Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Gayatri
"Kematian akibat kanker di dunia semakin meningkat baik di negara maju maupun berkembang. Di Indonesia, data menunjukkan hal yang serupa. Badan Litbangkes melaporkan bahwa berdasarkan hasil laporan laboratorium Patologi Anatomi tahun 1990, kanker serviks menempati urutan pertama dari 3 kanker yang tersering dijumpai. Registrasi kanker di Indonesia yang berdasarkan kependudukan belum ada Berita penelitian yang berkaitan dengan ketahanan hidup kanker serviks sangat kurang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan stadium klinik dengan ketahanan hidup 5 tahun pada pasien kanker serviks setelah dikontrol oleh variabel konfounding. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif pada 451 subyek penelitian dengan mengunakan data rekam medis pada diagnosis tahun 1993-1996 yang diikuti selama 5 tahun. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa probabilitas ketahanan hidup 5 tahun pasien kanker serviks dengan stadium I sekitar 70%, stadium II sekitar 37,4%, stadium III sekitar 12,4%, dan stadium IV pada tahun kedua sudah menjadi 0%. Pada kadar Hb 10 gr/dl dan dikontrol oleh besar tumor dan jenis histologik maka peluang untuk meninggal pada stadium II sebesar 2,7 kali, Pada stadium III sebesar 19,2 kali. sedangkan stadium IV sebesar 6,6 kali dibandingkan dengan stadium I. Pada kadar Hb 10 gr/dl dan dikontrol oleh besar tumor dan jenis histologik maka peluang untuk meninggal pada stadium II sebesar 0,6 kali. pada stadium III sebesar 3.08 kali, sedangkan stadium IV sebesar 6,6 kali dibandingkan dengan stadium I, Berdasarkan hasil penelitian ini kepada masyarakat, disarankan untuk melakukan pemeriksaan dini. Kepada petugas rumah sakit dan pembuat kebijakan untuk melakukan promosi yang berkelanjutan tentang pentingnya pemeriksaan dini kanker serviks. Secara umum, juga disarankan agar dimulai registrasi kanker berdasarkan kependudukan untuk mempermudah penelitian yang berkaitan kanker terutama kanker serviks.

Cancer deaths in the world are increasing in both developed and developing countries. In Indonesia, data shows something similar. The Health Research and Development Agency reported that based on the results of the 1990 Anatomical Pathology laboratory report, cervical cancer ranks first out of 3 most common cancers. Cancer registration in Indonesia based on population does not yet exist. Research news related to cervical cancer survival is very lacking. The purpose of this study was to determine the relationship between clinical stage and 5-year survival in cervical cancer patients after being controlled by confounding variables. The design of this study was a retrospective cohort of 451 research subjects using medical record data at diagnosis in 1993-1996 which was followed for 5 years. The results of this study concluded that the probability of 5-year survival of cervical cancer patients with stage I is around 70%, stage II around 37.4%, stage III around 12.4%, and stage IV in the second year has become 0%. At Hb levels of 10 gr/dl and controlled by tumor size and histological type, the chance of dying in stage II is 2.7 times, in stage III it is 19.2 times. while stage IV is 6.6 times compared to stage I. At Hb levels of 10 gr/dl and controlled by tumor size and histological type, the chance of dying in stage II is 0.6 times. in stage III it is 3.08 times, while stage IV is 6.6 times compared to stage I. Based on the results of this study, it is recommended to the public to conduct early examinations. To hospital staff and policy makers to carry out ongoing promotion of the importance of early cervical cancer examinations. In general, it is also recommended to start cancer registration based on population to facilitate research related to cancer, especially cervical cancer.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T2089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gayatri
"Pada Lansia, masalah inkontinensia urin merupakan masalah yang sering terjadi. Prevalensi inkontinensia urin di komunitas pada orang yang berumur lebih dari 60 tahun berkisar 15-30 % dan angka kejadian pada wanita dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria (Appleby, 1995). Menurut Wetle, et all (1995) kemungkinan Lansia bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Di Indonesia data tentang Lansia dengan masalah inkontinensia urin belum ada, sehingga prevalensi pasti tentang hal tersebut tidak diketahui. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya laporan dari Lansia tentang masalah ini sehingga petugas kesehatan tidak menyadari adanya masalah ini. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa rata-rata sampel mempunyai pandangan bahwa inkontinensia urin merupakan bagian dari proses penuaan tetapi mereka yakin bahwa inkontinensia urin dapat disembuhkan. Dampak yang dirasakan oleh responden antara lain; merasa kurang percaya diri, malu menemui orang lain, sehingga mereka tidak ingin melakukan perjalanan jauh. Apabila mereka harus pergi keluar rumah sering membatasi minum agar tidak merepotkan bila sedang berkemah. Rasa malu dan menganggap masalah ini bukan sebagai sesuatu yang serius serta anggapan bahwa inkontinensia urin merupakan bagian dari proses penuaan menyebabkan mereka tidak pernah menanyakannya pada petugas kesehatan. Pada responden mempunyai tingkat pemahaman tentang inkontinensia urin yang tinggi akan segera mencari pertolongan pada tenaga kesehatan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gayatri
"Penelitian ini dimaksudkan mengungkapkan pandangan orangtua terhadap pendidikan formal anak-anak mereka pada suku bangsa Betawi di lokasi pemukiman Kampung Melayu, kota madya Jakarta Selatan. Untuk menjaring informasi tentang pandangan orang Betawi tersebut, penelitian dilakukan dengan wawancara berstruktur dan berfokus terhadap kepala keluarga yang dipilih secara acak. Berdasarkan penelitian ini, orangtua berpandangan bahwa pendidikan formal bermanfaat bagi kehidupan yang dalam fungsi praktis adalah untuk memperoleh pekerjaan. Tingkat sekolah yang makin tinggi dianggap memengaruhi jenis pekerjaan yang lebih baik dan dapat meningkatkan penghasilan. Pandangan tersebut berbeda dengan tulisan mengenai orang Betawi yang dikemukakan beberapa ahli antara lain Lance Castles (1987), bahwa orang Betawi memandang sekolah sebagai salah satu cara penyebaran agama Nasrani. Pandangan ini muncul karena pengalaman bahwa sekolah mulai diperkenalkan di Indonesia oleh orang Belanda yang mayoritas beragama Nasrani. Karena itu, tumbuh anggapan bahwa sekolah identik sebagai cara hidup orang Nasrani. Pandangan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang Betawi menghindari dan menolak sekolah karena dikhawatirkan akan memperlemah keimanan agama mereka (Islam). Pergeseran pandangan tersebut dipengaruhi oleh perubahan kota Jakarta. Penduduk Jakarta yang terdiri dari beragam suku bangsa memiliki kemungkinan interaksi yang tinggi dengan berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang nilai dan pandangan yang berbeda-beda. Selain itu, banyak penduduk yang didirikan bermacam-macam sekolah berbasis jenjang. Sekarang ini, pendidikan di Jakarta menjadi kebutuhan yang penting untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di antara penduduk Jakarta yang makin padat. Sumber mata pencaharian tidak dapat diperoleh hanya dari hasil kebun yang makin sempit atau telah habis.
This study aims to reveal the views of parents towards formal education of their children in the Betawi ethnic group in the Kampung Melayu settlement, South Jakarta City. To gather information about the views of the Betawi people, the study was conducted through structured interviews and focused on randomly selected heads of families. Based on this study, parents are of the view that formal education is beneficial for life, which in practical terms is to obtain a job. Higher levels of schooling are considered to influence better types of jobs and can increase income. This view differs from the writings on the Betawi people put forward by several experts, including Lance Castles (1987), who said that the Betawi people view school as one way to spread Christianity. This view emerged because of the experience that schools were introduced in Indonesia by the Dutch, who were predominantly Christian. Therefore, the assumption grew that school was identical to the way of life of Christians. This view is one of the factors that causes the Betawi people to avoid and reject school because they are worried that it will weaken their religious faith (Islam). The shift in views was influenced by changes in the city of Jakarta. Jakarta's population, which consists of various ethnic groups, has a high possibility of interaction with various ethnic groups that have different backgrounds, values, and views. In addition, many residents have established various level-based schools. Currently, education in Jakarta is an important need to get decent jobs among the increasingly dense population of Jakarta. Sources of livelihood cannot be obtained only from the results of gardens that are increasingly narrow or have run out."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gayatri
"Aspek kenyamanan merupakan fokus keperawatan namun aspek ini cenderung diabaikan terutama didalam melakukan pengkajian. Luka kronik yang dialami pasien menimbulkan ketidaknyamananyang dapat mempengaruhi kondisi psikologis, spiritual, sosial, dan kultural pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pemodelan teoritis kenyamanan pada pasien ulkus diabetikum. Penelitian ini dilakukan melalui 2 fase, fase I menghasilkan instrumen ketidaknyamanan luka kronik, yaitu Discomfort Evaluation of Wound Instrument (DEWI). Fase kedua dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang pada 140 pasien ulkus diabetikum. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa luka dapat menimbulkan ketidaknyamanan, luka juga dapat mempengaruhi status emosional psikologis. Ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari adanya luka dapat mempengaruhi terjadinya gangguan status emosional psikologis. Dukungan keluarga dapat menurunkan gangguan status emosional psikologis. Sifat hubungan ketidaknyamanan dan status emosional psikologis bersifat timbal balik dimana karakteristik individu tidak mempengaruhi hubungan ketidaknyamanan dan status emosional psikologis. Penelitian ini merekomendasikan agar perawatan yang bersifat holistik diterapkan dalam merawat luka terutama luka kronik. Manajemen pengelolaan stress perlu diajarkan dan diterapkan pada pasien ulkus diabetikum dengan meningkatkan peran keluarga.

Comfort is focus of nursing that tend to have less attention when conducting assessment. Wound chronic occurs discomfort on patient that influences psychologicl, spiritual, social, and cultural aspect. This study was to examine theoretical model of comfort on diabeticum ulcer. This study consisted of two phases. Phase 1 developed an instrument of wound chronic discomfort, namely Discomfort Evaluation of Wound Instrument (DEWI). Phase 2 was conducted with cross sectional involving 140 diabetic patient with ulcer. The result of modelling shows that chronic wound can occur discomfort. Chronic wound also affects emotional psychological status. This discomfortable contributes to emotional psychological disturbance. The relationship discomfort and emotinal psychological status is recursive which individual characteristics does not this fundings recommend to provide holistic care in wound care specifically chronic wound. Stress management needs to teach and apply on diabeticum ulcer patients with improving of family role.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
D1864
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samantha Dewi Gayatri
"Skripsi ini membahas upaya individu dengan identitas gender dan orientasi seksual non normatif yang mengalami ACE dalam menemukan identitas dan relasi sehat. Studi ini mengadopsi kerangka penelitian kualitatif yang mengeksplorasi identitas gender dan orientasi seksual kelompok tersebut. Sebanyak tujuh partisipan mengikuti wawancara secara daring, di antaranya adalah seorang transpria, transpuan, dua perempuan biseksual, satu laki-laki gay, satu perempuan lesbian, dan seorang non biner, yang berusia dari 19 tahun hingga 25 tahun. Wawancara telah direkam dan ditranskrip serta dianalisis secara tematis. Tiga tema besar telah ditentukan berdasarkan data, yaitu “Identitas Gender dan Orientasi Seksual Non-Normatif,” “ACE,” dan “Relasi.” Tema-tema ini, serta kompleksitas identitas gender/orientasi seksual, dieksplorasi dalam hasil analisis silang dan diskusi. Temuan studi ini menunjukkan bahwa ACE yang dialami partisipan bukan konsekuensi dari identitas gender atau orientasi seksual non normatif yang dimiliki. Selain itu, stres minoritas semakin menggandakan tantangan bagi individu dengan identitas gender dan/atau orientasi seksual non normatif untuk mengeksplorasi dirinya, faktor protektif seperti mengikuti komunitas queer atau berteman dengan individu lainnya yang memiliki status yang sama melalui media sosial membantu mereka dalam meyakini dirinya masing-masing. Meskipun demikian, mereka hanya terbuka dan “menjadi diri sendiri sepenuhnya” kepada individu lainnya yang memiliki kesamaan dengan mereka atau pun orang-orang terdekat yang normatif sehubung dialaminya stres minoritas. Mengenai relasi sehat, seluruh partisipan tidak terisolasi, melainkan dapat menjalin relasi yang intim dengan orang lain. Tantangannya adalah mereka menghayati ekspektasi penolakan. Meskipun demikian, partisipan juga berkaca dari pengalaman masa kecil yang menyakitkan atau relasi tidak sehat lainnya di masa lalu dalam mengupayakan relasi yang sehat.

The study discusses the efforts of individuals with nonconforming gender identity and sexuality who experience ACE in finding self-identity and healthy relationships. This study adopts a qualitative research framework that explores the gender identity and sexuality of the aforementioned population. A total of seven participants took part in the online interview, including a trans man, a trans woman, two bisexual women, a gay man, a lesbian woman, and a non-binary person, with ages ranged from 19 to 25 years old. The interviews were recorded, transcribed and analyzed thematically. Three major themes have been determined based on the data, namely “Nonconforming Gender Identity/Sexuality,” “ACE,” and “Relationships.” These themes, as well as the complexities of gender identity/sexual orientation, are explored in the cross-analysis results and discussion. The findings of this study indicate that the ACE experienced by participants is not a consequence of their nonconforming gender identity or nonconforming sexual orientation. In addition, minority stress multiplies the challenges for individuals with nonconforming gender identities and/or nonconforming sexual orientations to explore themselves. Protective factors such as joining queer communities or making friends with other individuals of similar status through social media help them to accept themselves. respectively. However, they can only come out and “be themselves completely” to other individuals who have something in common with them or those closest to them which are a part of the heteronormative community due to the experience of minority stress. Regarding healthy relationships, participants are found to be able to establish intimate relationships instead of being isolated due minority stress. Regarding healthy relationships, all participants are not isolated, but can establish intimate relationships with other people. The challenge is that they live up to the expectations of rejection. However, participants have also reflected on the painful childhood experiences or other unhealthy relationships in the past in seeking healthy relationships.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library