Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi
"Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang disebabkan oleh diabetes mellitus. Kelainan mata ini telah menjadi salah satu dari dua penyebab utama kebutaan di Amerika Serikat. Penghantaran obat secara sistemik dan topical tidak dapat dilakukan karena berbagai keterbatasan. Ditemukan bahwa metode paling efektif untuk menghantarkan obat ini adalah dengan injeksi intravitreal. Akan tetapi, ditemukan juga bahwa metode ini dapat meningkatkan tekanan di dalam mata dan pendarahan retina. Oleh karena itu dibutuhkan metode enkapsulasi obat terkendali yang mampu membantu obat agar dapat dilepaskan dalam jangka waktu yang lebih panjang, sehingga frekuensi injeksi dapat dikurangi. Sistem seperti ini dapat dibuat dengan memformulasikan triamsinolon dengan polimer PLGA ke dalam bentuk mikropartikel. Mikropartikel ini dapat dibuat dengan metode emulsifikasi-penguapan pelarut yang menghasilkan effisiensi enkapsulasi obat sebesar 25,3% dan penjeratan obat sebesar 6,17%.
Penggunaan polimer sebagai material enkapsulan dikombinasikan dengan penggunaan surfaktan kationik, dengan variasi konsentrasi sebesar 0,5; 1,0; 1,5% (m/v). Zeta potensial dari mikropartikel yang dimodifikasi dengan DDAB diukur dan ditemukan bahwa nilai tersebut sebanding dengan perubahan konsentrasi DDAB yang ditambahkan. Interaksi elektrostatis dari mikropartikel yang bermuatan positif dengan HA yang bermuatan negatif pada vitreous juga ditentukan dengan pengukuran zeta potensial. Vitreous yang digunakan adalah vitreous sapi yang memiliki kandungan HA yang mirip dengan vitreous mata manusia. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa zeta potensial semua sampel pada vitreous dengan konsentrasi DDAB yang berbeda tidak berbeda secara signifikan. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena HA yang mendominan di dalam campuran vitreous-mikropartikel.

Diabetic retinopathy is one of the complications caused by diabetes mellitus. This disorder of the eyes has become one of two major blindness in the United States. Systemic and topical drug delivery cannot be done because of various limitations. The drug is most likely delivered intraocular using intravitreal injection. However, it was later found that this method can lead to an increase in intraocular pressure (IOP) and retinal bleeding. Therefore, controlled drug encapsulation system which allows drug release within a longer time is required, so the frequency of injection may be reduced. Such systems can be made by formulating triamsinolon with PLGA in the form of microspheres. The microspheres are fabricated using emulsification-solvent evaporation method and have an average drug encapsulation of 25.3% and drug loading of 6.17%.
The use of polymers as material encapsulant also be combined with the use of cationic surfactants, whose concentration is varied by 0.5; 1.0; and 1.5% (w/v). Zeta potential of the modified microparticles are measured and it is found that this variable directly proportional to the DDAB concentration. Electrostatic interaction of the positively charged microspheres with negatively charged HA in vitreous will be also determined by measuring the zeta potential. Vitreous used in the experiments is bovine vitreous, which contains nearly same amount of HA with human?s vitreous. Nearly the same amount of zeta potential is measured from sampels with different DDAB concentration. It is most likely caused by the dominance of HA in the vitreous-microspheres mixture.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63437
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bose Devi
"ABSTRAK
Kepadatan penduduk yang tinggi terutama akan terjadi di kota kota besar. Hal tersebut disebabkan karena derasnya arus perpindahan penduduk ke perkotaan, yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti penyediaan lapangan kerja dan kesempatan kerja. Konsentrasi-konsentrasi penduduk yang sangat padat membentuk kantong-kantong permukiman kumuh dan miskin di pusat-pusat dan pinggiran kota.
Akibat keterbatasan ekonomi dan keadaan sosial yang kurang mendukung, lapisan penduduk marjinal di DKI Jakarta dengan terpaksa dan atau sengaja bermukim di human kumuh. Di antara mereka bahkan mendirikan bangunan-bangunan liar pada lokasi-lokasi yang semestinya tidak diperuntukan sebagai permukiman atau pada lahan-lahan milik pihak lain. Di samping itu industrialisasi dan proses urbanisasi yang berlangsung cepat akan menimbulkan masalah kesehatan perkotaan yang berantikan masalah kesehatan lingkungan permukiman.
Masalah-masalah tersebut antara lain meliputi, perumahan sehat, sanitasi makanan, kebutuhan air bersih dan lain-lain.
Eckholm (1983), mengatakan bahwa kesehatan lingkungan tidak sekedar dilihat dan segi estetika lingkungan alami saja, tetapi dipengaruhi juga oleh kebijakan sosial, ekonomi, budaya pemerintah maupun kebiasaan, gaya hidup dan tradisi masyarakat. Secara umum masalah-masalah kesehatan lingkungan yang mendasar antara lain adalah :
Masalah Air minum , Air limbah, Masalah Tinja, Masalah Sampah, Masalah Sanitasi makanan, Masalah Perumahan, Masalah Serangga, Masalah Pencemaran (Wina.mo:1984)
Adapun ruang lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri: meliputi hal-hal yang luas, antara lain, penyediaan air minum, pengolahan air limbah dan pengendalian pencemaran air, pengelolaan sampah padat, pengendalian vektor, pengendalian dan pencegahan pencemaran tanah, higiene makanan, pengendalian pencemaran udara, pengendalian radiasi, kesehatan kerja, pengendalian kebisingan dan lain-lain (Kusnoputranto: 1992)
Perumahan merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia, yaitu pagan, sandang dan papan, yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia hidup layak. Khusus untuk kota Jakarta, dengan luas Jahan yang hanya 661,52 km2 dan pada tahun 1996 di huni lebih dari 9.341.400 jiwa atau dengan kepadatan penduduk sekitar 14.121 jiwa per km2 serta laju pertumbuhan penduduk yang tinggi (1,97%), perumahan yang layak dan suhat telah menjadi salah satu masalah yang utama. Kepadatan penduduk terbesar adalah di Jakarta timur yaitu, 2.471.300 jiwa atau 26,5% dari total penduduk Jakarta. Pertambahan jumlah penduduk tersebut seyogianya diikuti pula dengan tersedianya perumahan yang layak dan sehat. Namur sampai saat ini kemampuan pemerintah maupun Swasta untuk menyediakan pemukiman yang memadai bagi semua warganya masih sangat jauh dari yang dibutuhkan, hal ini telah menjadi salah satu masalah utama di Jakarta.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka masalah-masalah yang timbul dalam penelitian ini adalah:
1. Belum tersedianya informasi tentang kondisi Sarana kesehatan lingkungan (Jamban, saluran air kotor, lokasi pembuangan sampah dan sumber air bersih) di Rumah Susun Palo Gadung dan di Permukiman Kumuh di sekitarnya.
2. Bagaimana kualitas kesehatan lingkungan di Rumah Susun Pulo Gadung dan di Pemukiman Kumuh di sekitarnya.
3. Bagaimana kondisi pencahayaan dan ventilasi udara pada Rumah Susun Pulo Gadung dan di Permukiman Kumuh di sekitamya.
4. Bagaimana kondisi kesehatan lingkungan dan kejadian penyakit diare pada Rumah Susun Pulo Gadung dan di Permukiman Kumuh di sekitarnya.
5. Apakah ada hubungan yang signifikan antara Keberadaan Rumah Susun dengan Kesehatan lingkungan dan bagaimana kondisi kesehatan lingkungan pada Rumah Susun dan Pemukiman
Kumuh ditinjau dari variable-variabel berikut:
- Air Bersih dengan Sub variabel: Air Minum dan Air Mandi
- Sanitasi dengan Sub variabel: Pencahayaan, Jamban, Saluran air kotor Pengelolaan Sampah dan Ventilasi
- Penyakit.
Dari permasalahan di atas dapat diajukan beberapa hipotesis yang akan diuji seperti di bawah ini :
1. Tidak ada perbedaan Kualitas Kesehatan lingkungan antara Rumah Susun Pulo Gadung dan Permukiman Kumuh di sekitarnya terhadap keberadaan dan kondisi sarana kesehatan lingkungan (Jamban, saluran air kotor, sampah, ventilasi udara, pencahayaan).
2. Tidak ada hubungan Keberadaan Permukiman (Permukiman Kumuh, Rumah Susun) dengan Sarana Kesehatan lingkungan.
3. Tidak ada hubungan antara penyediaan Air bersih dengan kejadian penyakit diare pada Rumah Susun Palo Gadung dan Permukiman Kumuh di sekitamya .
Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif sedangkan pengujian hipotesis dengan teknik korelasi sederhana "Product moment " Pearson dan regresi linier dan ganda, serta uji-T dengan menggunakan fasilitas program komputer SPSS for Windows.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Variabel Sarana kesehatan lingkungan untuk Rumah Susan diperoleh harga, r = 0,618, dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,38. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Rumah Susun (Y) dapat dijelaskan oleh kondisi sarana kesehatan lingkunganya sebesar 38 % melalui model persamaan regresi yang digambarkan dalam bentuk Y = 15,156 + 0,14 X1. Ini berarti bahwa keberadaan Rumah Susun dapat meningkat sebesar 0,14, jika sarana kesehatan lingkungan ditingkatkan sebesar satu satuan Variabel Sarana kesehatan lingkungan untuk Perumahan Kumuh diperoleh harga, r = 0,645, dengan koefisien determinasi (r) sebesar 0,41. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Rumah Susun (Y) dapat dijelaskan oleh kondisi Sarana Kesehatan Lingkunganya sebesar 41 % melalui model persamaan regresi yang digambarkan dalam bentuk Y = 15,50 + 0,03 X1. 1ni berarti bahwa keberadaan Rumah Susun dapat meningkat sebesar 0,03, jika sarana kesehatan lingkungan ditingkatkan sebesar satu satuan.
Nilai rerata Sarana kesling untuk Rumah Susun sebesar 27,52 Permukiman Kumuh sebesar 27,38. Melalui Uji T antara Rumah Susun dengan Permukiman Kumuh diperoleh harga t hitung = 1,27 dengan harga t tabel pada dk (41)(0,05) sebesar 0,78 diperoleh bahwa t hitung > t tabel. Sehingga ada perbedaan yang signifikan antara Sarana Kualitas Kesehatan lingkungan Rumah Susun dengan Kualitas Sarana Kesehatan lingkungan Permukiman Kumuh,
2. Variabel Air bersih untuk Rumah Susun diperoleh harga, r = 0,675, dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,45. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Rumah Susun (Y) dapat dijelaskan oleh kondisi Air bersih (X2) sebesar 45 % melalui model persamaan regresi yang digambarkan dalam bentuk Y = 11,33 + 0,17 X7. Ini berarti bahwa keberadaan Rumah Susun dapat meningkat sebesar 0,17, jika Air bersih ditingkatkan sebesar satu satuan Variabel Air bersih untuk Permukiman Kumuh diperoleh harga, r = 0,626, dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,41. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Rumah Susun (Y) dapat dijelaskan oleh kondisi Air bersih sebesar 41 % melalui model persamaan regresi yang digambarkan dalam bentuk Y = 17,94 + 0,17 X2. Ini berarti bahwa keberadaan Rumah Susun dapat meningkat sebesar 0,17, jika Air bersih ditingkatkan sebesar satu satuan
3. Variabel Penyakit (X3 ) Rumah Susun diperoleh harga, r = 0,65; dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,43. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Rumah Susun (Y) dapat dijelaskan oleh kondisi Penyakit (X3) sebesar 38 % melalui model persamaan regresi yang digambarkan dalam bentuk Y = 15,007 - 0,065 X3. Persamaan ini mengandung anti bahwa Kualitas Kesehatan Lingkungan Rumah Susun akan meningkat sebesar 0,065 jika Variabel Penyakit ditunmkan sebesar satu satuan.
Tanda negatif menunjukan bahwa ada hubungan terbalik antara kedua variabel, bila Kualitas Kesehatan Lingkungan Rumah Susun baik, maka prevalensi Penyakit semakin kecil dan sebaliknya.
Variabel Penyakit (X3) untuk Permukiman Kumuh diperoleh harga, r = 0,669, dengan koefisien determinasi (r) sebesar 0,44. .Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Rumah Susun (Y) dapat dijelaskan oleh Penyakit (X3) sebesar 44 % melalui model persamaan regresi yang digambarkan dalam bentuk Y = 15,26 - 0,19X3.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Rumah Susun (Y) dapat dijelaskan oleh variabel-variabel kesehatan lingkungan sebesar 66 % melalui model persamaan regresi yang digambarkan dalam bentuk Y = 16,53 + 0,41 X1 + 0,33 X2 - 0,30 X3, Sementara 34 % dapat dijelaskan variabel-variabel lain yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan, tetapi tidak di teliti pada penelitian untuk Permukiman Kumuh harga, r = 0,726 dan koefisien determinasi (r) sebesar 0,52. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan Permukiman Kumuh (Y) dapat dijelaskan oleh variabel-variabel kesehatan lingkungan sebesar 52 % melalui model persamaan regresi yang digambarkan dalam bentuk Y = 16,53 + 0,40 X1 + 0,20 X2 - 0,21 X3, dimana X, = Variabel Sarana Kesehatan Imgkungan, X2= Variabel Air bersih dart X3= Variabel Prevalensi kejangkitan Penyakit.
Hasil Uji-T dari perbedaan aritara Rumah Susun dengan Pemukiman Kumuh ini diperoleh bahwa : nilai t hitung sebesar 0,70 dengan dk (41)(0,05) mempunyai nilai t tabel sebesar 0,49. Karena t hitung > t label ( 0,70 > 0,49) maka perbedaan ini signifikan, yang berarti bukan karena kebetulan saja, tetapi karena kondisi permukiman, yang dalam penelitian ini yang diteliti dari kondisi pemukiman adalah Luas lantai bangunan, dinding bangunan, dan jumlah penghuni.
Untuk mengetahui ada hubungan antara penyediaan Air bersih dengan kejadian penyakit diare dilakukan pengujian korelasi kemudian dilakukan uji beda dengan signifikansi 95 % antara Variabel Air bersih (X1) dan kejadian penyakit (X2) dengan mengontrol variabel Sarana kesehatan lingkungan (X3) dan Kondisi Permukiman (Rumah Susun, Permukiman Kumuh). Dari hasil Pengujian korelasi antara Air bersih dan Penyakit diperoleh korelasi sebesar 0,7224 atau dengan kata lain kejangkitan penyakit dapat dijelaskan oleh Keberadaan Air bersih sebesar 72 %,. Namun dalam korelasi ini belum menjelaskan sebab-akibat dari korelasi tersebut, sehingga dilakukan pengujian dengan Uji-T variabel Air bersih dan Variabel Penyakit di Rumah Susun dengan di Permukiman Kumuh dan pengaruhnya terhadap kejangkitan penyakit. Dari hasil perhitungan diperoeh nilai skor rerata variabel Air bersih di Rumah Susun sebesar 20,19; di Permukiman Kumuh sebesar 20,11, Nilai di Rupiah Susun lebih besar daripada di Permukiman Kumuh dengan perbedaan ,08. Melalui Uji-T yang dilakukan terhadap perbedaan ini diperoleh bahwa t hitung sebesar 1,29 dengan t tabel 0,241 pada dk (41)(0,05). Karena besar t hitung > t tabel ( 1,29 > 0,241) maka perbedaan ini signifikan, bukan karena kebetulan tetapi berdasarkan kondisi kedua permukiman tersebut. Dari perhitungan skor nilai Variabel Penyakit, di Rumah Susun diperoleh sebesar 3,738 dan di Permukiman Kumuh sebesar 3,928. Skor ini lebih besar di Permukiman Kumuh dengan selisih 3,928 - 3,738 = 0,21, yang berarti bahwa frekuensi kejangkitan penyakit lebih besar di Permukiman Kumuh, Jadi semakin bagus kualitas Air bersih, maka semakin sedikit kemungkinan kejangkitan penyakit dan sebaliknya semakin buruk kualitas Air bersih semakin besar kejangkitan penyakit.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Ada perbedaan Kualitas Kesehatan Lingkungan antara Rumah Susun Pula Gadung dengan Permukiman Kumuh di sekitamya terhadap Keberadaan dan kondisi Sarana Kesehatan Lingkungan (jamban, saluran air kotor, sampah, ventilasi udara dan pencahayaan).
- Ada hubungan keberadaan Permukiman (Rumah Susun dan Permukiman Kumuh) dengan Kesehatan Lingkungan.
- Ada hubungan antara penyediaan Air berslh dengan kejadian penyakit diare pads Rumah Susun Pula Gadung dan Permukiman Kumuh di sekitamya.

ABSTRACT
The rapid flow of urbanization results in the increase growth of population (1,97%) which in general occur in a big city, especially Jakarta. From the five district cities, the largest concentration of population is in the East Jakarta, that is 2,471,300 people (year 1996) or 26,5 % of the total population of the DKI Jakarta. The population concentration is congested and forms area of slums and poverty. One of the area which is still a potential slum area is Pulo Gadung area which is located in East Jakarta District.
Housing is one of the three basic needs of human beings aside from clothing and food, which has to be fulfilled, So that human beings can live in prosperous and in a healthy environment.
Slum area is not an area from a structure area, this slums area does not have any proper sanitary channel to dispose waste product.
Most of people whose living in slum area dispose their waste product into the river, because they do not have a proper lavatory. These slum areas are not provided with temporary waste dispose area, they throw most of their garbage into the water stream. Water which they use every day are taken from land water, because in these slum areas, the clean water supply from the PDAM is not provided. Houses where they live in are built with no precautions for protecting, against rain, heat and wind. They do not estimate the lighting or air circulation in the room. With such conditions in the slum area, needs on the proper house become a desperate need , where as the area or which these houses are built need to be restructured.
In the policy made by Pemda DKI Jakarta, it states that developing housing sectors and slums are directed to increase the quality and quantity of housing and quality of living environment. One of the efforts that have been done is through managing of the slum areas into flats and reorganized the slum areas at location like along river sides, along railway tracts.
The constructions of multistoried is a hope for government and community who use to live and stayed in the slum areas, so they will be able to provide themselves with a
better place to stay looking not only from the physical sight but more towards the quality of the healthy and clean environment. For example, proper bathrooms, waste disposal areas, gutter ventilation, proper lighting and clean water facilities and also a decrease in transferring diseases such as diarrhea.
For examples of developing multistoried housing is the multistoried housing at RW 01 Pulo Gadung area, East Jakarta.
Depart from the issues, can be identified problems that occur in this research are:
1. Lack of information regarding conditions of an environment health facility (lavatory, gutter, garbage disposal location and clean water source) in Pulo Gadung multistoried and the slum areas nearby.
2. How is the quality of environmental health in Pula Gadung multistoried complex and the slum area nearby.
3. How is the lighting conditions and ventilation in Pulo Gadung multistoried complex and the slum area nearby.
4. The occurence of disease like diarrhea in Pula Gadung multistoried complex and the slum area nearby.
5. Is there any significant relation between the existence of the Pulo Gadung multistoried and environmental health and how is the environmental health condition at the multistoried complex and slum areas considered by these variables:
- Clean water (variables: drinking water and bathing water).
- Sanitation (variables: lighting, lavatory, gutter, waste management and ventilation).
- Disease.
The main point of this research is that to know the differences between the quality of healthy environment in the Pulo Gadung multistoried with the slum areas surrounding.
The result of this research is in hope that it will become an input for the Pemda DKI Jakarta in order to reorganize the policies of developing multistoried complex and the architect of multistoried to pay more attention in the aspects of a environmental health.
Referring to the above problems, few hypothesis which will be tested, can be purposed, such as:
1. There are no differences of the environmental health quality between Pula Gadung multistoried and the slum area nearby to the existence and condition of the environmental health facilities (lavatory, gutter, garbage, ventilation, lighting).
2. There is no relation between residential (multistoried complex, slum area) and environmental health facilities.
3. There is no relation between clean water supply and the diarrhea phenomenon in Pulo Gadung multistoried and the slum area nearby.
The research made through a few appropriate steps. First with the use of primary data, in this case of using question list and direct interviews with respondence. Second, by doing field observation, with inspecting directly the condition of the fields and also follows interviewing the Ketua RT, RW and the ladies of the societies. Third, by using secondary data which has links to the work between data of district chief, correlation institution, map, reports, results of study, and also library.
Data analysis which was made to get a picture about the health quality of the environment in Pulo Gadung multistoried housing and comparing it with environmental health quality in slums nearby. The environmental health variable which was tested is the environmental health facilities (lavatory, gutter, garbage handling, clean water, ventilation and lighting) and also the occurrence if diarrhea disease.
The research has been made by using a descriptive analysis method. The samples taken were groups of people living in the multistoried housing which was done with a census and for people whose living in the slums was done by random. Data analysis was done with statistic method to test correlations, regressions and T-test with significance a = 5%, by using computer program facilities SPSS for Windows.
The methods are to know the correlation between environmental health facilities variables with residential, in this case the multistoried housing and slum areas.
The results of the research are:
1. There is a positive correlation between the existence of multistoried and slum areas to the conditions of environmental health facilities. So there is a significant difference of quality in the environmental health between Pulo Gadung multistoried and the slum areas to the existence and conditions of environment health facilities.
By using a correlation test for the multistoried a counted t > table t (11,9>I,884-), this means the coefficient correlation is significant. And also through the regression equation model which is illustrated in Y = 15,156 + 0,14 X1. This equation means that there is a positive correlation between the quality of the existing multistoried and condition of environmental health facilities. Also means that the quality of multistoried will increase 0,14 if the conditions of environmental health facilities are increased by one unit.
For the slum area it is obtain counted t > table t (9,31 1,884), therefore coefficient correlation is significant, and a positive relation between condition of environmental health facilities (X1) with existence of slum area (Y) is also obtain through a regression equation model of Y = 15,50 + 0,03 X1. This equation means that the qualities of the slums will be increased to 0,03 if the correlation of environmental health facilities is increased to one unit. Therefore it is proven there is a correlation between the existence of multistoried and slum areas surroundings with conditions of environmental health facilities. The average value of environmental health facilities for multistoried is 27,52 and for slum is 27,16. With a test between multistoried and slum areas found a counted t = 1,27 was obtained and table t price at of (41)(0,05) is 0,78, found a higher counted "t" than that of table "t".
This means there is a significant difference between the quality of environmental health facilities of multistoried with the quality of environmental health facilities of that the slum area. Where the quality for environmental health facilities of multistoried is better than that of the slums, therefore the H01 is rejected.
2. From the test the coefficient correlation obtained that there is a relation between clean water with the existence of multistoried through equation of Y = 11,33 + 0,17 X2, which means that qualities of existence of the multistoried will be increased by 0,17 if clean water condition is increased one unit. Therefore H02 is rejected.
3. From the test of the coefficient correlation obtained there is a relation between disease and the existence of multistoried. Through equation of Y = 15,007 - 0,065X3, which means that quality of an environmental health for multistoried will be increased by 0,065 if the variable of disease is decreased one unit.
From the test it is also obtained a significant relation between disease and the existence of slum area, Through equated Y = 15,26 - 0,19X3, which means that quality of environmental health in slum areas will be increased to 0,19 if the disease variable is decreased one unit. Therefore Ho3 is rejected.
So there is a significant correlation between existence of residential (multistoried and slums) with environmental health variables. The correlation can be put into a double regression equation, Y = 16,53 + 0,40X1 + 0,33X2 - 0,30X3, meanwhile for the slums, the double regression equation is, Y = 16,53 + 0,40X1 + 0,20X2 - 0,21X3. This equation describes that the relation between variables which involves, where is Y which is physical condition of multistoried/slums, and also XI is environmental health facility variable, X2 the clean water variable and X3 is the disease occurrence variable.
This above equation give information that there is a relation which is equal between existence of multistoried housing and slum area with variable XI, X2, X3 which is also means an increase in.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Ade Devi
"Krisis ekonomi yang sedang berkembang dalam era otonomi di Indonesia saat ini berdampak pada ketahanan perekonomian nasional yang sekaligus berdampak juga pada kokoh tidaknya ketahanan perekonomian daerah. Sehingga upaya-upaya untuk memperkokoh ketahanan perekonomian daerah sangat diperlukan. Ketahanan perekonomian daerah tergantung dari perencanaan pembangunan daerah itu sendiri. Sedangkan keberhasilan dari perencanaan pembangunan sangat didukung oleh kebijakan perencanaan pembangunan yang harus didasarkan pada kondisi dan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa dampak otonomi daerah sangat mempengaruhi daerah-daerah yang ada di Indonesia. Seperti halnya yang dialami oleh Kota Batam, dengan dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 53 tahun 1999 tentang perubahan Kabupaten Pelelawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam, sebagal pengejawantahan Undang-Undang Nomo.r22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Dimana pemerintahan daerah harus dapat mengambil kebijakan perencanaan pembangunan daerah yang sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki oleh daerah itu sendiri. Tetapi sampai saat ini kebijakan perencanaan pembangunan daerah yang diambil masih dilakukan secara sentralistis oleh pemerintah pusat dimana daerah-daerah diperlakukan secara seragam. Sehingga menimbulkan banyak program dan proyek pembangunan yang kurang sesuai dengan potensi dan aspirasi daerah atau dengan skala prioritas daerah. Akhirnya kebijakan perencanaan pembangunan yang diambil tidak efektif dan tidak mencapai hasil yang optimal. Selanjutnya untuk menjamin kebijakan pembangunan ekonomi dapat mencapai hasil yang optimal, maka kebijakan yang diambil perlu didahului oleh suatu penelitian yang mendalam dan komprehensif.
Penelitian ini berusaha menganalisis kondisi perekonomian di Kota Batam yang meliputi identifikasi sektor-sektor basis ekonomi, pertumbuhan ekonomi, kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, transformasi struktur ekonomi, multiplier effect sektor-sektor basis dalam perekonomian Kota Batam terhadap perekonomian Propinsi Riau, penentuan prioritas sektor basis dalam kebijakan perencanaan pembangunan ekonomi. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada 7 sektor basis dalam perekonomian Kota Batam yaitu sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan telekomunikasi, sektor lembaga keuangan dan persewaan dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor yang paling potensial untuk dijadikan prioritas dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kota Batam yaitu sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Selanjutnya, setelah mengetahui sektor-sektor basis ekonomi di Kota Batam, perlu juga diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sektor-sektor basis ekonomi seperti sektor basis industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Untuk sektor basis industri pengolahan ternyata variabel yang mempengaruhi adalah variabel jumlah tenaga kerja karena secara konsisten untuk ketiga model persamaan variable ini terus mempengaruhi sektor basis industri pengolahan. Sedangkan variabel investasi pemerintah mempengaruhi sektor basis industri pengolahan hanya pada model persamaan 2 dan model persamaan 3. Untuk variabel jumlah perusahaan mempengaruhi sektor basis industri pengolahan hanya pada model persamaan 3. Tetapi secara keseluruhan variabel jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, investasi swasta, investasi pemerintah dan kredit yang disalurkan oleh perbankan mempengaruhi sektor basis industri pengolahan. Sektor listrik, gas dan air bersih ternyata faktor-faktor yang mempengaruhinya secara konsisten untuk ketiga model persamaan adalah variabel kredit yang disalurkan oleh perbankan. Sedangkan variabel investasi swasta mempengaruhi sektor basis listrik, gas dan air bersih hanya pada model persamaan 3. Tetapi secara keseluruhan variabel jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, investasi swasta, investasi pemerintah dan kredit yang disalurkan oleh perbankan mempengaruhi sektor basis listrik, gas dan air bersih. Terakhir untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran, faktor-faktor yang mempengaruhi secara konsisten pada ketiga model persamaan adalah jumlah perusahaan. Tetapi secara keseluruhan variabel jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, investasi swasta, investasi pemerintah dan kredit yang disalurkan oleh perbankan mempengaruhi sektor basis perdagangan, hotel dan restoran."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T15311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Prima Devi
"Accounting reports on intangible assets have long been a problem, especially, those related to human capitals. They have become a problem whether they appear in balance sheet or not. These, human capitals have in fulfill asset definitions and recognition criteria. This paper highlights human capital reported in the United Kingdom football club's balance sheet. Ax we know the United Kingdom football industries have developed and yielded hundred billions pounds every year. They have also made football players become most important and most expensive in football clubs, with clubs paying regular large transfer fees in the transfer market to acquire players. FRS 10 Accounting /or intangible assets and goodwill, recommends capitalization as the most appropriate treatment for intangible assets. There are two main issues that will be analyzed in this paper, First, do football players fulfill the accounting criteria to be classified as assets of the football clubs? Second, if so how should they account for?"
2004
JAKI-1-Mei2004-38
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yulien Krishna Devi
"Perkembangan prinsip-prinsip aturan hukum internasional hak cipta mengikat Indonesia untuk turut mengakomodasi perubahan aturan tersebut dengan melakukan amandemen terhadap peraturan perundang-undangan nasionalnya. Walaupun demikian, patut kita cermati bahwa kepentingan nasional tidak sesungguhnya tertampung di dalam perjanjian internasional yang telah disepakati. Sebagai akibatnya, kondisi negara berada di persimpangan jalan antara reality dan idealisme yang seharusnya diikuti."
Depok;Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alpha Aulia Devi
"DBD merupakan penyakit menular, dapat menyerang semua orang, rnengakibatkan kematian, serta sering menimbulkan wabah. DBD menunjukkan beban ekonomi signifikan pada masyarakat yang terkena.
Tujuan penelitian ini diperolehnya informasi tentang biaya per DRG's berdasarkan Clinical Pathway pada penderita DBD yang dirawat inap di RSU Dr. Soedarso Pontianak tahun 2005.
Jenis penelitian kuantitatif dengan desain survei. Data dikumpulkan dari biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penderita DBD yang di rawat inap di RSU Dokter Soedarso bulan Januari sampai Desember 2005. Penelitian dilaksanakan bulan Februari-Juni 2006, menggunakan data sekunder dan rekam medis pasien rawat inap DBD dan unit penunjang serta data primer dari wawancara dengan dokter, perawat, kepala ruangan dan kepala rekam medis tentang penatalaksanaan DBD. Unit cost dihitung berdasarkan direct cost dengan Activity Based Costing dan indirect cost dengan simple distribution.
Variabel yang mempengaruhi penetapan DRG's DBD di RSU Dr. Soedarso Pontianak tahun 2005 antara lain: karakteristik pasien: jenis kelamin, diagnosa utama, penyakit penyerta dan penyulit, lama hari rawat dan pemanfaatan utilisasi.
Clinical Pathway DBD yang di rawat inap di RSU Dr. Soedarso Pontianak tahun 2005 terdiri dari tahapan berikut : I. Pendaftaran, II. Penegakan Diagnosa: tindakan oleh perawat, dokter, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosa utama, terapi dokter, pendaftaran rawat inap, III. Terapi: visite dokter, pemeriksaan penunjang, penegakan DBD berdasarkan casemix, penentuan terapi (dokter), asuhan keperawatan, penggunaan alat kesehatan habis pakai, obat-obatan dan akomodasi serta IV. Pulang.
Rata-rata lama hari inap dan biaya DBD berdasarkan DRG's (T63B) di RSU. Dr. Soedarso Pontianak Tahun 2005 adalah: DBD Murni 4,01 hari, biaya Rp.565.948,- - Rp.2.471.298,-. DBD dengan penyerta 4,46 hari, biaya Rp.572.692,- - Rp.2.740.687,- DBD dengan penyulit 4,82 hari, biaya Rp.652.352,- - Rp.3.256.826,-. DBD dengan penyakit penyerta dan penyulit 5 hari, biaya Rp.662.385,- - Rp.3.467.237,-. Sampel pada DBD dengan penyakit penyerta dan penyulit hanya 2 orang (1,65%) sehingga lama hari rawat inap dan biaya kurang bervariasi.
Rumah sakit dapat melakukan penerapan DRG's secara bertahap. Perlu koordinasi lintas program antara Depkes RI, Ikatan Profesi, Asuransi, YLKI dan Rumah Sakit (Private dan Public) dalam penyusunan Clinical Pathway yang baku dan penetapan biaya berdasarkan DRG's serta akhimya tercipta Indonesian DRG's. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan diagnosa penyakit lain dan di rumah sakit lain (private maupun public) agar perhitungan unit costIDRG's dapat digunakan sebagai alat untuk pembayaran sehingga adanya kepastian biaya yang diperlukan bagi RS, asuransi, konsumen dan pemerintah.

DHF disease is contagious disease, could attack all people and cause death, and often cause epidemic. DHF show significant economical burden in infected society.
This research aim is get the information about cost per DRG's based on Clinical Pathway of DHF patient that taken care at Dr. Soedarso General Hospital Pontianak in 2005.
Research is quatitative with survey design. Data gathered from costs that spend by dengue haemorrhagic fever patient that taken care in Dr. Soedarso General Hospital from January to December 2005. Research done in February - June 2006, using secondary data from DHF inpatient medical record and supportive units and also primary data from interview with doctors, nurses, Hall Chief and Medical Record Chief toward dengue haemorrhagic fever menagery. Unit cost count based on direct cost by Activity Based Costing and indirect cost by simple distribution.
Variables that affect DRG's DHF in Dr. Soedarso General Hospital Pontianak year 2005 such as: patient characteristics: sex, main diagnose, commorbidity and commortality disease (casemix), length of stay and utilization used.
DHF's Clinical Pathway in Dr. Soedarso General Hospital Pontianak year 2005 consists of: I. Registration, IL Diagnose Straightening: action of nurse, doctor, supportive examiner, main diagnose straightening, doctor therapy, inpatient registration, III. Therapy: Visit Doctor, supportive examiner, DHF diagnose straightening with casemix, therapy determining (doctor), nursing education, after use health tools using, medication and accommodation and also 1V. Returning Home.
Inpatient length of stay mean and DHF cost based DRG's (T63B) in Dr. Soedarso General Hospital Pontianak year 2005 are: Pure DHF is 4,01 days, with inpatient cost mean between Rp. 565.948,- to Rp. 2.471.298,-. DHF with commorbidity disease is 4,46 days. Inpatient cost mean between Rp. 572.692,- to Rp. 2.740.687,-. DHF with complicated disease is 4,82 days. Inpatient cost mean between Rp.652.352,- to Rp.3.256.826,-. DHF with casemix is 5 days. Inpatient cost between Rp.662.385,- to Rp.3.467.237,-. Sample on DHF with casemix only two people (1,65%) with the result that inpatient length of stay and cost less varying.
Hospital can do DRG's implementation step by step especially in inpatient cases that often handled. Need cross program coordination between Depkes RI, Profession Band, Assurance, YLKI and Hospital (Private and Public) in arranging basic Clinical Pathway and cost determining based on condition in Indonesia and finally created Indonesian DRG's. Important to do the other research with other diagnostic and other hospitals (private and public) so unit costlDRG's can be used became tools to payment system So that cost certainty needed for hospitals, assurance, consumer and government created.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T20085
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriana Devi
"Televisi telah ada sejak abad 18 akan tetapi mulai berkembang pada abad 19 dimulai dari televisi hitam putih hingga berwama. Televisi Amerika memiliki acara televisi yang beragam ada yang bersifat positif dan negatif menurut Milton Chen seorang Direktur KOED Center for Education and Lifelong Learning (CELL). Acara televisi yang negatif mengandung unsur kekerasan dan seks sedangkan positif yang mendidik anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kreatifitasnya dan daya nalar mereka. Untuk memenuhi sasaran penilitian saya menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data-data dan metode penelitian kualitatif.
Hasil penelitian membuktikan bahwa dampak televisi dan kejahatan anak-anak yang dilakukan pada usia 8 hingga 15 tahun dari tahun 1970 sampai dengan 1997 perubahan yang signifikan di Amerika Serikat terhadap tayangan-tayangan yang bersifat negatif yang menimbulkan mereka untuk meniru dan melakukan hal yang mereka lihat di televisi tanpa bimbingan orang tua untuk mencema apa yang mereka lihat sehingga teman yang menghibur disaat orang tua tidak ada ialah televisi. Kejahatan yang dilakukan mereka membuktikan bahwa televisi secara tidak langsung mempengaruhi mereka dalam kehidupan nyata."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T18369
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rajmatha Devi
"Setiap perubahan yang terjadi dalam sebuah organisasi pastilah sedikit banyak akan menimbulkan ketidakpastian di antara anggota-anggota organisasi di dalamnya. Namun bukannya tidak mungkin juga perubahan justru terkadang menimbulkan masalah yang tidak disangka akan timbal di masa yang akan datang. Masalah yang mungkin timbul bisa jadi disebabkan oleh karena kurangnya informasi mengenai kebijakan baru yang disampaikan oleh pihak manajemen. Kurangnya informasi ini bisa mengakibatkan terjadinya misperception, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pelaksanaan kinerja dari para karyawan. Penelitian dilakukan untuk mengukur efektifitas kegiatan komunikasi di sebuah organisasi, dalam hal ini mengenai penyebaran informasi tentang suatu kebijakan perusahaan baru. Tujuan dari penelitian ini selain untuk menganalisa secara komprehensif sistem komunikasi internal perusahaan dengan menganalisa keadaan komunikasi, mengetahui masalah yang ada di perusahaan, juga untuk memberikan sejumlah rekomendasi mengenai pelaksanaan komunikasi internal kepada pihak perusahaan. Adapun kerangka teori yang akan dipakai dalam menggambarkan mengenai keadaan yang terjadi di suatu organisasi pada masa penyebaran informasi tersebut adalah komunikasi organisasi, pengetahuan mengenai publik internal sebagai salah satu sasaran komunikasi organisasi, iklim komunikasi dan kepuasan komunikasi, dan aliran informasi dalam komunikasi organisasi - secara spesifik mengenai komunikasi ke bawah (downward communications). PeneIitian ini bersifat evaluatif, dan semua data yang diperoleh akan diggambarkan secara deskriptif mengenai kondisi yang terjadi pada masa kegiatan komunikasi di organisasi tersebut. Pelaksanaan komunikasi akan dijelaskan melalui variabel-variabel sikap dan kepuasan komunikasi, dan kemudian dilihat apakah kedua variabel tersebut memiliki hubungan atau tidak. Unit analisa adalah karyawan para karyawan yang berada di kantor pusat yang sampelnya ditarik secara random acak berstratifikasi. Di dalam penelitian ini akan ditemukan bahwa ternyata kegiatan komunikasi dalam rangka penyebaran informasi di suatu organisasi dinilai kurang efektif oleh karyawan, terlihat dari besarnya presentase responden yang tidak mengetahui inti dari kebijakan perusahaan yang disampaikan. Selain itu juga akan terlihat tingkat kepuasan karyawan dalam penerimaan informasi tersebut yang cukup rendah berdasarkan indikator kecukupan informasi dan keterkaitan informasi dengan pekerjaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Chintya Devi
"Skripsi ini membahas mengenai persiapan penerapan sistem National Single Window di Kantor Pelayanan Utama Tanjung Priok untuk membuat simplifikasi dan harmonisasi proses kepabeanan yang bisa mempercepat proses customs clerance dan release of cargoes. Pokok permasalahan dalam penelitian ini dirinci dalam tiga sub pokok permasalahan, yaitu bagaimana perbandingan antara sistem National Single Window di Indonesia dengan sistem National Single Window di Singapura, persiapan-persiapan yang dilakukan, dan kendala-kendala yang dihadapi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa hendaknya sosialisasi akan penggunaan sistem ini terus-menerus dilakukan, memperketat sistem dari akses dunia luar untuk menghindari terjadinya kejahatan dunia maya, dan penerapan Single Sign On untuk mengakses instansi yang terkait dengan portal National Single Window ini.

This study is focused on the preparation implementation of National Single Window in Tanjung Priok Customs Main Office to make a simplified and harmonized customs process that could make the process of customs clearance and release of cargoes faster. There are three major problems in this study which are the comparison of Singapore National Single Window and Indonesian National Single Window, the preparation of Indonesian National Single Window, and the obstacles of implementation. This research is qualitative descriptive interpretive. The data were collected by means of deep interview.
The researcher suggests keep continuing the socialization of this system, tighten the system from outside access to prevent from cyber crime, and applying Single Sign On to access other Government Agency who are connected with this National Single Window portal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>