang berbeda dalam Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/PN Jkt.Utr. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan pendekatan doktrinal. Perkawinan beda agama di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang sangat mungkin terjadi karena keberagaman yang ada, sehingga dimungkinkan untuk bertemu dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda. Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, kemudian perkawinan dicatatkan. Sejak lahirnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023, hakim di pengadilan tidak lagi dapat mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama seperti sebelum-sebelumnya. Namun pada kenyataannya, masih terdapat hakim yang tetap mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama dengan berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan yang mengatur bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula pada perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan, yaitu antar umat yang menganut agama yang berbeda.

Interfaith marriage is a phenomenon that is often found in Indonesian society which adheres to various religions. The debate about whether or not it is permissible to carry out interfaith marriages in Indonesia continues to be a topic of discussion in society. The discussion in this study is regarding the validity of interfaith marriages, especially regarding the harmony between SEMA Number 2 of 2023 with the provisions of laws and regulations in Indonesia and Religious Law recognized in Indonesia. Furthermore, it also discusses the suitability of the judge's legal considerations in deciding the determination of marriage between people who have different religions in Stipulation Number 423 / Pdt.P / 2023 / PN Jkt.Utr. The research method used is research with a doctrinal approach. Interfaith marriage in Indonesia is a phenomenon that is very likely to occur due to the diversity that exists, so it is possible to meet people who have different backgrounds. The validity of a marriage according to Marriage Law Number 1 of 1974 is carried out according to the laws of each religion and belief, then the marriage is registered. Since the enactment of SEMA Number 2 of 2023, judges in court can no longer grant applications for registration of interfaith marriages as before. However, in reality, there are still judges who continue to grant applications for registration of interfaith marriages based on the provisions of Article 35 of the Population Administration Law which stipulates that registration of marriages also applies to marriages determined by the Court, namely between people who adhere to different religions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library