"Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya untuk melakukan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang seringkali memutus secara ultra petita. Walaupun penerapan ultra petita ini dilarang dalam hukum perdata, akan tetapi saat ini masih belum ada ketentuan hukum positif yang mengatur terkait dengan dilakukannya ultra petita di Mahkamah Konstitusi. Sehingga hal ini menimbulkan pro dan kontra, dimana sebagian ada yang berpendapat bahwasannya ultra petita itu dilarang untuk diterapkan di Mahkamah Konstitusi, ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan suatu konsekuensi hukum. Terlebih Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan hukum lainnya. Dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, putusan yang mengandung ultra petita muncul ketika adanya kepentingan dari seluruh warga negara (erga omnes). Asas ultra petita ini telah diterapkan sejak awal terbentuknya Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Penulis dalam skripsi ini ingin membahas mengenai konsep dan penerapan asas ultra petita yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi khususnya pada perkara pengujian undang-undang, mulai dari periode tahun 2003 hingga tahun 2021. Metode penulisan yang digunakan oleh Penulis adalah yuridis normatif dengan menggunakan bahan kepustakaan. Dari hasil penelitan, Penulis menemukan beberapa dari banyaknya putusan yang mengandung ultra petita, dengan jumlah terbanyak adalah pada periode tahun 2003-2008. Putusan ultra petita tersebut dikeluarkan tentunya berdasarkan pada pertimbangan hakim (ratio decidendi) bahwa hal tersebut memang benar-benar harus dilakukan.The Constitutional Court in exercising its authority to examine the constitutionality of a law often decides on an ultra petita basis. Although the application of ultra petita is prohibited in civil law, there are currently no positive legal provisions governing the conduct of ultra petita in the Constitutional Court. So this raises the pros and cons, where some argue that ultra petita is prohibited from being applied in the Constitutional Court, there are also those who argue that this is a legal consequence. Moreover, the Constitutional Court has special characteristics that are different from other legal characteristics. In the judicial review at the Constitutional Court, decisions containing ultra petita arise when there is an interest from all citizens (erga omnes). The ultra petita principle has been applied since the establishment of the Constitutional Court. Therefore, the author in this thesis wants to discuss the concept and application of the ultra petita principle carried out at the Constitutional Court of the Republic of Indonesia, especially in law testing cases, starting from the period 2003 to 2021. Research method used by the author is normative juridicial using library materials. From the research results, the author found several of the many decisions containing ultra petita, with the highest number being in the 2003-2008 period. The ultra petita decision was issued based on the judge's consideration (ratio decidendi) that it really had to be done."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Pemungutan suara ulang adalah suatu prosedur yang diambil ketika terdapat kondisi- kondisi yang diatur oleh undang-undang seperti kecurangan-kecurangan berupa beberapa pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali dan terdapat beberapa pemilih tidak terdaftar yang terbukti ikut memilih. Hal ini dapat dilaksanakan di dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk memberikan keadilan bagi seluruh pihak di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah namun di dalam pelaksanaannya dapat memakan waktu yang cukup lama. Di lain sisi, jabatan pemerintahan harus segera diisi untuk dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Dengan melihat hal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan pemungutan ulang dapat menyebabkan terhambatnya pelantikan bagi pasangan calon terpilih yang merupakan awalan dari masa jabatan pejabat tersebut. Skripsi ini akan membahas mengenai mekanisme pemungutan suara ulang di Indonesia. Pembahasan akan dititikberatkan kepada kasus Pemilihan Kepala Daerah di Labuhanbatu pada tahun 2020 yang berujung pada dilaksanakannya pemungutan suara ulang sebanyak dua kali di daerah pemilihan tersebut. Skripsi ini dituliskan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisis Pemilihan Kepala Daerah dan pemungutan suara ulang di Indonesia.Re-election is the procedure that can be happened when there are some conditions which stated according to the law such as several voters used their voting right more than once and several unregistered voters using the right to vote. This thing also can be used in the election of the regional head officer in Indonesia. The purpose of this is to bring justice for everyone in the process of the election of the regional head officer but it also can consume a lot of times. On the other hand, the head of regional officer position needs to be changed in short period of time to bring the legal certainity for the people. Looking into this condition, we can conclude that this thing can impact the delay on the time of the inaugration for the elected candidate, which also the delay on the beginning of govern period. This thesis will discuss about the mechanism od the re-election in Indonesia. The discussion will be focused about the case of the regional head officer election in Labuhanbatu in 2020 which led into two times re-election in that region. This thesis is using the juridical normative method to analyze the election of the regional head officer and re-election in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Tulisan ini menganalisis bagaimana peraturan di Indonesia dan peraturan internal dari 3 besar partai politik dan 2 partai politik baru yang belum memiliki kursi di DPR RI dalam menetapkan syarat perihal keanggotaan partai politik itu sendiri maupun calon anggota legislatif DPR RI. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Secara umum, lima partai politik yang terdiri dari PDIP, Gerindra, Perindo, dan PSI telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyiapkan kader yang berkualitas. Hal ini terlihat dari adanya sekolah partai dari masing-masing partai. Walaupun terdapat beberapa perbedaan mengenai mekanisme kerangka yang dilaksanakan oleh partai, namun kelima partai tersebut tetap menjunjung tinggi proses kaderisasi. Dalam AD/ART kelima partai tersebut juga telah sejalan dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan syarat keanggotaan partai politik dan calon anggota DPR, yakni UUD NRI 1945, UU No. 7 Tahun 2017, UU No. 2 Tahun 2008, dan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023. Meski demikian, belakangan ini banyak peraturan yang mendapat tanggapan negatif dari publik. Pengesahan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2019 dan Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aspirasi masyarakat kurang diserap dengan baik sehingga menghasilkan undang-undang yang kontroversial. Menghadapi Pemilu 2024 yang sedang ramai-ramainya calon legislatif menarik perhatian massa dengan kampanye, timbul dalam benak masyarakat sebenarnya bagaimana pola rekrutmen dari partai politik sehingga menghasilkan anggota DPR RI yang sedemikian rupa. This paper analyzes how the regulations in Indonesia and the internal regulations of the 3 major political parties and 2 new political parties that do not yet have seats in the DPR RI in determining the requirements regarding the membership of the political party itself and the DPR RI legislative candidates. This paper is prepared using doctrinal research methods and uses secondary data obtained from literature studies. The results show that in general, the five political parties consisting of PDIP, Gerindra, Perindo, and PSI have made every effort to prepare qualified cadres. This can be seen from the existence of party schools from each party. Although there are some differences regarding the framework mechanism implemented by the parties, the five parties still uphold the regeneration process. The bylaws of the five parties have also been in line with the provisions of the laws and regulations relating to the membership requirements of political parties and candidates for DPR members, namely UUD NRI 1945, UU No. 7 Tahun 2017 and UU No. 2 Tahun 2008, dan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023. However, recently many regulations have received negative responses from the public. The ratification of the revision of Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2019, Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. The aspirations of the community are not well absorbed, resulting in controversial laws. Facing the 2024 elections, when legislative candidates are busy attracting the attention of the masses with campaigns, the public's mind is actually how the recruitment patterns of political parties produce members of the DPR RI in such a way."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Sebagai pengadilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Diantara kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, kewenangan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat dikatakan sebagai kewenangan utama dari sisi teori dan sejarah. Dalam praktiknya, sejak berdirinya hingga sekarang Mahkamah Konstitusi telah memutus banyak perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Akan tetapi tidak terdapat satu putusan yang mengabulkan pengujian undang-undang secara formil. Dalam penelitian ini menganalisis bagaimana penyelesaian pengujian formil undang-undang terutama melihat pertimbangan-pertimbangan Hakim Konstitusi dalam dalam memutus pengujian perkara secara formil. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam memutus perkara pengujian formil, Mahkamah Konstitusi tidak hanya mempertimbangkan aspek-aspek formil prosedural dari pembentukan undang-undang.As a constitutional court, the Constitutional Court has four powers and one obligation as stipulated by Article 24C of the 1945 Constitution. Among the powers possessed by the Constitutional Court, the authority to decide judicial review of the Constitution can be said to be the main authority in terms of theory and history. In practice, since its establishment until now the Constitutional Court has decided many cases of judicial review against the Constitution. However, there are no decisions that grant formal judicial review. In this research, it analyzes how the completion of the formal judicial review, especially looking at the considerations of the Constitutional Justices in deciding formal judicial review. This research is a qualitative research with a descriptive analysis design. The research found that in deciding formal review cases, the Constitutional Court did not only consider formal procedural aspects of the formation of laws."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang bertugas untuk menjaga konstitusi. Hakim Mahkamah Konstitusi yang merupakan pejabat negara dan dapat memutus perkara yang berkaitan dengan konstitusionalisme dan memiliki dampak secara nasional menempatkan posisi Hakim Mahkamah Konstitusi pada posisi yang krusial. Pemberhentian yang dilakukan kepada Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pengaturan yang rinci, terutama prosedur pemberhentian tidak dengan hormat. Dalam prosedur pemberhentian tidak dengan hormat terdapat suatu mekanisme yaitu pemberhentian sementara. Pemberhentian sementara memberikan kesempatan bagi hakim untuk membela diri dan memberikan kesempatan pada Mahkamah Konstitusi untuk tetap menjaga marwah integritas yang dimiliki dengan menonaktifkan hakim yang bermasalah terlebih dahulu. Posisi yang abu-abu terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi berimbas pada kurangnya hakim yang mengadili dan akhirnya berimbas pada proses persidangan. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan tentang mekanisme pemberhentian sementara Hakim Mahkamah Konstitusi dan implikasinya pada persidangan di Mahkamah Konstitusi. Penggunaan metode yuridis normatif untuk menjawab dampak dari pemberhentian sementara pada persidangan guna mengetahui penyesuaian pelaksanaan dalam praktiknya.Judges of the Constitutional Court who are state officials and can decide cases related to constitutionalism and have a national impact place the position of Constitutional Court Judges in a crucial position. The dismissal of Constitutional Court Judges has detailed arrangements, especially the procedure for dishonourable dismissal. In the procedure for dishonourable dismissal there is a mechanism, namely temporary dismissal. Temporary dismissal provides an opportunity for judges to defend themselves and provides an opportunity for the Constitutional Court to maintain the dignity of its integrity by deactivating problematic judges first. The grey position of the Constitutional Court judges has an impact on the lack of judges who hear cases and ultimately affects the trial process. Therefore, the author will explain the mechanism for the temporary dismissal of Constitutional Court Judges and its implications for trials at the Constitutional Court. The use of normative juridical methods to answer the impact of temporary dismissal on the trial in order to find out the implementation adjustments in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Hak tersebut berbeda dengan hak asasi manusia maupun hak hukum. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, terdapat larangan bagi pengurus partai politik untuk menjadi calon anggota DPD. Meskipun putusan tersebut dapat diargumentasikan berpengaruh positif dalam mengembalikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah kepada maksud asli pembentukannya serta mencegah representasi ganda dengan Dewan Perwakilan Rakyat, namun putusan tersebut tidak mempertimbangkan berbagai hal secara komprehensif. Penelitian ini menawarkan perspektif lain dalam mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUUXVI/2018, yaitu dengan menggunakan pendekatan hak konstitusional yang sama sekali tidak dibahas dalam pertimbangan hukum putusan. Penelitian ini mengkaji tinjauan umum mengenai hak konstitusional, sejarah lembaga Dewan Perwakilan Daerah, serta perbandingan hak konstitusional pengisian jabatan anggota kamar kedua di negara-negara lain. Pada akhirnya terdapat kesimpulan bahwa larangan bagi pengurus partai politik dalam pengisian jabatan anggota Dewan Perwakilan Daerah terindikasi bertentangan dengan hak konstitusional yakni hak untuk dipilih dan memilih serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu, pembatasan terhadap hak konstitusional yang dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 juga tidak sesuai dengan ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak konstitusional.Constitutional rights are the rights regulated in the Indonesian 1945 Constitution, both expressly and implicitly. These rights are different from human rights nor legal rights. After the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, there is a ban for political party administrators to become candidates for Regional Representatives Council members. Although it can be argued that the decision has a positive effect in returning the Regional Representatives Council institution to its formation original intent and preventing double representation with the People's Representatives Council, the decision does not consider various matters comprehensively. This study offers another perspective in reviewing the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, namely by using a constitutional rights approach that is not discussed at all in the legal considerations of the decision. This study examines an overview of constitutional rights, the history of the Regional Representatives Council, and a comparison of constitutional rights to fill the position of second chamber member in other countries. In the end, there is a conclusion that the prohibition for political party administrators to fill the positions of Regional Representatives Council members is indicated to violate constitutional rights, namely the right to be elected and to elect and the right to obtain equal opportunities in government. In addition, the restrictions on constitutional rights referred to by the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 are also not in accordance with the provisions regarding restrictions on constitutional rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Kebijakan ambang batas parlemen yang diterapkan dalam penentuan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia telah menyebabkan banyak partai politik tidak lolos ke DPR, serta banyak suara pemilih tidak terkonversi menjadi kursi dan menjadi terbuang. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya disproporsionalitas hasil pemilihan umum serta dapat mengancam kedaulatan rakyat dan asas keadilan dalam pemilihan umum. Penelitian ini menganalisis bagaimana pengaruh penerapan ambang batas parlemen terhadap proporsionalitas hasil pemilihan umum di Indonesia serta bagaimana rekomendasi dalam menentukan besaran ambang batas parlemen yang ideal untuk diterapkan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan studi komparatif untuk mengetahui pengaruh penerapan ambang batas parlemen dalam beberapa pemilihan umum yang pernah diselenggarakan di Indonesia, serta untuk menemukan formula yang tepat untuk menghitung besaran ambang batas parlemen yang dapat meminimalisir disproporsionalitas hasil pemilihan umum. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan indeks Loosemore-Hanby Index (LHI), didapati bahwa penerapan ambang batas parlemen dengan besaran yang tidak didesain dengan rumusan yang terukur telah mengakibatkan tingginya indeks LHI yang mengindikasikan bahwa hasil pemilihan umum DPR di Indonesia tidak proporsional. Oleh karena itu, perlu dilakukan perumusan besaran ambang batas parlemen dengan menggunakan formula matematis yang tepat. Penulis kemudian mengambil konsep dan formula ambang batas efektif yang dirumuskan oleh Rein Taagepera, dan berdasarkan hasil perhitungan, didapati bahwa besaran ambang batas parlemen efektif untuk pemilihan umum DPR di Indonesia adalah 1% dari total suara sah nasional.The parliamentary threshold policy implemented in determining seats for members of the People's Representative Council (DPR) in Indonesia has caused many political parties failed to enter the DPR, and many voters' votes were not converted into seats and were wasted. This condition caused disproportionality in the general election results and could threaten the people’s sovereignty and the principle of fairness in general elections. This research analyzes how the implementation of the parliamentary threshold affects the proportionality of the general election results in Indonesia and how recommendations are made in determining the ideal parliamentary threshold to be implemented in Indonesia. This research is conducted using a normative juridical research method with a comparative study approach to determine the effect of the implementation of parliamentary threshold in several general elections that have been held in Indonesia, as well as to find the right formula for calculating the magnitude of the parliamentary threshold that can minimize the disproportionality of the general election results. Based on research conducted and based on calculations using the Loosemore-Hanby Index (LHI), it was found that the implementation of parliamentary threshold with a magnitude that was not designed with a measurable formula has resulted in a high LHI index which indicates that the results of the DPR general elections in Indonesia are not proportional. Therefore, it is necessary to formulate the magnitude of the parliamentary threshold using the right mathematical formula. The author then took the concept and formula of the effective threshold formulated by Rein Taagepera, and based on the calculation results, it was found that the magnitude of the effective parliamentary threshold for the DPR general elections in Indonesia is 1% of the total valid national votes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Sebagai dua negara demokrasi dengan penganut sistem pemerintahan presidensial, Indonesia dan Brazil melakukan pemilihan umum dengan metode serentak yang langsung memlih Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dalam waktu bersamaan. Di samping itu, keduanya juga melaksanakan Pemilihan Umum Anggota DPR dengan sistem pemilihan proporsional dengan memilih nama calon atau sistem pemilihan proporsional terbuka. Berangkat dari kondisi tersebut, penelitian ini akan mengkaji kompatibilitas antara metode pemilihan umum serentak dengan sistem proporsional terbuka di dua negara tersebut. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan historis dan komparatif untuk mengetahui latar belakang pelaksanaan pemilihan umum serentak serta pelaksanaan pemilihan umum serentak di kedua negara tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat kompatibilitas antara metode pemilihan serentak dengan sistem pemilihan proporsional terbuka pada kedua negara tersebut berupa kesamaan tata Kelola pemilihan umum dan berkurangnya selisih suara antar pemilihan umum.As two democracies with a presidential system of government, Indonesia and Brazil conduct simultaneous elections that directly elect the President as the holder of executive power and Parliament as the holder of legislative power simultaneously. In addition, both also conduct legislative elections with a proportional voting system by selecting the names of candidates or an open proportional voting system. Departing from these conditions, this research will examine the compatibility of the simultaneous general election method with the open proportional system in the two countries. This research will be conducted using normative juridical research methods with historical and comparative approaches to find out the background of the implementation of simultaneous general elections and the implementation of simultaneous general elections in the two countries. Based on the research, there is compatibility between the simultaneous election method and an open proportional voting system in the two countries in the form of similarity in the electoral management and reduced vote difference between elections."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Pemilu merupakan suatu mekanisme yang disediakan oleh negara dalam memperjuangkan segala kebutuhan rakyatnya dan pencerminan dari sistem demokrasi. Penyelenggaraan Pemilu di negara Indonesia dilaksanakan secara konsisten dengan berdasar kepada asas yang dituangkan secara tegas dalam Konstitusi, yang mana dipengaruhi juga oleh beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah peran dari institusi pengadilan yang berkewajiban untuk bertindak imparsial serta efektif dalam mengawal penyelenggaraan Pemilu. MK sebagai institusi pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkara PHPU, dalam praktiknya, baik putusan yang dikeluarkan dalam Pemilu maupun Pemilukada sering megeluarkan putusan yang bersifat “kontroversial” dan problematik yang mana menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat serta ahli hukum karena dianggap kurang dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Mengingat kekuatan putusan yang dikeluarkan MK sangat “kuat”, MK diharapkan dapat menentukan metode atau konsep pendekatan yang tepat dalam menjawab segala isuisu konstitusionalitas yang ada. Diantara bentuk metode atau konsep pendekatan yang dilakukan oleh Hakim MK dalam menyelesaikan PHPU adalah judicial activism dan judicial restraint, dimana konsep tersebut dianggap oleh beberapa orang memiliki hal yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya.Election is a mechanism provided by the state in fighting for all the needs of its people and a reflection of the democratic system. The election in Indonesia is carried out consistently based on the principles expressly stated in the Constitution, which is also influenced by several factors. One of these factors is the role of the court institution which is obliged to act impartially and effectively in overseeing the implementation of the Election. The Constitutional Court as a court institution that has the authority to settle PHPU cases, in practice, both decisions issued in the General Election and regional head elections, often issue decisions that are “controversial” and problematic which lead to pros and cons among the public and legal experts because they are deemed insufficient to give a sense justice to society. Considering the strength of the decisions issued by the Constitutional Court is very "strong", the Court is expected to be able to determine the method or concept of the right approach in answering all existing constitutionality issues. Among the methods or concepts used by the Constitutional Court Judges in resolving the PHPU were judicial activism and judicial restraint, where these concepts were considered by some to have contradicting matters with one another"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library