Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andira Permata Sari
Abstrak :
Ketentuan dalam UU Pokok Agraria menyatakan bahwa tanah dengan status hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1208 PK/PDT/2022, Orang Asing ternyata menggunakan konsep pinjam nama (nominee arrangement) untuk dapat memiliki tanah hak milik di Gianyar, Bali. Konsep tersebut dituangkan ke dalam bentuk perjanjian yaitu Surat Pernyataan dan Perikatan yang dibuat di hadapan notaris. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat 2 (dua) rumusan masalah, yaitu kedudukan hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) yang dibuat dalam bentuk perjanjian di hadapan notaris dan kesesuaian pertimbangan majelis hakim dalam menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement). Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode doktrinal dengan menggunakan data sekunder yang didukung oleh data primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pinjam nama (nominee arrangement) tidak diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, sehingga untuk menentukan kedudukan hukumnya menggunakan aspek perikatan dan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan aspek larangan pengasingan tanah dalam UU Pokok Agraria. Berdasarkan kedua peraturan tersebut konsep penggunaan pinjam nama (nominee arrangment) dianggap melanggar Pasal 1337 KUHPerdata dan Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria. Sedangkan terhadap notaris yang turut serta membuat akta autentik terkait pinjam nama telah tidak memenuhi kewajibannya dalam UU Jabatan Notaris dan Kode Etik Profesi untuk bersikap cermat dan menjaga kepentingan para pihak. Selain itu, penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) oleh majelis hakim sesuai dengan putusan-putusan pengadilan terdahulu yang memutuskan bahwa kepemilikan hak milik atas tanah tetap menjadi milik WNI sebagai pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Namun ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut berbeda dengan akibat hukum yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria. ......Agrarian Law (UU Pokok Agraria) stated that land with freehold status can only be owned by Indonesian citizens. However, as happened in Supreme Court Decision No. 1208 PK/PDT/2022, foreigners apparently use the concept of nominee arrangement to be able to own freehold land in Gianyar, Bali. This concept made in the form of a notarial agreement. This research was carried out by raising 2 (two) research questions, namely the legal position of nominee arrangements made in the form of a notarial agreement and the suitability of the panel of judges' considerations in using Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) compared to Agrarian Law (UU Pokok Agraria) as the legal basis for nominee arrangements. This research employs doctrinal legal methods using secondary data and alo supported by primary data. The results of the research shows that the concept of nominee arrangement is not regulated in Indonesian law, so to determine its legal position need to use the agreement aspect in the Civil Code (KUHPerdata) and the prohibition aspect of land alienation in the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Based on these two regulations, the concept of using nominee arrangements is considered to violate Article 1337 of the Civil Code (KUHPerdata) and Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Meanwhile, notaries who participate in making authentic deeds related to nominee arrangements have not fulfilled their obligations in the Notary Law and the Professional Code of Ethics to be careful and safeguard the interests of the parties. Apart from that, the use of Surat Edaran Mahkamah Agung as a legal basis for determining the subject who has the right to own land in a nominee arrangement case by a panel of judges is correct. However, the provisions in the Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) are different from the legal consequences regulated in Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria).
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Permata Sari
Abstrak :
Di Indonesia perkawinan dianggap sebagai sesuatu hal yang bersifat suci dan sakral sehingga dalam pelaksanaanya terikat oleh Undang-Undang Perkawinan, dan khusus bagi umat Islam pelaksanaan perkawinan juga diatur lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun keberadaan kedua peraturan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa pelanggaran terhadap syarat sah perkawinan tetap terjadi.  Perkawinan yang diketahui kemudian tidak memenuhi persyaratan dalam kedua peraturan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan. Penulis menemukan 2 (dua) kasus dimana terdapat pihak yang dengan sengaja memalsukan identitasnya untuk dapat melakukan perkawinan sejenis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian ini Penulis akan membahas permasalahan khususnya terkait bagaimana pengaturan mengenai pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh pemalsuan identitas. Pada kasus pertama pemalsuan identitas dilakukan secara sengaja oleh kedua belah pihak sehingga yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah pihak diluar perkawinan tersebut yaitu Jaksa, yang mana berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan memiliki wewenang dalam bidang keperdataan khususnya dalam hal ini mengenai pembatalan perkawinan. Sedangkan pada kasus kedua pemalsuan identitas dilakukan tanpa sepengetahuan pasangannya, sehingga yang mengajukan gugatan ke Pengadilan adalah pihak yang tertipu. Selain itu Penulis juga membahas bagaimana kesesuaian pertimbangan Hakim dengan peraturan perundang-undangan dalam memutus perkara ini. Setelah menyelesaikan penelitian ini, Penulis menyimpulkan bahwa walaupun pemalsuan identitas tidak disebutkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai salah satu alasan untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, namun dalam kedua perkara ini pemalsuan identitas tetap dapat digunakan sebagai dasar pengajuan permohonan pembatalan perkawinan karena selain sebagai perbuatan pidana, pemalsuan tersebut menimbulkan akibat hukum lain yaitu terjadinya perkawinan sejenis yang dianggap ilegal di Indonesia.
In Indonesia, marriages are considered as something holy and sacred, so its implementation regulated by the Marriage Act (Undang-Undang Perkawinan), and for Muslims also regulated by the Compilation of Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam). However, the existence of those regulations does not rule out the possibility that lawlessness of marriage requirements still happens. For marriages that do not comply with the requirements in those two regulations can be canceled by the Court. Author found 2 (two) cases where there were parties who falsified their identities so they will be able to have a same-sex marriage, which prohibited in Indonesia. This research uses normative juridical research methods. This research will discuss issues related to marriage annulment regulation based on falsification of identity. In the first case, the falsification of identity was carried out intentionally by both parties, so those who submitted the request to annul the marriage were party outside that marriage which has the authority in the field of civil law -specifically about marriage- according to Prosecution Service Act (Undang-Undang Kejaksaan), is the Prosecutor. While on the second case, the falsification of identity is carried out by one party without any acknowledgment of their spouse, so the deceived party filed for divorce to the Court. This research also discussed the suitability of the judge's considerations with related regulations while deciding this case. This research concludes that even though the falsification of identity is not mentioned as one of the reasons for submitting a marriage annulment request, it still could be used for submitting the marriage annulment request to the Court because aside from the fact that the falsification is categorized as a criminal act by the law, the falsification in these two cases lead to other consequences, it caused same-sex-marriage which considered illegal in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library