Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachmi Idris
"ABSTRAK
Pendahuluan. Setiap pekerjaan yang menggunakan logam Merkuri, termasuk membuat amalgam, memiliki resiko untuk terpajan dengan logam ini. Pajanan logam ini, apabila melebihi nilai batas biologik akan menimbulkan penyakit. Di puskesmas-puskesmas, perawat gigi membuat amalgam secara manual, yang bahan dasarnya adalah logam Merkuri. Permasalahannya adalah, sampai saat ini, belum ada penelitian yang berhubungan dengan pajanan logam Merkuri pada perawat gigi tersebut. Pemikiran inilah, yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian dengan topik kadar Merkuri dalam urin perawat gigi sebagai akibat proses kerja membuat amalgam.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Merkuri dalam urin perawat gigi yang bekerja di puskesmas serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar tersebut.
Metodologi. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional terhadap perawat gigi yang berkerja di balai pengobatan gigi puskesmas wilayah Jakarta Selatan. Subyek penelitian adalah perawat gigi yang membuat amalgam secara manual dan memiliki masa kerja minimal 6 bulan, serta tidak mengambil cuti lebih dari 35 hari dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum penelitian dilakukan. Jumlah perawat gigi yang diteliti sebanyak 25 orang dan total populasi 27 perawat gigi yang masuk kriteria (z = 1,75, p= 0,5, d = 0,17). Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 1998. Instrumen pengumpulan data adalah analisis laboratorium, kuesioner dan observasi. Analisis statistik yang digunakan adalah frekuensi, distribusi dan statistik deskriptif untuk analisis univariat, uji pasti Fisher dan uji-t independent untuk analisis bivariat, serta regresi logistik untuk analisis multivariat.
Hasil. Kadar Merkuri dalam urin perawat gigi memiliki rentang nilai antara 6 ug/L sampai 300 ug/L. Dari rentang ini 68% melebihi nilai normal (>42 ug/L). Dan 6 variabel yang diperkirakan berhubungan dengan kadar tersebut, hanya 2 variabel yang secara statistik bivariat bermakna. Variabel tersebut adalah indikator pemaparan dan riwayat dental amalgam.
Kesimpulan dan Saran. Kecilnya jumlah sampel dalam penelitian ini memerlukan dukungan penelitian-penelitian lain yang sejenis pada puskesmas-puskesmas di luar wilayah Jakarta Selatan. Konsep penelitian ini sendiri tidak mengeksplorasi lebih jauh tentang faktor-faktor lain yang tidak terkait dengan pekerjaan. Variabel yang berhubungan dengan pekerjaan hanyalah variabel indikator pemaparan yang merupakan hasil perkalian antara lama bekerja dengan jumlah penambalan. Mengingat banyaknya perawat gigi yang kadar Merkuri dalam urin melebihi nilai normal, memerlukan langkah-langkah antisipatif penurunan kadar tersebut. Langkah-langkah tersebut berupa langkah medisinal dan atau langkah manajerial. Untuk peneliti lain, dianjurkan untuk meneliti kemungkinan manifestasi klinik dari perawat gigi yang menunjukkan kadar Merkuri di atas nilai normal. Untuk praktisi kesehatan kerja yang bekerja di industri-industri yang berhubungan dengan hazard logam Merkuri, penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi tambahan dalam melakukan pemeriksaan pra-karya dan pemeriksaan berkala (terutama kemungkinan adanya bias pemeriksaan kadar Merkuri dalam spesimen yang tidak berhubungan dengan proses kerja).

Introduction. Every work that uses Mercury, including amalgam, has a risk to be exposed. If Mercury exposure is more than biological limit value, the exposure may result in a disease. At the "puskesmas" (community health center), dental nurses make amalgam manually and use Mercury as basic ingredient. The problem is, until this time, there is no study on exposure to Mercury among dental nurses. On the basis of this reason, a research was conducted to study urine Mercury concentration on dental nurses.
Objectives. The research objective is to describe Mercury concentration in urine dental nurses at community health centers in south Jakarta area and to analyze factors which relate to that concentration.
Methodology. This research was conducted by use of a cross sectional study design. The subject of research were dental nurses who had made dental amalgam manually, had worked 6 months minimally and had no leaved the job more than 35 during the last 6 months. Total samples were 25 dental nurses (z=1,75, p=0,5, d3,17). This research was done in March 1998. Instrument for collecting data were laboratory analysis, questionnaire and observation. Statistical analysis was descriptive statistic for univariate, exact Fisher's test and t-test for bivariate, and multiple logistic regression for multivariate.
Result. The range of urine Mercury concentration in dental nurses is between 6 ug/L and 300 ug/L. From this range, a 68% of dental nurses have urine Mercury concentration more than normal value (>42 ug/L). In analyzing factors related to that concentration, only 2 variables are statistically significant. These variables are exposure indicator and dental amalgam history.
Summary. Considering that the number of sample was to small, this research needs a follow-up study to support this research. The weakness of this study did not observe in depth about another factors which is estimated not related to amalgam working process. A significant variable which relates to amalgam working process in this study is the exposure indicator. Due to number of dental nurses with urine Mercury concentration more than normal value is large enough, it is suggested that urine the Mercury concentration should be reduced. Medical and managerial approach are the ways to reduce it. For next study, on the basis of this study, other researchers may study the clinical manifestation in dental nurses who have urine Mercury concentration more than normal value. For occupational health manager, the result of this study can be considered for preemployment and annual health examination in industry with Mercury hazard (especially, to minimize urine Mercury concentration bias from dental amalgam when measure specimen that not related to working process).
"
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachmi Idris
"ABSTRAK
Tahun 1993, ditetapkan WHO sebagai tahun kedaruratan global TB. Ini terjadi akibat: 1) peningkatan kasus TB yang terkait dengan peningkatan kasus AIDS/HIV; 2) tingginya angka migrasi penduduk yang menyebabkan makin meningkatnya penyebaran penyakit TB; 3) perhatian pemerintah yang mulai berkurang dalam pemberantasan penyakit TB (terutama di negara-negara berkembang); 4) munculnya multi drugs resistant obat-obat TB. Di Indonesia, TB masih merupakan permasalahan kesehatan utama dan menduduki tiga besar dari peringkat penyebab kematian bersama-sama penyakit saluran napas dan kardiovaskuler. Untuk mengatasi permasalahan di atas, WHO memperkenalkan strategi directly observed treatment short course (DOTS). Strategi DOTS merupakan strategi untuk program penanggulangan TB (P2TB) yang terdiri dari 5 (lima) komponen, yaitu: 1) komitmen politik dari penentu kebijakan; 2) penegakan diagnosis dengan pemeriksaan hapusan sputum; 3) penggunaan obat paduan jangka pendek yang ampuh dan gratis; 4) adanya pengawas penderita menelan obat (PMO); 5) adanya sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Penerapan strategi DOTS, dapat meningkatkan cakupan penderita lebih dari 70% dengan angka kesembuhan lebih dari 85%, angka konversi setelah fase intensif lebih dari 80% dan angka kesalahan laboratorium kurang dari 5%.
Indonesia, sejak tahun 1995 mulai menerapkan strategi DOTS melalui puskesmas namun hasilnya tidak optimal karena tidak melibatkan sarana pelayanan lain. Kemampuan cakupan optimal puskesmas diperkirakan hanya sekitar sepertiga (30%) dari total penderita TB yang ada di masyarakat. Sepertiga penderita TB lainnya (30%) berobat ke dokter praktek swasta (DPS). Untuk memperluas cakupan pengobatan penderita TB maka strategi DOTS harus diterapkan pada DPS.
Pentingnya keterlibatan DPS dalam P2TB merupakan strategi global dari WHO. WHO berpendapat bahwa DPS dan pemerintah (pengelola P2TB) harus bermitra untuk bersama-sama memberantas TB, yang di beberapa negara telah terbukti keberhasilannya. Namun demikian, untuk menjalankan program kemitraan antara pemerintah dan DPS dalam P2TB bukanlah upaya yang mudah karena: 1) sifat dan karakter DPS (sebagai sektor swasta) sangat berbeda dengan pelaksana program kesehatan masyarakat (sebagai sektor publik); 2) adanya kompleksitas manajerial P2TB strategi DOTS yang harus disesuaikan dengan kondisi DPS. Untuk itu, perlu diciptakan model (kemitraan) yang dapat melibatkan DPS menjalankan strategi DOTS. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengimplementasikan serta mendeskripsikan proses dan mengevaluasi efek model kemitraan tersebut (selanjutnya disebut model ini disebut model kemitraan DPS-TB DOTS).
Penelitian ini menggunakan desain penelitian operasional, yaitu studi eksplorasi dan studi intervensi lapangan. Studi eksplorasi memerlukan dua tahap, yaitu: pertama, untuk menganalisis masalah (problem analysis/identification); kedua, menyusun model penyelesaian masalah (solution development). Studi intervensi lapangan bertujuan untuk mendeskripsi proses pelaksanaan model kemitraan DPS-TB DOTS dan mengevaluasi efek dari model kemitraan DPS-TB DOTS.
Studi eksplorasi menganalisis masalah menggunakan metode penelitian survai dan pendekatan kualitatif melalui diskusi kelompok terarah. Studi eksplorasi untuk menyusun model penyelesaian masalah menggunakan studi kepustakaan dan pertemuan pakar; yang menghasilkan model kemitraan teoretis DPS-TB DOTS. Studi intervensi terdiri dan 2 fase: 1) penyesuaian model kemitraan teoretis DPS-TB DOTS untuk dijadikan model kemitraan implementatif DPS-TB DOTS; 2) mengujicobakan model kemitraan implementatif DPS-TB DOTS di wilayah intervensi. Metode penyesuaian model adalah seminar dan curah pendapat. Metode studi intervensi adalah post test only with control group.
Dari hasil analisis masalah didapatkan bahwa DPS pada prinsipnya bersedia untuk terlibat dalam P2TB strategi DOTS dan tidak mengharapkan penghargaan (apalagi secara materi). Namun demikian, ada beberapa permasalahan yang teridentifikasikan apabila DPS akan dilibatkan, yaitu: 1) secara umum DPS belum paham tentang strategi DOTS; 2) perlu pengorganisasian untuk melibatkan DPS; 3) adanya kesulitan untuk menjalan prosedur diagnosis pemeriksaan sputum; 4) fungsi PMO tidak dapat dijalankan sendiri oleh DPS; 5) adanya keraguan tentang keberlanjutan dan tata cara distribusi obat; 6) sebagian DPS tidak bersedia untuk mencatat dan melaporkan pasien TB yang diobati. Berdasarkan temuan ini, dilakukan pertemuan pakar dan studi kepustakaan untuk mendapatkan model kemitraan teoretis DPS-TB DOTS yang menghasilkan: alternatif model pengorganisasian untuk melibatkan DPS, alternatif manajemen dari masing-masing komponen strategi DOTS. Model kemitraan teoretis merupakan model dasar yang dapat diterapkan pada seluruh DPS. Pada studi intervensi, model kemitraan teoretis setelah disesuaikan dengan kondisi lokal (yang bersifat spesifik di wilayah penelitian) menghasilkan model kemitraan implementatif DPS-TB DOTS di Palembang (model Palembang).
Terdapat dua aspek panting pada model Palembang, yaitu: 1) aspek pengorganisasian yang terdiri dari satuan gugus tugas dan Kelompok Dokter Pemerhati dan Pengobat TB; 2) aspek manajerial pelaksanaan yang meliputi alternatif dari alur rujukan laboratorium pemeriksaan sputum, rujukan kasus, pencatatan dan pelaporan dan penyediaan obat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa 1) pada sisi proses pelaksanaannya, model dapat berjalan dengan baik; b) pada sisi evaluasi efek dari pelaksanaannya, temyata dibuktikan bahwa model menghasilkan efektivitas program yang lebih baik.
Pelajaran dari model Palembang adalah DPS dapat dilibatkan untuk menjalankan P2TB strategi DOTS. Keterlibatan ini telah menempatkan DPS sebagai bagian dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang ada dalam satu wilayah yang merupakan satu pendekatan kesehatan masyarakat baru (new public health approach). Pendekatan ini telah menciptakan hubungan (linkage) antara pelayanan kesehatan publik dengan pelayanan kesehatan swasta, yang membentuk sistem pelayanan kesehatan "publik privat miks". Disarankan temuan ini dapat dikembangkan di tempat lain sesuai dengan kondisi lokal yang ada di wilayah tersebut.

ABSTRACT
Public Private Partnership Between Public Health Sector And Private Practitioners On TB Control Program Through DOTS Strategy At Palembang CityTuberculosis as a global emergency was stated by WHO in 1993. This warning related to: 1) High incidence ADS/REV; 2) spreading TB among refugees and migrants; 3) lack of government concern; 4) multi drugs resistant of anti TB. In Indonesia, up to now TB is still a main public health problem. Based on some health household survey (recently 1995), it has been found that TB is around the second or the third greatest killer among cardiovascular diseases and respiratory system.
Faced this situation WHO recognized DOTS strategy that is success to against TB in developing countries. DOTS strategy has five component: 1) government commitment to sustained TB control activities; 2) case detection by sputum smear microscopy; 3) a regular, uninterrupted supply of all essential anti-TB drugs; 4) directly observed treatment (DOT); 5) recording and reporting system. Applying DOTS strategy could be: 1) increases coverage more than 70%; 2) increases conversion rate (after intensive phase) more than 80%; 3) decreases error rate (for lab sputum examination) less than 5%.
Since 1995, Indonesia applied DOTS strategy but up to now the data reflected slow progress of TB coverage because the implementation is covered in the puskesmas only. In fact, various health institutions treat TB patients, among them is the private practitioners (PPs). Current estimates indicate that each of the PPs and other private sectors diagnose and treat around 30% of the total numbers of TB cases.
The significant of the involvement of private practitioners is WHO global strategy. WHO ask the government to build a partnership with private sector (the PPs) to against TB. But, there are some constrains to build the partnership between government (as a public sector) with PPs (as a private sector) because: 1) the difference characters between them; 2) the management complexity of DOTS strategy itself that need adjustment for PPs to conduct that strategy. Therefore need to create program (model) that could be involved the private practitioners to increase the TB coverage in the term of mutual benefit between those sectors.
This research have three goals: the first goal is, to create model to involvement PPs on national tuberculosis program and implement the model, the second goal is, to describe the process of model implementation; and the third goal is, to evaluate model impact i.e. the effectiveness of the program. The research method is operational research design that consists of two stages. First stage is exploration study to analysis current situation to involve the PPs (problem analysis/problem identification) and to develop problem solution (model development) base on problem identification. Second stage is intervention study to evaluate the fitness and impact of the model (solution validation) in a period of intervention.
The exploration study to analysis current situation (problem analysis/problem identification) use survey method as a quantitative study and qualitative study-focus group discussion as additional method The exploration study to develop problem solution (model development) use literature review and expert meeting; the product of this stage is theoretical public private partnership model. The intervention study have two phase: 1) adjusting the theoretical public private partnership model to be the implementing model base on local specific environment at the intervention area; 2) to intervene implementing public private partnership model at the intervention area The method of the adjusting model is seminar and brainstorming. The method of intervention is the posttest design only with control group.
Problem analysis found that the PPs available to conduct DOTS strategy principally. But there are potential problems, i.e. 1) the PPS has lack of knowledge about DOTS strategy; 2) the PPs need to be organized; 3) the problem in sputum smear examination; 4) there is no PPs manpower to conduct DOT activity; 5) the PPs is not sure about sustainability free anti TB drug; 6) The difficulty to conduct of the reporting system. Base on that finding, to be conducted expert meeting and literature review that produce theoretical model which consist of organizational alternative to involve PPs and management alternative for sputum smear examination, DOT, anti TB drug supply, and reporting system. The theoretical model is agreed as a general model if DOTS strategy will be implemented on PPs. In the intervention study, the theoretical model that was adjusted according to local specific environment at the intervention area has produced implementing public private partnership model (known as "model impelrnentatif DPS-TB DOTS" at Palembang City).
Palembang model has two important aspect, i.e.: 1) organizational aspect, consist of: DOTS taskforce and PPs group of TB Control; 2) management aspect, consist of the alternatives of sputum examination, case referral, reporting and recording and drug supply. The conclusion of this result shows that model fit to be conducted by PPs. At the process evaluation, DPS run the model in the line with standard. At the impact evaluation, the model enhances the effectiveness of the PPs performance to handle TB patients.
Palembang lesson learn found that there is a new approach in the TB control program (public sector) to involve the PPS (private sector) to conduct public health program. This approach builds linkage, which put private provider as a part of the whole health service system. In the communicable disease control program, this is a new public health approach-known as public private mix health service system-that could be replicable to other place through some condition, especially local specificity at that area."
Depok: 2003
D569
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachmi Idris
"Peningkatan jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit pada awal masa pemberlakuan program Kartu Jakarta Sehat (KJS) disebabkan belum optimalnya sistem pelayanan kesehatan berjenjang. PT Asuransi Kesehatan (PT Askes) bersama Dinas Kesehatan DKI Jakarta melakukan berbagai upaya dalam bentuk paket intervensi untuk mengoptimalkan sistem tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas paket intervensi PT Askes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam meningkatkan optimilisasi sistem rujukan pelayanan kesehatan. Penelitian ini menggunakan survei potong lintang dengan metode pengambilan sampel acak pada puskesmas di DKI Jakarta terhadap hasil intervensi PT Askes. Hasil intervensi diukur melalui wawancara pada kepala puskesmas atau petugas yang mewakili. Data dianalisis menggunakan tes statistik nonparametrik, yaitu uji Wilcoxon dan regresi Generalized Linear Model. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2013 hingga Februari 2014. Terdapat perbedaan bermakna pada keempat indikator, terjadinya peningkatan kunjungan peserta KJS dipengaruhi oleh ketersediaan tempat tidur, jumlah peserta KJS terdaftar, intervensi dalam bentuk regulasi, serta persentase pengangguran terbuka. Meskipun ada perbedaan signifikan setelah dikelola PT Askes, hal ini belum cukup membentuk persepsi puskesmas untuk berpendapat bahwa PT Askes memiliki andil dalam mengoptimalkan sistem elayanan kesehatan berjenjang pada program KJS.

Increasing the number of patient visits to the hospital at the beginning of the implementation Healthy Jakarta Card (KJS) program was claimed to be associated with optimization of health care referral system. PT Asuransi Kesehatan (PT Askes) with the DKI Jakarta Department of Health Service made efforts to improve the optimalization that system. This study aimed to evaluate the effectiveness of intervention PT Askes?s and DKI Jakarta Departement Of Health?s packages in improving the optimization of health care referral system. This study used a cross sectional survey with a random sampling method in primary health centers in Jakarta related with the result of PT Askes?s intervention package. The result of intervention were conducted by interview to the head of the primary health center or officer representing. Data were analyzed with nonparametric statistical tests, using the Wilcoxon test and Generalized Linear Regression Model. The study was conducted in October 2013 until February 2014. There were significant differences between the four indicators, an increase in visits KJS participants are influenced by the availability of beds, number of participants registered KJS, intervention in the regulation, and the percentage of open unemployment. Although there were significant differences after managed by PT Askes, these efforts were not enough to make primary health centers perception that PT Askes has contributed to the optimization of health care referral system in KJS program."
Universitas Sriwijaya, Fakultas Kedokteran, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran, 2014
Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library