Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Abstrak :
Dengan dimasukkannya permasalahan peningkatan peranan perempuan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, jelas bahwa sesungguhnya perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan. Perlu digarisbawahi bahwa perempuan bukan hanya memiliki hak yang sama dalam pembangunan, tetapi juga kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam melaksanakan dan menikmati pembangunan. Dalam kenyataannya, meskipun iklim yang dikembangkan pemerintah memberikan banyak peluang sekaligus kewajiban pada perempuan untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan pembangunan, faktor-faktor kultural dan pandangan sebagian kelompok masyarakat tertentu masih menghambat pengembangan perempuan tersebut. Faktor penghambat tersebut mencakup faktor yang berasal dari luar, maupun dari dalam, seperti 'konsep diri' dan persepsi perempuan itu sendiri terhadap peran dan kedudukannya. Dilandasi permasalahan dan situasi-kondisi seperti di atas, akan sangat bermanfaat bila dapat diperoleh gambaran dari perempuan sendiri, khususnya perempuan muda (yang tentunya masih memiliki peluang besar untuk mengembangkan dirinya) mengenai aspirasi, harapan-harapan, dan gambaran masa depan yang dicita-citakannya, bagaimana ia melihat dan mengolah aspirasi tersebut dalam keterkaitan dan saling pengaruhnya dengan berbagai aspek kehidupannya, serta bagaimana ia kemudian menampilkan dirinya. Melalui penelitian mengenai hal tersebut, akan dipahami secara lebih mendalam hal-hal berkaitan dengan aspirasi perempuan, faktor-faktor yang mempengaruhinya (peluang dan kendala), serta bagaimana perempuan mengambil keputusan dan mengaktualisasikan aspirasinya. Penelitian ini mengambil subyek perempuan muda (usia 25-35 tahun) yang bekerja penuh di suatu instansi formal, dengan posisi staf pelaksana atau lebih tinggi, dengan kemungkinan pengembangan posisi. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan metode pengambilan data wawancara mendalam. Walau penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, untuk mengungkap data dari dasar, dan tidak dimaksudkan untuk meninjau atau menguji teori/hipotesis tertentu, sebagai landasan berpikir peneliti mencoba mengutip pandangan psikologi humanistik tentang manusia (Maslow dan Allport, 1961) peranan sosialisasi terhadap kepribadian dan aspirasi perempuan (Bern, 1967), kepribadian perempuan yang relasional (Miller; 1976, 1984 dan Surrey, 1984). Berikut ini dikemukakan integrasi dari kerangka teori yang digunakan, yang sekaligus merupakan kerangka kerja penelitian mengenai aspirasi perempuan.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
157.7 KRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
616.858 KRI n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3), 2007
150 KRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Jakarta: LPSP3 UI, 1998
150.72 KRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
362.82 KRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Abstrak :
Penelitian dilakukan untuk dapat memperoleh gambaran tentang (1) isu perempuan yang muncul dalam kunin waktu 1928 - 1965 dan sikap perempuan pejuang menghadapinya; serta (2) masalah-masalah subjektif yang dihadapi perempuan pejuang dalam kegiatan yang ditekuninya. Masuk dalam batasan di atas, semua masalah dan/atau isu yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan perempuan karena nilai, posisi, peran, stereotip dan tuntutan-tuntutan yang dilekatkan kepadanya sebagai manusia berjender perempuan. Metode yang digunakan adalah analisis wacana, yakni analisis terhadap narasi personal seperti biografi dan cuplikan kisah, maupun analisis terhadap buku-buku sejarah yang relevan. Sebagian besar gerakan perempuan di Indonesia yang dibentuk sebelum kemerdekaan sampai tahun-tahun awal kemerdekaan memusatkan perhatian pada upaya membebaskan bangsa dari penindasan bangsa lain. Ciri-ciri ini sama dengan yang tampak pada gerakan perempuan di negara-negara yang pernah mengalami penjajahan asing. Meski perjuangan memperbaiki kondisi hidup perempuan menjadi bagian penting perjuangan, hal tersebut tampaknya kalah penting dalam pembandingannya dengan upaya memperkuat barisan nasional menghadapi penjajah, dan mengisi tahun-tahun awal kemerdekaan. Untuk menggalang partisipasi aktif perempuan didengungkan konsepsi "perempuan sebagai Ibu Bangsa", dengan ide bahwa kemajuan bangsa sebagian besar tergantung pada kaum perempuan Indonesia. Konsepsi "meninggikan derajat perempuan sebagai Ibu Bangsa", meskipun mungkin diperlukan di masa lalu, dalam perkembangan sejarah selanjutnya tampaknya justru merugikan posisi perempuan, karena perempuan kemudian dilihat dan dikungkung hanya dalam kaitan perannya sebagai Istri dan Ibu, bukan sebagai warganegara yang sepenuhnya memiliki hak yang sama di segala bidang. Di balik perjuangan bangsa, ada isu-isu perempuan yang berbeda untuk periode yang berbeda. Periode 1928 - 1942 kelompok perempuan menjadi satu kelompok penting yang mendukung perjuangan bangsa mengakhiri penjajahan. Di balik perjuangan bersama tersebut, ada masalah besar yang dihadapi kaum perempuan, yakni rendahnya kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan dan keluarga. Banyak terjadi perkawinan muda, perkawinan paksa, pergundikan, poligami, perceraian sewenangwenang dan masalah-masalah lain yang memunculkan banyak penderitaan bagi perempuan. Kondisi ini diperburuk dengan feodalisme yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sendiri, khususnya masyarakat Jawa. Periode 1942 - 1945 (1950) yang menjadi ciri utama masa ini adalah dimobilisasinya kekuatan masyarakat dengan berbagai cara yang sangat eksploitatif dan merendahkan kemanusiaan, untuk membantu Jepang mencapai cita-citanya menguasai Asia. Terjadi banyak penipuan dan kejahatan seksual pada perempuan, dengan dimasukkannya perempuan-perempuan muda dalam kamp-kamp tentara, dipaksa menjadi pemuas nafsu seksual serdadu Jepang. Yang menonjol pada zaman Jepang adalah kelihaian pejuang mengembangkan berbagai strategi dalam menghadapi pemerintah Jepang, dengan salah seorang perempuan pejuang yang lihai dalam hal tersebut, yakni S.K. Trimurti. Dalam tahun-tahun pertama kemerdekaan, perempuan ikut turun dalam perjuangan fisik dengan berbagai peran pentingnya. Periode 1945 (1950) - 1965: Selain masalah-masalah rendahnya kedudukan perempuan dan eksploitasi terhadap seksualitasnya seperti yang juga mewarnai periode sebelumnya, isu yang menonjol adalah masalah-masalah organisasional yang pertentangan kepentingan di antara organisasi-organisasi yang ada, Kepentingan politik memecah-belah dan melemahkan organisasi perempuan. Perlu disebutkan mobilisasi massa yang sangat berhasil dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang berafiliasi dengan PKI, dan yang berbeda kepentingan dengan kelompok-kelompok lain, baik kelompok agama maupun kelompok nasionalis seperti Perwari. Kudeta berdarah 30 September 1965 dan situasi politik setelahnya yang membawa banyak korban menandai masa baru yang disebut Orde Baru. Beberapa pengalaman subjektif pejuang perempuan adalah (1) adanya model peran yang memberi contoh dan memotivasi perjuangan; (2) pembedaan perlakuan pada perempuan dan laki-laki, dan rendahnya kedudukan perempuan yang memotivasi perjuangan keadilan bagi perempuan; (3) kesadaran bahwa feodalisine berkait dengan bertahannya diskriminasi terhadap perempuan; dan (4) adanya dilema antara mendahulukan kepentingan perempuan dengan kepentingan nasional. Para pejuang menunjukkan komitmen tinggi pada nilai-nilai yang diyakini, sehingga rela menomorduakan kepentingan pribadi, hidup susah, dimusuhi keluarga dan dikucilkan, ditahan dan dipenjara. Ada pula pejuang yang demikian besar komitmen perjuangannya sehingga "mengalahkan kodrat biologis"nya sebagai perempuan yang baru melahirkan dan harus menyusui anak, tampil sebagai super woman, termasuk dalam menjalankan peran (beban) ganda dengan menjadi penanggungjawab utama dalam keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan pejuang, baik sebagai individu maupun anggota organisasi berperan penting dalam perjuangan bangsa. Meski demikian, perjuangan memajukan kepentingan-kepentingan perempuan sendiri tidak banyak mendapat dukungan masyarakat Indonesia pada umumnya, ataupun pejuang nasional (pria) dan pemerintahan yang terbentuk setelah Indonesia merdeka. Yang lebih memprihatinkan, gerakan perempuan harus mengalami pertentangan dan perpecahan sebagai dampak kondisi perpolitikan negara dalam konteks yang lebih luas, seperti tampil setelah proklamasi kemerdekaan dan memuncak dengan meletusnya dengan kudeta 30 September 1965.
This content analysis focuses on two main questions: the issues faced by Indonesian women during national struggle 1928-1965, and how women reacted and positioned themselves in regard to the issues. To be included and focused, any problems directly and indirectly faced by women as gendered human beings. The content analysis reveals that there are periods of Indonesian women activism, in which each period has its characteristic. In the period 1928-1942, people began to realize that they had to be united nationally to face the colonization. In this period, women activists began to realize many issues faced by women, especially in regards to their very low status in family law and in society in general There were polyginy everywhere, child and forced marriages, as well as women abuse in the family. With the sensitivity of the issue, conflicts between organzations existed, to be escalated more by the Dutch colony for their own benefits. In the period of 1942-1945, Japan occupied Indonesia, and there were so many exploitative and humiliating mobilization of force to help Japan achieve its aim to dominate Asia. Many young women were sexually assaulted, raped, and forced to go to prostitution, as sexual reliefs for Japan soldiers. Also in this era, women involved in physical struggle and strategy in response to Japan's domination. In the period of 1945-1965, beside other issues faced by women, there were also conflicting interests between different organizations. Women's organizations were manipulated by the political elites for their own purposes.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
LP 1998 39
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Bandung: Yayasan Ija Insani, 2004
128 ELI m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library