Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167124 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widya Riani Utami
"Tradisi pemujaan leluhur di Jepang merupakan perpaduan dari berbagai kepercayaan yang berkembang di Jepang seperti Shinto, Konfusianisme dan Budha. Tradisi ini berawal dari adanya pemikiran bahwa roh orang yang telah meninggal dunia akan mengganggu kehidupan manusia yang masih hidup. Agar roh tersebut tidak mengganggu mereka yang masih hidup maka diadakanlah ritual-ritual untuk menenangkan roh tersebut.
Leluhur dalam tradisi pemujaan leluhur di Jepang mengacu pada pendiri ie tempat keluarga itu tinggal. Penghormatan dan pemujaan terhadap leluhur penting untuk dilakukan bukan hanya karena dia adalah pendiri ie tapi juga karena mereka dipercaya memberikan kesejahteraan dan perlindungan keamanan kepada keturunannya. Sejalan dengan adanya perkembangan pemikiran dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Jepang, konsep leluhur yang terpusat pada ie ini kemudian meluas menjadi konsep leluhur yang terpusat pada keluarga. Tradisi pemujaan leluhur ini pun sejak Zaman Tokugawa telah digunakan sebagai alat propaganda politik pemerintah sampai dengan PD II berakhir.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah cara pemerintah Meiji menggunakan tradisi pemujaan leluhur sebagai dasar untuk mendapatkan legitimasi bagi kekuasaannya. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, penulis telah mengadakan penelitian kepustakaan dan analisa yang dalam dengan metode pendekatan Deskriptif-Analitik untuk memudahkan penulis dalam mencari jawabannya dan memudahkan para pembaca dalam memahaminya.
Pada akhir penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa tradisi pemujaan leluhur ini telah digunakan oleh pemerintah Meiji untuk mendapatkan legitimasi bagi kekuasaannya dan dasar pemikiran pemujaan leluhur tersebut diterapkan di dalam beberapa institusi yang ada di Jepang seperti institusi hukum, pendidikan, keluarga, agama Shinto dan dalam penggunaan sistem kalender matahari. Dalam tradisi pemujaan leluhur pada Zaman Meiji inilah terlihat bahwa hal yang dianggap paling asasi sekalipun, yaitu kebebasan beragama, tidak terlepas dari propaganda pemerintah derni kepentingan politiknya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S13963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshikawa, eiji
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010
895.634 4 Yos tt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kyanne Maureen Zalfa Aulia
"Studi ini membahas mengenai tuturan nasihat guru dalam bahasa Jepang pada percakapan institusional. Sumber data yang digunakan pada studi ini adalah tuturan nasihat guru pada film dan drama Jepang. Data yang digunakan dalam studi ini berjumlah 19 data. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah percakapan institusional. Dalam konteks institusi, percakapan dengan pemangku kepentingan disebut percakapan institusional. Guru merupakan pemangku kepentingan pada institusi sekolah atau pendidikan. Hasil studi ini menemukan sembilan tipe tuturan nasihat guru kepada muridnya yaitu, (i) tuturan nasihat guru kepada murid dengan metafora, (ii) tuturan nasihat guru kepada murid dengan format kondisional, (iii) tuturan nasihat guru kepada murid dengan metafora dan format kondisional, (iv) tuturan nasihat guru kepada murid dengan direktivitas, (v) tuturan nasihat guru kepada murid dengan metafora, format kondisional, dan direktivitas, (vi) tuturan nasihat guru kepada murid dengan format purposif, (vii) tuturan nasihat guru kepada murid dengan format kondisional dan format purposif (viii) tuturan nasihat guru kepada murid dengan metafora, format kondisional, dan format purposif, dan (ix) tuturan nasihat guru kepada murid dengan format kuotatif. Studi ini menunjukan bahwa guru menuturkan nasihatnya dalam berbagai tipe dan dalam sebuah percakapan guru dapat menuturkan nasihat lebih dari satu tipe.

This study discusses Japanese teacher's advice in institutional conversations. The data sources used in this study are teacher’s advice in Japanese movies and dramas. The amount of data used in this study is 19 data. The following theory used in this study is institutional conversation. In the institutional context, conversations with stakeholders are called institutional conversations. In schools or educational institutions, teachers are the stakeholder. This study found nine types of teacher's advice to students, namely, (i) teacher's advice to students using metaphors, (ii) teacher's advice to students with conditional form, (iii) teacher's advice to students with metaphors and conditional form (iv) teacher's advice to students with directivity, (v) teacher's advice to students with metaphor, conditional form, and directivity, (vi) teacher's advice to students with purposive form, (vii) teacher's advice to students with conditional form and purposive form, (viii) teacher's advice to students with metaphor, conditional form and purposive form, and (ix) teacher's advice to students with quotative form. This study shows that teachers give advice in various types and in a conversation teachers can give advice in more than one type.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Iswary Lawanda
"Setelah melihat perjalanan sejarah kedudukan serta peran wanita di Jepang, kelihatan bahwa kedudukan dan peran wanita Jepang tidak selalu rendah seperti yang dikatakan oleh pandapat umum selama ini. Kalau kita melihat sejak awal sejarah Jepang, wanita Jepang mempunyai derajat yang tinggi dibandingkan dengan kaum pria. Mereka tidak hanya sebagai seorang yang mengendalikan rumah tangga serta pembuat keputusan dalam keluarga, memegang aktifitas ekonomi diluar rumah, mempunyai kebebasan dalam gerak dan tidak dapat dianggap sebagai mahluk yang tidak berdaya dan tidak diacuhkan dalam pandangan pria, malahan mereka pada zaman kuno Jepang dianggap sebagai dewa.Wanita berada pada urutan atas, dapat kita lihat dalam peran dan kedudukan wanita dizaman Heian. lerutama wa_nita golognan bangsawan mempunyai kebebasan dalam gerak dan ikut serta berpartisipasi diluar rumah tangga.Secara tidak langsung mereka turut campur didalam hal ke_kuasaan pemerintahan. Kedudukan mereka kuat. Wanita-wanita sengaja diberi pendidikan yang baik oleh guru-guru wanita kenamaan.Partisipasi mereka berhasil menempatkan Jepang ketengah-tengah dunia didalam bidang sastra."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1985
S14038
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Skolastika Sandya Esti Rahayu
"Legalisasi untuk tindakan pengguguran janin dalam kandungan 1 penghentian kehamilan secara disengaja, atau dalam istilah kedokteran disebut Abortus Provokatus, menimbulkan polemik yang berkepanjangan di berbagai negara di seluruh dunia. Ada anggapan negatif di masyarakat bahwa melakukan aborsi adalah suatu tindak kriminal dan tidak bermoral karena membunuh janin yang dikandung. Pada umumnya dilakukan oleh para wanita muda untuk mengatasi kehamilan yang terjadi akibat melakukan seks bebas (pra nikah).
Di bawah undang-undang aborsi, Undang-Undang Eugenika Nasional 1940 dan Undang-Undang Perlindungan Eugenika 1948 (Yusei Hogo Ho), aborsi di Jepang dilegalkan. Tujuan utama undang-undang tersebut dibuat adalah untuk mencegah kelahiran bayi-bayi dengan penyakit turunan dan menjaga kesehatan wanita yang mengandung. MeIalui Undang-Undang Aborsi tahun 1948, Pemerintah Jepang menyetujui keinginan untuk aborsi dengan beberapa syarat tambahan, seperti kehamilan akibat perkosaan, ketidakmampuan untuk memelihara bayi secara ekonomi, serta kesehatan mental ibu menjadi terganggu selama mengandung.
Dalam skripsi ini, berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh penulis, ditemukan suatu fakta bahwa wanita-wanita Jepang menyetujui aborsi dilakukan. Kasus aborsi yang terjadi di Jepang tetap tinggi dan sebagian besar dari total kasus tersebut, justru dilakukan oleh para wanita yang telah menikah. Aborsi digunakan sebagai salah satu alat pengendali kelahiran yang paling disukai karena terjamin efektivitasnya, tanpa harus melibatkan orang lain, termasuk pada pasangannya, Dampak psikologis (rasa bersalah pada janin yang digugurkan) setelah aborsi dilakukan, dianggap sebagai hal yang wajar dan seolah-olah dapat diatasi dengan suatu ritual keagamaan tertentu, seperti upacara keagamaan Mizuko Kuyo untuk mendoakan ketenangan dan kebahagiaan arwah si janin."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S13950
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Higashino, Keigo
"Pembunuhan bisa terjadi di mana saja, termasuk di sebuah kota kecil, terpencil, dan nyaris terlupakan di tengah pandemi Covid-19. Seorang mantan guru SMP ditemukan tewas tercekik di halaman rumahnya sendiri. Polisi tidak tahu apakah ini pembunuhan terencana, pembunuhan tak disengaja, atau aksi pencurian yang berakhir dengan pembunuhan. Korban adalah guru yang disegani. Setelah pensiun pun, mantan murid-muridnya sering menghubunginya untuk meminta bantuan atau nasihat. Jadi, tentu saja para mantan muridnya, yang pulang ke kota itu demi menghadiri reuni, termasuk dalam daftar orang-orang yang dicurigai. Polisi kebingungan, dan si pembunuh lega karena identitasnya tidak akan pernah ketahuan. Namun, ia tidak menyangka bahwa putri korban akan muncul bersama pamannya—seorang mantan pesulap eksentrik—dan ikut menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi dan mencari tahu siapa yang membunuh Kamio Eiichi."
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2024
896.6 HIG b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Afifah Diyana
"Kata mwo adalah kata tanya dalam bahasa Korea yang berfungsi sebagai penanda interogatif dalam konstruksi interogatif dan penanda tidak definit. Namun, dalam bahasa Korea kata mwo juga bisa digunakan sebagai pemarkah wacana (discourse marker/DM) khususnya dalam percakapan yang merupakan bentuk wacana lisan. Menurut Renkema & Schubert (2018) pemarkah wacana (discourse markers) merupakan partikel pragmatis dalam komunikasi lisan yang fungsi utamanya menjadi penanda yang mengindikasikan aspek sikap dalam suatu struktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi fungsi pragmatis kata mwo sebagai pemarkah wacana dalam tuturan menurut Chung (2019). Chung membagi klasifikasi pemarkah wacana mwo ke dalam 4 kelompok yaitu, sebagai placeholder, mitigasi, penekanan, dan penanda hubungan interpersonal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan drama Itaewon Class sebagai korpus. Hasilnya ditemukan sebanyak 299 kali penggunaan kata mwo sebagai pemarkah wacana dalam 16 episode drama. Fungsi pragmatis pemarkah wacana mwo yang paling banyak ditemukan termasuk dalam kategori penekanan (45%), diikuti oleh kategori mitigasi (26%), placeholder (18%) dan terakhir yaitu kategori penanda hubungan intrapersonal (10%).

Mwo is one of the Korean question words. It serve both as an interrogative marker in question sentence and an indefinite marker. However, in Korean spoken conversation mwo is often appeared as discourse marker (DM). According to Renkema & Schubert (2018) discourse markers are pragmatic particles in oral communication whose main function is to be a marker that indicates aspects of attitude in a structure. This study aims to identify and classify the pragmatic function mwo as discourse marker in spoken context with Chung (2019)’s categorization which can be divided into 4 main function; mwo as placeholder, mitigator, emphatic, and interpersonal markers. This study used a descriptive qualitative method with Korean drama Itaewon Class as the corpus data source. The results found that, in 16 episodes of Itaewon Class drama, mwo appeared as discourse markers 299 times. The pragmatic function of discourse marker mwo that most commonly found is in the emphathic function category (45%), followed by the mitigator category (26%), placeholder (18%) and finally the interpersonal relationship markers category (10%)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiyah Ratna Putri
"Skripsi ini membahas tata saji hanami bentou yang merupakan bagian dari budaya kuliner Jepang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain eksposisi.Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menjelaskan mengenai tata saji hanami bentou pada kegiatan hanami di Jepang. Hanami Bentou merupakan jenis obentou yang disajikan pada kegiatan hanami di Jepang. Tata saji hanami bentou sangat memperhatikan mengenai tampilannya yang berwarnawarni disesuaikan dengan suasana musim semi. Warna yang dominan terlihat pada hanami bentou merupakan warna yang melambangkan kegiatan hanami.

The focus of this study is the food arrangement of hanami bentou which is a part of Japanese culinary culture. This research is qualitative interpretive exposition. The purpose of this study is to provide information and to explain the food arrangement of hanami bentou during hanami in Japan. Hanami Bentou is a kind of obentou served at the hanami in Japan. The colorful appearance plays an important role in the food arrangement of hanami bentou. The colors of the food represent the atmosphere of hanami in Japan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S262
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Gita Murti
"ABSTRAK
Shinsengumi merupakan pasukan yang bertugas melindungi Shogun dan melenyapkan semua yang membuat kerusuhan pada masa-masa Restorasi Meiji. Kisah mengenai Shinsengumi telah banyak diangkat menjadi produk-produk budaya populer seperti: novel, film, komik, animasi, game, drama audio dan lain-lain. Adaptasi kisah Shinsengumi mengalami banyak proses romantisasi, komersialisasi dan erotisasi. Di tengah-tengah maraknya produk budaya populer Jepang yang mengangkat tokoh-tokoh laki-laki yang lebih lembut dan feminin sehingga turut merubah nilai-nilai maskulinitas yang ada di Jepang saat ini, Drama Audio Shinsengumi Mokuhiroku Wasurenagusa memunculkan tokoh-tokoh yang mengangkat kembali maskulinitas hegemonik yang sempat menjadi standar maskulinitas di Jepang.

ABSTRACT
Shinsengumi was the last shogun corps made to protect Shogun and destroy all rebels in Meiji Restoration Period. The story of Shinsengumi has been adapted into many product of popular culture such as: novels, movies, comics, animation, games, audio drama and others. Their story has been romanticized, commercialized and erotisized. In the midst of the Japanese pop-culture products which keep highlighting gentle and feminine male characters boom that changed the current Japanese masculinity value, Audio Drama series Shinsengumi Mokuhiroku Wasurenagusa develops characters which bring back the hegemonic masculinity that once became standard of masculinity in Japan."
2015
S59454
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leany Nani Harsa
"ABSTRAK
Disertasi ini memuat penjelasan mengenai identitas budaya Nisei, generasi kedua imigran Jepang di Amerika. Dalam menjelaskan permasalahan identitas etnik ini, saya menyoroti bagaimana kejepangan atau pun keamerikaan digambarkan sebagai alternatif konstruki identitas Nisei. Selain itu juga mengungkapkan bagaimana Nisei mengkonstruksi identitas hibrid mereka sehubungan dengan peristiwa kamp relokasi, penempatan yang memegang peranan utama dalam kehidupan mereka. Ketika mengulas permasalahan identitas budaya ini saya menggunakan istilah yang digunakan Sollors yaitu descent yang mengacu kepada unsur-unsur keturunan dan consent yang mengacu kepada unsur-unsur lain. Dalam menganalisis saya menggunakan teori ilmu budaya yang berhubungan dengan permasalahan identitas etnik yaitu teori Stuart Hall dan Homi Bhabha.
Penelitian dilakukan terhadap dua buah otobiografi hasil karya Nisei yaitu Nisei Daughter (1953) yang ditulis oleh Monica Sone dan Farewell To Manzanar (1973) yang ditulis oleh Jeanne Wakatsuki Houston. Melalui representasi tokoh utama Nisei diungkapkan bahwa identitas budaya bukanlah suatu konstruksi yang mapan. Identitas ini dibangun sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi tokoh utamanya sehingga sejalan dengan pendapat Hall yang mengatakan bahwa identitas budaya bersifat cair sehingga menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi. Sebelum masuk kamp, Nisei menunjukkan keinginan kuat untuk menjadi orang Amerika seperti yang tampak jelas melalui orientasi budaya mereka yaitu kebudayaan Amerika. Namun diposisikan sebagai ?Yang lain? dan sebagai musuh Amerika ketika Perang Dunia kedua, mereka meredefinisi konsep diri mereka Asian Exclusive Act (1911), Alien Land Bill (1913), Executive Order 9066, serta kondisi yang memprihatinkan di dalam kamp menjadi pemicu titik balik orientasi budaya mereka. Setelah keluar dari kamp mereka menegosiasikan identitas budaya mereka menjadi identitas budaya hibrid yaitu sebagai hyphenated American atau orang Amerika yang memiliki karakter oriental. Dengan demikian maka terlihat bahwa identitas budaya Nisei selalu berada dalam proses dan bukanlah merupakan identitas yang esensial.
Melalui sejumlah unsur pembangun cerita seperti ironi, tokoh yang ambigu dan kesenjangan antara tokoh utama dan pengarang tersirat, kedua otobiografi memperlihatkan bagaimana sikap paradoks pemerintah dan perilaku diskriminatif masyarakat Amerika mempengaruhi orientasi budaya Nisei. Kehidupan kamp yang menunjukkan bagaimana Nisei ditempatkan oleh pemerintah Amerika menjadi acuan Nisei untuk memposisikan diri dalam masyarakat multikultur. Dengan demikian maka otobiografi ini mampu mengungkapkan permasalahan kesukubangsaan yang merupakan pengetahuan penting bagi masyarakat yang beragam sehingga ruang interaksi antarsuku bangsa dan antarkebudayaan di dalam masyarakat multicultural dimungkinkan terbentuk.

ABSTRACT
This dissertation examines the continual transformation of cultural identity as shown in the works of Nisei writers, second generation of Japanese immigrant in America. The literary works contributed are two autobiographies, Nisei Daughter (1953) written by Monica Sane and Farewell To Manzanar (1973) by Jeanne Wakatsuki Houston. In explaining the complexities of ethnicities as it functions in American society, I use Sailors' terms of the concept of ethnicity, ?descent? and ?consent?. Descent relations are those defined by ?heredity? while consent relations are those of `law or marriage'. In analyzing ethnicity in America, I spotlight on how Japaneseness or Americanness displays as alternative Nisei's identity construction. Besides, I explain on how Nisei construct their hybrid identity in conjunction with their World War II relocation experience. My analysis of Sone's and Houston's is built around the theories used in cultural studies namely Stuart Hall's and Home Bhabha's.
My interpretation of representations of both major characters reveals that ?positioning? plays an important role in constructing their cultural identity. Identity, as a production, is never complete, and always in process. Hall explains that cultural identity is a matter of becoming as well as of ?being?. Cultural identities come from somewhere; have histories so that they undergo constant transformation. Both autobiographies reveal that before the camp experience, their main characters assert their American identity as a loyal American born citizen. Through vivid description, the cultural orientation of Nisei is American culture. However, positioned as the `Other' and as an enemy during the World War II, they redefine their self-concept. They claim that Asian Exclusive Act (1911), Alien Land Bill (1913), Executive Order 9066 (1941), and the poor condition of the camps are triggers of their turning point of their cultural orientation. Being positioned as an alien, they realize that the American law is a paradox. Nisei is American by descent relation while at the same time they are considered as Japanese due to their `blood'. As a reconciliation, when they depart camps, they negotiate their hybrid identity so that they fell no longer pure American but hyphenated American or American with oriental characters. As a conclusion I prove I that the cultural identity of Nisei is not a shared culture. It is not essential and stable but it is considered as fluidity.
Through the use of literary devices such as irony, ambiguous characters as well as a distance between implied author and the main character, the autobiographies reveal the concept of ethnicity plays a paradoxical role in American society. Along with American society's racial discrimination, the harsh treatment has an impact on Nisei? cultural orientation. The World War II relocation experience is a reference for the Nisei on how the American government positions them in multicultural society. By all means, both autobiographies are successfully able to reveal the ethnicity's problem. This condition stimulates the society to open a space for ethnic interaction in multicultural society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D496
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library