Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salendu, Praevilia Margareth
"Latar belakang : Tidur berguna untuk kesehatan mental, emosi, fisik, dan sistem
imunitas tubuh. Gangguan tidur pada anak semakin menjadi masalah karena akan
berdampak pada mood, perilaku dan intelektual anak. Dilaporkan, insidensi
gangguan tidur pada anak lebih tinggi pada kasus epilepsi.
Tujuan : Mengetahui prevalensi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi, serta
menilai hubungan antara faktor-faktor risiko yang memengaruhinya kejadian
gangguan tidur pada anak dengan epilepsi.
Metode : Studi potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Anak Kiara RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta dengan populasi anak epilepsi usia 4-18 tahun. Penilain
variabel gangguan tidur menggunakan kuesioner sleep disturbance scale for
children (SDSC) terdiri dari 26 pertanyaan yang telah tervalidasi sebelumnya.
Kuesioner akan diisi oleh orang tua mengenai pola tidur anak dalam 6 bulan
terakhir. Pasien yang sebelumnya memiliki gangguan tidur primer seperti
obstructive sleep apnea (OSA), sindrom epilepsi, disabilitas intelektual, attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) akan dieksklusi.
Hasil : Didapatkan 99 subyek dengan karakteristik 22,2% menderita epilepsi
intraktabel, 28,2% serebral palsi dan 64,6% tipe kejang umum. Dari hasil
kuisioner SDSC didapatkan 71,7% anak dengan epilepsi mengalami gangguan
tidur, jenis terbanyak 62% gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Faktor
risiko yang terbukti memengaruhi secara independen kejadian gangguan tidur
pada pasien epilepsi adalah tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
elektroensefalografi (EEG) abnormal, dan obat antiepilepsi (OAE) jenis nonbenzodiazepin.
Kesimpulan : Tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
abnormalitas EEG, dan OAE jenis non-benzodiazepin bermakna secara statistik
independen memengaruhi kejadian gangguan tidur pada epilepsi.

Background : Sleep is affecting mental health, emotional, physical, and immune
system. Sleep disorder in children was increased and became a burden because it
will affect the mood, behaviour and intellectual. Reportedly, the incidence of
sleep disorder is higher in children with epilepsy.
Objective : Knowing the prevalence of sleep disorder in children with epilepsy,
and to assess the risk factors which affecting it.
Methods : A cross-sectional study was conducted at children polyclinic Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta with populations of epilepsy children aged 4-
18 years old. The assessment of sleep disorder using the sleep disturbance scale
for children (SDSC), which consist of 26 questions that had been previously
validated. The questionnaire will be filled out by parents regarding the childs
sleep pattern in the past 6 months. Patients who had primary sleep disorders such
as obstructive sleep apnea (OSA), epilepsy syndrome, intellectual disabilities,
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) will be excluded.
Results : There were 99 subjects, with characteristics are 22.2% had intractable
epilepsy, 28.2% had cerebral palsy and 64.6% generalized seizures. The
prevalence of sleep disorder in child with epilepsy in this study was 71.7%, the
most frequent type was disorder of starting and maintaining sleep. Risk factors
that have been shown to independently affecting the incidence of sleep disorder in
epilepsy patients are generalized seizures, cerebral palsy, intractable epilepsy,
electroencephalography (EEG) abnormality, and non-benzodiazepine type
antiepileptic drugs (AED).
Conclusion : Generalized seizure, cerebral palsy, intractable epilepsy, EEG
abnormality, and non-benzodiazepine type of AED are statistically significant
affecting the incidence of sleep disturbance in epilepsy independently."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imyadelna Ibma Nila Utama
"Latar belakang. Penyakit ginjal kronik-gangguan mineral tulang (PGK-GMT) adalah komplikasi dari penyakit ginjal kronik (PGK) yang dapat meningkatkan risiko gangguan kardiovaskular pada anak. Salah satu kelainan pada PGK-GMT adalah hiperfosfatemia dan gangguan otot skeletal. Sebuah studipada pasien dewasa didapatkan korelasi negatif antara kadar fosfat yang dengan kekuatan genggaman tangan. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai kekuatan genggaman tangan pada anak PGK G3-G5 di Indonesia dan faktor lain yang memengaruhi.
Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kekuatan otot melalui pemeriksaan kekuatan genggaman tangan pada anak PGK G3-G5.
Metode. Penelitian ini merupakan uji potong lintang terhadap 72 anak PGK G3-G5 usia 6-18 tahun diRSCM dan pemilihan anak dilakukan secara consecutive sampling. Variabel yang dianalisis adalah pemeriksaan massa otot, lingkar lengan atas (LILA), serum fosfat, hemoglobin (Hb), neuropati, dan kekuatan genggaman tangan menggunakan dinamometer hidrolik tangan (JAMAR, Japan).
Hasil. Median usia adalah 14 (11-16) tahun dengan lelaki 52/72 (72,2%). Penyebab terbanyak PGKadalah congenital anomalies of the kidney and urinary tract (CAKUT) 30/72 anak (41,7%) yang diikuti dengan glomerulonefritis 18/72 anak (25%). Median massa otot, LILA dan kekuatan genggaman tangan adalah 25,3 (18,7-32,9) kg, 19 (16-22) cm dan 8,65 (7,8-9,3) kg. Rerata kadar Hbdan fosfat adalah 10,45 (±1,72) g/dL dan 5,45 (± 1,92) mg/dL. Prevalens gangguan kekuatan genggaman tangan pada anak PGK G3-G5 adalah 98,6%. Pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara kekuatan genggaman tangan dan kadar fosfat (r= -0,03; p= 0,42). Namun, didapatkan korelasi antara massa otot, LILA, dan kadar Hb terhadap kekuatan genggaman tangan yaitu (r = 0,70; p<0,01), (r = 0,68; p<0,01),dan (r = 0,44; p<0,01). Simpulan. Kekuatan genggaman tangan memiliki korelasi kuat dengan massa otot dan LILA serta memiliki korelasi cukup dengan kadar Hb.

Background. Chronic kidney disease-bone mineral disorders (CKD-BMD) is a complication of chronic kidney disease (CKD) which may increase the risk of cardiovascular disease in children.Hyperphosphatemia and skeletal muscle disorder are one of the abnormalities in CKD-MBD. Study in adult population shows there are negative correlation between phosphate levels and hand grip strength.There has been no study for CKD G3-G5 in pediatric population regarding handgrip strength and other factors that correlate to it.
Aim. To determine the factors that affect muscle strength through hand grip strength examination in children with CKD G3-G5
Methods. This is a cross-sectional study of 72 pediatric CKD G3-G5 aged 6-18 years old in RSCM.The subject was selected by consecutive sampling. The variables that we analyzed are muscle mass,mid-upper arm circumference (MUAC), serum phosphate, Hb, neuropathy, and hand grip strength usinghydraulic hand dynamometer (JAMAR, Japan).
Results. The median age of the subjects was 14 (11-16) years old with 52/72 (72.2%) male. The most common causes of CKD are CAKUT with 30/72 subjects (41.7%) followed by glomerulonephritis with 18/72 subjects (25%). The median muscle mass, MUAC, and handgrip strength are 25,3 (18,7-32,9) kg, 19 (16-22) cm, and 8.65 (7.8-9.3) kg. Mean Hb level and phosphate level are 10.45 (±1.72) g/dL and 5.45 (±1.92) mg/dL. The prevalence of handgrip strength disorders in CKD G3-G5 is 98.6%. In this study, we found no correlation between handgrip strength and phosphate levels (r= -0.03; p= 0.42). However, we found positive correlation between muscle mass, MUAC, and Hb levels with handgrip strength (r= 0,70; p<0,01), (r = 0.68; p<0.01), and (r = 0.44; p<0.01).
Conclusion. There is a correlation between muscle mass, MUAC, and Hb level with handgrip strength in pediatric CKD G3-G5.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuca Zarry
"Latar belakang. Pneumonia masih menjadi penyebab utama kematian anak dan menjadi penyebab anak dirawat inap di negara berkembang. Faktor risiko pneumonia berulang pada anak di negara berkembang sampai saat ini belum diidentifikasi. Penenttuan terapi pada anak dengan pneumonia berulang merupakan tantangan tersendiri sehingga membutuhkan kecermatan dalam anamnesis ke arah faktor risiko dan riwayat penyakit yang mendalam sehingga tata laksana dapat dilakukan secara cepat dan akurat.
Tujuan. Mengetahui faktor- faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia berulang pada anak.
Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada 237 pasien dengan diagnosis pneumonia berusia 6 bulan-18 tahun yang dirawat di RSCM pada tahun 2022. Proporsi pasien anak dengan pneumonia berulang yang dirawat di RSCM adalah 46,4%. Faktor yang terbukti menjadi risiko pneumonia berulang adalah sindrom aspirasi (PR 1,594; IK 95% 1,214-2,092; p=0,001), pajanan asap rokok (PR 1,549; IK 95% 1,158-2,073; p=0,003), dan tidak ASI eksklusif PR 1,390 (IK 95% 1,006- 1,921 p=0,045). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumonia berulang adalah prematuritas, penyakit jantung bawaan, riwayat penyakit alergi, tinggal di kawasan padat pemukiman penduduk, konsumsi obat anti epilepsi, imunodefisiensi, obesitas, dan status imunisasi.
Kesimpulan. Proporsi pasien anak dengan pneumonia berulang yang dirawat di RSCM adalah 46,4%. Faktor yang menjadi risiko pneumonia berulang adalah sindrom aspirasi, pajanan asap rokok, dan tidak ASI eksklusif.

Background. Pneumonia is the leading cause of childhood mortality and the most common reason for hospitalization among children living in developing countries. The risk factors for recurrent pneumonia in children in developing countries remain poorly understood. The treatment of children with recurrent pneumonia remains challenging, and therefore accuracy in history taking in the evaluation of risk factors and disease history is warranted to ensure quick and accurate treatment.
Objectives. This study aims to determine the risk factors of recurrent pneumonia in children.
Methods. This cross-sectional study included 237 children between ages 6 months and 18 years old treated in RSCM for pneumonia during the year 2022. This study showed that 46.4% of children in RSCM with pneumonia had a recurrency. Risk factors that were found to be associated with recurrent pneumonia were aspiration syndrome (PR 1.594; IK 95% 1.214-2.092; p=0.001), smoke exposure (PR 1.594; 95% CI 1.158-2.073; p=0.003), and absence of exclusive breastfeeding PR 1.390 (IK 95% 1.006-1.921 p=0.045). Meanwhile prematurity, congenital heart disease, history of allergic diseases, overcrowding, anti-epileptic drug consumption, immunodeficiency, obesity, and incomplete immunization were not found to be associated with recurrent pneumonia.
Results. This study showed that 46.4% of children in RSCM with pneumonia had a recurrency. The most detected risk factors for recurrent pneumonia were aspiration syndrome, smoke exposure, and not given exclusive breastfeeding.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Rafli
"Latar belakang: Saat ini, diet ketogenik menjadi salah satu penanganan epilepsi yang sulit terkontrol dengan obat anti-epilepsi (intraktabel) pada anak dan sudah mulai diterapkan di seluruh dunia.Diet ketogenik Modified Atkins Diet (MAD) adalah jenis diet ketogenik yang lebih tidak restriktif dengan prinsip yang sama dengan diet ketogenik yang klasik.Penelitian mengenai penggunaan diet ketogenik MAD pada anak dengan epilepsi intraktabel juga masih belum ada di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh, efek samping, toleransi, tingkat kepatuhan, menu makanan diet ketogenik MAD yang mudah diterapkan pada anak dengan epilepsi intraktabel yang dipantau dalam waktu 6 bulan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian awal dengan uji klinis pre dan post treatment pada populasi anak dengan epilepsi intraktabel yang berobat ke Poliklinik Neurologi dan Nutrisi Penyakit Metabolik Anak Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2021 hingga Juni 2022. Hasil penelitian: Sebanyak 31 subyek penelitian memenuhi kriteria inklusi. Subyek yang menjalani diet ketogenik MAD pada bulan pertama 31 subyek (100%), bulan ke-3 13 subyek (41,9%), dan bulan ke-6 adalah 9 subyek (29%). Pengaruh diet ketogenik MAD terhadap median pengurangan frekuensi kejang pada bulan pertama 50%, p=0,144; bulan ketiga 62%, p=0,221; dan bulan keenam 83,3%, p=0,028. Efek samping diet ketogenik MAD yang paling sering adalah muntah dan diare. Tingkat ketidakpatuhan diet ketogenik MAD ditemukan pada 18 subyek (58,1%). Buku contoh menu diet ketogenik MAD untuk anak epilepsi intraktabel di Indonesia dibuat untuk memudahkan orangtua dalam menjalankan diet ketogenik. Simpulan: Pengaruh diet ketogenik MAD pada anak dengan epilepsi intraktabel yang ditunjukkan dengan penurunan frekuensi kejang (median) secara klinis pada bulan ke-1,3,6 dan bermakna secara statistik pada bulan ke-6. Penelitian dengan metode uji acak ganda tersamar dan jumlah sampel penelitian yang lebih besar, multisenter, waktu lebih lama serta menu diet ketogenik MAD khas Indonesia yang mudah diterapkan dan murah diperlukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik. Kata kunci: epilepsi, diet, ketogenik, modified atkins

Background: At present, ketogenic diet has been explored as a potential treatment approach for intractable epilepsy (difficult to control with anti-epileptic drugs) in children, and is applied in various parts of the world. The Modified Atkins Diet (MAD) is a less restrictive type of ketogenic diet, while still maintaining the same principles as the classic ketogenic diet. However, no existing studies have been performed to evaluate the use of the MAD ketogenic diet in children with intractable epilepsy in Indonesia. This study aims to assess the influence, side effects, tolerance, degree of adherence, and menu of MAD ketogenic diet food that can be easily applied to children with intractable epilepsy during a 6-months monitoring period. Methods: This is a pilot pre- and post-treatment clinical trial involving children with intractable epilepsy treated at the Pediatric Neurology and Nutrition & Metabolic Diseases Outpatient Clinics at the Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta treated between November 2021 and June 2022. Results: A total of 31 subjects met the inclusion criteria. There were 31 subjects receiving the MAD ketogenic diet in the first month (100%), followed by 13 subjects in the third month (41.9%), and 9 subjects in the sixth month (29%). The effect of ketogenic diet in reducing the frequency of seizures was 50% in the first month (p=0.144), 62% in the third month (p=0.221), and 83.3% in the sixth month 83.3% (p=0.028). The most frequent side effects of the MAD ketogenic diet were vomiting and diarrhea. Non-compliance to the MAD ketogenic diet was observed in 18 (58.1%) of subjects. A sample book of food menu complying to the MAD ketogenic diet for intractable epilepsy based on Indonesian delicacies was also created to ease parents to comply to the diet. Conclusions: Effect of the MAD ketogenic diet in children with intractable epilepsy was clinically observed as a decrease in the median frequency of seizures in the first, third, sixth month of the diet and statistically significant in the sixth month. Further multicenter double-randomized trials with larger sample size, longer observation period and the MAD ketogenic diet with indonesian menu (cheap and applicable) are also warranted to obtain more rigorous research results. Keywords: epilepsy, diet, ketogenic, modified atkins"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isti Ansharina Kathin
"Pada penyakit jantung bawaan (PJB) non-sianotik pirau kiri ke kanan dapat terjadi aliran yang berlebihan ke jantung kanan sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonalis, yang disebut dengan hipertensi pulmonal (HP). Kondisi ini menyumbang angka kematian dan kesakitan pada PJB. Untuk mendeteksi adanya HP perlu pemeriksaan invasif yaitu kateterisasi jantung. Pemeriksaan yang lebih mudah dan murah diperlukan untuk mendeteksi HP, salah satunya yang sedang dikembangkan adalah biomarker jantung troponin I. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, kadar troponin I, dan perbedaan kadar troponin I pada pasien PJB non-sianotik dengan dan tanpa HP sekunder di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM). Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang analitik terhadap 56 pasien sepanjang Juni-November 2021. Data diambil secara consecutive sampling. Tiga jenis PJB non-sianotik dengan HP terbanyak adalah atrial septal defect (ASD) soliter, ventricular septal defect (VSD) soliter, dan VSD-patent ductus arteriosus (PDA). Status gizi terbanyak adalah gizi buruk. Komorbiditas terbanyak adalah sindrom Down. Median kadar troponin I pada pasien dengan PJB non-sianotik adalah 4,55 pg/mL, dengan perbedaan bermakna pada median kelompok HP adalah 5,6 pg/mL, dan kelompok non-HP adalah 2,6 pg/mL (p<0,05).

In left to right shunt acyanotic congenital heart disease (CHD), can occur excessive flow to right heart resulting in increase in pulmonary arterial pressure called pulmonary hypertension (PH). This contributed to morbidity and mortality in CHD. To detect the presence of PH requires cardiac catheterization, an invasive examination. An easier and cheaper examination is needed to detect PH. One of which was being developed is a cardiac biomarker of troponin I. This study aimed to determine patient characteristics, troponin I levels, and differences in troponin I levels in acyanotic CHD patients with and without secondary PH at Ciptomangunkusumo Hospital (RSCM). This study was a cross-sectional analytic study of 56 patients during June-November 2021. Data were taken by consecutive sampling. The most common types of acyanotic CHD with PH were solitary atrial septal defect (ASD), solitary ventricular septal defect (VSD), and VSD-patent ductus arteriosus (PDA). The most nutritional status was severe malnutrition. The median troponin I level in patients with acyanotic CHD was 4.55 pg/mL, with a significant difference in the median HP group was 5.6 pg/mL, while the non-PH group was 2.6 pg/mL (p<0.05)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Nurcahaya
"Latar belakang: Epilepsi merupakan satu dari penyakit neurologi yang sering menyebabkan disabilitas dan kematian. Prediktor terbaik menentukan remisi epilepsi adalah respons awal terhadap OAE. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi respons awal terapi diantaranya etiologi epilepsi, jumlah kejang sebelum pengobatan, bentuk bangkitan kejang, status neurologi, usia awitan dan gambaran elektroensefalografi.
Tujuan: Mengetahui respons awal dan faktor-faktor yang mempengaruhi respons awal OAE monoterapi pada pasien epilepsi baru pertama kali di RSCM
Metode penelitian: Penelitian merupakan penelitian kohort prospektif pada 92 anak berusia < 17 tahun dengan melihat respons awal OAE monoterapi pada anak penderita epilepsi baru selama 3 bulan yang berobat ke poliklinik rawat jalan RSUP dr Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2017 sampai Agustus 2017. Faktor-faktor risiko etiologi epilepsi, jumlah kejang sebelum pengobatan, bentuk bangkitan kejang, status neurologi, usia awitan dan gambaran elektroensefalografi dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian: Terdapat 92 pasien epilepsi baru yang memenuhi kriteria penelitian. Insidens epilepsi baru pada penelitian ini adalah 21,9 . Pasien epilepsi baru yang mendapat OAE monoterapi sebagian besar berumur ge; 1 tahun, awitan kejang ge; 1 tahun, etiologi struktural, jumlah kejang sebelum pengobatan ge; 10 kali, mempunyai kelainan neurologi, bangkitan kejang umum dan gambaran normal pada pemeriksaan EEG. Respons awal yang baik pada penderita epilepsi baru terhadap OAE monoterapi adalah sebesar 77,2 dalam 3 bulan pengobatan. Faktor yang memengaruhi respons awal baik dalam 3 bulan OAE monoterapi setelah analisis multivariat jumlah kejang dan gambaran EEG.
Simpulan: Sebagian besar pasien epilepsi menunjukkan respons awal baik terhadap obat antiepilepsi monoterapi. Faktor yang berperan terhadap respons awal terapi OAE monoterapi adalah jumlah kejang dan gambaran EEG

Background: Epilepsy is one of neurological disorder that cause disability and death. Initial response to antiepileptic drugs AEDs is the best predictive indicator to determine remission of epilepsy. Factors that influence the initial response are the etiology of epilepsy, pre treatment frequency of seizures, type of seizures, neurological deficits, age of onset, and electroencephalography EEG findings.
Objectives: To investigate the initial response and influence factors of the initial response in monotherapy antiepileptic drug in patients with newly diagnosed epilepsy.
Method: Cohort prospective study was conducted in neurology outpatient clinic Cipto Mangunkusumo hospitals RSCM between January to August 2017 on newly diagnosed pediatric epilepsy. Response of AED monotherapy was observed after three months of treatment. The risk factors were analyzed by bivariate and multivariate statistical analysis.
Results: There were 92 subjects that fulfilled the criteria. The incidence of newly diagnosed epilepsy children at RSCM was 21.9. The age of subjects who take monotherapy AED were commonly ge 1 year old, onset of the first seizure ge 1 year, with structural as the etiology, already have more than 10 times seizure before initial treatment begin, neurological deficit and normal EEG findings. Of 77.2 subjects have a good initial response to monotherapy AED. Multivariate analysis showed that frequency of seizures and electroencephalography EEG findings were the risk factors of the initial response to monotherapy AED in newly diagnosed epilepsy patient.
Conclusion: Most of the subject have a good initial response to monotherapy AED. The influence factors of the initial response are frequency of seizures and EEG findings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Akbariyyah
"Latar belakang: Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulopati yang tersering ditemukan pada anak. SNRS sering mengalami penurunan fungsi ginjal dan dalam perjalanan penyakitnya dapat mengalami gagal ginjal tahap terminal. Data mengenai kesintasan dan faktor-faktor yang memengaruhi penurunan fungsi ginjal pada SNRS anak di Indonesia masih terbatas.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesintasan fungsi ginjal dalam lima tahun pertama pengobatan serta faktor-faktor yang memengaruhi
Metode: Penelitian ini merupakan studi prognostik dengan rancangan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis pasien yang terdiagnosis dengan SNRS pada bulan Januari 2012 hingga Desember 2022. Subjek yang diteliti adalah anak berusia 1 - 18 tahun saat terdiagnosis dengan SNRS. Faktor yang diteliti untuk kesintasan dan faktor penurunan fungsi ginjal adalah usia awitan, hematuria saat awitan, hipertensi saat awitan, respon terhadap terapi imunosupresi, jenis histopatologi, dan fungsi ginjal saat awitan.
Hasil: Sebanyak 212 anak terdiagnosis sindrom nefrotik resisten steroid dengan median usia 7 tahun (IQR 3-12 tahun), dan 65,1% berjenis kelamin laki-laki. Jenis histopatologi yang ditemukan terbanyak yaitu GSFS sebesar 57%. Sebanyak 51,9% mengalami hipertensi saat awitan nefrotik, dan pada 32,7% pasien ditemukan hematuria saat awitan nefrotik. Proporsi fungsi ginjal saat awitan yaitu masing-masing 68.9%, 12.7%, 5.7%, 4.7%, 4.2%, dan 3.8% pada kategori fungsi ginjal G1, G2, G3a, G3b, G4, dan G5. Secara umum pasien mengalami tren penurunan fungsi ginjal selama periode pemantauan, dengan kesintasan ginjal sebanyak 53,3% pada tahun pertama pemantauan, 47,2% di tahun kedua, 43,9% di tahun ketiga, 41,5% di tahun keempat, dan 40,6% di tahun kelima. Uji regresi Cox menemukan bahwa usia awitan di atas 6 tahun (HR 1,638; IK95% 1,132 – 2,370; p=0,009), hematuria saat awitan (HR 1,650; IK95% 1,135 – 2,400; p<0,009), dan respon buruk terhadap terapi imunosupresi (HR 1,463; IK95% 1,009 – 2,120; p=0,045) merupakan prediktor penurunan fungsi ginjal.
Kesimpulan: Usia awitan di atas 6 tahun, hematuria awitan, dan respon buruk terhadap terapi imunosupresi merupakan prediktor penurunan fungsi ginjal pada anak dengan SNRS.

Background: Nephrotic syndrome is the most common manifestation of glomerulopathy in children. SNRS often has decreased kidney function and during the course of the disease may develop end stage renal disease. However, data on survival kidney function and prognostic factors are still lacking.
Objective: This study aimed to evaluate the first five year survival rate and prognostic factors of outcome.
Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital which included patients aged 1 to 18 years at diagnosis from Januari 2012 to December 2022. Subjects were followed for 1 to 5 years up to December 2023. Factors analyzed for renal function decline were age at onset, hematuria and hypertension at onset, response to immunosuppression therapy, type of histopathology and renal function at onset. Results: A total of 212 patients with SNRS were included with median age of 7 (IQR 3- 12 years) and 65.1% were male patients. The majority of histopathology type was GSFS (57%). 51,9% had hypertension at SNRS onset, and 32,7% hematuria was found at the onset of SNRS. The proportion of kidney function at onset was 68.9%, 12.7%, 5.7%, 4.7%, 4.2%, and 3.8% in the G1, G2, G3a, G3b, G4, and G5 kidney function categories, respectively. In general, patients experienced a trend of decreasing kidney function during the monitoring period, with renal survival 53,3% in the first year monitoring, 47,2% in the second year, 43,9% in the third year, 41,5% in the fourth year, and 40,6% in the fifth year. Cox regression analysis found that age of onset over 6 years (HR 1.638; 95%CI 1.132 – 2.370; p=0.009), hematuria at onset (HR 1,650; IK95% 1,135 – 2,400; p<0,009), and bad response to immunosuppressive therapy (HR 1,463; IK95% 1,009 – 2,120; p=0,045) were predictors of decreased kidney function.
Conclusion: Age of 6 years or older at onset, onset hematuria, and bad response to immunosuppressive therapy were independent predictors of worsening kidney function in children with SRNS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ririhena, Jackquline Ruth Annet
"

Latar belakang : Deteksi dini keterlambatan perkembangan anak merupakan hal yang penting untuk membangun anak Indonesia yang cerdas dan berkualitas. Ages and Stages Questionnaires-Third Edition (ASQ-3) merupakan kuesioner berdasarkan laporan orangtua atau pengasuh untuk mendeteksi keterlambatan perkembangan anak usia 1 bulan sampai 66 bulan yang terstandarisasi dan mudah digunakan diseluruh dunia, namun belum pernah dilakukan uji kesahihan dan keandalan terhadap kuesioner ini dalam Bahasa Indonesia. Tujuan : Mengetahui kesahihan interna dan keandalan kuesioner ASQ-3 bahasa Indonesia sebagai alat penapisan keterlambatan perkembangan anak usia 42-48-54-60 bulan Metode : Penelitian potong lintang uji kesahihan interna dan keandalan kuesioner ASQ3 kelompok umur 42 bulan, 48 bulan, 54 bulan, dan 60 bulan, dilakukan pada orangtua yang memiliki anak usia 42-48-54-60 bulan baik yang sehat maupun berisiko keterlambatan perkembangan, di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Penelitian dibagi 2 tahap. Tahap pertama merupakan tahapan adaptasi transkultural kuesioner ASQ-3 dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Tahap kedua merupakan uji kesahihan dan keandalan kuesioner ASQ-3 bahasa Indonesia, 35 anak setiap kelompok umur, menggunakan metode cluster sampling. Uji kesahihan konstruksi dianalisis menggunakan Pearson Correlation (cut off rho (r) ≥ 0.3).. Uji keandalan dinilai uji konsistensi internal yang dianalisis dengan menggunakan Alpha Cronbach’s coefficient (minimum cut off ≥ 0.6). Universitas Indonesia Hasil : Keandalan kuesioner ASQ-3 bahasa Indonesia pada keempat kelompok umur menunjukkan keandalan baik hingga sangat baik (0,60 – 0,80). Untuk korelasi tiap butir pertanyaan per-domain umumnya menunjukkan kesahihan baik pada kuesioner ASQ-3 usia 48-54 bulan dan tidak sahih pada kuesioner ASQ-3 usia 42 bulan (terdapat 3 bulir) dan usia 60 bulan (terdapat 1 bulir) Kesimpulan : Kuesioner ASQ-3 usia 48-54 bulan dalam bahasa Indonesia terbukti sahih dan andal dipergunakan. Kuesioner ASQ-3 usia 42 dan 60 bulan dalam bahasa Indonesia tidak sahih untuk domain komunikasi, tetapi sahih untuk domain lain, dan andal untuk digunakan sebagai alat deteksi dini keterlambatan perkembangan anak

Kata kunci : Uji kesahihan interna, uji keandalan, kuesioner ASQ-3 dalam bahasa Indonesia, uji tapis perkembangan anak, keterlambatan perkembangan.


Background: Early detection of development delayed is essential, Ages and Stages Questionnaires-Third Edition (ASQ-3) is a parent completed questionnaire, a comprehensive developmental screening tool in 42-48-54-60 months old. The problem is ASQ-3 has never been a validity and reliability test in Indonesian language. Aim: provide the internal validity and reliability of the Indonesian ASQ-3 questionnaires as a screening tool for identification developmental delayed in 42-48-54-60 months old children. Methods: Cross-sectional study of internal validity test and reliability of ASQ-3 questionnaires in the age group of 42-48-54-60 months, either healthy or high risk for developmental delays, in Kampung Melayu and Cipinang Muara, East Jakarta. The study is divided into 2 phases (transcultural adaptation phase and validity-reliability test of Indonesian ASQ-3 questionnaires), with 35 children in each age group by consecutive sampling methods. The internal validity test was analyzed using Pearson Correlation (cut off rho (r) ≥ 0.3). Reliability tests were analyzed using Alpha Cronbach coefficient (minimum cut off ≥ 0.6). Results: The reliability of the four age groups of the Indonesian ASQ-3 questionnaires showed good reliability (0,60 – 0,80). The correlation of each item per-domain questions generally showed validity both on ASQ-3 questionnaire aged 48-54 months and invalid on ASQ-3 questionnaire aged 42 months (3 questions) and 60 months (1 question) Universitas Indonesia Conclusion: ASQ-3 questionnaire aged 48-54 months in Indonesian valid and reliably used. ASQ-3 questionnaire aged 42-60 months in Indonesian is not valid for communication domain but valid for other domain and reliable the early detection tool for delays in child development

Keywords : Internal validity, reliability, Indonesian ASQ-3 questionnaires, developmental screening, developmental delay.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Soebadi
"Developmental coordination disorder DCD merupakan gangguan koordinasi motorik yang mengganggu prestasi akademik dan kegiatan olahraga. Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai diagnostik neurological soft signs NSS dalam mendiagnosis DCD. Subjek terdiri atas 86 anak usia sekolah dasar suspek DCD dan 20 subjek kontrol. Semua subjek menjalani pemeriksaan fisis dan neurologis, anamnesis riwayat perkembangan, prestasi akademik, kesulitan menulis atau olahraga, screen time, dan aktivitas fisis, pemeriksaan antropometri, pemeriksaan NSS, serta pemeriksaan baku Bruininks-Oseretsky Test 2 Short Form BOT-2 SF . Subjek dengan skor BOT-2 SF below average dan well below average didiagnosis DCD. Median usia subjek 10,05 rentang 6,3 sampai 12,5 tahun; 67 adalah lelaki. DCD ditemukan pada 28,3 subjek. Sebanyak 67 subjek memiliki ge;1 NSS positif dan 41,5 memiliki ge;2 positif. NSS berhubungan bermakna dengan DCD apabila ge;2 positif p=0,047 . Nilai cut-off NSS optimal adalah ge;2 positif, dengan sensitivitas 57 dan spesifisitas 64 [area under the curve 0,639 IK95 0,512-0,767 ; p=0,026]. Dengan nilai cut-off ge;4, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 16,7 dan spesifisitas 99 . Pada 20 subjek DCD didapatkan komorbiditas neurodevelopmental lainnya. Sebagai simpulan, pemeriksaan NSS pada DCD merupakan pemeriksaan yang spesifik namun kurang sensitif. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk karakterisasi NSS pada komorbiditas yang dapat menyertai DCD.

Developmental coordination disorder DCD is a disorder of motor coordination impairing academic and sports performance. We aimed to determine the value of neurological soft signs NSS in diagnosing DCD. Subjects were 86 DCD suspected elementary school children and 20 controls. All underwent physical and neurological examination, interview on developmental and academic history, difficulties in writing or sports, screen time, and physical activity, anthropometric measurement, NSS examination, and the standardized Bruininks Oseretsky Test 2 Short Form BOT 2 SF . Below average and well below average BOT 2 SF scores were classified as DCD. Subjects rsquo median age was 10.05 range 6.3 to 12.5 years 67 were male. DCD was found in 28.3 of subjects. Sixty seven percent and 41.5 of subjects had ge 1 and ge 2 positive NSS, respectively. More than 2 positive NSS was significantly associated with DCD p 0.047 . The optimal NSS cut off value was ge 2 sensitivity 57 specificity 64 area under the curve 0.639 95 CI 0.512 0.767 p 0.026 . Using a cut off value of ge 4, NSS had a sensitivity and specificity of 16.7 and 99 , respectively. Neurodevelopmental comorbidities were found in 20 of DCD subjects. In conclusion, NSS is a specific, but less sensitive, diagnostic test for DCD. Further studies are needed to characterize NSS in comorbid conditions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Danu Tri Subroto
"Latar Belakang: Angka prevalensi GSA semakin meningkat dan kekhawatiran orang tua tentang kondisi anaknya, mendorong dilakukannya skrining deteksi dini GSA. Beberapa tanda untuk deteksi dini GSA yaitu 1) respon terhadap godaan, 2) respon ketika dipanggil dan 3) respon terhadap penghambatan. Terdapat tanda lain yang dapat digunakan sebagai deteksi dini GSA, yaitu respon colek. Tujuan: Mengetahui seberapa besar nilai diagnostik respon colek dalam mendeteksi GSA pada anak usia 18 bulan - 4 tahun dengan keterlambatan bicara. Metode:Studi potong lintang dilakukan terhadap subyek berusia 18 bulan - 4 tahun dengan keterlambatan bicara. Pada subyek diberikan rangsangan colek, godaan saat bermain, dipanggil namanya saat bermain dan penghambatan saat bermain (dengan tangan) kemudian dinilai respon subyek terhadap pemberi respon. Subyek kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok, GSA dan bukan GSA berdasarkan kriteria DSM-5. Hasil:Dibandingkan ketiga respon lain, respon colek memiliki spesifitas paling tinggi (93%) dengan sensitivitas 75% dalam mendeteksi GSA. Bila ke 4 pemeriksaan uji diagnostik digabungkan, dengan hasil tes negatif menandakan tidak adanya respon terhadap pemeriksaan, maka akan didapatkan nilai spesifisitas sangat tinggi (100%) dengan sensitivitas 42%. Simpulan: Dibandingkan ketiga pemeriksaan yang sudah ada, respon colek memiliki spesifisitas paling tinggi dalam menyingkirkan GSA pada anak dengan keterlambatan bicara.
Background: ASD prevalence are increasing and parents' concerns about their child's condition, encourage early detection by screening of ASD. Several signs for early detection of ASD: 1) teasing response, 2) calling response, 3) blocking response. There are other signs can be used as early detection of ASD, which is a poke response. Objective:To know the diagnostic value of poke response in detecting ASD in children aged 18 months - 4 years with speech delay. Methods:A cross-sectional study was conducted on subjects aged 18 months - 4 years with speech delay. The subjects given poke stimulation, teasing when playing, called by name and inhibition when playing then assessed the subject's responses. The subjects were grouped into 2 groups, ASD and not ASD based on DSM-5. Results:Compared to the other 3 responses, poke response had the highest specificity (93%) with 75% sensitivity in detecting ASD. If all 4 diagnostic test examinations are combined, with a negative test result indicating no response to the examination, a very high specificity (100%) with a sensitivity of 42% will be obtained. Conclusion:Compared the others, the poke response has the highest specificity to rule out ASD in children with speech delay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>