Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amelia Martira Syafii
Abstrak :
Latar belakang : MenggigiI pasca anestesia merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, yang biasa terjadi dengan insidens mencapai 60% pasca anestesia umum. Meperidin merupakan obat yang paling sering direkomendasikan untuk menghentikan menggigil pasca anestesia. Tramadol memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan meperidin untuk menghentikan menggigil pasca anestesia umum. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan keefektifan tramadol 1 mg/kgBB dengan meperidin 0,4 mg/kgBB untuk menghentikan menggigil pasca anestesia umum. Metode : Penelitian eksperimental acak tesamar ganda ini menggunakan 118 pasien, Iaki-laki dan perempuan, yang menjalani pembedahan elektif dalam anestesia umum dan mengalami menggigil pada masa pemulihan. Pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok tramadol dan kelompok meperidin, masing-masing terdiri dari 59 pasien. Kelompok tramadol mendapatkan 1 mg/kgBB dan kelompok meperidin 0,4 mg/kgBB. Dilakukan pencatatan proporsi pasien yang tidak menggigil pasca pemberian obat mulai menit pertama hingga menit ketiga puluh pengamatan. Kejadian mual, muntah, sakit kepala, reaksi alergi tingkat sedasi, fungsi hemodinamik dan respirasi diobservasi dan dicatat selama 30 menit pengamatan pasca pemberian obat. Hasil : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara proporsi pasien yang tidak menggigil pada menit kelima pasca pemberian obat; 83,1% pada kelompok tramadol dan 86,4% pada kelompok meperidin (p 0,386 IK 95% -0,163; 0,097). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kejadian mual (p 1,00 IK 95% -0,069; 0,103), muntah (p 0,48 IK 95% - 0,158; 0,022) sakit kepala (p 1,00 IK 95% -0,047; 0,046). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tingkat sedasi, laju nafas dan saturasi oksigen. Terdapat perbedaan bermakna pada tekanan diastolik dan laju nadi pada menit pertama pengamatan antara kedua kelompok. Kesimpulan : Trainadol 1 mg/kgbb and meperidine 0,4 mg/kgbb efektif untuk menghentikan menggigil pasta anestesia umum.
Background : Post anesthetic shivering is an unpleasant experience which usually happens and has an incidence until 60% post general anesthesia. Meperidine is often recommended for the treatment of post anesthetic shivering. Tramadol has a similar mechanism of action with meperidine for treating post anesthetic shivering. The purpose of this study is to compare the effectiveness between tramadol 1 mg/kg body weight and meperidine 0,4 mg/kgbw for treating post general anesthetic shivering. Methods : This double blind randomized experimental study involved 118 patients, female and male, undergoing elective operation under general anesthesia and complaining of shivering during recovery time. The patients were randomly divided into two groups : tramadol group and meperidine group, each groups contains 59 patients. The tramadol group received lmglkgbw and meperidine group received 0,4 mg/kgbw. Proportion of patient, which the shivering already arrested after injection of the drug, recorded in the recovery room from first minute until 30 minutes of observation. Incidence of nausea, vomiting, headache, allergic reaction, level of sedation, hemodynamics and respiratory function were observed and recorded also until 30 minutes after injection of the drug. Results : No statistically difference between the proportion of patient which shivering already arrested in fifth minutes observation after injection of the drugs; 83,1% in tramadol group and 86,4% in meperidine group (p 0,386 CI 95% - 0,163; 0,097). No statistically difference in incidence of nausea (p 1,00 CI 95% -0,069 ; 0,103), vomiting (p 0,48 CI 95% -0,158; 0,022) , headache (p 1,00 CI 95% -0,04T; 0,046). There were also no statistically difference in the level of sedation, respiratory rate and oxygen saturation. We found that there were statistically difference in diastolic pressure and heart rate in first minute of observation. Conclusion : Tramadol 1 mg/kgbw and meperidine 0,4 mg/kgbw effective in treating post general anesthesia shivering.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Martira Syafii
Abstrak :
Penyelesaian sengketa medik melalui litigasi kerap kali tidak dapat memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa yakni dokter dan pasien. Persidangan yang lama, pembuktian yang rumit, dan berbiaya mahal membebankan pasien sebagai penggugat. Tidak hanya itu, penyelesaian sengketa medik tidak mampu memberikan dampak baik bagi mutu pelayanan kesehatan dan malah mendorong dilakukannya praktek kedokteran defensif. Mediasi yang dikenal dalam kehidupan masyarakat dapat menjadi pilihan penyelesaian sengketa yang mengedepankan win-win solution. Walaupun begitu, mediasi belum menjadi pilihan dan para pihak lebih memilih menyelesaikan sengketa di pengadilan. Menggunakan studi literatur, peneliti bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai penyelesaian sengketa medik melalui perbandingan kondisi penyelesaian sengketa medik di Indonesia, Jepang dan Amerika Serikat, peran mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa medik serta regulasi mengenai pilihan penyelesaian sengketa medik di Indonesia. Kesimpulan: Penyelesaian sengketa medik di Indonesia, Jepang dan Amerika Serikat memiliki permasalahan yang sama dan juga menggunakan pilihan penyelesaian sengketa sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik. Mediasi lebih dipilih dibandingkan pilihan penyelesaian sengketa lainnya terutama karena mampu menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win solution. Agar mediasi di Indonesia dapat berkembang, diperlukan peraturan pelaksana dari undangundang yang mengatur mengenai implementasi mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa medik. ...... Resolving medical dispute between patient and doctor by trial often gives an unfair ending to the parties. The long trial, difficulties to provide evidences and heavy cost are became the patient?s burden. On the other hand, the result of medical dispute litigation does not give any improvement to the quality of health care and doctor will practice defensive medicine for the legal reason. Mediation, which is recognized as an alternative dispute resolution can be chosen which could obtain the win-win solution to the parties. However, it is still not favorable in Indonesia to resolve medical dispute. Using literature study, researcher has some goals which are to obtain the description of medical dispute by comparing the settlement of medical dispute in Indonesia, Japan, and United States of America, the role of mediation as alternative medical dispute and the regulation of alternative medical dispute resolution in Indonesia. Conclusion: Medical dispute resolution in Indonesia, Japan and United States of America are facing the same problems, and choose alternative medical dispute resolution to solve the issues. Mediation is often chosen. To make mediation become established as medical dispute resolution, Indonesia needs a regulation which regulate the implementation of mediation as alternative medical dispute resolution.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66481
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library