Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arie Sulistyowati
"Latar belakang. Makanan pendamping ASI (MPASI) merupakan salah satu faktor penting dalam pengasuhan anak. Pada tahun 2003 WHO menyatakan bahwa 60% dari 10,9 juta kematian balita berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masalah kekurangan gizi. Sedangkan 2/3 dari kematian tersebut, yang sering kali berhubungan dengan masalah pemberian makan, terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Pada tahun 2003, WHO telah mengeluarkan aturan mengenai pemberian MPASI hendaknya memenuhi persyaratan meliputi ketepatan usia, adekuat, aman dan cara pemberian makan yang tepat. Sebagian besar penelitian mengenai MPASI di Indonesia hanya melihat satu aspek dari 4 kriteria WHO. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang dimaksudkan untuk melihat praktek pemberian MPASI pada bayi secara holistik berdasarkan keempat kriteria WHO tersebut.
Tujuan. Mengidentifikasi pola pemberian MPASI pada bayi usia 6, 9 dan 12 bulan, meliputi ketepatan usia, adekuat, aman dan cara pemberian makan yang tepat; serta mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pemberian MPASI dini.
Metode. Studi potong lintang berbasis populasi dilakukan pada anak usia 6, 9 dan 12 bulan di 4 kelurahan di kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang lahir cukup bulan dengan berat lahir antara 2500 - 4000 gram. Pemilihan posyandu dilakukan secara multistage cluster sampling. Data demografis dan pola pemberian ASI dan MPASI didapatkan dari wawancara terhadap ibu atau pengasuh. Pada subjek dilakukan pemeriksaan berat badan dan panjang badan. Analisis diet dilakukan dengan metode 24-hour food recall oleh ahli gizi. Analisis multivariat dilakukan untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian MPASI kurang dari 6 bulan. Mula-mula dilakukan analisis bivariat dengan uji hipotesis Kai-kuadrat (X2) atau uji t-test tidak berpasangan pada tiap faktor risiko, dilanjutkan dengan uji regresi logistik.
Hasil. Didapatkan 322 subjek, terdiri dari 99 anak usia 6 bulan, 111 anak usia 9 bulan, 112 anak usia 12 bulan. Jumlah lelaki dan perempuan seimbang. Lima puluh sembilan persen responden berada di atas garis kemiskinan versi BPS. Prevalens pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan sebesar 36,7%. Prevalens pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) pada usia 6 bulan adalah 51,6%. Sebanyak 40 (12,4%) anak mendapatkan MPASI pada usia kurang dari 4 bulan dan 95 (29,5%) anak pada usia 4-5 bulan. Bubur susu merupakan jenis MPASI pertama kali yang paling sering diberikan (76,3%). Rerata asupan kalori total adalah 852,8 kkal/hari. Rerata pemenuhan kalori total dibandingkan AKG 110 kkal/kg/hari adalah 94,3%. Pada analisis regresi logistik, faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian MPASI dini adalah ibu rumah tangga (β=2,58; RO=13,24; p=0,001), pemberian susu formula pada usia 6 bulan (β=-1,66;RO=0,19; p=0,012) dan durasi ASI eksklusif (β=-1,85; RO=0,16; p<0,0001). Target AKG zat besi sebesar 11 mg/hari tidak terpenuhi pada seluruh kelompok usia anak. Asupan terendah terdapat pada anak usia 6-8 bulan yang mengkonsumsi ASI dan MPASI dengan rerata asupan zat besi 2,6 mg/hari.
Simpulan. Prevalens pemberian MPASI pada usia 6 bulan pada bayi di Kecamatan Pasar Minggu adalah 51,6%. Jenis MPASI yang paling sering diberikan sebagai MPASI pertama adalah bubur susu buatan pabrik. Faktor yang mempengaruhi pemberian MPASI dini adalah ibu rumah tangga, pemberian susu formula pada usia 6 bulan dan durasi ASI eksklusif. Asupan zat besi paling rendah terdapat pada kelompok usia 6-8 bulan, terutama yang mengkonsumsi ASI.

Background. Complementary foods is one of the important factors in child care. In 2003, the WHO stated that 60% of the 10.9 million under-five deaths associated either directly or indirectly with malnutrition. While two thirds of these deaths, which are often associated with feeding problems, occurred in the first years of life. In 2003, the WHO has issued rules regarding the provision of complementary feeding should meet the following requirements include timing, adequacy, safety and properly feeding. Most researches on complementary feeding in Indonesia only discussed one of the 4 criteria of WHO. This study is the first study designed to identify the infant complementary feeding practice in a holistic manner based on the four criteria of the WHO.
Objective. To identify the pattern of complementary feeding in infants aged 6, 9 and 12 months-old, which includes timing, adequacy, safety and properly feeding. And also to assess factors contributing in early complementary feeding.
Methods. A cross-sectional population-based study conducted in infants aged 6, 9 and 12 months who were born aterm and birth weight ranging from 2500 until 4000 grams. The study was located in 4 villages in the district of Pasar Minggu, South Jakarta. Posyandu as sample base was elected by multistage cluster sampling. Demographic data and the patterns of breastfeeding and complementary feeding were obtained from interviews with the mother or caretaker. Body weight and body length were measured. Dietary analysis was conducted using 24-hour food recall by dieticians. Bivariate analysis using chisquare test or unpaired t-test was conducted for each risk factor associated to the provision of complementary feeding before 6 months-old. Those risk factors are gender, duration of exclusive breastfeeding, formula milk, age and education level of the mother, maternal employment, socioeconomic status and tradition of giving starch water for babies. Significant associations were subjected to multivariate analysis by logistic regression.
Results. We obtained 322 subjects, consisting of 99 infants aged 6 months-old, 111 infants aged 9 months-old, and 112 infants aged 12 months-old. Equal proortion between male and female. Fifty-nine percent of the respondents were above the poverty line according to BPS standard. Prevalence of exclusive breastfeeding until the age of 6 months was 36.7%. A total of 40 (12.4%) children started their first complementary feeding at the age of 4 months, 95 (29.5%) children at the age 4-5 months. Milk porridge is a the most frequent food for the first time (76.3%). The mean total caloric intake was 852.8 kcal / day. The mean total caloric fulfillment than RDA 110 kcal / day was 94.3%. On logistic regression analysis, the factors that influence early complementary feeding were stay-at-home mother (β=2.58; RO=13.24, p=0.001), formula feeding at 6 months (β=-1.66; RO=0.19, p=0.012) and duration of exclusive breastfeeding (β=-1.85; RO=0.16, p<0.0001). The RDA of iron intake is 11 mg/day which was not accomplished in all group of ages. The lowest was in group of 6-8 months-old baby consuming breastmilk and complementary food, averaged 2.6 mg/day.
Conclusion. Prevalence of complementary feeding at 6 months of age in infants in the Pasar Minggu District was 51.6%. The most frequent first food was industrial milk porridge. Factors affecting early complementary feeding were stay-at-home mother, formula feeding at 6 months of age and duration of exclusive breastfeeding. The lowest iron intake was consumed by 6-8 months-old baby with breastmilk and complementary foods.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Sulistyowati
"Latar Belakang: Gangguan Spektrum Autisme (GSA) adalah gangguan neurodevelopmental yang terdiri atas gangguan komunikasi, interaksi sosial serta adanya perilaku restriktif dan repetitif. Hal ini dapat menyebabkan masalah dalam kemampuan adaptif anak sehingga menghambat anak dalam melakukan kemampuan dasar aktivitas harian, seperti makan, mandi, melepas dan memakai baju, dan lain-lain. Penggunaan video-modeling merupakan salah satu metode intervensi yang dikembangkan beberapa tahun terakhir untuk melatih kemampuan aktivitas harian pada anak GSA. Nemun demikian, hingga saat ini belum ada penelitian mengenai penggunaan video-modeling aktivitas mandi pada anak GSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan imitasi sequence aktivitas mandi sebelum dan sesudah pengggunaan video-modeling aktivitas mandi pada anak GSA. Metode: Disain penelitian ini adalah kuasi eksperimental (pre-post test analysis) dengan subjek penelitian adalah anak usia 6-10 tahun yang telah didiagnosis GSA oleh SpA konsultan neurologi anak yang datang ke Klinik Anakku Check My Child (CMC) Kayu Putih, Klinik Anakku BSD Serpong, Pondok Pinang, Depok dan Bekasi, serta Sekolah Anakku Pulomas pada periode April-Juni 2023. Subjek dikumpulkan dengan metode consecutive sampling. Besar sampel yang dibutuhkan untuk power 80%, derajat kemaknaan 5%, effect size 0,6 serta perkiraan drop out 20% adalah 33 subjek. Penelitian diawali dengan pembuatan video-modeling berupa animasi kegiatan mandi serta checklist penilaian kegiatan mandi berdasarkan 20 sequence kegiatan aktivitas mandi pada video tersebut. Pemaparan video dilakukan minimal 1x/hari selama 4 minggu. Subjek dengan frekuensi pemaparan <75% akan dieksklusi dari analisis. Penilaian dilakukan berdasarkan checklist aktivitas mandi dengan memberikan poin 1 untuk setiap sequence aktivitas yang mandi yang dilakukan subjek tanpa adanya instruksi verbal dan prompt motorik. Nilai pre-test adalah hasil penjumlahan penilaian checklist aktivitas mandi sebelum paparan video-modeling, sedangkan nilai post-test diambil setelah proses intervensi selama 4 minggu. Hasil: Dari 35 subjek yang mengikuti awal penelitian, hanya tersisa 29 anak (82,8%) yang menyelesaikan penelitian hingga 4 minggu. Sebagian besar subjek (94,2%) berusia 6-8 tahun dengan perbandingan laki dan perempuan sebesar 5:1. Nilai median kemampuan aktivitas mandi anak GSA sebelum dan sesudah penggunaan video-modeling adalah 3 (0-10) dan 6(1-17), pada skala 20. Terdapat perbedaan nilai yang bermakna (nilai p< 0,0001) antara perbedaan nilai sebelum dan sesudah penggunaan video-modeling, dengan nilai median selisih 3 (-4 – 13), pada skala 20. Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara nilai imitasi sequence aktivitas mandi pada anak GSA sebelum dan sesudah penggunaan video-modeling. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kemaknaan nilai tersebut secara klinis.

ackground: Autism Spectrum Disorder (ASD) is a range of neurodevelopmental disorders characterized by impaired communication, social interaction and the presence of stereotypic and repetitive behavior. It may affect children's adaptive behaviour which consequently hinder them in carrying out basic daily living skills, such as eating, bathing, grooming, etc. Video-modeling is one of the newest intervention methods for the last decades to train daily living skills among individuals with ASD. However up to now there is scarce evidence for using video-modeling to improve bathing skills in children with ASD. This study aims to evaluate the difference of sequence imitation skills in bathing activity before and after using video-modeling of bathing in children with ASD. Method: The design of this study was a pre-post test analysis. The subjects are children aged 6-10 years who had been diagnosed as GSA by a pediatric neurology consultant and attended the Anakku Clinic Check My Child (CMC) Kayu Putih, Anakku Clinic BSD Serpong, Pondok Pinang, Depok, Bekasi, as well as Anakku Pulomas School within period of April until June 2023. The sampling method was consecutive sampling method. It required total of 33 subjects for 80% power, 5% significance level, 1 point of effect size along with pre-estimated 20% drop out. Firstly, we formulated an animation video-modeling of bathing activity along with its checklist evaluation instrument. The checklist consisted of 20 sequences shown in video-modeling of bathing. Subjects were mandated to watch the video-modeling minimum once a day for duration of 4 weeks. Subjects with the video exposure less than 75% were excluded from the analysis. The evaluation was conducted by adding 1 point for each sequence activity performed by ASD child, without any verbal instructions nor motoric prompts. Pre-test score is the sum of the bathing activity checklist before subject was exposed with the video-modeling, meanwhile the post-test score was taken after 4 weeks intervention period of video-modeling. Result: Among 35 subjects attended in the beginning of the study, only 29 children (82.8%) completed the study for 4 weeks. Most of the subjects (94.2%) were aged 6-8 years with a male and female ratio of 5:1. Median score of ASD childrens’ bathing activity before and after the video-modeling exposure is 3 (0–10) and 6 (1–17), on a scale of 20. The pre- and post-test difference is statistically significant which gives result of 3 point of difference (-4–13), on a scale of 20. Conclusion: There is a statistically significant difference between the sequence imitation skills of bathing activity in ASD children before and after using video-modeling. Further research is needed to determine the clinical significance of this value."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library