Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Febrianti
"Politik di Bangladesh telah mengalami kriminalisasi selama empat dekade terakhir, sehingga mengakibatkan kekerasan politik terjadi pada berbagai tingkat dan lingkup, termasuk pendidikan. Organisasi sayap partai yang mendominasi di lembaga perguruan tinggi seringkali menggunakan kekerasan sebagai metode untuk mengontrol situasi politik yang tidak stabil. Selain itu, organisasi sayap partai tersebut juga seringkali digunakan untuk menjalankan agenda politik dan memperluas jaringan politik di kampus. Studi ini menganalisis bentuk dan faktor penyebab dari terjadinya kekerasan politik yang dilakukan oleh Bangladesh Chhatra League (BCL) sebagai organisasi sayap partai Liga Awami dengan Sheikh Hasina sebagai pemimpin sekaligus Perdana Menteri yang menjabat di Bangladesh sejak 2009 hingga saat ini. Studi ini menggunakan metode kualitatif dan dianalisis melalui Teori Kekerasan dari Johan Galtung (1969). Studi ini menemukan bahwa kekerasan politik yang dilakukan BCL di Bangladesh disebabkan oleh (1) faktor institusional, yaitu kekerasan dilakukan untuk memastikan dominasi politik BCL dan partai Liga Awami di kampus. Di samping itu, pembiaran yang dilakukan oleh negara menjadikan kekerasan politik yang dilakukan oleh BCL terus berlanjut, (2) faktor politik, yaitu keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dan akses terhadap sumber daya negara di masa depan, dan (3) faktor kultural, yaitu kultur kekerasan dan dominasi yang dinormalisasi di Bangladesh.

Politics in Bangladesh has been criminalized over the past four decades, resulting in political violence occurring at various levels and scopes, including in education. Dominant party wings in higher education institutions often use violence as a method to control unstable political situations. Additionally, these party wings are often used to further political agendas and expand political networks on campuses. This study analyzes the forms and causes of political violence carried out by the Bangladesh Chhatra League (BCL), the student wing of the Awami League, under the leadership of Prime Minister Sheikh Hasina, who has been in office in Bangladesh since 2009. This study uses qualitative methods and is analyzed through Johan Galtung's Violence Theory (1969). The study found that BCL's political violence in Bangladesh is caused by (1) institutional factors, namely violence is carried out to ensure the political dominance of BCL and the Awami League party on campuses, (2) political factors, namely the desire to gain power and access to state resources in the future, and (3) cultural factors, namely the normalized culture of violence and domination in Bangladesh. Furthermore, the state's inaction perpetuates BCL's political violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deyana Annisa Febrianti
"Penyebaran gambar intim seksual non-konsensual atau non-consensual distribution of intimate image (NCDII) menunjukkan dominasi laki-laki atas perempuan yang dijadikan sebagai objek seksual. NCDII tidak hanya terbatas pada pembalasan dendam mantan pasangan saja, tetapi juga sebagai hiburan, pemenuhan hak seksual laki-laki, serta mencari keuntungan finansial dan status sosial. Hal ini yang menjadi tujuan Hunter Moore sebagai pendiri situs khusus NCDII, IsAnyoneUp.com. Hunter melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan dan ketenaran dari situs tersebut, termasuk dengan meretas dan memanipulasi secara digital foto-foto intim seksual perempuan, kemudian mengunggahnya di situs miliknya. Perempuan korban yang merasakan dampak atas viktimisasi tersebut, tergerak untuk melakukan resistensi terhadap NCDII. Berdasarkan data sekunder yang bersumber dari e-book, artikel berita, serta film dokumenter, analisis data menggunakan teknik analisis wacana kritis feminis dan teori feminisme radikal sebagai teori utama. Tulisan ini mengkaji fenomena NCDII sebagai bentuk kekerasan seksual siber, dampak NCDII terhadap perempuan, serta bentuk resistensi yang dilakukan perempuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai bagian dari patriarki, supremasi laki-laki dan sifat misoginis menjembatani laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, yakni NCDII. NCDII ini berdampak terhadap perempuan dan memicu munculnya berbagai bentuk resistensi, yakni resistensi yang terlewatkan, upaya resistensi, resistensi tersembunyi, proxy resistance, dan resistensi terbuka. Melalui resistensi tersebut, perempuan berhasil mendapatkan kembali hak-hak mereka yang dirampas oleh Hunter, sekaligus menumbuhkan kesadaran kritis di antara perempuan untuk turut serta melakukan perlawanan demi tercapainya perubahan sosial. Tindakan resistensi ini juga dapat dilihat sebagai upaya rekonstruksi melalui pembentukan wacana pengganti yang disebutkan oleh kriminologi konstitutif.

Non-consensual distribution of intimate images (NCDII) reflects male domination over women who are used as sexual objects. NCDII is not only focused on revenge towards their ex, but also as entertainment, fulfillment of men's sexual rights, and to gain financial profit and social status. These goals were set by Hunter Moore, the founder of a site that focuses on NCDII, IsAnyoneUp.com. Hunter has used various ways to gain profit and popularity from the site, which includes hacking and digitally manipulating women's sexual intimate images and posting them on his site. Women victims who suffer from the impact of this victimization are motivated to resist the NCDII. Based on secondary data sourced from e-books, news articles, and documentary film, the analysis of data uses feminist critical discourse analysis techniques and radical feminism theory as the main theory. This paper examines the phenomenon of NCDII as a form of cyber sexual violence, the impact of NCDII on women, and the forms of the women's resistance. The results of the analysis reveal that male supremacism and misogyny, as part of patriarchy, has led men to commit NCDII. NCDII has also impacts on women and resulted in various forms of resistance, which include missed resistance, attempted resistance, covert resistance, proxy resistance, and overt resistance. Through this resistance, women were able to regain their rights that were violated by Hunter, and also developed a critical awareness among women to participate in resistance. This act of resistance can also be considered as an attempt of reconstruction through the establishment of replacement discourse which is mentioned by constitutive criminology."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library