Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ellyna Chairani
"Kopi luwak dikenal sebagai kopi spesialti Indonesia karena aromanya yang lebih harum dan rasa yang unik. Produksinya menggunakan Coffea arabica yang membutuhkan syarat tumbuh ketinggian dan iklim tropis; serta luwak (Paradoxurus hermaphroditus) yang hidup di wilayah tropis. Mayoritas lahan kopi nasional adalah perkebunan rakyat yang produktivitasnya rendah karena kopi ditanam pada kelas kesesuaian lahan yang kurang tepat. Hal ini mengakibatkan petani sulit mencapai keberlanjutan produksi. Hal lain adalah dalam pengelolaan kopi luwak selama ini lebih fokus pada pendekatan sektoral dan kurang menyeluruh dalam memadukan kesepakatan stakeholders untuk pengelolaan produksi dengan konservasi lingkungan.
Tujuan umum riset adalah melakukan sintesis keberlanjutan pengelolaan kopi luwak di lanskap riset. Sedangkan tujuan khusus meliputi  analisis kesesuaian lahan untuk kopi, habitat luwak dan pengelolaan kopi luwak Arabika; serta menilai dampak aspek lingkungan, sosial dan ekonomi untuk menentukan keberlanjutan dari 6 model pengelolaan kopi luwak di 3 kabupaten (Bandung, Bandung Barat dan Bangli).
Metodologi riset meliputi analisis multi-kriteria dan pemetaan tumpang susun dengan sistem informasi geografis untuk menentukan sebaran kesesuaian lahan; serta metode Life Cycle Analysis (LCA), Life Cycle Costing (LCC), Social Life Cycle Analysis (SLCA) dan Life Cycle Sustainability Assessment (LCSA) untuk menilai keberlanjutannya.
Hasil riset kesesuaian lahan kopi luwak Arabika tertinggi ditemukan di Bandung (75,24%), sedangkan terkecil di Bangli (40,39%). Pada permasalahan lingkungan berdasarkan kriteria pemanasan global, pengelolaan kopi luwak melalui penangkaran memberikan dampak yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan secara liar. Aspek keekonomian produksi kopi luwak liar lebih menguntungkan dibanding dengan pengelolaan secara kandang atau tangkar. Sedangkan hasil riset aspek sosial tidak dibedakan karena semuanya memberikan kontribusi terhadap masyarakat lokal dan konsumen. Secara umum tingkat keberlanjutan model luwak liar lebih baik dibandingkan dengan model luwak yang dikandangkan. Walaupun demikian, Model Kandang Bangli-3 memiliki tingkat keberlanjutan paling tinggi diantara 6 model pengelolaan yang diriset.

Civet Arabica coffee (kopi luwak) is an Indonesian prominent specialty coffee for its aroma and unique taste. The coffee production involves Coffea arabica that requiring growing conditions of altitude and tropical climate; and civet (Paradoxurus hermaphroditus) that lives in the tropical belts. The majority of the Country coffee plantation is owned by smallholder farmers. The issue of low productivity leads to the difficulty in achieving coffee production sustainability. Moreover, the management of civet coffee has been more focused on sectoral approach and less comprehensive in integrating stakeholder agreements on productivity and environmental conservation.
The research aims to synthesis the sustainability of civet coffee management in the landscape of research. Furthermore, the objectives include analyzing land suitability of Coffea Arabica, civet habitat, and civet Arabica coffee; and to assess its impact on environment, economic, and social/community.
The research employed the methods of multi-criteria analysis, and combined with weighted overlaying techniques for mapping land suitability; and Life Cycle Assessment (LCA), Life Cycle Costing (LCC), Social Life Cycle (SLCA), and Life Cycle Sustainability Assessment (SLCA) of 6 management models in 3 districts (Bandung, West Bandung and Bangli).
The research results reveal that Bandung area has the highest suitability for kopi luwak Arabica (75.24%) and the smallest is in Bangli (40.39%). On the environmental impact, caged models produce higher global warming than that of wild models. The economic aspect of wild models earned bigger profit than caged system. On the social impact, the entire models positively contribute to local community and consumer. It is, however, Model of caged Bangli-3 is the most sustainable among the others.
"
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Andalas
"

Saat ini sektor bangunan menyerap 40% energi global, 25% air global dan turut menyumbangkan 30% emisi gas rumah kaca di dunia. Pada kota metropolitan seperti Jakarta, zonasi bangunan dengan fungsi kantor adalah salah satu fungsi mayoritas dalam Rencana Tata Ruang Wilayah serta berkontribusi signifikan terhadap luas lahan terbangun. Kantor Pemerintahan sebagai gedung dengan fungsi spesifik memiliki peran penting dalam pelayanan kepada masyarakat dan  produktivitas pengguna gedungnya terpengaruh oleh kenyamanan termal. Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun model kenyamanan termal bagi pengguna gedung kantor pemerintah yang ramah lingkungan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mix Method (Kuantitatif dan Kualitatif) pengukuran tingkat kenyamanan termal pada manusia menggunakan skala PMV (Predicted Mean Vote) dan Percentage Person Dissatisfied (PPD) melalui kuesioner dan pengukuran langsung pada elemen fisik gedung, Konsumsi Energi pada gedung (IKE/Indeks Konsumsi Energi Gedung), Produktivitas kerja dan Indeks pelayanan masyarakat (Kepuasan Kerja dan Kinerja Kerja) serta lokasi gedung berdasar analisis spasial berdasarkan kewilayahan administratif di Pemprov DKI Jakarta. Hasil pengukuran menunjukkan, kenyamanan termal di Jakarta Pusat adalah 27,06°C to 30,06°C, sedikit lebih rendah dibanding Jakarta Utara (27,29°C to 30,41°C) dan kenyamanan termal di Jakarta Selatan adalah pada rentang 25,92°C – 31,89°C. Populasi dalam penelitian ini terbagi 2 (dua) yaitu: Populasi gedung adalah semua Gedung dengan fungsi kantor Pemerintah/BUMD milik Pemprov DKI Jakarta sejumlah 311 Gedung kantor dan pengelola gedung sebanyak 367 orang. Data menggunakan daftar database gedung milik Pemprov DKI Jakarta dari Unit Pelaksana Teknis Jakarta Smart City. Keterkaitan antara variable diolah dengan SEM-PLS Structural Equation Modeling - Partial Least Square untuk diolah dan dibuat permodelan.  Hasil dari beberapa pengujian model didapatkan model yang cocok terhadap tujuan riset.

 


A study to create an environmentally friendly model based on outdoor and indoor thermal comfort (physical and non-physical aspects) in public service buildings was conducted in Jakarta Metropolitan Area. The region is divided into 5 (five) administrative metropolitan areas (North, South, East, West, and Central areas). 367 building occupants/managers from typical government buildings (3-4 stories) with Air Conditioned and Naturally Ventilated (NV) buildings were selected for the survey. Indoor and outdoor measurements of specific air temperature and other relevant thermal elements were carried out in public service facilities in three regions (North, Central, and South). For each selected building, the occupants filled an e-questionnaire indicating the thermal response in different periods of the day by using the ASHRAE thermal comfort scale standard. Variations of air temperature and the thermal response were recorded in surrounding areas. The air temperature variation across the neighborhoods was found to be influenced by different region characteristics. The comfort temperature of subjects in Central Jakarta ranged from 27.06°C to 30.06°C, slightly lower than in the North Jakarta (27.29°C to 30.41°C) and the comfort temperature of subjects in South Jakarta ranged from 25.92°C to 31.89°C. The variations of temperature across the regions and different geographical conditions such as land elevation were found to affect indoor thermal comfort. It is concluded that the spatial/geographical locations and land elevation had an impact on the indoor comfort of building occupants. Other findings in this research is fit model suggested in literature survey, examination of the public facility energy consumption in each region and factors influencing variables of thermal comfort using model measured by Partial Least Square Structural Equation Method. These findings could lead to a better strategy in building public service facilities in a specific geographic location.

 

"
2020
D2695
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Adyati Dwiyahreni
"Di Indonesia, kemampuan kawasan konservasi (KK) menjaga tutupan hutan masih setara dengan kawasan non konservasi seperti misalnya hutan tanaman industri. Dengan kapasitas pengelolaan dan anggaran yang relatif rendah, KK di Indonesia masih mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan konservasi. Selain itu, konservasi di Indonesia masih dilihat sebagai beban untuk pembangunan. Pada studi ini, pendekatan baru yang mengombinasikan analisis linier dan system dynamics dilakukan untuk menemukan faktor penting yang mempengaruhi efektivitas pengelolaan taman nasional (TN). Data tekanan-kondisi-respon dari 43 TN darat di Indonesia digunakan untuk menglasifikasi TN, mengidentifikasi faktor penting dan membangun model yang lebih efektif untuk pengelolaan KK. Tekanan dihitung dengan metode Human Footprint untuk tahun 2012 dan 2017. Kondisi adalah kondisi tutupan hutan dan respon adalah input pengelolaan TN. Studi ini memperlihatkan bahwa taman nasional darat di Indonesia dapat dikelompokkan dengan ciri kondisi tutupan hutan, anggaran, jumlah polisi kehutanan serta ketinggian dan kemiringan maksimal kawasan. Tutupan hutan yang baik disertai dengan anggaran dan jumlah polisi kehutanan yang meningkat. Tutupan hutan dipengaruhi secara signifikan oleh tekanan Human Footprint di dalam kawasan. Pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan taman nasional berpengaruh positif pada kondisi tutupan hutan. Mengelola dengan baik semua variabel penting tersebut akan meningkatkan tutupan hutan di kawasan konservasi.

In Indonesia, the ability of protected areas (PAs) to conserve forest is still equal to non-PAs such as industrial forest. Having relatively low management capacities and budget, Indonesia’s PAs are still having difficulties to achieve the conservation goals. Also conservation in Indonesia is still viewed as burden to development. In this study, a new approach of combining linier and system dynamics analyses were used to find the important factors affecting national parks (NPs) management effectiveness. Pressures-state-responses data from 43 terrestrial NPs in Indonesia were used to classify NPs, identified their important factors and developed more effective model for PAs management. Pressures were defined using Human Footprint method for 2012 and 2017. State was forest cover condition and responses were NPs management inputs. This study showed that terrestrial national parks in Indonesia can be grouped by characteristics of forest cover conditions, management budget, number of forest guards and maximum elevation and slope of the area. Good forest cover is accompanied by increased budget and number of forest guards. Forest cover is significantly affected by Human Footprint pressure within the park area. Environmental services in the national park area has a very positive effect on forest cover. Managing properly all of these important variables will increase forest cover in conservation areas."
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Uiniversitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Rudy Parluhutan
"Dari berbagai laporan tentang perkembangan Jakarta, diketahui bahwa perkembangan fisik Kota Jakarta berlangsung sengat cepat selama periode 1965-1985. perkembangan ini sangat mempengaruhi dinamika perkembangan Jakarta, termasuk pola tata air sebagai aspek penting dalam kehidupan.
Adapun manfaat dari penelitian itu adalah untuk mendapatkan gambaran tentang menurunnya kualitas lingkungan hidup DAS yang mengalir melalui kota Jakarta. Kemudian mengetahui reorientasi kebijakan tata ruang melalui pengintegrasian konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai berbasis masyarakat. Juga sebagai masukan bagi pihak pemda DKI dalam rangka pembangunan kawasan baru dan peremajaan kawasan lama."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
D740
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Mariati
"Kelompok hutan Tesso Nilo merupakan salah satu blok hutan yang terbesar yang tersisa di Provinsi Riau. Meskipun demikian, perubahan tutupan hutan alam kelompok hutan ini sangat cepat, khususnya karena keberadaan jalan yang dibangun oleh perusahaan untuk memperpendek jarak pengangkutan hasil produksi kayu HTI ke pabrik pulp and paper. Kami menilai dampak akses jalan yang membelah kawasan hutan Tesso Nilo (377.387 hektar) dari Selatan Ke Utara (jalan HTI Baserah sepanjang 50 km) dan dari Timur ke Barat (jalan HTI Ukui sepanjang 28 km) sebagai sarana pengangkutan kayu bagi industri pulp and paper.
Analisis dilakukan melalui tumpang tindih data digital penutupan lahan hasil penafsiran citra landsat sebelum dan sesudah jalan akses HTI dibangun. Berdasarkan laju deforestasi yang terjadi antara tahun 2000 dan 2012 dilakukan proyeksi kecenderungan deforestasi Tahun 2018 dengan menggunakan perangkat lunak Idrisi dengan tool Land Change Modeler. Untuk membangun model harmonisasi ruang antara konservasi dan produksi di kawasan Hutan Tesso Nilo, dilakukan dengan menggunakan analisis spatial multi criteria menggunakan ArcGis 10.
Hasil penelitian menunjukkan periode 2000-2002 laju deforestasi ratarata tahunan mencapai 3.530 ha, dan meningkat drastis menjadi 13.903 ha tahun 2002-2007 setelah kedua jalan dibangun. Secara keseluruhan, laju deforestasi rata-rata tahunan periode 2000-2012 adalah 9,28 persen (8.156,97 ha hutan), atau penurunan perkiraan total 97.883,64 hektar selama 12 tahun. Hasil proyeksi kecenderungan deforestasi 2018 diperkirakan hutan alam Tesso Nilo hanya 28.017 ha dan non-hutan alam 335.930 ha. Hasil skoring dan pembobotan untuk pilihan skenario optimum produksi dan konservasi menjadi pilihan model harmonisasi ruang antara konservasi dan produksi di kelompok hutan Tesso Nilo. Model ini dapat menjamin keberadaan kawasan konservasi di masa mendatang, menjadikan distribusi satwa liar di konsesi HTI menjadi koridor satwaliar yang dilindungi.

Tesso Nilo forest block is one of the largest forest block remaining in the Riau Province. However, the forest changes rapidly, especially when roads were developed by company crisscrossing and transecting the area. This study is to reassess the impact of the access road development in terms of spatial differentiations. The roads crisscrossed Tesso Nilo forest area (377,387 hectares) from the South to the North (Baserah of HTI road along 50 km), and transects from East to West (Ukui of HTI road along 28 km) play very important function for a company to transport forest products of pulp and paper company.
The study applies over-laying techniques of digital data for land cover landsat image in various periods, and interpretates before and after the road built. Based on the rate of deforestation between 2000 and 2012, deforestation trends model 2018 using the Idrisi software tool Land Change Modeler were carried out. To build the spatial harmonization model between conservation and production in Tesso Nilo forest areas, the study applied used a spatial multi criteria analysis using ArcGIS 10.
The results showed that the average rate of annual deforestation period 2000-2002 reached to 3,530 ha, and increased dramatically after the second road was built to 13,903 ha for 2002-2007. Overall, the rate of deforestation annual average between 2000-2012 period is 9.28 percent (8,156.97 ha), or a reduction in the estimated total of 97,883.64 ha for 12 years. From our modeling study it shows that deforestation trends in 2018 is estimated that the remain of natural forests of Tesso Nilo area will be only 28,017 ha while non forested area increase to 335,930 ha. Using score and weight values of optimum production and conservation scenario to spatial harmonization model between conservation and production in Tesso Nilo Forest Block to ensure the existence of protected areas, wildlife corridors were proposed which connected Timber Plantation Forest concessions to the natural forest blocks and national park.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrin Liputo
"Perkembangan perkotaan secara spasial (ruang) dan peningkatan aktivitas ekonomi kota, telah meningkatkan beban pencemaran udara yang dikeluarkan ke atmosfer. Kendaraan bermotor yang menjadi alat transportasi, memberikan kontribusi sebagai sumber polusi udara di perkotaan sebesar 70% dimana penyebaran emisi kendaraan bermotor mempunyai pola penyebaran spasial yang meluas. Disisi lain, penggunaan lahan perkotaan membawa konsekuensi negatif terhadap aspek lingkungan, dimana lahan yang tadinya merupakan ruang terbuka hijau, dengan bertambahnya kebutuhan penduduk akan ruang menyebabkan terjadinya konversi lahan hijau menjadi kawasan terbangun. Jakarta, dengan luas lahan terbuka sebesar 33%, termasuk lahan belum terbangun, seharusnya dapat memperbaiki mutu udara akibat kendaraan bermotor. Namun, kenyataannya lahan terbuka tersebut tidak sepenuhnya membantu memperbaiki kualitas udara Jakarta. Penelitian ini bertujuan membangun model hubungan emisi dengan curah hujan, volume lalu lintas dan kualitas kawasan hijau perkotaan.
Berdasarkan metoda Korelasi Kolmogorov-Smirnov dan Analysis of Variance, ditemukan pengaruh curah hujan, volume lalu lintas, luas RTH, sebaran RTH, kerapatan dan jenis tanaman terhadap konsentrasi zat pencemar primer CO, HC, NO2, SO2, PM10, TSP di Provinsi DKI Jakarta, selain itu ditemukan juga bahwa kondisi topografi wilayah kajian berpengaruh terhadap konsentrasi dan sebaran pencemar primer. Berdasarkan hubungan sebaran pencemar primer dan kualitas kawasan hijau tersebut ditemukan 6 model hubungan antara emisi dengan curah hujan, volume lalu lintas dan kualitas RTH berdasarkan karakteristik wilayah penelitian.

The development of urban spatial and an increase in economic activity of the city, has increased the burden of air pollution released into the atmosphere. Motor vehicles as a means of transport, contribute as a source of urban air pollution by 70% where the spread of motor vehicle emissions have a widespread pattern of spatial distribution. On the other hand, urban land use have serious negative consequences on environmental aspects, where the land was once an open green space, with increasing space needs of the population will lead to the conversion of green land into developed space. Jakarta, with an area of open land by 33%, including undeveloped land, supposed to improve air quality as a result of a motor vehicle. However, in reality the open space is not fully helped improved the air quality in Jakarta. This study aims to build a model of the relationship of emissions and quality of urban green areas.
Based on methods of the Kolmogorov-Smirnov correlation and data analysis of variance, it was found the effect of rainfall intensity, traffic volume, area and distribution of green space, density and type of plants to the concentration of primary pollutants CO, HC, NO2, SO2, PM10 and TSP in Jakarta Capital City. Furthermore, it was also found that the tophographical of study area was also effect to concentration and distribution of primary pollutants. Based on the relationship between primary pollutants distribution and quality of the green areas, it was found 6 models of the relationship between emissions and the intensity of rainfall, traffic volume and quality of urban green areas based on the characteristics of the study area.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Irfansyah
"[Lingkungan dan kemiskinan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan
pembangunan berkelanjutan. Tujuan riset ini adalah untuk mendeskripsikan
karakteristik penduduk miskin di lingkungan industri perkotaan Kawasan Berikat
Nusantara, mengkaji kualitas lingkungan hidup di lingkungan industri perkotaan,
menganalisis pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi, kualitas lingkungan,
Program Keluarga Harapan, dan program Corporate Social Responsibility PT.
Kawasan Berikat Nusantara (Persero) pada pengeluaran perkapita penduduk
miskin dan menghasilkan model penanggulangan kemiskinan untuk keberlanjutan
lingkungan industri perkotaan.
Variabel utama yang berpengaruh signifikan pada pengeluaran perkapita
penduduk miskin adalah jumlah anggota keluarga, status rumah, sumber air
bersih, intensitas penerimaan PKH, jarak rumah, ketersediaan air bersih,
pengelolaan sampah, polusi suara, bantuan PKH, mata pencaharian, biaya
eksternal dan penggunaan PKH. Kualitas lingkungan hidup di lingkungan
Kawasan Berikat Nusantara Kecamatan Cilincing dihitung berdasarkan nilai
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari tahun 2008-2012 berada dalam
klasifikasi waspada. Model yang dihasilkan mampu memprediksi penurunan
jumlah penduduk miskin dengan fokus intervensi pada biaya eksternal dan faktorfaktor
lingkungan melalui integrasi Program Keluarga Harapan dan Corporate
Social Responsibility industri dalam bentuk Bina Lingkungan;Environment and poverty have a strong interconnection in sustainable
development. This research aims to describe the characteristics of the poor people,
to assess the quality of the environment based on water pollution index, air
pollution index and forest cover in urban industrial area, to analyze the influence
of socio-economic factors, environmental quality, Keluarga Harapan Program,
and the Corporate Social Responsibility PT. Nusantara Bonded Zone (Persero) on
per capita expenditure of poor people in urban industrial area, also to produce
poverty reduction model for sustainable urban industrial area.
The main variables that have significant effect on per capita expenditure of poor
people are the number of family members, the status of the house, sources of
clean water, the intensity of Keluarga Harapan Program, distance from the house,
clean water supply, waste management, noise pollution, Keluarga Harapan
Program assistance, livelihood, external costs and the utilization of PKH. From
period of 2008-2012 the environmental quality is already on ?alert? status. The
model developed is capable of predicting the decrease of poor people number with
the intervention focuses on external costs and environmental factors through the
integration of Keluarga Harapan Program and industries? Corporate Social
Responsibility of Environmental Safeguard Program, Environment and poverty have a strong interconnection in sustainable
development. This research aims to describe the characteristics of the poor people,
to assess the quality of the environment based on water pollution index, air
pollution index and forest cover in urban industrial area, to analyze the influence
of socio-economic factors, environmental quality, Keluarga Harapan Program,
and the Corporate Social Responsibility PT. Nusantara Bonded Zone (Persero) on
per capita expenditure of poor people in urban industrial area, also to produce
poverty reduction model for sustainable urban industrial area.
The main variables that have significant effect on per capita expenditure of poor
people are the number of family members, the status of the house, sources of
clean water, the intensity of Keluarga Harapan Program, distance from the house,
clean water supply, waste management, noise pollution, Keluarga Harapan
Program assistance, livelihood, external costs and the utilization of PKH. From
period of 2008-2012 the environmental quality is already on ‘alert’ status. The
model developed is capable of predicting the decrease of poor people number with
the intervention focuses on external costs and environmental factors through the
integration of Keluarga Harapan Program and industries’ Corporate Social
Responsibility of Environmental Safeguard Program]"
2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
"ABSTRAK
Indonesia saat ini mempunyai jumlah pulau sekitar 17.000 buah dan panjang pantai sekitar 81.000 km. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Canada. Bagi indonesia, sumberdaya kawasan perkotaan pantai sangat penting karena terdapat 140 juta penduduk atau 60% penduduk indonesia tinggal di wilayah ini dengan lebar 50 km dari garis pantai. Sampai tahun 2000, terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pantai yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Wilayah perkotaan pantai sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan penerima dampak dari daratan. Hal ini karena letak wilayah pantai yang berada diantara daratan dan lautan, dan adanya keterkaitan serta saling mempengaruhi antara ekosistem daratan dan lautan. Daya dukung dan daya tampung wilayah perkotaan pantai sudah melampaui kapasitasnya, 80% masyarakat perkotaan pantai masih relatif miskin, berpendidikan rendah dan sering termarjinalisasikan (DKP, 2005).
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Pembangunan kawasan perkotaan pantai saat ini, merupakan salah satu penyebab degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang mengakibatkan ketidaksejahteraan masyarakat, khususnya petani dan nelayan". Penataan ruang yang diperuntukan bagi kawasan perkotaan pantai, jika dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan, mempunyai formula sebagai berikut:
a. Ditinjau dari aspek berkelanjutan, penataan ruang = f (X,Y,Z)
Penataan ruang adalah fungsi dari (lingkungan, ekonomi, sosial)
Dimana:
X = Lingkungan, berupa keseimbangan ekosistem
Y= Ekonomi, berupa adanya kesempatan pekerjaan.
Z = Sosial, berupa teratasinya masalah kependudukan.
b. Ditinjau dari aspek kawasan, keberlanjutan = f (P, Q)
Keberlanjutan adalah fungsi dari integrasi penataan ruang (kawasan daratan, pantai)
Dimana:
P= Penataan ruang di kawasan daratan
Q = Penataan ruang di kawasan pantai
Pertanyaan penelitian yang timbul dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan pantai adalah: (i) Mengapa pembangunan di kawasan perkotaan pantai menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial; (ii) Tata ruang perkotaan pantai yang bagaimana, yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dan fokus pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat?.
Tujuan yang dirancang adalah untuk mengantisipasi tantangan dan prospek yang ada di masa mendatang, sebagai berikut: (a) Menemukan kelemahan pembangunan di kawasan perkotaan pantai yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang pada akhirnya menyebabkan ketidak berlanjutan (Lingkungan, Ekonomi & Sosial); (b) Menemukan dan menetapkan prinsip serta kriteria untuk penataan ruang kawasan perkotaan pantai dalam pembangunan berkelanjutan, yang dapat membuat masyarakat strata bawah dapat meningkatkan kesejahteraannya lahir dan batin (well being). Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1: Pembangunan kawasan perkotaan pantai akan berkelanjutan jika mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai. Hipoesis 2: Penataan ruang kawasan perkotaan pantai yang melibatkan partisipasi dan menampung aspirasi masyarakat, akan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teori/konsep yang sudah ada (Exploratory Research) dengan carapre-scriptif. Sedangkan metoda penelitian yang dipilih adalah berupa gabungan antara penelitian metode kualitatif (untuk ranah makna) dan penelitian metode kuantitatif (untuk ranah fakta).
Wilayah penelitian yang diambil adalah: Kecamatan Pulomerak sebagai lokasi yang sudah dikembangkan (Desa Mekarsari, Desa Tamansari, Desa Margasari, dengan jumlah total responden 97 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Kecamatan Bojonegara dipilih untuk lokasi yang akan dikembangkan (Desa Bojonegara, Desa Margagiri, Desa Puloampel, dengan jumlah total responden 95 KK). Adanya pembangunan, merupakan daya tarik internal bagi penduduk pendatang, karena Pulomerak-Bojonegara mempunyai fasilitas pusat jasa, pusat perekonomian and simpul transportasi. Sedangkan daya tekan eksternal adalah berupa kemiskinan dan pengangguran penduduk di luar kawasan. Pembangunan tersebut pada kenyataannya menimbulkan degradasi, baik lingkungan fisik maupun sosial, berupa ketidaksejahteraan penduduk lokal.
Kerangka konsep penelitian ini adalah: Pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana dengan mempertimbangkan aspek penduduk, tata ruang dan sumberdaya alam. Pada kawasan penelitian pembangunan belum berkelanjutan, disebabkan oleh: tekanan jumlah penduduk (asli dan pendatang) yang mempengaruhi ketidakseimbangan daya dukung dan daya tampung; kemudian tata ruang yang ada belum dilaksanakan secara taat asas; sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Melalui studi kepustakaan, dihimpun data tentang pembangunan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah, permasalahan perkotaan pantai dan kemiskinan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Dynamic SWOT ( untuk mengetahui konsep strategi wilayah), analisis kebijakan Analytical Hierarchi Process (AHP). Untuk menganalisis daya dukung dan daya tampung, digunakan interpretasi superimposed data topografi berupa peta Rupabumi digital 1:25.000, melalui program GIS. Sedangkan untuk mengetahui data profil kependudukan diambil uji statistik dengan program Excell. Juga dilakukan observasi mendalam atas aspirasi penduduk tentang kesulitan, keresahan dan harapan hidup. Analisis dan sintesis dari proses penelitian tersebut di atas, diharapkan akan menemukan "Model Tata Ruang di Kawasan Perkotaan Patai dalam Pembangunan Berkelanjutan". Untuk kawasan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah yang akan dikembangkan adalah gabungan antara teori consensus planning, teori pola perkembangan lincar Branch; dan teori pendekatan normatif von thurunen. Pengembangan teori yang dipelajari dari studi kepustakaan di bidang kewilayahan/tata ruang, akan didasarkan pada Ecological Landscape Planning yaotu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu bio-fisik, masyarakat dan ekologi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan perencanaan tata ruang berbasis lansekap ekologi adalah perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung. Teori Lansekap Ekologi menekankan peran dan pengaruh manusia pada struktur dan fungsi lansekap, serta bagaimana jalan keluar untuk merestorasi degredasi lansekap.
Tahapan penelitian dikembangkan dengan melihat beberapa indikator sebagai berikut: hasil indikator degradasi lingkungan, yang terdiri atas data erosi, sedimentasi, pencemaran dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian. Untuk mengetahui besarnya lokasi perubahan penggunaan ruang/lahan, digunakan metoda GIS, yaitu dengan cara analisis superimposed dalam kurun waktu 10 tahun (1992-1997-2002). Kemudian hasil superimposed ini dibandingkan dengan peraturan yang berlaku antara lain acuan pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Berkurangnya lahan alamiah dan bertambahnya lingkungan buatan dari tahun 1992 s/d 2003, memperlihatkan adanya pengawasan pembangunan yan tidak terkendali dan tata ruang yang ada belum memasukkan konsep lingkungan hidup secara utuh, sehingga kepentingan pembangunan ekonomi lebih ditekankan dibanding kepentingan atas perlindungan dan kelestarian alam. Dilihat dari hasil indikator penggunaan ruang dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian, dengan adanya penggunaan ruang secara berlebihan, dan terjadinya konvensi hutan lindung menjadi daerah terbangun. Dilihat dari hasil indikator kemiskinan, yang terdiri dari data indikator kemiskinan, Human Development Index (HDI), Millennium Development Goals (MDGs), Partisipasi masyarakat dan aspirasi ibu rumah tangga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi sosial pada kawasan penelitian. Analisis SWOT yang didasarkan pada loika yang memaksimalkan kekuatan (stength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treats). Untuk mengurangi terjadinya degradasi lingkungan, dan kesenjangan ekonomi-sosial, serta untuk memperkecil ancaman bagi kebijakan tata ruang yang belum mendukung, maka diperlukan penyempurnaan atas kebijakan tata ruang yang ada (strategi W1-T3). Hasil akhir kebijakan publik yang dipilih oleh para pakar melalui model AHP adalah kebijakan penataan ruang dengan pendekatan : ekologi/holistik, daratan & pantai, dengan pelaku masyarakat/ stakeholders, ekosentrisme sebesar 38% (new paradigm), lebih diutamakan dibanding dengan kebijakan ruang dengan pendekatan: mekanistik, daratan & pantai, pelaku pemerintah & industri swasta, biosentrisme sebesar 35% (bussines as usual plus), dan kebijakan penataan ruang dengan pendekatan: mekanistik, bias daratan, pelaku pemerintah, antroposentrisme sebesar 27% (bussines as usual). Perubahan kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan harus secara bertahap.
Kesimpulan penelitian:
a. Kelemahan pembangunan di kawasan Perkotaan Pantai saat ini, yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, karena belum mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai, dan pemerintah belum taat asas dalam perencanaan, pengendalian dan pelaksanaan pembangunannya.
b. Prinsip penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah dengan menggunakan perencanaan tata ruang berbasis Lansekap Ekologi, yaitu perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung.
c. Kriteria penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah berdasarkan keberpihakan pada lingkungan yang pengembangannya menggunakan etika lingkungan ekosentrisme, dengan memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologi, keberpihakan pada ekonomi kemasyarakatan, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditujukkan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat ; keberpihakan pada keadilan sosial.
d. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, perlu disempurnakan karena: () Bias pemerintah (seharunya perpihak pada pemerintah, pengusaha dan masyarakat sebagai kesatuan stakeholders), (ii) Bias kota (seharusnya dengan pendekatan perkotaan dan pedesaan), (iii) Bias daratan (seharusnya dengan pendekatan daratan, lautan dan udara), (iv) Belum menerapkan sanksi bagi pelanggaran pelaksanaan penataan ruang di lapangan.
e. Perencanaan tata ruang yang ada cukup baik sebagai payung normatif, namun untuk rencana detail tata ruang (RDTR) seperti yang digunakan di kota bojonegara perlu disempurnakan, khususnya peruntukan bagi kawasan pantai.
f. Degradasi lingkungan fisik dan sosial yang terjadi, disebabkan aparat pemerintah tidak taat asas dalam melaksanakan tata ruang di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
g. Kemiskinan di kawasan penelitian terjadi karena pemerintah melaksanakan pembangunan ekonomi, lebih berpihak pada pelaku ekonomi (elit pengusaha), dibanding dengan berpihak pada masyarakat umum, termasuk petani dan nelayan.
h. Penetapan kebijakan baru dalam penataan ruang perkotaan pantai: yaitu model proses penataan ruang kawasan perkotaan pantai.
Saran penelitian
a. Perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian "Model Proses Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pantai" sebagai konsep baru, harus disertai dengan tatanan baru pada proses pembuatan kebijakan dan kelembagaan penataan ruang Kebijakan berbasis bottom-up approach akan memperkuat landasan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Sedangkan kelembagaannya dapat dikembangkan BKTRD) Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah), yang secara normatif sebagai perwakilan BKTRN di pusat, namun mempunyai kewenangan otorisasi di daerah.
b. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, tidak sekedar tataran peraturan dan konsep, namun lebih kearah kemauan politik dan budaya. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan untuk penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan, fokus pada pendekatan partisipasi politik (political Participation) dan pendekatan budaya (Cultural Vibrancy)."
2007
D641
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandi Prasetyo
"Salah satu kota di dunia paling berkembang saat ini adalah Jakarta. Dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kota Jakarta diantaranya adalah masalah kebisingan. Masalah kebisingan di kawasan perkotaan menjadi sangat penting karena menyinggung soal kenyamanan penduduknya. Kendaraan bermotor, baik roda dua, tiga, maupun roda empat merupakan sumber utama kebisingan. Tujuan penelitian ini adalah: 1 mengetahui tingkat kebisingan di Kota Jakarta, 2 membuat model penyebaran kebisingan, 3 melakukan kajian mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap hubungan kebisingan dengan pembangunan ruang terbuka hijau dan pengembangan sistem transportasi massal, serta 4 membangun model pengendalian kebisingan kawasan perkotaan dengan pendekatan ruang terbuka hijau dan pengembangan sistem transportasi massal. Berdasarkan perhitungan model penyebaran kebisingan dapat diketahui bahwa wilayah terbising di Kota Jakarta adalah kawasan Semanggi. Melalui perhitungan path analysis diketahui bahwa semakin baik pengetahuan responden, maka semakin tinggi perilaku responden untuk membangun RTH dan mengusulkan kepada pemerintah tentang pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Melalui perhitungan path analysis didapati juga bahwa semakin baik pengetahuan responden, tidak berarti perilaku responden untuk menggunakan kendaraan umum semakin meningkat, malah justru berbanding terbalik. Berdasarkan model pengendalian kebisingan, didapati bahwa dengan menggunakan keempat metode pembangunan RTH, pengembangan transportasi massal, pengendalian jumlah penduduk, dan kebijakan pemerintah tingkat kebisingan diharapkan dapat dikendalikan dan akan menurun. Keterbaharuan dari penelitian ini adalah menyusun konsep yang mengintergrasikan ketiga unsur penataan ruang, transportasi massal, dan pengendalian kebisingan dengan menggunakan model dalam lingkup kajian pengembangan perkotaan yang berkelanjutan.

Jakarta as the capital city of the Republic of Indonesia is a metropolitan region with a population of more than 9.9 million people. One of the environmental impact is the noise problem. Noise problems in urban areas is very necessary because it has direct impact to the convenience of inhabitants. Motor vehicles, both wheeled two, three or four wheels is a major source of noise. This study aims 1 to determine the level of noise in the city of Jakarta, 2 to create a model the propagation of noise, 3 to conduct a study on knowledge, attitudes and behavior towards the relationship of noise with the construction of green open space and the development of mass transit systems, and 4 to build model of noise control in urban areas with the approach of green open space and the development of mass transit systems. From the calculation of noise dispersion modeling can be seen that the most noisy locantion in Jakarta is the Semanggi area. Through path analysis calculations in mind that the better the knowledge of the respondent, the higher the respondent 39 s behavior to build green open space and propose to the government of restricting the use of private vehicles. But from the calculation of path analysis also found that the better the knowledge of the respondent, does not mean the behavior of respondents to use public transport is increasing, instead it is inversely proportional. From the model of noise control, it was found that by using four methods green open space development, the development of mass transportation, population control and government policies the noise level is expected to be controlled and will decline. Novelty of this research is to develop concepts that integrate the three elements the arrangement of space, mass transport and noise control using a model within the scope of the study of sustainable urban development.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taqyuddin
"ABSTRAK
Kajian budaya pertanian masa Jawa kuno abad ke-8 ndash; 11 M yang menggunakan data utama isi prasasti, lokasional candi beserta gambaran reliefnya yang terkait dengan kondisi alam berdasar dimensi temporal dan spatial menunjukkan gambaran rekonstruksi lanskap arkeologi pertanian masa Jawa kuno. Penelitian arkeologi yang memfokuskan mengkaji benda budaya yang terkait dengan pertanian dalam isi prasasti, relief candi, sebaran candi dan lingkungannya yang ada di Jawa bagian tengah hingga Jawa bagian timur, pada bagian-bagiannya menurut waktu dan lokasionalnya menunjukkan keahlian lokal masyarakat Jawa kuno. Analisis arkeologis, analisis keruangan ekologi dapat menunjukkan bukti bahwa berbagai jenis pangan, tradisi pangan, jenis pengolahan tanah, pengolahan bahan pangan, profesi dan pejabat terkait dengan pengelolaan tanah, teknologi atau alat yang disebutkan untuk mendukung budaya pertanian masa lalu yang dipimpin oleh para-raja-raja masa Jawa kuno yang mengukuhkan tata aturan sesuai dengan agama Hindu dan Buddha di berbagai ruang wilayah penelitian dapat dibedakan keistimewaannya. Pelaksanaan budaya pertanian dikaji tidak terlepas dengan kondisi geografis fisiknya sebagai bukti upaya pemanfaatan lanskap alam yang terkait dengan lanskap arekologi pertaniannya. Analisis keruangan dari bukti-bukti tersebut dapat direkonstruksi nilai-nilai budaya masa Jawa kuno dan dijadikan refleksi. Refleksi nilai-nilai budaya tersebut dijadikan rujukan demi keberhasilan budaya pertanian. Nilai-nilai tersebut yaitu bahwa masyarakat Jawa kuno pandai memilih lanskap alam yang memiliki daya dukung lanskap budaya pertanian yang berkelanjutan. Selain itu masyarakat Jawa kuno yang berbekal pengalaman dan pengetahuan adaptasi ekologi di Jawa bagian tengah pada akhirnya peran manusia ikut menentukan perkembangan penerapan teknologi pertanian dan menentukan wilayah pilihan untuk melanjutkan kebudayaannya di Jawa bagian timur. Pengetahuan dan pengalaman menghadapi perubahan ekologis di Jawa bagian tengah yang relatif di dataran sempit berbukit hingga bergunung api, selanjutnya mampu mengekplorasi dan mengeksploitasi tidak hanya dataran luas lereng-lereng vulkanik tetapi hingga dataran rendah, dataran banjir sungai, rawa, pesisir dan laut. Hal ini dapat dijadikan refleksi budaya pada suatu wilayah dalam pengolahan tanah, pengadaan dan penyediaan pangan untuk lebih berkelanjutan.Kata kunci: Lanskap arkeologi pertanian, keruangan, ekologi.

ABSTRACT
The Study of Agriculture in Ancient Java using data from inscription, location of temple along with its candi relief related with natural environment, along with spatial and temporal dimension reconstruct archaeological agriculture in ancient Java era. Archaeological research aim and focus in studying cultural artifact of agriculture contain in inscriptions, candi relief, distribution of location of candi and its surrounding environment in central and east Java, each part described with its specific location and time frame, summarizing the evidence of local agricultural skill in ancient Java people. Archaeological along with spatial analysis such ecology conclude the evidence of various food source, food tradition, type of land cultivation, the food processing, the profession, bureaucracy related to land used, technology and various tools can provide a clear picture of ancient agriculture lead by kings in ancient Java in his terms of compliance to the religious setting and rule of Hinduism and Buddhism in various area in its specific settings. The cultural activity related to Agriculture are not separated with physical geography condition as a proven record of the use of natural landscape with its archeo agricultural landscape. Spatial analysis along with all related evidence can be use to reconstruct many of cultural values of ancient java on which can be reflected to now days needs situation. The value proved that ancient Java people has skill, knowledge, and experience to choose natural landscape that can support alive and sustainable agriculture landscape. On the progress, such expertise including ecological adaptation in central Java are used to choose to flourish the next episode of agriculture era in east Java. The knowledge and experience of challenging the ecological adaptation in central java, especially in narrow flat land to undulated hills and to volcanic mountain setting, are used well in exploring many areas not only hilly volcanic area, but also good use of flood plain, swamp, and coastal area. All of these great skill and experience can be use as cultural reflection in how an area can be used, tilled, and cultivated for a sustainable food security. Key Words Archaeology of Agricultural Landscape, spatial, ecology.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2288
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>