Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noortiningsih
"Ruang lingkup dan cara penelitian salah satu perubahan fisiologis sistem hormonal yang menyertai kegiatan fisik ialah terjadi peningkatan kadar endorfin dan penurunan kadar gonadotropin di dalam tubuh. Endorfin, diketahui mempunyai sifat inhibitor kuat terhadap sekresi gonadotropin, sehingga menurunnya kadar Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle-stimulating Hormone (FSH) selama kerja fisik, diduga berhubungan erat dengan meningkatnya kadar endorfin tersebut. Hal ini diduga merupakan kunci penting penyebab timbulnya gangguan fungsi sistem reproduksi, khususnya pada atlit-atlit wanita.
Dari berbagai penelitian diketahui, bahwa endorfin dan agonisnya, menurunkan sekresi LH dan FSH, sedangkan antagonisnya, meningkatkan sekresi hormon-hormon tersebut. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh latihan fisik menimbulkan gangguan terhadap fungsi sistem reproduksi melalui adanya peningkatan kadar endorfin, dilakukan pengamatan terhadap lama siklus estrus, berat ovarium, dan jumlah folikel ovarium tikus, yang diberi latihan fisik aerobik tanpa dan dengan pemberian nalokson sebagai antagonis endorfin. Penelitian dilakukan terhadap 60 ekor tikus putih betina. Latihan fisik diberikan dengan menggunakan treadmill, dengan kecepatan 800 m/jam, inklinasi nol derajad, lama kerja 30 menit/hari/satu kali kerja fisik, dengan variasi lama latihan, 20, 40, dan 60 hari. Nalokson diberikan subkutan dengan dosis 1 mg/kg berat badan.
Hasil dan Kesimpulan : Latihan fisik yang diberikan, menyebabkan siklus estrus menjadi lebih panjang (P<0,01), berat ovarium mengalami penurunan (P<0,01), tidak terdapat perbedaan jumlah folikel primer maupun sekunder (P>0,05), tetapi jumlah folikel Graaf menurun dengan nyata (P<0,05), dan terdapat peningkatan jumlah folikel atresia selama fase luteal (P<0,01). Pemberian nalokson selama latihan fisik dapat menghambat pemanjangan siklus estrus, menghambat penurunan berat ovarium, meningkatkan jumlah folikel Graaf, dan menurunkan jumlah folikel atresia, mendekati kelompok tikus kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan fisik yang diberikan telah mengganggu fungsi sistem reproduksi tikus percobaan, dan pemberian nalokson dapat menghambat pengaruh latihan fisik terhadap fungsi sistem reproduksi tersebut. Namun demikian penelitian ini belum menunjukkan, sejak kapan latihan fisik yang diberikan mulai mengganggu fungsi sistem reproduksi tikus percoban, karena hasil yang diperoleh tidak menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan dengan lamanya latihan (P>0,05). "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trimurti Parnomo
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian: Uji hambatan hemaglutinasi (HH) merupakan salah satu uji serologi yang secara luas dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap virus dengue baik sebagai konfirmasi diagnosis atau untuk tujuan serosurvei. Mengingat bahwa penyediaan antigen baku yang dipakai untuk uji ini secara teknis tidak mudah dilakukan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka dicoba. untuk mencari sumber antigen alternatif dari media biakan sel yang diinfeksi virus dengue tipe 2 (DV-2). Penelitian ini dilakukan terhadap 3 macam biakan sel yaitu sel BHK klon 21, sel Aedes albopictus klon C6/36 (C6/36) dan sel Aedes pseudascutella ris klon 61 (AP61). Untuk meningkatkan titer antigen yang terbentuk, maka dicoba menambahkan deksametason dan DMSO ke dalam media, disamping itu dilakukan juga presipitasi dengan PEG 6000. Selanjutnya reaktifitas dari antigen alternatif tersebut dibandingkan dengan antigen baku terhadap 62 pasang serum tersangka penderita demam berdarah dengue (DBD) dan 30 serum normal secara uji HH.
Hasil dan kesimpulan : Antigen (hemaglutinin) yang diproduksi oleh biakan eel AP61 dan C6/36 mempunyai titer yang lama tinggi. Penambahan deksametason 10-5M ke dalam media tanpa serum dapat meningkatkan titer hemaglutinin yang secara statistik tidak berbeda bila dibandingkan dengan titer yang berasal dari media yang mengandung serum dengan atau tanpa deksametason. Hasil uji HH menunjukkan, bahwa titer antibodi terhadap antigen alternatif yang telah dipresipitasi dengan PEG 6000 tidak berbeda bila dibandingkan dengan titer antibodi terhadap antigen baku. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antigen alternatif dapat dipakai untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap virus dengue secara uji HH.
"
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pleyte, W. Edith Humris
"ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh sehingga pada pasien yang menderita penyakit Talasemia Mayor sering terjadi gangguan psikopatologis. Juga ingin diketahui secara khusus adalah bagaimana peranan orangtua dalam menimbulkan gangguan jiwa pada anaknya yang menderita talasemia. langsung terhadap timbulnya gangguan jiwa pada anaknya. Ibu memainkan peranan yang. lebih besar dalam menimbulkan gangguan jiwa anaknya. Disamping itu orang juga sangat tertekan oleh pendapatan keluarga yang tidak memadai serta keadaan anak yang dengan bertambahnya umur semakin buruk prognosisnya.
Subjek penelitian meliputi 192 kasus yang terdiri dari 110 anak laki-laki dan 82 anak perempuan yang berumur antara 1-17 tahun dan datang berobat jalan pada Unit Talasemia, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Disamping itu penelitian juga dilakukan terhadap 192 pasang orangtuanya.
Tempat Penelitian adalah Unit Talasemia, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan psikiatrik dengan berpedoman pada wawancara standar "Pedoman pembuatan laporan psikiatrik" dan kuesioner-kuesioner. Kuesioner itu adalah kuesioner yang secara khusus dirancang untuk orangtua pasien untuk mendapat data demografis dan memeriksa persepsi orangtua mengenai penyakit talasemia serta kesepakatan antara orangtua. Disamping itu, juga dipakai kuesioner SCL 90 untuk memeriksa terdapatnya kecenderungan gangguan jiwa pada orangtua.
Hasil utama
1. Jumlah kasus talasemia yang menderita gangguan jiwa adalah 62 orang (32.3%), ibu yang mempuyai kecenderungan gangguan jiwa adalah 73 orang (38.0%) sedangkan ayah adalah 95 orang (49.5%). Pemeriksaan klinis psikiatrik yang dilakukan pada 108 ibu menunjukkan bahwa 39 (36.1%) orang menderita gangguan jiwa sedangkan pada pemeriksaan 104 orang ayah sebanyak 35 orang (32.7%) menderita gangguan jiwa.
2. Tidak terdapat hubungan antara kecenderungan gangguan jiwa pada orangtua dengan gangguan jiwa pada anaknya. Terdapat hubungan antara gangguan jiwa pada ibu dengan gangguan jiwa pada anaknya.
3. Persepsi orangtua mengenai penyakit talasemia cukup realistik. Persepsi ibu mengenai
kemampuan anak berhubungan secara negatif dengan gangguan jiwa pada anaknya
4. Persepsi orangtua mengenai talasemia sangat dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan
umur anak
Kesimpulan
Penyakit Talasemia Mayor merupakan stresor psikososial yang berat baik bagi anak maupun orangtuanya sehingga merupakan faktor yang menentukan timbulnya psikopatologi pada anak dan orangtuanya. Temyata bahwa orangtua tidak berperan secara;Purpose the aim is to study the influence of factors on patients suffering from Thalassemia Mayor and their parents which often causes the emergence of psychopathology. Special attention is placed upon the role of parents in developing mental disorders in their children who are thalassemics.

ABSTRACT
Study subjects
Study subjects were taken from the population of patients who regularly visit the Thalassemia Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta. The number of cases included in the study is 192 patients , consisting of 110 boys and 82 girls, aged between I - 17 years. Their parents were also included in the study
Measurements
Measurements were performed by interviews and observation. All the cases and their parents were examined using general psychiatric examination technique based on Manual for Constructing a Psychiatric Report. In addition to this examination a special questionnaire was constructed to obtain demographic data and perception of parents about their children's illness. The parents were also asked to complete a form of SCL-90 which is a self-rating questionnaire to evaluate their mental status.
Main Results
1. The number of cases who besides Thalassemia Mayor also suffer from mental disorder is 62 (32.3%). The number of fathers who have a tendency for mental disorders is 73 (38.0%), the number of mothers is 95 (49.5%), Psychiatric examination of 108 mothers showed that 39 (36.1%) suffer from mental disorder and examination of 104 fathers showed that 35 (32.7%) suffer from mental disorder
2. There was no relationship found between tendency for mental disorder of the parents and mental disorders of their children. On the contrary there was relationship found between mental disorder of the cases and mental disorder of their mothers.
3. Perception of the parents about Thalassemia Mayor was quite realistic. Perception of the
mothers about the child's ability was negatively related towards mental disorder of the children.
4. Perception of the parents about Thalassemia Mayor was influenced by income of the family and
age of the child
Conclusion
It has been proven that Thalassemia Mayor is a severe psycho-social stress causing psychopathology in thalassemics and their parents, The parents do not directly influence the emergence of mental disorder in their children. Mothers play a greater role in precipitating mental disorder in their children.;Purpose the aim is to study the influence of factors on patients suffering from Thalassemia Mayor and their parents which often causes the emergence of psychopathology. Special attention is placed upon the role of parents in developing mental disorders in their children who are thalassemics.
"
2001
D2
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Azwan Nurdin
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Penggunaan kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan beberapa efek samping, salah satunya adalah tromboemboli. Penetapan kadar F 1.2 dapat dipergunakan untuk menentukan resiko terjadinya tromboemboli karena kadar yang tinggi dari senyawa peptida ini menunjukkan adanya aktivasi sistem koagulasi.
Tujuan utama penelitian ini adalah mengukur kadar F 1.2 pada akseptor implan levonorgestre yang telah menggunakannya > 4 tahun dengan menggunakan metode ELISA. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kadar F 1.2 dengan umur, lama pemakaian implan levonorgestrel dan besarnya paritas pada akseptor.
Penelitian Cross Sectional ini dilakukan pada 100 akseptor yang telah memakai implan selama 4 tahun atau lebih. Subjek penelitian diambil dari Klinik Keluarga Berencana Pulogadung-Jakarta. Sebelum pengambilan darah tidak diperlukan persiapan khusus atau puasa yang dilakukan pada akseptor.
Hasil dan Kesimpulan : Rentang kadar F 1.2 dari seluruh akseptor berkisar antara 0,06 - 9,69 nM. Pada 31 akseptor didapatkan kadar F 1.2 lebih tinggi dari 1,7 nM, yaitu kadar tertinggi yang didapatkan pada orang Indonesia sehat. Pada 24 akseptor dari 31 akseptor tersebut, kadar F 1.2 ternyata lebih tinggi dari 2,78 nM , yaitu kadar tertinggi yang didapatkan pada kelompok Caucasia sehat. Tujuh belas akseptor dari 24 akseptor tersebut diatas, memiliki kadar F 1.2 yang lebih tinggi dari 4,2 nM yang merupakan kadar rata-rata pada kasus tromboemboli.
Hasil Spearman test, tidak didapatkan hubungan antara kadar F 1.2 terhadap umur, lama pemakaian implan levonorgestrel dan besarnya paritas. Kesimpulan pemeriksaan pada 100 akseptor implan levonorgestrei, didapatkan 24 % akseptor dengan kadar F 1.2 yang tinggi yang dapat menunjukkan adanya aktivasi sistem koagulasi. Karena hanya merupakan cross sectional studi tanpa kontrol, maka belum dapat menerangkan apakah kadar F 1.2 yang tinggi ini disebabkan karena penggunaan implan. Untuk itu masih diperlukan penelitian prospektif acak terkontrol penentuan kadar F 1.2 serta aktivitas AT III, Tidak didapatkan hubungan antara kadar F 1.2 dengan umur, lama pemakaian implan dan paritas.

The Levels of Prothrombin Fragmenti.2. (F 1.2 ) Among Levonorgestrel Implant UsersScope and Method of Study : The use of hormonal contraceptives has some potential side effects, one of them is thromboembolism. The levels of F 1.2 can be used to determine the risk of thromboembolism because the high level of this peptide can indicates that there is an activation of coagulation system.
The main objective of this study was to find out the level of F 1.2 among the levonorgestrel implant users by mean of an ELISA method. The other objectives were to know the correlation between the levels of F 1.2 with age, duration of use the implant, and the parity of the acceptors. The study was done in 100 acceptors who had been using these implants for four years or more. The subjects were recruited from the Family Planning Clinic Pulogadung - Jakarta. No special preparation or fasting of the acceptors is needed.
Results and Conclusions : The range of F 1.2 levels of all acceptors was between 0.06 - 9.69 nM, while in 31 acceptors the levels were higher than the upper limit level previously found in healthy Indonesian subjects (1.7 nM). In 24 out of 31 acceptors, the levels of F 1.2 were higher than the upper limit level of normal value in a Caucasian population (2.78 nM).
In 17 out of 24 acceptors the levels of F 1.2 were higher than 4.2 nM, which was the mean level detected in thromboembolic cases reported previously.
Using the Spearmans test, it was evident that there was no correlation between F 1.2 levels and age, the duration of implant use, and the parity of the acceptors.
Conclusions, among 100 levonorgestrel implant acceptors, 24 % of them showed high F 1.2 levels that could indicate the activation of coagulation system. Based on these limited data which was done only through a cross sectional study without control, the high F 1.2 levels could not be interpreted as the cause by of the implant. A further prospective randomized controlled study, is need to find out the correlation between F 1.2 level and AT III is needed. No correlations were observed between F 1.2 levels and age, duration of implant use, and parity.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Kandidosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida spp. Spesies
terbanyak yang dapat menyebabkan penyaldt adalah Candida albicans. Jamur
tersebut dapat ditemukan sebagai komcnsal dalam tubuh manusia, yaim dalam
saluran cema atau salman napas bagian atas. Pada keadaan tertcntu yaitu adanya
falctor predisposisi, jamur tersebut dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan
pcnyakif. Berdasarkan iokalisasi, Candida dapat menyebabkan infeksi superlisial
pada kuku, kulit, dan mukosa, tetapi juga dapal menyebabkan infeksi sistemik pada
organ dalam. Dalam proses teljadinya kandidosis sistemik turut berperan faktor
predisposisi antara lain pemberian antibiotik jangka panjang, pemberian obat
imunosupresan seperti kortikosternid dan sitostatik yang dapat mengakibatkankan
keadaan netropeni, keganasau termama hemarogenik., usia lanjut dan penyakit
metabolik seperti diabetes melitus (Emmons et al., 1977; Rippon, 1988; Odds, 1988;
Reiss er al., 1998).
Dalam beberapa dekadc telakhir, iiekuensi kandidosis sistemik meningkat
sepuluh kali tetapi diagnosis masih temp merupakan masalah (Maksymiuk et al.,
1984; Komshian et az., 1989, Rex 8I af., 1995; Edwards, 1997). scnmsnya diagnosis
pasti kandidosis sistcmik dapat ditegakkan dengan menemukan jamur dalam sediaan
histopatologi jaringan yang terkena, tempi cara terrsebut invasif dan mengandung
risiko terhadap penderita. Sclain itu pengambiian bahan untnk biopsi tidak mudah
dilakukan karena kondisi penderita yang biasanya sudah bm'uk dan sulit menetapkan
lokalisasi biopsi yang tepat karena sifat lesinya sendiri yang dapat berupa abses
multipel kecil-kccil (Emmons er al.,19'77; Rippon, 1988). Pada saat ini gold standard
untuk diagnosis kandisosis sistemik adalah biakan darah berulang, tetapi cara itu
sering memberikan hasil negatif dan perlu waktu lama apalagi bila diperlukan
identifikasi spesies. (Halley & Callaway, 1978; Walsh et ai., 1991; Bumie El al.,
1997).
Masalah diagnostik kandidosis sistemik disebabkan: (i) Penyakit tersebut tidak
mempunyai gejala klinik yang patognomonik; gejalanya tergantung pada organ yang
terkena sehingga diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik
saja. (ii) Pemeriksaan bahan klinik saja tidak memberikan hasil yang pasti karena sifat
Candida yang oportunis; ditemukannya jamur dari bahan klinik sulit untuk
menjelaskan perannya sebagai etiologi penyakit tersebut .(iii) Kultur darah lebih
sering negalif dan apabila positif satu kali saja sulit dibedakan dengan keadaan
sementara (transient candidemia) seperti yang dapat terjadi pada pemberian infus
(Bodey, 1984).
Selain biakan telah dikembangkan berbagai cara diagnosis, antara lain sara
serologi dan polymerase chain reaction (PCR). PCR, suatu metode berdasarkan teori
biologi molekuler, merupakan cara paling baru dan dianggap sebagai cara paling
sensitif untuk diagnosis kandidosis sistemik akan tetapi penerapan sehari-hari di
laboratorimn tidak mudah dilakukan (Miyakawa EI a1.,1993; Holmes er al., 1994).
Uji serologi yang ada saat ini mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang
rendah (Ruechel, 1989; Jones, 1990; Buckley er al., 1992). Hal itu dapat dijelaskan,
karena C. albicans merupakan jamur saprofit yang dapat hidup sebagai komensal
dalam tubuh manusia. Baik dalam keadaan saprofit maupun dalam keadaan patogen
jamur tersebut melepaskan antigen misalnya mannan yang berasal dari dinding sel.
Dengan demikian mannan akan merangsang pembentukan antibodi antimannan pada
kedua keadaan tersebut, sehingga deteksi antibodi antimannan tidak dapat digunakan
untuk membedakan keadaan saproiit dari kandidosis sistemik (de Repenugny,
Quindos er ai., l990a; Buckley et af., 1992; Ponton ex al, 1993).
Dua bentuk penting C. albicans adalah bentuk blastokonidia atau khamir dan
bentuk hifa semu yang dapat didahului pembentukan germ tube oleh blastokonidia.
Germ tube merupakan bentuk yang dianggap penting sebagai penentu virulensi karena
berperan dalam perlekatan dan invasi ke dalam jaringan (Sobel et al., 1984; De
Benardis el al., 1993; Calderone er al., 1994). Masing-masing bentuk balk khamir
maupun germ tube mempmmyai antigen spesiiik yang cliekspresikan pada dinding se]
(Penton & Jones, 1986). Bebempa peneliti telah melaporkan antigen spesitik germ
tube, antara lain antigen dengan berat molekul 19 kDa dan 230 kDa sampai 235 kDa
(Ponton & Jones, 1986), 47 dan 43 kDa (Casanova et al., 1989; 1991). Peneliti lain
menemukan bahwa antibodi terhadap germ tube tidak ditemukan pada orang yang
rnengandung C. albicans sebagai saproiit (Quindos et al., 1987; 1990a). Penemuan
tersebut memberikan dasar pemikiran untuk pengembangan uji diagnestik bam dalam
usaha mendaparkan cara diagnosis kandidosis sistemik yang lebih akurat."
1999
D432
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 >>