Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Mulyantari
Abstrak :
Penyakit paru obstruksif kronik PPOK merupakan penyakit paru dengan karakteristik hambatan aliran udara yang progresif, karena peningkatan reaksi peradangan kronik berlebihan pada saluran napas dan parenkim paru. Stres oksidatif terutama akibat pajanan rokok dalam jangka waktu lama berperan sentral pada patogenesis PPOK. Beta karoten suatu karotenoid punya peran pada stres oksidatif dengan kemampuan mereduksi paling tinggi dan lebih efisien mengikat radikal yang berasal dari dalam dinding liposom pada kompartemen lipofilik dinding sel. Di Indonesia bahan makanan sumber β-karoten mudah didapat. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara kadar β-karoten dan MDA serum pada penderita PPOK. Penelitian pontong lintang ini mengikutsertakan 47 penderita PPOK melalui metode consecutive sampling. Data sosio-demografi, riwayat merokok, asupan β-karoten secara FFQ semikuantitatif diperoleh dengan wawancara. Data skor CAT, kekerapan kekambuhan dan uji fungsi paru terbaru didapatkan dari rekam medik. Dilakukan pengukuran IMT, kadar MDA serum dengan spektrofotometri dan β-karoten serum dengan HPLC. Subjek paling banyak berusia 60-74 tahun, bekas perokok, dengan IMT normal. Asupan dan kadar ?-karoten serum rendah pada sebagian besar 63,8 subjek. Kadar MDA serum cenderung lebih tinggi daripada orang sehat, menandakan adanya penngkatan stres oksidatif pada penderita PPOK. Tidak didapatkan adanya korelasi antara kadar β-karoten dan MDA serum. ......Chronic obstructive pulmonary disease COPD is a lung disease, characterized by progressive air flow resistance, which increase chronic inflammatory reactions of the airways and lung parenchyma. A history of exposure to risk factors, especially smoking, for long term contribute to the central role of oxidative stress in the pathogenesis of COPD. Beta carotene as one of the antioxidants may play a role in oxidative stress among COPD patients, carotene's food source is abandon in Indonesia. This cross sectional study aimed to investigate relationship between levels of serum carotene and MDA in COPD patients. Consecutive sampling was applied to recruit 47 COPD subjects, who mainly subjects elderly with history of heavy smoking. Socio demographic data, smoking history, intake of carotene by semiquantitative FFQ was obtained by interview. CAT score, frequency of exacerbations and lung function tests were obtained from medical records. Nutritional status by BMI, concentration of carotene by HPLC and MDA serum by spectrophotometry were assessed. More than 50 subjects'carotene intake and serum level were lower than reference. Serum MDA level was higher than healthy person's, indicating an increase oxidative stress among COPD patients. There was no correlation between serum carotene and MDA levels.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Mulyantari
Abstrak :
Latar Belakang: Gagal napas merupakan suatu sindrom pada sistem pernapasan yang gagal dalam fungsi pertukaran gas, sehingga menyebabkan hipoksemia dan/atau hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas sangat memerlukan penggunaan ventilator mekanik. Terdapat hubungan antara malnutrisi dengan gagal napas. Terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dapat menjadi strategi terapi yang dapat mengurangi ketergantungan pada ventilator, mengurangi komplikasi, menurunkan lama rawat di ICU dan meningkatkan keluaran klinis pasien. Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan gagal napas yang dirawat di ICU RSUPNCM. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada sakit kritis. Nutrisi enteral dini diberikan dalam 48 jam perawatan di ICU. Tiga pasien dapat mencapai target energi 25-30 kkal/kg BB, dan minimal protein 1,2 g/kg BB, sedangkan 1 pasien dengan obes I hanya dapat mencapai energi <70% dari kebutuhan energi total dan protein 0,6 g/kg BB. Mikronutrien diberikan dalam makanan cair. Volume makanan cair yang diberikan disesuaikan dengan imbang cairan pasien setiap hari. Hasil: Pasien pada serial kasus ini berusia 44-67 tahun, semua adalah laki-laki. Satu pasien dengan status gizi malnutrisi ringan, 2 pasien berat badan normal dan 1 pasien dengan obes 1. Dua dari empat pasien termasuk gagal napas tipe I akibat gagal jantung kongestif dengan edema paru. Dua pasien lainnya termasuk gagal napas tipe II akibat fasitis nekrotikan. Seluruh pasien mendapatkan nutrisi enteral dalam 48 jam pertama perawatan. Satu pasien dengan malnutrisi ringan, dan hipoalbuminemia berat mengalami perawatan >21 hari karena sulit weaningventilator dan masuk sebagai chronically crtically ill sedangkan tiga lainnya dengan BB normal dan obes mengalami <21 hari perawatan. Kesimpulan: Status gizi memengaruhi lama pemakaian ventilator mekanik. Terapi medik gizi dapat diterapkan pada semua pasien sesuai dengan komorbid dan dapat mendukung perbaikan keluaran klinis pasien. ......Background: Respiratory failure is a respiratory system syndrome of inadequate gas exchange, resulting hypoxemia and/or hypercapnia. Respiratory failure patient needs mechanical ventilation as the main therapy. Malnutrition and respiratory failure are related. Early enteral nutrition is a therapeutic strategy that can reduce dependence on mechanical ventilation, complications, length of stay in ICU and improve clinical outcomes in critically ill respiratory failure patients. Methode: This case series report four critically ill patients with respiratory failure from the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Medical nutrition therapy is implemented according to the ESPEN clinical nutrition guideline in critically ill. Early enteral nutrition is given in 48 hours of ICU care. Three patients can reach the energy target of 25-30 kcal/kg ABW, and a minimum of 1.2 g/kg ABW protein, whereas 1 obese patient can only achieved <70% of estimated TEE and protein needs of 0.6 g/kg IBW. Micronutrients given within enteral formula. The volume of enteral nutrition is adjusted to patient's fluid balance every day. Result: Patients were 44-67 years old, all males. One patient was with mild malnutrition, 2 patients were in normal weight and 1 patient was obese I. Two of them were diagnosed as respiratory failure type I due to congestive heart failure with pulmonary edema. The two others were respiratory failure type II due to necrotizing fasciitis. All patients received early enteral nutrition within 48 hours. One patient with malnutrition and severe hypoalbuminemia stayed for >21 days in ICU for mechanical ventilation need, and become a chronically crtically ill while others are <21 days. Conclusion: Nutritional status affects mechanical ventilation dependence. Medical nutrition therapy can be applied to all patients according to their comorbidities and can improve clinical outcomes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55557
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library