Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arlianti
Abstrak :
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang disertai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologis. Masa peralihan tersebut menyebabkan remaja terjadi rentan terhadap masalah-masalah. Salah satu masalah yang sering terjadi adalah masalah kenakalan remaja berupa perilaku membolos, terlibat perkelahian, mencuri, dan perilaku antisosial lainnya. Munculnya perilaku-perilaku tersebut pada remaja merupakan sebagian simtom dari conduct disorder. Conduct disorder adalah gangguan yang ditandai dengan adanya pola tingkah laku melanggar hak-hak orang lain atau peraturan dasar sosial yang berulang dan menetap pada anak dan remaja. Individu dengan conduct problems mungkin mengalami berbagai gangguan dalam konsep diri yang mempengaruhi tingkah laku anti sosialnya. Salah satu cara untuk mengetahui konsep diri remaja dengan conduct disorder adalah dengan menggunakan tes HFDs. Melalui wawancara dengan remaja yang memiliki conduct disorder juga akan dapat diperoleh gambaran mengenai konsep dirinya Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran konsep diri remaja dengan conduct disorder dilihat dari hasil tes HFDs dan apakah gambaran konsep diri tersebut juga didukung oleh hasil anamnesa terhadap subjek yang bersangkutan. Aspek-aspek konsep diri yang diteliti adalah academic self concept social self concept, dan seifregard/presentation of seb' (Hattie dalam Bracken, 1996). Untuk mendapatkan data yang diperlukan digunakan data sekunder yang diperoleh dari Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia berupa hasil tes HFDs dan anamnesa dari lima orang remaja yang telah di diagnosis conduct disorder. Dari hasil analisis data didapatkan bahwa tidak terdapat gambaran mengenai academic self concept dari subjek yang diteliti. Berkaitan dengan social self concept, dua dari lima subjek dalam penelitian ini family self concept yang negatif. Salah satu dari subjek tersebut memiliki peer self concept yang negatif dan lainnya memiliki peer self concept yang positif. Berkaitan dengan self regard/presentation of self hanya dapat diketahui aspek confidence. Hanya ada tiga dari lima subjek dalam penelitian ini yang dapat dilihat aspek confidence-nya dan ketiga objek tersebut memiliki keyakinan diri (confidence) yang negatif. Gambaran social self concept subjek yang didapat dari hasil interpretasi tes HFDS didukung oleh pernyataan subjek yang diperoleh dari anamnesa. Kedua subjek yang memiliki family self concept yang negatif menyatakan bahwa dalam hubungan keluarga mereka merasa dirinya kurang dihargai. Mereka merasa tidak dianggap oleh orang dewasa, sering dipukul untuk kesalahan yang besar maupun kecil, dan ditolak keinginannya karena dianggap tidak serius. Subjek yang memiliki peer self concept negatif merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan teman dan merasa tidak diterima oleh teman-temannya. Subjek yang memiliki peer Seb' concept yang positif merasa bahwa teman-temannya sangat mengharapkan dirinya. Hasil anamnesa tidak memberikan gambaran mengenai academic self concept dan self regard/presentation of self. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan mengenai konsep diri remaja dengan conduct disorder sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat dan efektif pada remaja dengan conduct disorder. Penelitian ini juga memiliki kekurangan-kekurangan sehingga sebaiknya penelitian selanjutnya dilakukan dengan tidak hanya menggunakan satu hal tes tetapi gabungan dari beberapa tes dan menggunakan data primer sehingga gambaran konsep diri yang didapat lebih kaya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlianti
Abstrak :
Masa remaja dimulai pada sekitar usia 12 atau 13 tahun sampai sekitar usia 20-an dan merupakan masa peralihan yang ditandai dengan perubahan-perubahan dalam diri individu, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis dari anakanak menuju dewasa. Masa peralihan tersebut menyebabkan remaja mudah terkena atau menimbulkan masalah. Salah satu hal yang dapat memicu timbulnya masalah pada remaja adalah emosi marah yang tidak dikendalikan dan diekspresikan secara tepat. Intensitas pengalaman emosi, termasuk emosi marah, menurut Frijda dipengaruhi oleh interaksi sejumlah faktor, yaitu : kepedulian kejadian, penilaian, action repertoire, regulasi dan mood. Penelitian ini ingin melihat gambaran penilaian konteks pada pengalaman emosi marah dengan intensitas tinggi dan rendah pada siswa/i kelas 1 SMUN 38, Jakarta. Penilaian konteks yang diteliti meliputi 24 dimensi, yaitu : valensi, kemudahan mencapai tujuan/ keterhambatan, kesejahteraan orang lain, keadilan, ketertarikan, kebaruan/sudah dikenal atau belum, ketiba-tibaan, harapan akan akhir, kejelasan tentang akhir, kemungkinan diubah atau finalitas, dapat/tidak dapat dihindarkan, tanggung jawab sendiri, tanggung jawab orang lain, keterkendalian, harga diri, penghargaan orang lain, kejelasan, antisipasi usaha, dapt diatasi/ ditangguung, dapat diharapkan, dapat diharapkan oleh orang lain, kepentingan, kesesuaian dengan norma menurut diri sendiri dan kesesuaian dengan norma menurut orang lain. Untuk mendapatkan data yang diperlukan, dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner emosi dan kuesioner penilaian Frijda & Markam (1992). Kuesioner diberikan kepada 45 siswa/i kelas 1 SMUN 38, Jakarta. Dari hasil perhitungan data, didapatkan bahwa dimensi penilaian yang paling menonjol pada pengalaman emosi marah dengan intensitas tinggi adalah dimensi valensi, kemudahan mencapai tujuan, ketiba-tibaan dan dapat diharapkan.Sedangkan pada pengalaman emosi marah dengan intensitas rendah dimensi penilaian yang paling menonjol adalah dimensi ketidak adilan, ketertarikan, keterkendalian dan dapat diharapkan. Selain itu juga didapatkan adanya perbedaan yang signifikan antara dimensi kesejahteraan orang lain , kebaruan, ketiba-tibaan, keterkendalian, antisipasi usaha, dapat diatasi/ditanggung dan kepentingan pada pengalaman emosi marah dengan intenistas tinggi dan pengalaman emosi marah dengan intensitas rendah yang dialami siswa-siswi kelas 1 SMUN 38 Jakarta. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk lebih memahami pengalaman emosi marah yang dialami oleh remaja, terutama siswa-siswi kelas 1 SMU. Namun masih banyak kekurangan pada penelitian ini sehingga sebaiknya dilanjutkan dengan penelitian lain yang meneliti tentang anteseden, kesiapan aksi dan regulasi dari pengalaman emosi marah sehingga didapatkan data yang lebih kaya dan lengkap. Selain itu juga sebaiknya penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan data berupa kuesioner ditambah dengan metode wawancara sehingga data yang didapat lebih lengkap dan mendalam.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nopa Arlianti
Abstrak :
ABSTRAK
Infekunditas sekunder merupakan kondisi seorang wanita usia subur yang masih memiliki kemungkinan untuk memiliki anak dan berharap bisa memiliki anak, baik yang belum pernah melahirkan ataupun sudah pernah melahirkan, belum pernah hamil maupun yang sudah pernah hamil dan atau pernah memiliki anak sebelum lima tahun terakhir serta tidak menggunakan alat kontrasepsi pada periode tersebut. Faktor yang menyebabkan infekunditas sekunder sebagian besar merupakan penyebab yang sama pada faktor yang menyebabkan infertilitas. Dimana akibat yang ditimbulkan karena terjadinya infekunditas sekunder yaitu gangguan psikologis, sosial dan ekonomi. Metode penelitian yang digunakan yaitu cross sectional dengan menggunakan data WUS SDKI 2012. Jumlah sampel yaitu sebanyak 27414 (85.03%) mengalami fekunditas dan 4826 (14.97%) mengalami infekunditas sekunder. Analisis data menggunakan univariat, bivariat dan regresi logistik. Berdasarkan analisis yang dilakukan, propinsi yang memiliki angka infekunditas sekunder tertinggi yaitu Papua (31.39%), Aceh (23.23%) dan Papua Barat (20.75%). Dengan analisis regresi logistik diperoleh bahwa determinan infekunditas sekunder di Indonesia adalah umur, merokok, sosial ekonomi, pekerjaan, riwayat keguguran, pendidikan, umur pertama melakukan hubungan seksual, dan paritas
ABSTRACT
Secondary infecundity is a condition of a woman at childbearing age who still have the possibility to have children and wish to have a child who had never given birth or had given birth, has never been pregnant or who have ever been pregnant or had had children before the last five years and does not use contraception in the period. Factors that cause secondary infecundity largely accounts for the same factors that cause infertility. The impact due to the occurrence of secondary infekundity are psychological disorders, social and economic. The research method used is cross sectional using data from Indonesian Demographic and Health Survey 2012. Study population are Woman at Childbearing Age. The number of samples as many as 27414 (85.03%) experienced fecundity and 4826 (14.97 %) experienced secondary infecundity. Data was analyzed by univariate, bivariate and logistic regression multivariable. Result showed accordingly from the highest prevalence are Papua (31.39 %), Aceh (23.23 %) and West Papua (20.75 %). Logistic regression analysis showed determinant of secondary infekundity accordingly in Indonesia are age, smoking, socio-economic, employment, history of miscarriage, education, age at first sexual intercourse, and parity
2016
T46167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library