Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Abstrak :
A deictic expression is an expression in a language, which has an indefinite referent. The indefinite nature of that referent is due to the situation of the encoder. The referent of a deictic expression will change if the speaker and the spatio-temporal reference of the deictic expression change. Thus, deictic expressions can be divided in three groups, person deixis, spatial deixis and time deixis. The interesting thing in Javanese deixis is the effect of speech levels. A speaker must choose speech level appropriate to his or her social level and that of the other participant in the conversation. Basically, Javanese speech levels can be grouped into three levels, ngoko (low level), madya (mid level) and krama (high level). Most Javanese deictic expressions are lexicalized in those three speech levels. For example, the demonstrative pronoun iki 'this', is lexicalized in three lexemes, iki, niki and menika in the levels ngoko, madya and krama respectively. Javanese has many personal pronoun lexemes, which are related to the three speech levels mentioned above, and which vary according to whether, the pronoun is in the first person, second person or third person. There are eight lexemes, which refer to the first person (singular and plural), forteen lexemes for the second person (singular and plural) and five lexemes for the third person (singular). All of those lexemes can be grouped according to its speech level. Any personal pronoun lexeme will imply the social status of the speaker using it. Spatial deixis in Javanese distinguishes between local deictic domains which are in the speaker's vicinity, outside the speaker's vicinity and remote from the 'speaker. In the time deixis can be found lexemes which refer to the time of speaking, the past time and future time. There are lexemes which be used only to convey a time point, a time period or both. In the Javanese deixis we find deixis neutralization. This term may be illustrated by an example the word menika 'this', from the high speech level, corresponds to the words iki, kuwi and kae from the low speech level. Iki 'this' (to refer to the vicinity of the speaker), kuwi 'that' (to refer to domains outside the vicinity of the speaker) and kae 'that' (to refer to domains remote from the speaker). The' fact that the word menika has three equivalents, iki, kuwi, kae shows that there is no deictic distinction of demonstrative pronouns in the high speech level. However, neutralization of this type only occurs in the spatial deixis. This investigation of invariant meanings of deictic expressions can find the appropriate referent of the deictic words and their constraints of the acceptability in the practice. Furthermore, we can also know the application's rule of the non-deixis words used as deictic words. The most important conclusion of this investigation is that Javanese speech levels are a semantics problem, particularly in the case of social deixis. The three speech levels refer to the referent, which in turn implies different social status.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Abstrak :
ABSTRAK
Ujaran secara garis besar dibentuk oleh dua unsur, yakni unsur segmental dan unsur supraseginental atau prosodi. Unsur suprasegmental merupakan unsur nonsegmental yang menyertai realisasi pengujaran unsur-unsur segmental itu. Hadirnya unsur nonsegmental dalam pengujaran unsur-unsur segmental itu menunjukkan bahwa unsur segmental dan unsur supraseg__nental bersama-lama membentuk makna sebuah ujaran. Intonasi sebuah ujaran_Vyang merupakan salah satu perwujudan prosodi_Vmemiliki pola-pola tertentu dalam menampilkan ""makna"" tertentu pula, antara lain menyatakan modus kalimat. Perbedaan intonasi modus-modus kalimat direalisasikan dengan perbedaan yang tipis atau sebaliknya direalisasikan dengan kontras intonasi yang sangat mencolok. Bahasa Jawa, yang merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia, kiranya merupakan objek penelitian intonasi yang sangat menarik. Penelitian intonasi bahasa Jawa ini berpeluang untuk mengambil peran dalam pengembangan penelitian fonetik bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia. Tujuan pertama penelitian ini adalah menemukan pola intonasi kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif dalam ragam bahasa Jawa yang digunakan di dalam keraton Yogyakarta. Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk menemukan ciri signifikan yang menandai kontras modus-modus kalimat itu. Penemuan ciri-ciri yang menandai kontras modus ini diharapkan memberikan gambaran yang menunjukkan bahwa sebuah pola
2003
D1590
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S11630
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2002
499.251 RAH e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Jakarta: Penaku, 2012
899.221 RAH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Jakarta: Penaku, 2010
378.2 RAH k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
899.222 RAH b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Abstrak :
ABSTRAK
Bahasa Jawa yang memiliki tingkat tutur merupakan ranah penelitian bahasa yang selalu menarik. Tingkat tutur bahasa yang juga merupakan kekayaan ragam yang dimiliki Bahasa Jawa, telah banyak diteliti baik secara sinkrenis maupun diakronis. Kaidah pemakaian ragam tutur yang rumit sehubungan dengan aspek sosial penutur dan dalam kaitannya dengan sifat bahasa yang selalu berubah dari waktu ke waktu, menyebabkan penelitian tentang ragam bahasa Jawa ini tetap diperlukan.

Lajunya penyebaran informasi dan lajunya penyebaran masyarakat penutur Bahasa Jawa ke berbagai pelosok masyarakat bahasa lain, menyebabkan Bahasa Jawa, khususnya ragam tuturnya, berubah secara cepat. Interferensi Bahasa lain, terutama Bahasa Indonesia, ke dalam Bahasa Jawa membuat batas-batas ragam tutur Bahasa Jawa tidak mudah lagi dikenali dengan mudah. Oleh karena itu, perlu diupayakan penyederhanaan baik yang menyangkut pengelompokan ragam tutur maupun istilah atau penamaan ragam-ragam itu.

Berdasarkan atas data-data yang berhasil diperoleh selama penelitian ini, menurut sudut pandang situasi hubungan antar partisipan tindak tuturan ditemukan tiga ragam tutur, yaitu: (1) ngoko, (2) madya, dan (3) krama. Lebih lanjut ragam ngoko bisa dikelompokkan lagi menjadi dua sub ragam, yaitu (1) ngoko lugu dan (2) ngoko alas atau ngoko andhap.

Ditinjau dari sudut pandang bidang wacana, dalam hal ini yang menyangkut situasi formal dan informal, dapat ditemukan produktif tidaknya kata-kata pinjaman maupun peristiwa alih kode yang ada dalam wacana. Keproduktifan kata-kata pinjaman maupun peristiwa alih kode ini ternyata juga mencerminkan sikap masyarakat Bahasa Jawa dalam menghadapi lajunya interferensi bahasa lain, khususnya Bahasa Indonesia, ke dalam Bahasa Jawa. Segi kepraktisan dan keinformatifan Bahasa Indonesia sangat mempengaruhi masyarakat Bahasa Jawa untuk menghindari kaidah-kaidah yang rumit dalam pemakaian ragam tutur.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Abstrak :
ABSTRAK
Pada hakekatnya bahasa itu berubah dari waktu ke waktu. Salah satu perubahan bahasa itu diakibatkan oleh terjadinya kontak antar-bahasa. Secara linguistis, akibat yang ditimbulkan kontak bahasa itu adalah terjadinya campur kode maupun interferensi dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya.

Meluasnya fungsi Bahasa Indonesia dan menyempitnya fungsi Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi verbal pada masyarakat penutur Bahasa Jawa bukan hanya mengakibatkan terjadinya perubahan wujud Bahasa Jawa saja, tetapi ternyata juga mengakibatkan adanya perubahan sikap sebagian penutur Bahasa Jawa terhadap bahasa ibunya. Dengan adanya perubahan sikap ini maka bahasa Jawa yang digunakan dalam tindak ujaran sehari-hari selalu d isertai dengan campur kode dengan Bahasa lndonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap-sikap penutur Bahasa Jawa terhadap penggunaan bahasa ibunya dalam menghadapi lanjutan perluasan fungsi bahasa Indonesia dalam perluasan bermasyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian awal yang masih perlu dilanjutkan guna memperoleh jawaban-jawaban yang lebih tepat.

Sebagai kesimpulan umum, yang juga masih berupa kesimpulan semenara, adalah bahwa masyarakat penutur bahasa Jawa sudah tidak lagi secara konsisten bersikap perskreptif terhadap pemakaian Bahasa Jawa pada masyarakatnya. Kesalahan dalam menerapkan kaidah-kaidah berbahasa sudah merupakan hal yang dimaklumi.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>