Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asep Suryana
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini mendiskusikan kontestasi ruang sosial, sebagai fenomena sosial kemasyarakatan yang menyumbang signifikan terhadap proses suburbanisasi. Pola kontestasi ruang sosial tersebut bertumpu pada prinsip memanfaatkan segala peluang, sebuah Cara pandang terhadap gejala mobilitas !capital-yang rlifasilitasi oleh proses suburbanisasi---sebagai kesempatan ekonomi (economic opportunity). Kontestasi ruang sosial yang terbentuk pun seirama dengan proses suburbanisasi wilayah tadi terhadap kota induknya, terstruktur secara berjenjang (berposisi terbawah) dalam sistem hirarki ruang sosial kota metropolitan, dan terbangun sebagai produk dialektika antara pasar, negara, dan masyarakat. Jadi, suburban adalah arena sosial ketiga aktor tadi berkontestasi. Proses ini pads akhirnya membentuk struktur ruang sosial suburban dalam kerangka menopang fungsinya terhadap kota metropolitannya itu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian (Citayam) dipilih karena mewakili satu tipe suburbanisasi Jakarta yang bercirikan: (1) penyangga permukiman (bukan penyangga industi), (2) berada di jalur sistem transportasi massal yang murah dan cepat (jaringan kereta listrik Jakarta Bogor), (3) tumbuh begitu cepat pasta krisis ekonomi 1997, (4) dipicu oleh pasar perumahan dalam skala menengah-kecil (bukan seperti Bumi Serpong Damai yang berbentuk pasar rumah dalam skala besar untuk kalangan berpenghasilan atas), (5) bercorak suburban untuk kalangan berpenghasilan menengah dan bawah. Data dikumpulkan melalui penelusuran sumber sekunder maupun penelitian lapangan (field research). Koleksi stastistik milik Badan Pusat Statistik dan pustaka milik Perpustakaan Nasional (dalam kurun 1911-1960-an) menjadi salah satu acuan dalam penelusuran data sekunder. Sementara penelitian lapangan menggunakan teknik pengamatan, wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu. Sejumlah informan kunci diwawancarai. Mereka mewakili pare pemangku kepentingan terkait balk dari kalangan alit penduduk asii, lapis bawah, pedagang sektor informal, dan komuter. Tesis ini menyimpulkan bahwa suburbanisasi merupakan epifenomena, sebuah gejala yang digerakan oleh proses mobilitas kapital di sekitar kota metropolitan pinggiran. Suburban sendiri terbangun sebagai produk mekanisme pasar rumah yang "diatur" negara. Sebagian besar penghuninya adalah penduduk kota metropolitan yang tidak mampu membeli rumah di hunian pusat kota. Sebagian mereka tergolong berpenghasilan menengah-bawah yang pindah ke suburban karma alasan finansial, disamping juga terdorong oleh alasan yang bersifat suburban dream. Suburban yang dapat dilaju setiap hart pun mereka pilih (karena adanya sistem transportasi massal), mesh dituntut mental juang yang pantang menyerah lantaran fasilitas transportasi massalnya itu jauh dari memadai. Lokasi riset ini berkategori suburban menengah bawab, bukan hunian strategis, dan tidak dianggap panting oleh memori kolektif aparat Negara. Hal tersebut juga tersumbang oleh fakta bahwa wilayah suburban ini adalah daerah periferi dalam sistem kewilayahan daerah otonom. Dalam kaftan ini, negara abai menyediakan fasilitas publik, karma wilayah suburban ini dianggap tidak memberikan rente kepada dirinya. Pada sisi lain, mesh suburban menengah-bawah ini dibentuk oleh pasar perumahan, penyediaan fasilitas publik oleh pengembang sangat terbatas dan selalu saja berkorelasi dengan kemampuan finansial pars penghuni perumahan. Untuk mengompensasi sangat terbatasnya fasilitas publik tadi, penghuni suburban melakukan apa yang oleh riset ini dikonseptualisasikan sebagai frase penduduk-membangun-suburban (people making suburban). Mereka secara kreatif membangu infrastruktur hunian dan fasilitas umum dengan berpatokan pada prinsip memanfaatkan segala peluang. Gejala penduduk membangun suburban pun kemudian bergerak ke tahap lebih lanjut, sebagai upaya mengisi celah sosial ekonomi akibat dampak berganda (multiplayer effect) sirkulasi kapital di wilayah ini. Di wilayah sentral suburban yang memiliki tingkat kapasitas tanah yang tinggi, gejala penduduk membangun suburban terjadi secara mendalam dan penuh dinamika. Migran lapis bawah menyerbu wilayah pusat untuk mencari peruntungan di sektor informal. Mereka melakukan kontestasi ruang sosial. Pojok tanah mereka duduld, dan berjualan apa saja agar lake dan meraup keuntungan. Hal yang sama juga dilakukan penduduk asli. Mereka pun melakukan kontestasi ruang sosial dengan mengaktifkan identitas sosial mereka sebagai "orang asli". Pojok perempatan mereka kuasai dan duduld. Sebagiannya mereka ubah menjadi sistem pangkalan ojek yang terorganisir dan bertumpu path ikatan sosial sebagai "orang ash". Dunia hitam pusat perdagangan suburban pun dikuasai sebagian kalangan penduduk asli. Tampak bahwa prinsip memanfaatkan segala peluang bekerja di batik gejala penduduk membangun suburban. Prinsip ini bertumpu pads anggapan bahwa gejala suburbanisasi dipandang sebagai proses tumbuh dan tersedianya peluang ekonomi, betapapun kecilnya kesempatan ekonomi tersebut. Upaya kreatif pun mereka kedepankan agar dapat menangkap, memanfaatkan, dan meraup peluang ekonomi tadi. Pola pemanfaatan peluang ekonomi ini mereka lakukan secara mandiri, tanpa fasilitasi pemerintah maupun bantuan dart lembaga keuangan formal. Mereka membangun sistem bantuannya secara horisontal melalui pelbagai jaringan sosial yang mereka miliki, seperti mengaktifkan jaringan etnis, modal sosial sesama pekerja sektor informal, atau mengaktifkan ikatan sosial sebagai "orang asli". Tampak bahwa isu identitas penduduk asli telah menjadi "senjata", agar mereka tetap terlibat secara signifikan dalam proses suburbanisasi. Hal ini adalah bentuk kompensasi psiko-sosial atas rentannya kemampuan individual sebagian besar penduduk asli dalam merespon suburbanisasi. Kompensasi sosial lainnya terlihat dalam berfungsinya organisasi sosial lokal (seperti kelompok preman setempat) dan perangkat kelembagaan resmi lokal (seper(i pemerintah desa) sebagai perisai sosial politik dan ekonomi. Dari sudut pandang negara, pasar, dan masyarakat, upaya berburu surplus tadi mereka lakukan di bawah kerinduan terhadap fungsi kesejahteraan negara. Negara mereka konsepsikan harus hadir dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan kelompok sosial ini. Dengan kata lain, gejala sekelompok penduduk asli menguasai tanah negara dan berkontestasi ruang sosial dalam rangka meraup surplus, terdorong oleh persepsi fungsi laten negara sebagai lembaga yang hares melindungi taraf hidup layak mereka. Maka, ketika fungsi ideal tadi tidak mereka jumpai, mereka pun menyerobot tanah negara. Perilaku sosial yang secara resmi dikategorikan sebagai tindak ilegal ini, justru terdorong oleh cara pandang mereka terhadap fungsi negara tadi. Pola kontestasi demikian dapat dimaknai sebagai cars paksa untuk menghadirkan fungsi ideal negara, sebuah upaya yang layak dipahami sebagai mencari perlindungan dari tirani pasar (market).
ABSTRAK
This study analyzes contestation of social space as a social phenomenon significantly contributed to the process of urbanization. The pattern of the contestation of social space is based on a principle of making use all the opportunities--a perspective to capital mobilization phenomenon-facilitated by the process of urbanization-as an economic opportunity. The contestation of social space in turn, went along with the process of urbanization of the area, hierarchically structured in the system of metropolitan city, and established as a product of dialectic between market, state and society. Therefore, suburban area is social arena where the three actors are contesting to each other. The process finally formed the structure of suburban social space in the framework of its function to the metropolitan city. The research methods used in the study are primarily those of qualitative approach: observation, in depth-interviews, collection of statistical data from Badan Pusat Statistik and Perpustakaan Nasional, and case study as its primary data collection method. The locus of research in Citayam was chosen because it represents one type of suburban in Jakarta. To analyze the suburbani cation process and the contestation of social space, informants of the study are stakeholders consisting of the elites of the local residents, low class people, informal sector merchants, and commuters. This study has found that suburbanization is epiphenomena driven by capital mobility process around sub metropolitan area. Suburban it self is established as product of house market mechanism regulated by the "state". Most of the residents are those who cannot afford to buy house at the center of the city. They also belong to low-income people who move to suburban for financial reason. Suburban residential areas that they can choose are also limited due to the limitation of the mass transport system. The location of research can be categorized as a low-income residential area which is not consider important by the state due to the fact that this are is a peripheral area in the zoning system of the autonomous municipal government This is why the state does not provide any public facilities to the area. The private company developer that manages the area is also reluctant to provide any public facilities due to the lack of purchasing power of the residents. To compensate for all these shortcomings, the suburban residents take concrete measures which in this study conceptualized as "people making suburban areas". They creatively create residential infrastructure and public facilities based on the principle of making use of all the opportunities. The phenomenon of people making suburban areas is also moving to the next step, which is an effort to fill the social economy niche generated by the multiplayer effect of the capital circulation in the area. In the central area of suburban, which has the high land capacity, lower class migrants as well as local residents dynamically develop suburban areas. The lower class migrants are looking for financial opportunities in the informal sector, while the local residents activate their social identity as "natives" to maximize economic gains. It appears that the principle of making use of all the opportunities is operating behind the phenomenon of "people making suburban areas." This principle based on assumption that urbanization is regarded as a process of the development and the availability of economic opportunities, no matter how limited they are. Creative efforts are used by the residents to catch and maximize the economic opportunities, without any facilities from the government or formal financial institutions. They develop their systems horizontally by strengthening social and ethnic networks, and activating their social ties as "natives". It also appears that the issue of local residents identity has become "the weapon" in order to stay involved significantly in the process of urbanization. However, the active involvements in gaining economic opportunities are due to the non-optimal function of the state. The pattern of the social contestation can be regarded to realize forcefully the ideal function of the state, an effort that should be regarded as to seek protection from the tyranny of the market.
2007
T19161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan menganalisa hubungan kausalitas Granger antara variabel peringkat risiko negara, ketidakpastian kebijakan ekonomi (EPU), sentimen investor dan harga minyak terhadap returns saham secara spesifik di pasar negara berkembang selama periode Januari 2010 hingga Desember 2019 dengan menggunakan model kausalitas nonlinear non-parametrik Granger serta Vector Error Correction Model (VECM), dan hasil dari penelitian menemukan hubungan kausalitas Granger-VECM jangka pendak dan jangka panjang pada variabel harga minyak yang cukup signifikan dalam memprediksi returns saham di pasar negara berkembang serta dibutuhkan penelitian lebih lanjut atas penggunaan Credit Default Swap sebagai proksi variabel peringkat risiko negara dalam memprediksi returns saham.
This research analyzes the causal relationship between country risk rating, economic policy uncertainty (EPU), investor sentiment, oil prices and equity returns in several emerging markets over a decade. We use the nonlinear nonparametric Granger causality model and Vector Error Correction model to describe and investigate the causal correlation between country risk rating, economic policy uncertainty, oil prices, and investor sentiment and equity returns at the original level. We find Granger causal relationship-VECM with oil prices to predict stock returns in emerging markets and further research is suggested to investigate the usage of Credit Default Swap as country risk rating proxy to predict stock markets returns
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
Jakarta: LIPI Press , 2012
338.17 ASE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
Abstrak :
With reference to the establishing authority charismatic and the routinizing charisma process, this paper aims to analyze the authority not as a static concept, but rather as a dynamic concept. Both process has been involving several aspects of the actor and social cultural system which is conducive to it. On the routinizing charisma process in this Pesantren, the behaviours must be set as an example for values that externalize by charismatic figure. This become normative guidance and legitimized resources to next generation. In this context, it is occurred the differences between normative guidance (das sollen) with the practice of next generation (das sein) that wilt be emerged legitimation erotion.
[place of publication not identified]: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
MJSO-7-2000-51
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
Abstrak :
The implementation of local government policies during the New Order era has weakened Pesantren as local and Islamic education institution. The weakening is due to, firstly, the instructive position of central government to its local subordinates implying that this later apparatus be the instrument of gaining its target. Secondly, the head of local government as solely powerful figure in local structure has been decisive in many local policies. This local political situation has also implied a centralization of Islamic education policies during the era. The discussed cases of two Pesantren in two different districts in this article reveal that regional autonomy will be presumably strengthening this Islamic education institution.
[place of publication not identified]: Jurnal Antropologi Indonesia, 2001
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library