Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Renisa Aru Ariadno
"Dermatitis seboroik merupakan masalah kulit kronis yang ditandai gejala berupa eritema, skuama, dan papul pada kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea. Dermatitis seboroik ringan sering disebut ketombe. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang menjelaskan faktor pencetus keparahan dermatitis seboroik, salah satunya depresi. Depresi adalah gangguan mood kronis yang ditandai dengan menurunnya pola hidup dan ritme biologis seseorang yang muncul akibat stress psikologis kronis. Keduanya diperkirakan memiliki korelasi meski sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan hasil bermakna. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional di Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada 2017. Keparahan dermatitis seboroik diukur dengan Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI , sementara depresi diukur dengan kuesioner Beck Depression Inventory II BDI-II. Subjek penelitian sebanyak 82 pasien dermatitis seboroik. Uji normalitas data ditemukan tidak normal. Nilai median depresi sebesar 5 0-38 dan nilai median keparahan dermatitis seboroik sebesar 2,25 0,25-21. Hasil uji korelasi dengan Spearman menunjukkan hasil tidak signifikan dan tidak ada korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik P=0,249 dan r=-0,129. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ditemukan adanya korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik.

Seborrheic dermatitis is a chronic skin disease with specific manifestation such as erythematous, squamous, and papules on sebaceous glands rich skin. Mild seborrheic dermatitis usually recognized as dandruff. There were no previous studies that explained causal factors that affect seborrheic dermatitis severity, including depression. Depression is one of psychiatry disorders that affects mood chronically, changed lifestyle, and disturbed biological rythme which caused by chronic psychology stress. There were no studies that explained their correlation, despise the fact that there is relationship between emotional stress and dermatology disorders especially in neuroendocrine system that affects skin tissue homeostatic. This was a cross sectional research that applied in dermatology and venereology clinic dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta in 2017 to find correlation between depression and seborrheic dermatitis severity. Seborrheic dermatitis severity measured by Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI , and depression measured by Beck Depression Inventory II BDI II. The subjects were 82 seborrheic dermatitis patients. Median number for depression was 5 0 38 and median number for seborrheic dermatitis was 2.25 0.25 21. Correlation trials with spearman showed no statistically significant between depression and seborrheic dermatitis severity P 0.249 and r 0.129. Conclusion, this research showed there was no correlation between depression and seborrheic dermatitis severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarine Aru Ariadno
"Latar Belakang: Epidemi HIV/AIDS masih menjadi salah satu sorotan di
masalah kesehatan di dunia, khususnya Indonesia menduduki peringkat
5 sebagai negara paling berisiko HIV/AIDS di benua Asia. Level tinggi
Replikasi virus HIV secara terus menerus akan menurunkan jumlah limfosit T CD4 dalam tubuh, hingga suatu saat sistem kekebalan tubuh akan menurun drastis yang memudahkan terjadinya gejala infeksi oportunistik hingga berakhir dengan kematian. Memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan gigi primer yang diperoleh melalui pengenalan Manifestasi oral tertentu menjadi tolak ukur dalam menegakkan diagnosis dini infeksi HIV yang nantinya akan menunjang kualitas hidup ODHA. Penguasaan pengetahuan serta sikap komprehensif yang dibutuhkan oleh dokter gigi dalam memberikan perawatan pada ODHA. Tujuan: Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa klinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKGUI) tentang HIV/AIDS. Metode: Penelitian statistik deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dengan mengambil data primer secara langsung pada keseluruhan responden siswa klinik FKGUI. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang menilai tiga komponen HIV/AIDS, meliputi tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan perawatan gigi. Hasil Penelitian: Dari total 275 responden, mayoritas dalam populasi penelitian (84,4%)
adalah perempuan. Tingkat pengetahuan mahasiswa klinik FKGUI cukup baik (70,2% responden) dengan kecenderungan meningkat seiring bertambahnya usia serta meningkatkan tingkat studi di klinik dilihat dari angkatan masuk. Dari total tujuh indikator pada komponen pengetahuan, hanya indikator penularan dan cara penularan HIV/AIDS menunjukkan tingkat pengetahuan yang rendah, dengan jumlah lebih dari setengah dari responden. Berbeda dengan tingkat pengetahuan, sikap mahasiswa klinis FKGUI tentang HIV/AIDS cukup memadai dengan persentase 84% responden total ke dalam kategori sikap netral. Kemudian, sikap negatif hanya dimiliki oleh responden wanita dengan rentang usia 21-23 tahun yang memasuki tahun 2017- 2018. Tindakan responden terhadap HIV/AIDS tergolong positif (91,6%) dan tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan, baik berdasarkan jenis kelamin, usia dan generasi dalam variabel tindakan. Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tingkat pengetahuan dan tindakan responden tentang HIV/AIDS baik, sikap responden masih tergolong netral terhadap ODHA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aru Ariadno
"Latar belakang: Argon Plasma Coagulation (APC) merupakan modalitas terapi yang
banyak digunakan untuk pengobatan kolitis radiasi pada pasien keganasan ginekologi,
kolorektal dan urologi yang mendapatkan radioterapi di RSUPN-CM.
Tujuan: Menilai hasil dari APC yang dilakukan pada penderita kolitis radiasi dan
faktor perancunya.
Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan desain kohort retrospektif berdasarkan
data dari rekam medis RSUPN-CM antara bulan April 2012 sampai dengan Oktober
2019. Variabel yang dinilai meliputi umur, jenis kelamin, jenis keganasan, diabetes
melitus, hipertensi, dan status anemia, dengan luaran berupa keberhasilan APC.
Pengujian kemaknaan statistik dilakukan sesuai dengan karakteristik data serta tujuan
penelitian, dengan p <0,05 dianggap bermakna. Juga dilakukan analisis multivariat
untuk melihat variabel perancu yang paling memengaruhi keberhasilan APC.
Hasil: Sebanyak 180 pasien kolitis radiasi yang mendapatkan terapi APC memenuhi
kriteria penelitian dengan proporsi terbanyak berjenis kelamin perempuan sebesar
89,4%, dan berusia >50 tahun sebanyak 83,9%. Sedangkan jenis tumor terbanyak
adalah keganasan ginekologi sebanyak 88,9%. Sebanyak 81,3 % subyek mengalami
keberhasilan terapi APC. Nilai tengah frekuensi APC sebanyak 2 sesi dengan rentang
1 sampai 12 sesi. Terdapat 180 subyek (100%) menderita anemia sebelum menjalani
APC yang pertama. Kadar hemoglobin pada penderita APC meningkat dengan
median Hb sebelum APC pertama sebesar 8 g/dL (3-11 g/dL) menjadi 12 g/dL (10-14
g/dL) sebelum APC terakhir. Sebanyak 59,2% subyek yang mengalami keberhasilan
APC tidak lagi menderita anemia setelah terapi APC, dengan perbaikan status anemia
meningkat sebesar 1,628 kali lebih baik pada subyek yang mengalami keberhasilan
APC dibandingkan dengan subyek yang mengalami ketidakberhasilan terapi APC
(p=0,017). Usia, jenis kelamin, jenis keganasan, hipertensi dan diabetes melitus bukan
merupakan faktor perancu terhadap status anemia pada keberhasilan APC.
Kesimpulan: Terdapat perbaikan status anemia pada penderita kolitis radiasi yang
mendapatkan terapi APC di RSUPN-CM.

Background: Argon Plasma Coagulation (APC) is recently widely used in the
treatment of radiation colitis among patients with gynecology, colorectal and
urology malignancy.
Purpose: To measure the result of APC conducted on radiation colitis patients and its
counfounding factors.
Methods: An analytic descriptive study with retrospective cohort design based on
RSUPN-CM database between April 2012 until October 2019. Variables measured
were age, gender, tumor types, diabetes melitus, hypertension, and anaemia, with
efficacy of APC treatment as the outcome. Statistical tests conducted according to
characteristics and the purpose of the study, with p value <0.05 considered
significant. Multivariate analysis was also conducted to evaluate which factors
influenced to the efficacy of APC therapy.
Results: As much as 180 radiation colitis patients received APC treatment fulfilled
inclusion criteria with characteristics female patients (89.4%), and age >50 years old
(83.9%) were found in this study. Types of tumor were dominated by gynecology
malignancy (88.9%). As much as 81.3% subjects had successful APC treatment.
Median number of efficacy of APC treatment in this study was 2 sessions. All of the
subjects had anaemia before the first APC treatment. There was improvement in Hb
level, median Hb before the first APC treatment was 8 g/dL (3-11 g/dL) and median
Hb level before the last APC treatment was 12 g/dL (10-14 g/dL). As much as 59.2%
subjects who had successful APC treatment were no longer anaemia after APC
treatment, with improvement of anaemia status was 1.628 times more likely in
subjects who had successful APC treatment compared to subjects who did not have
successful APC treatment (p=0.017). Age, gender, malignancy types, hypertension
dan diabetes melitus were not confounding factors to anaemia status in successful
APC treatment.
Conclusion: There was improvement in anaemia status on radiation colitis patients
receiving APC treatment in RSUPN-CM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library