Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Sulistyanto
Abstrak :
Berdasarkan data Nota Keuangan 1998/99, pola perkembangan penerimaan pajak secara nominal dalam kurun waktu 1969/70 sampai dengan 1996/97 mengindikasikan trend penghasilan yang cukup berarti. Hasil tersebut tidak terlepas dari berbagai upaya pemerintah yang dilakukan melalui dua kali reformasi perpajakan. Masalahnya adalah apakah penerimaan pajak yang secara nominal cenderung meningkat tersebut sudah mencerminkan performance pajak yang optimal dan telah pula sesuai dengan pola umum struktur pajak. Dengan menggunakan hasil studi dari peneliti-peneliti terdahulu (antara lain Raja J Chelliah dan RA, Musgrave), penelitian tesis ini ditujukan untuk menganalisis apakah realisasi penerimaan selama kurun waktu 1969/70 ? 1996/97 telah optimal dan sesuai dengan struktur pajak normal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, analisis mencakup analisis teori melalui studi kepustakaan dan pembentukan model ekonometri yang digunakan untuk bahan analisis efisiensi dan upaya perpajakan serta aplikasi model Musgrave. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa pola perkembangan penerimaan pajak telah sesuai dengan pola normal struktur pajak hasil penelitian Musgrave. Namun demikian, berdasarkan perhitungan tax buoyancy dan constant income elasticity of tax revenue, terdapat kecenderungan bahwa penerimaan pajak di Indonesia tidak elastis, khususnya pajak langsung non migas. Hasil itu didukung oleh hasil perhitungan index of tax effort yang mengindikasikan lemahnya pemerintah dalam menggali potensi pajak yang terdapat dalam perekonomian Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyanto
Abstrak :
Warisan budaya sebagai media yang dianggap memiliki fungsi dalam menjaga proses pertumbuhan kebudayaan bangsa, ternyata makna yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan secara berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sistem pengetahuan stakeholders (pemangku kepentingan) dalam memaknai warisan budaya Situs Sangiran dan cara-caranya bertindak menggunakan sistem pengetahuan yang mereka miliki. Penelitian mengenai sistem pengetahuan tersebut, dinilai sangat penting, guna memahami perasaan dan pikiran mereka dalam merepresentasikan kebudayaannya terhadap lingkungan sosial, budaya maupun lingkungan alam Situs Sangiran. Pemaknaan pemerintah (pusat) terhadap warisan budaya Sangiran sangat berbeda dengan pemaknaan yang diberikan oleh penduduk, bahkan berbeda pula dengan pemaknaan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Otonom. Dalam konteks demikian inilah, ketiga sistem pengetahuan budaya yang berbeda itu diperbandingkan guna menjelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya konflik pemanfaatan warisan budaya Situs Sangiran. Konsekuensi atas kajian di atas, menuntut penelitian ini menemukan model pengelolaan Situs Sangiran beserta pengembangannya ke depan, karena model pengelolaan yang diterapkan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahahan sistem kepemerintahan pada masa sekarang. Hasil penelitian ini memperlihatkan, bahwa model pengelolaan yang masih terpengaruh oleh kerangka pikir masa Kolonial dengan ciri kebijakan bersifat satu arah (top 0 down), eksklusif dan legislator, hanya akan menciptakan konflik r!. kepentingan yang berkepanjangan. Dalam era otonomi Daerah seperti sekarang ini, model pengelolaan yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Situs Sangiran, adalah model pengelolaan berdasarkan sistem yang mengutamakan konsep milik bersama atau arkeologi untuk masyarakat. Memperhatikan berbagai konflik yang terjadi di Situs Sangiran selama ini, paling tidak ada lima konsep dasar yang harus dipenuhi oleh lembaga arkeologi dalam menata Situs berskala dunia ini. Pertama, lembaga arkeologi harus bersifat reaktif, yaitu peka dalam menangkap berbagai permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat dengan rnemberikan pandangan-pandangan yang bijak dan jalan keluar terbaik (win-win solution). Kedua, akomodatif, artinya lembaga pengelola Sangiran harus mampu menampung berbagai kepentingan yang masing-masing kepentingan memiliki perbedaan sasaran dan tujuan. Ketiga, partisipatif, dalam arti semua kegiatan pengelolaan warisan budaya harus melibatkan berbagai stakeholders. Keempat, lembaga arkeologi pengelola Situs Sangiran harus bersifat transparan, dalam arti semua kebijakan perlu diketahui dan dibicarakan dengan publik. Kelima, integratif, lembaga arkeologi pengelola Situs Sangiran hams mampu mengintegrasikan seluruh kemampuan stakeholders dalam kesatuan visi yang terkoordinasi. Untuk menciptakan model pengelolaan yang reaktif, akomodatif, partisipatif dan transparan, serta integratif, dipandang penting pemerintah (pusat) segera menetapkan Situs Sangiran sebagai kawasan strategis nasional sekaligus membentuk lembaga independen, yaitu Badan Otorita Kawasan Sangiran yang mampu menyatukan berbagai perbedaan persepsi dan berupaya mengakomodir beragarn kepentingan, agar potensi situs dapat dimanfaatkan secara maksimal, baik untuk kepentingan mayarakat lokal, regional, nasional maupun global.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
RB 000 B 33 r
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyanto
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D1578
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyanto
Abstrak :
Warisan budaya sebagai media yang dianggap memiliki fungsi dalam menjaga proses pertumbuhan kbudayaan bangsa, ternyata makna yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan secara berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sistem pengetahuan srakeholders (pemangku kepentingan) dalam memaknai warisan budaya Situs Sangiran dan cara-caranya bertindak menggunakan sistem pengetahuan yang mereka miliki. Penelitian mengenai sistem pengetahuan tersebut, dinilai sangat penting, guna memahami perasaan dan pikiran mereka dalam merepresentasikan kebudayaannya terhadap Iingkungan sosial, budaya maupun lingkungan alam Situs Sangiran. Pemaknaan pemerintah (pusat) terhadap warisan budaya Sangiran sangat berbeda dengan pemaknaan yang diberikan oleh penduduk, bahkan orbeda pula dengan pemaknaan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Otonom. Dalam konteks demikian inilah, ketiga sistem pengetahuan budaya yang berbeda itu diperbandingkan guna menjelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya konflik pemanfaatan warisan budaya Situs Sangiran. Konsekuensi atas kajian di atas, menuntut penelitian ini menemukan model pengelolaan Situs Sangiran beserta pengembangannya ke depan, karena model pengelolaan yang diterapkan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahahan sistem kepemerintahan pada masa sekarang. Hasil penelitian ini memperlihatkan, bahwa model pengelolaan yang masih terpengaruh oleh kerangka pikir masa Kolonial dengan ciri kebijakan bersifat satu arah (top down), eksklusif dan legislator, hanya akan meneiptakan konflik kepentingan yang berkepanjangan. Dalam era otonomi Daerah seperti sekarang ini, model pengelolaan yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Situs Sangiran, adalah model pengelolaan berdasarkan sistem yang mengutamakan konsep- milik bersama atau arkeologi untuk masyarakat. Memperhatikan berbagai konflik yang leljadi di Situs Sangiran selama ini, paling tidak ada lima konsep dasar yang harus dipenuhi oleh lembaga arkeologi dalam menata Situs berskala dunia ini. Pertama, lembaga arkeologi harus bersifat reaktih yailu peka dalam menangkap berbagai permasalahan yang terjadi di dalam masyaralcat dengan memberikan pandangan-pandangan yang biiak dan jalan keluar terbaik (win-win solution). Kedua, akomodatif artinya lembaga pengelola Sangiran harus mampu menampung berbagai kepentingan yang masing-masing kepentingan memiliki perbedaan sasaran dan tujuan. Ketiga, partisipatif dalam arti semua kegiatan pengelolaan warisan budaya harus melibatkan berbagai stakeholders. Keempat, Iernbaga arkeologi pengelola Situs Sangiran harus bersifat transparan, dalam arti semua kebijakan perlu diktahui dan dibiearakan dengan publik. Kelima, integralif, lembaga arkeologi pengelola Situs Sangiran harus mampu mengintegrasikan seluruh kemampuan stakeholders dalam kesatuan visi yang terkoordinasi. Untuk menciptakan model pengelolaan yang reaktif; akomodatif, partisipatif dan transparan, serta integratif; dipandang penting pemerintah (pusat) segera menerapkan Situs Sangiran sebagai kawasan stratogis nasional sekaligus membentuk lembaga independen, yaitu Badan Otorita Kawasan Sangiran yang mampu menyatukan berbagai perbedaan persepsi dan berupaya mengakomodir beragam kepentingan, agar polensi Situs dapat dimanfaatkan secara maksimal, balk untuk kepentingan mayarakat lokal, regional, nasional, maupun global. Cultural heritage, a medium considered to act as maintenance-key of the cultural growing process of nation, apparently bears significant meaning which can be inherited in various ways. Accordingly, this present research is aimed to disclose the stakeholders? knowledge system in denoting the cultural heritage of Sangiran as well as its application. The essence of the study on such knowledge system is to understand the stakeholders? perceptions and ideas in representing their culture upon the social, cultural and natural environment of Sangiran. The study' detected the denotation of the national govemment on the cultural heritage of Sangiran completely differs from that of the community of Sangiran; moreover, it further differs from that of the autonomy district govemment. Consequently, the three dissimilar system of cultural knowledge are compared to explain several factors causing the conflict of benefiting from cultural heritage of Sangiran. The overall product of this research is to build a more relevant management model of Sangiran including its prospective development; since the present model is no longer appropriate with the converted govemmental system. This research discovered that the present management model is still affected by the colonialism viewpoint which is characterized by the top-down policy, exclusivism and legislativism; these characteristics have created a prolonged conflict of interests. Therefore, during the present autonomy district governance, the management model which considered will properly function in Sangiran will have to be based on a system that accommodate public concept which is archaeology for the people. In regard to a number of conflicts that have occurred in Sangiran up until now, there are at least five basic concepts which have to be considered by the archaeological institutions in Indonesia to organize this world-scale site. First, the archaeological institution of Sangiran has to be reactive, which is having the sense in capturing problems occurred in the society and providing wise opinions and win-win solutions. Second, accommodative in terms of capable of accommodating varieties of interests which each of them contains different aim and purpose. Third, participative, meaning stakeholders must be involved in every cultural heritage management. Fourth, the archaeological institution of Sangiran must employ a ?transpr-arent? management to enable the public to know and openly discuss the institution?s policy. Fifth, integrative, the archaeological institution of Sangiran must be capable to integrate the entire capability of stakeholders in one coordinated vision. In order to build a reactive, accommodative, participative, transparent and integrative management model, it is crucial for the national govcmment to soon determine Sangiran as a national strategic zone and establish an independent institution i.e. Sangiran Zone Authority Foundation (Baden Otorita Kawasan Sangiran). This foundation is hoped to be able to integrate various differences of perception and attempt to accommodate a range of interests to enable the maximum benefiting from the potency of Sangiran for local, regional, national and global interests.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D889
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyanto
Abstrak :
Cultural heritages are things from the past, which are valued by communities in recent time as part of their nation?s culture. In reality, among the community members there are problems that arise as a result of diverse perceptions, due to the fact that each perception is based on own interests as is the case with the Site of Sangiran. On the one hand, the Government, as part of the present community, has an idealistic orientation towards the Site of Sangiran as a cultural heritage which unquestionably needs to be protected for the purpose of scientific knowledge and national identity. The local people around Sangiran Site, on the other hand, consider it as their ancestors? area which possesses valuable contents and advantages to improve their economic condition. This conflict and the consequences (fossil protection on the one hand and fossil trade on the other) have so far not been resolved. Meanwhile, the destruction of the Site of Sangiran as the World Cultural Heritage No. 593 is still continuing.
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2009
Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library