Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Triarini Indirasari
Abstrak :
ABSTRAK
Waktu merupakan konsep abstrak yang tidak bisa dilihat secara kasat mata sehingga manusia menggunakan analogi dari konsep lain yang lebih konkrit dalam menjelaskan konsep waktu. Analogi tersebut tercermin dalam bentuk metafora yang digunakan dalam berbahasa. Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa metafora waktu bisa berbeda antar budaya. Dalam konteks budaya Barat yang menggunakan bahasa Inggris, terdapat dua metafora yang menggambarkan pergerakan waktu dari sudut pandang egoreference, yakni ego-moving dan time-moving (Lakoff & Johnson, 1980). Di Indonesia, penelitian tentang waktu masih terbatas. Hasil-hasil penelitian lintas budaya terkait waktu menunjukkan adanya sikap maupun penalaran temporal yang berbeda antara orang Indonesia dengan orang dari budaya lain (Boroditsky, Ham, & Ramscar, 2002; Levine & Norenzayan, 1999). Didasari oleh hasil-hasil penelitian tersebut dan pandangan Linguistic Relativity Hypothesis dari Benjamin L. Whorf (1956), peneliti berargumen bahwa metafora pergerakan waktu yang dimiliki dalam konteks budaya Indonesia berbeda dengan yang terkandung dalam bahasa Inggris. Tiga studi pada disertasi ini mencoba melihat secara lebih detil tentang metafora waktu yang terkandung dalam budaya Indonesia serta pengaruh metafora pergerakan waktu terhadap ketepatan seseorang mengestimasi durasi waktu. Penelitian eksploratif pada Studi 1 (N=50 orang) memperlihatkan bahwa metafora waktu dalam budaya Indonesia dianalogikan dalam konteks spasial, memiliki ciri fisik, dan pergerakan. Namun, metafora pergerakan waktu yang diperoleh belum mengkonfirmasi metafora pergerakan waktu dari sudut pandang diri (ego-reference point). Penelitian eksperimental pada Studi 2a (N= 139 orang), Studi 2b (N= 64 orang) dan Studi 3 (N=123 orang) menunjukkan bahwa metafora pergerakan waktu dalam konteks budaya Indonesia lebih cenderung pada metafora time-moving dibanding ego-moving. Lebih lanjut, hasil Studi 3 memperlihatkan bahwa priming menggunakan metafora pergerakan waktu (ego-moving vs. time-moving) tidak berpengaruh terhadap estimasi durasi waktu, namun durasi tugas (pendek vs. panjang) berpengaruh terhadap estimasi. Tiga studi yang dilakukan pada disertasi ini menggunakan mahasiswa sebagai partisipan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) metafora waktu dalam konteks budaya Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris; (2) metafora pergerakan waktu dalam bahasa Indonesia lebih mencerminkan time-moving daripada ego-moving; dan (3) akurasi estimasi durasi waktu lebih dipengaruhi oleh durasi tugas dibanding metafora pergerakan waktu. Implikasi penelitian selanjutnya didiskusikan pada disertasi ini.
ABSTARCT
A concrete object, as an analogy or a metaphor, is often used to explain an abstract concept, such as time. People can use a metaphor in their language to better explain time movements. Previous research on time metaphor suggested that culture may influence how people perceived time movements. From the ego-reference point of view, two metaphors, namely ego-moving and time-moving, are often used to describe time movements in English in Western culture (Lakoff & Johnson, 1980). On the other hand, cross-cultural studies on time metaphor based on Linguistic Relativity Hypothesis theory showed that Indonesian had different time attitudes and temporal reasoning than other cultures (Boroditsky, Ham, & Ramscar, 2002; Levine & Norenzayan, 1999; Whorf, 1956). Research on time metaphors in Bahasa Indonesia is still lacking. Therefore, this dissertation aimed to investigate if Indonesian have a different perception of time movements than Western culture. Three studies on time metaphors were conducted to look in a more detailed the effect of time movement metaphors on the accuracy of time duration estimation. Participants of these studies were university students. An explorative study from Study 1 (N= 50 participants) showed that time metaphors in Indonesian culture were analogically described in spatial contexts, physical characteristics, and movement. However, in terms of time movement, Study 1 did not confirm the type of metaphors that reflects ego-reference point. Using experimental studies in Study 2a (N= 139 participants), Study 2b (N= 64 participants) and Study 3 (N=123 participants) found that time movement metaphor in the context of Indonesian culture was more likely to be a time-moving than an ego-moving metaphor. Furthermore, the results in Study 3 showed that priming using ego-moving vs. timemoving metaphor did not affect the estimated time duration, but task duration (short vs. long) affected the estimation. The results of these studies indicate that: (1) time metaphors in the context of Indonesian culture were different from English; (2) time movement metaphors in Indonesian reflected more time-moving than ego-moving metaphor; and (3) the accuracy of the estimated time duration was more influenced by the length of the task than the time movement metaphor. The implications of these studies were further discussed.
2020
D2689
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Triarini Indirasari
Abstrak :
Pembentukan peran jenis kelamin mempakan hal yang penting bagi setiap orang, karena mendukung perkembangan konsep diri dan identitas seseorang. Masa penting pembentukan peran jenis kelamin seorang anak adalah pada usia prasekolah (3-6 tahun). Salah satu cara pembentukan peran jenis kelamin seorang anak adalah dengan cara sosialisasi. Ada tiga cara sosialisasi yang dapat dilakukan dalam pembentukan peran jenis kelamin, yakni dengan direct instruction, shaping atau modelling. Agen sosialisasi terpenting dalam pembentukan peran jenis kelamin seorang anak adalah keluarga, terutama orang tua, karena merupakan lingkungan terdekat yang dimiliki anak yang memperkenalkan anak pada lingkungan masyarakat yang Iebih luas. Penelitian di Barat menunjukkan bahwa orang tua dapat mempengaruhi pembentukan peran jenis kelamin anak, khususnya anak usia prasekolah dalam kegiatan bermain. Sebagian besar anak usia prasekolah menghabiskan waktunya dalam bermain. Bermain sendiri merupakan media bagi anak untuk mangembangkan dirinya, baik dari segi fisik, kognitif dan sosial emosional. Selain itu, bermain juga merupakan wadah bagi anak untuk mencoba berbagai peran. Dalam kegiatan bermain, orang tua menularkan sikap tentang peran jenis kelamin melalui mainan yang diberikan serta interaksi antara anak dan orang tua saat bermain. Penelitian yang dilakukan di Barat menunjukkan bahwa adanya pembedaan pemberian mainan maupun aktivitas bermain pada anak Iaki dan parempuan oleh orang tua menyebabkan peran jenis kelamin yang terbentuk pada anak Iaki dan perempuan berbeda. Di Indonesia sendiri, dengan semakin banyaknya toko mainan yang menyediakan sarana bermain bagi anak, memudahkan orang tua untuk menggunakan mainan sebagai media dalam mensosialisasikan karakteristik tertentu sesuai dengan peran jenis kelamin. Namun, bagaimana gambaran sosialisasi peran jenis kelamin yang dilakukan dalam kegiatan bermain oleh orang tua belumlah terlihat. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan uniuk mendapatkan gambaran sosialisasi peran jenis kelamin yang diiakukan orang tua pada anak usia prasekolahnya khususnya dalam kegiatan bermain. Ada tiga teori besar yang menjelaskan tentang pembentukan peran jenis kelamin. Pandangan Psikoanalisa yang dipelopori oleh Sigmund Freud menjelaskan bahwa peran jenis kelamin terbentuk karena adanya proses identifikasi yang terjadi akibat ikatan emosional khusus yang didasarkan atas keinginan anak untuk dicintai atau atas ketakutan salah satu orang tua. Teori belajar sosial menjelaskan bahwa anak menampilkan respon atau perilaku sesuai dengan jenis kelaminnya karena mendapat imbalan dan anak menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya karena meneka akan dihukum. Teori perkembangan kognitif menganggap bahwa peran jenis kelamin terbentuk sebagai hasil dari sistem kognitif anak. Anak belajar mengkategorisasikan atribut dan informasi yang ada di lingkungan berdasarkan jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif yang melibatkan 40 orang tua yang memiliki anak laki dan perempuan usia prasekolah (3-6 tahun). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode non probabilita dan teknik incidental. Alat yang digunakan untuk mengetahui sosialisasi peran jenis kelamin dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner yang memuat daftar mainan yang diberikan pada anak beserta orang yang memilihkan mainan, karakteristik yang ingin dikembangkan pada anak laki dan perempuan serta cara orang tua mensosialisasikan karaktenstik yang diinginkan dalam kegiatan bennain. Daftar mainan yang digunakan dibuat oleh peneliti dengan melakukan survei terhadap mainan yang dimiliki anak usia prasekolah. Sedangkan untuk item karakteristik peran jenis kelamin peneliti menggunakan item Bem Sex Role Inventory. Sebelum alat digunakan sepenuhnya, peneliti melakukan uji coba alat terlebih dahulu untuk mengetahui face validity atau uji keterbacaan serta mengukur intterrater reliability. Penelitian dilakukan di 4 Taman Kanak-kanak di Jakarta dan Bogor. Karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, maka data yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam anak laki lebih banyak memiliki mainan kategori fisik dan kognitif, sedangkan anak perempuan lebih banyak memiliki mainan kategori sosial emosional. Dalam menentukan mainan yang diberikan, anak Iebih besar peranannya dibandingkan dengan orang tua sendiri. Berdasarkan karakteristik yang ingin dikembangkan pada anak laki dan perempuan, antara ayah dan ibu pada umumnya memiliki keinginan yang sama. Bagi anak laki, orang tua Iebih banyak menginginkan karakteristik maskulin terdapat dalam diri anaknya. Sedangkan bagi anak perempuan, ada karakteristik-karakteristik feminin maupun maskulin yang diinginkan orang tua dimiliki anaknya. Untuk karakteristik yang tergolong netral, orang tua menginginkan karakteristik yang sama terdapat pada anak laki dan perempuannya. Dalam mensosialisasikan karakteristik yang diinginkan khususnya dalam bermain, orang tua lebih banyak menggunakan teknik direct instruction dibandingkan teknik shaping, modeling atau campuran.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2641
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library