Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vincent Wiguna
"ABSTRAK
Sejak awal berdirinya, Indonesia sering diasosiasikan sebagai pemimpin di institusi kawasan Asia Tenggara, The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Berakhirnya Perang Dingin membuat peran yang dilakukan Indonesia semakin beragam. Tulisan ini akan melihat posisi Indonesia dan kondisi lingkungan yang mendorong Indonesia dalam menjalankan peran di ASEAN. Secara kronologis, tulisan ini akan melihat peran Indonesia di ASEAN pada masa Orde Baru pasca Perang Dingin, peran Indonesia di ASEAN pada masa krisis ekonomi Asia 1997, dan peran Indonesia di ASEAN pada masa pasca krisis ekonomi 1997. Tinjauan pustaka ini berusaha untuk menunjukkan konsensus, perdebatan, dan kesenjangan akademis dalam topik ini. Dari pemetaan literatur yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada masa Orde Baru pasca Perang Dingin, Indonesia tetap mampu menginisiasi kerja sama di ASEAN walaupun signifikansi ASEAN sempat dipertanyakan. Pada masa krisis ekonomi Asia 1997, krisis ekonomi, kebakaran hutan, dan instabilitas politik di Indonesia menjadi sumber masalah di ASEAN. Krisis tersebut membuat Indonesia berperan pasif di ASEAN. Pasca krisis, Indonesia kembali menunjukkan kepemimpinannya dengan menginisiasi Komunitas ASEAN maupun memediasi konflik di kawasan, salah satunya adalah kasus Preah Vihear. Namun pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia dinilai tidak lagi memprioritaskan ASEAN dalam kebijakan luar negerinya. Indonesia berfokus pada urusan dalam negeri dan mencoba berperan lebih di tingkat internasional. Secara umum, peran Indonesia di ASEAN didominasi di sektor keamanan dan politik. Kajian literatur menunjukkan bahwa kepentingan, kepemimpinan, dan dinamika politik internal dan internasional memengaruhi peran yang dilakukan Indonesia di ASEAN.

ABSTRACT
Since its inception, Indonesia has often been associated as a leader in the institution of the Southeast Asian region, The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). The end of the Cold War made Indonesia's role more diverse. This paper will look at Indonesia's position and environmental conditions that are driving Indonesia to play a role in ASEAN. Chronologically, this paper will look at Indonesia's role in ASEAN during the post-Cold War New Order, Indonesia's role in ASEAN during the 1997 Asian economic crisis, and Indonesia's role in ASEAN in the post-1997 economic crisis period. This literature review seeks to show consensus, debate, and academic gaps in this topic. From the literature mapping conducted, it can be concluded that in the post-Cold War New Order era, Indonesia was still able to initiate cooperation in ASEAN even though the significance of ASEAN was questioned. During the 1997 Asian economic crisis, the economic crisis, forest fires and political instability in Indonesia were a source of problems in ASEAN. The crisis made Indonesia a passive role in ASEAN. After the crisis, Indonesia again showed its leadership by initiating the ASEAN Community and mediating conflicts in the region, one of which was the Preah Vihear dispute. But in the first period of President Joko Widodo's administration, Indonesia was considered to no longer prioritize ASEAN in its foreign policy. Indonesia focuses on domestic affairs and tries to play a greater role at the international level. In general, Indonesia's role in ASEAN is dominated in the security and political sectors. The literature study shows that the interests, leadership, and dynamics of internal and international politics influence the role of Indonesia in ASEAN."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Nugroho
"ABSTRAK
Dibalik banyaknya kajian displin ilmu Hubungan Internasional yang meneliti tentang respon negara dalam menanggapi kejahatan transnasional, masih cukup sedikit kajian yang berfokus pada respon negara dalam menghadapi cybercrime. Hal ini dikarenakan, kasus-kasus cybercrime hanya dianggap sebagai sebuah kasus dalam ranah teknologi saja. Situasi ini menarik perhatian penulis untuk membuat penelitian dengan menganalisis bagaimana upaya kerjasama ASEAN dalam menanggulangi kejahatan yang terjadi di ruang cyber cybercrime . Dalam penelitian ini digambarkan bahwa kasus cybercrime dapat memberikan implikasi terhadap hubungan antar negara, karena sifat kejahatan tersebut yang borderless lintas batas negara dan karakter ancaman yang dikategorikan sebagai keamanan non tradisional. Dengan menggunakan konsep kerjasama internasional yang dikemukakan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye serta metode pengolahan data secara kualitatif terhadap gejala-gejala latar belakang sosial yang muncul pada kasus cybercrime, tulisan ini hendak menggambarkan tujuan dari dilakukannya suatu kerjasama internasional oleh negara-negara anggota ASEAN dalam penanggulangan cybercrime. Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa upaya ASEAN untuk menanggulangi cybercrime telah dituangkan dalam deklarasi ASEAN yaitu The 3rd Joint Communiqu AMMTC pada 11 Oktober 2004 di Singapura. Selain itu, para pemimpin ASEAN memandang bahwa cybercrime merupakan ancaman besar bagi stabilitas keamanan kawasan, serta ekonomi dan politik. Komponen kerjasama keamanan ASEAN telah dikokohkan dalam ASEAN Regional Forum ARF . Namun kerjasama ARF tersebut dinilai belum efektif karena adanya kelemahan-kelemahan dalam proses pengambilan keputusan sehingga belum mampu mengatasi perbedaan pendapat yang cukup mendasar dalam merumuskan strategi yang diperlukan khususnya untuk memerangi cybercrime. Walaupun masih terdapat kelemahan dalam penanggulangan cybercrime di ASEAN, namun kondisi tersebut dapat diminimalir dengan adanya kerjasama seperti pertukaran informasi intelijen terhadap pelaku potensial cyber melalui sistem electronic-ASEANAPOL Database System e-ADS , harmonisasi hukum yang mengatur keamanan di ruang cyber,serta pelatihan bersama para penyidik dan penegak hukum dalam hal investigasi dan penyidikan digital forensik.

ABSTRACT
Despite the vast research of International Relations disciplines that examines the state s response toward transnational crime, it is still quite a bit of study which focuses on the state s response face to cybercrime. This is because, many researches study cybercrime cases from the point of view of technology. This condition attracted the attention of writers to make a research by analyzing how the efforts made by ASEAN cooperation to combat crimes in the cyber space cybercrime . This research describes that cybercrime cases may have implications to influence a relation between nation states, due to the fact that cybercrime has borderless nature and the character of the threat which is categorized as a non traditional security. Therefore, by using the concept of international cooperation by Robert Keohane and Joseph Nye and conducting a qualitative data processing methods for symptoms of social background that appears in cybercrime cases, this research aims to describe the purpose of the international cooperation performed by ASEAN member countries in combating cybercrime. The result of this study found that ASEAN s efforts to combat cybercrime has been validated by a declaration in the 3rd ASEAN joint communiqu AMMTC on October 11th, 2004 in Singapore. In addition, ASEAN leaders consider cybercrime as major threat to the regional security and stability, as well as economic and political. ASEAN security cooperation has been affirmed in the ASEAN Regional Forum ARF . However, the ARF cooperation is considered ineffective because it still shows a weakness in the decision making process that has not been able to overcome disagreements which are fairly fundamental in formulating the strategies needed to combat cybercrime. Although, there are still weaknesses in the ASEAN cooperation to combat cybercrime, but, such condition can be mitigated by a cooperation such as the exchange of intelligence information on potential cyber offenders through an integrated system named electronic ASEANAPOL Database System e ADS , the harmonization of law governing security in cyber space, as well as the integrated activity of people capacity building for investigators and law enforcement in terms of investigations and digital forensic investigation."
2016
T46974
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andana Rheza Kusandiarto
"Tulisan ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang menjadi latar belakang keputusan Rusia untuk melakukan intervensi militer ke Suriah. Tindakan ini merupakan pertama kalinya intervensi militer dilakukan oleh Rusia, di luar kawasan yang merupakan pecahan negara-negara Uni Soviet. Secara garis besar, tulisan ini membagi faktor yang mempengaruhi keputusan Rusia untuk mengerahkan militernya ke Suriah, dalam dua kategori; yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup kepentingan ekonomi, militer, dan prestis. Sementara itu, faktor eksternal meliputi perang melawan terorisme dan kepentingan geopolitik.

This paper aims to understand the factors which caused Russia's decision to engage a large-scale military operation in Syria. It was the first time Russian military intervened outside the post-Soviet territory. This paper will provide the explanatory factors in two categories; internal and external. Internal factors including military, economic, and prestige interest. External factors including war on terror and geopolitical interest.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lucky Nurhadiyanto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai politik luar negeri Venezuela terhadap Amerika
Serikat pada 1999 – 2010. Politik luar negeri Venezuela bertolak belakang dengan
hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat. Di balik kerjasama pada sektor
perdagangan tersebut, Venezuela kerap melontarkan sikap dan tindakan yang
konfrontatif terhadap Amerika Serikat. Venezuela juga menjalin kerjasama
dengan negara yang memiliki latar belakang sebagai rival dengan Amerika Serikat.
Kedua negara memiliki hubungan dagang terbesar pada sektor minyak. Isu kedua
negara dianalisa menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan periode waktu
tertentu. Pemerintahan Presiden Chávez membawa revolusi bagi Venezuela. Hasil
penelitian berupa politik kontradiktif yang dijalankan Presiden Chávez terhadap
Amerika Serikat. Venezuela pun menjalankan strategi diversifikasi mitra guna
menangkal ketergantungannya terhadap Amerika Serikat

ABSTRACT
This thesis discusses the foreign policy of Venezuela to the United States in 1999-
2010. Venezuelan foreign policy contrary to the trade relationship with the United
States. Behind cooperation in the trade sector, Venezuela often catapult a
confrontational attitude and actions against the United States. Venezuela also
cooperates with the country that have a contrary philosopy with the United States.
Both countries have the largest trading relationship in the oil sector. The method
to analyzed this problems using qualitatif approach which based on a specific time
period. Chávez government was brought a revolution for Venezuela. The result is
contradictive Venezuelan’s foreign policy against the United States. Venezuela
was run in order to ward off efforts to diversify its dependence on the United
States."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dirgahary Tamara
"Penelitian ini membahas kepentingan Arab Saudi Saudi dalam intervensi militer ke Yaman pada 2015. Intervensi militer ini dipimpin oleh Saudi dengan didukung oleh negara anggota Dewan Kerjasama Teluk GCC kecuali Oman dan beberapa negara lainnya. Menurut mantan Duta Besar Saudi untuk Washington, Adel Al Jubair. Intervensi ke Yaman bertujuan untuk mengembalikan pemerintahan sah dan melindungi masyarakat Yaman dari tindakan kudeta yang dilakukan oleh pemberontak Houthi. Pernyataan Al Jubair tersebut menimbulkan kejanggalan dan menjadi dasar penelitian ini dilakukan. Kejanggalan tersebut antara lain: pertama, intervensi yang Saudi lakukan disebabkan adanya konflik internal yang terjadi di Yaman, bukan karena permasalahan yang berkaitan antara Saudi dengan Houthi. Kedua, Saudi tidak pernah melakukan tindakan penyerangan atas dasar inisiatif sendiri melainkan karena alasan untuk membela diri atau keputusan bersama.
Berdasarkan atas kejanggalan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu kepentingan Saudi melakukan intervensi ke Yaman. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan cara studi literatur. Penelitian ini menggunakan konsep geopolitik, konsep tersebut digunakan karena dimensi pembahasannya lebih luas karena didasari oleh beberapa faktor. Konsep geopolitik akan melihat kepentingan intervensi dilihat dari faktor kewilayahan dan juga power. Dari pembahasan faktor-faktor tersebut, disimpulkan bahwa kepentingan Saudi melakukan intervensi militer ke Yaman adalah untuk melindungi kepentingan nasional Arab Saudi politik dan keamanan.

The interest of Saudi Arabia in Military Intervention to Yemen 2015AbstractThis research will discuss the interests of Saudi in a military intervention to Yemen in 2015. The military intervention was lead by Saudi and supported by member countries of the GCC except Oman and other countries. According to the former of Saudi ambassador for United States, Adel Al Jubair. The Intervention to Yemen was aimed to restore the legitimate government and to protect the Yemeni people from coups d 39 etat that was carried out by rebels Houthi. The statement of Al Jubair, causing clumsiness and those became the basis of this research. The Irregularities include the intervention of the Saudi was done due to the internal conflict in Yemen, it is not because of problems related to Saudi. Second, the Saudi never initiate offensive actions on the basis of their own initiative except for reasons of self defense or a joint decision.
Based on those irregularities, the research aimed to find out the interests of Saudi intervention to Yemen. Therefore, in order to explain the interventions, this research used concept of geopolitcs. The concept was used because the dimension of discussion was broader, and based on several factors. Geopolitics concept will see the intervention interest from territorial and power factors. From the discussion of those factors, it has concluded that the interests of the Saudi military intervention in Yemen is to protect national interest Saudi Arabia Politics and Security . Keyword Interests Military Intervention, Saudi Arabia, Yemen.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Joseph Kristiono
"ABSTRAK
Tulisan ini membahas Gereja Katolik Roma ldquo;Gereja rdquo; sebagai aktor dalam ilmu Hubungan Internasional. Dengan mempergunakan metode studi kasus jamak, penelitian ini mengamati dinamika perlawanan global Gereja terhadap International Humanist and Ethical Union ldquo;IHEU rdquo; di tiga negara. Perlawanan yang terjadi bersumber dari kontestasi gagasan antara kedua aktor tersebut dalam isu-isu perceraian di Chile, kontrasepsi di Filipina, dan eutanasia di Inggris. Berdasarkan temuan pada penelitian ini, Gereja semesta melakukan perlawanan politik terhadap pengaruh IHEU dan agen-agen Humanisme tanpa melakukan mobilisasi terbuka, melainkan melalui jejaring gereja setempat yang dimilikinya. Gereja semesta tidak dapat mengadakan perlawanan politik terbuka karena terikat oleh Perjanjian Westphalia dan Perjanjian Lateran. Dengan mempergunakan sistem rantai komando yang kuat, Vatikan sebagai puncak otoritas gerejani mampu menggerakkan jejaring gereja lokal di bawah hierarkinya, termasuk untuk meresponi kebangkitan Humanisme.

ABSTRACT
This paper assesses the Roman Catholic Church ldquo the Church rdquo as a political actor in International Relations. By employing multi locus case study, this research observed the dynamics of political contention between the Church and International Humanist and Ethical Union IHEU in three countries. The contention revolves around the ideational contests between the two actors, in issues ranging from divorce in Chile, contraception in the Philippines, to euthanasia in England. This research found that the universal Church is unable to directly conduct en masse open mobilisation in order to oppose the rise of global Humanist movement led by IHEU, due to prior Treaties of Westphalia and Lateran. As such, the Church has to be more clandestine, that is by employing her extensive network of local churches. By using her well established internal chain of command, the Vatican as the highest ecclesiastical authority within the Church rsquo s system, is capable of ensuring dogmatic compliance down the hierarchy, including in how they should react towards the rise of Humanism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Guistya
"ABSTRAK
Tentara dibawah usia 18 tahun atau tentara anak merupakan salah satu permasalahan yang ada hingga saat ini. Permasalaha ini juga terjadi di Inggris. Sementara itu salah satu bentuk komitmen internasional untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dibuatnya Protokol Opsional PBB tahun 2002. Inggris merupakan salah satu negara yang meratifikasi Protokol Opsional PBB tahun 2002. Namun sikap Inggris pada deklarasinya di Protokol Opsional PBB tahun 2002 tidak sejalan dengan isi Protokol Opsional tersebut. Tesis ini akan membahas latar belakang pemerintah Inggris, masih melakukan perekrutan tentara dibawah usia 18 tahun yang tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Protokol Opsional PBB tahun 2002. Tesis ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan adanya celah dari Protokol Opsional PBB tahun 2002, dan celah ini kemudian digunakan oleh pemerintah Inggris untuk menjelaskan keadaan domestiknya.

ABSTRACT
Soldiers under 18 years of old or child soldiers is one of the problem that exist today. This problem also occurs in the United Kingdom. Meanwhile, one of the international commitmenst to resolve the issue was the creation of the UN Optional Protocol of 2002. United Kingdom was one of the countries that ratified the UN Optional Protocol of 2002. However, the United Kingdom attitude to its declaration at the UN Optional Protocol of 2002 was not in line with the contents of the Optional Protocol. This thesis will be discussed the background of the British government, still recruiting soldiers under the age of 18 who are inconsistent with the agreement in the UN Optional Protocol of 2002. This thesis uses a qualitative research approach. The results of this study show the gap of the UN Optional Protocol of 2002, and this gap is used by the British government to explain its domestic circumstances."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janitra Icta Almer
"Soft power merupakan sebuah konsep yang dicetuskan oleh Joseph S. Nye, Jr. pada tahun 1990. Sejak itu, ia telah menjadi sebuah konsep yang signifikan bagi studi Hubungan Internasional dan diterima pula pada tataran praktis. Berbagai negara telah mengadopsi soft power menjadi kebijakan resminya, sedangkan para akademisi dan pembuat kebijakan telah menggunakan dan mencermati soft power. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa soft power telah berkembang sebagai sebuah konsep. Tulisan ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai soft power itu sendiri dengan melihat ragam pandangan terhadapnya. Dalam mencapai tujuan tersebut, tulisan ini meninjau empat puluh tiga literatur akademis mengenai soft power, baik yang ditulis oleh Nye maupun akademisi-akademisi lain. Menggunakan metode taksonomi, tulisan ini menemukan bahwa terdapat tiga tema dominan dalam literatur-literatur tersebut, yakni (1) konsepsi soft power Nye yang berfokus pada penjelasan Nye mengenai aspek definisi, cakupan, serta cara kerja dan pengukuran soft power, (2) tanggapan akademisi-akademisi selain Nye terhadap soft power yang mengacu pada ketiga aspek yang Nye jelaskan, dan (3) interpretasi konstruktivisme terhadap soft power yang melihat soft power di luar garis pemikiran Nye. Lebih lanjut, keempat puluh tiga literatur tersebut dapat dipetakan ke dalam ketiga tema di atas sebagai berikut: (i) delapan tulisan Nye yang dimulai dari tulisan pertamanya pada 1990 hingga tulisan terbarunya pada 2017, (ii) tiga puluh tulisan akademisi lain yang lebih jauh terbagi menjadi delapan belas tanggapan positf dan dua belas tanggapan negatif, serta (iii) lima literatur lain yang mengangkat interpretasi konstruktivisme terhadap soft power. Tinjauan yang dilakukan lantas menemukan adanya dua kesenjangan di dalam literatur-literatur tersebut: (a) Nye tidak cukup menjelaskan cara soft power bekerja dan diukur, serta (b) belum terdapat satu pun authoritative author lain di luar Nye dalam bahasan soft power. Tulisan ini berargumen bahwa kesenjangan pertama disebabkan oleh fakta bahwa Nye tidak mengkonseptualisasikan soft power sebagai sebuah konsep analitis, melainkan sebagai pereda pesimisme yang saat itu tengah melanda masyarakat Amerika Serikat. Lebih lanjut, kesenjangan kedua diakibatkan oleh jarak empat belas tahun di antara tulisan pertama Nye mengenai soft power dengan tanggapan pertama yang disampaikan oleh akademisi lain terhadap konsep tersebut, memberikan soft power waktu yang cukup untuk diterima secara luas. Penting juga untuk menggarisbawahi bahwa belum terdapat authoritative author lain dalam bahasan soft power karena akademisi-akademisi yang memberikan tanggapan terhadap konsepsi soft power Nye berasal dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan.

Soft power is a concept coined by Joseph S. Nye, Jr. in 1990. Since then, it has become a well-endorsed concept within both intellectual and practical level. Numerous countries have adopted soft power as their official policy, while scholars and policy-makers have both used and scrutinized the concept. Thus it can be presumed that soft power has developed as a concept. This paper is aimed to grasp a better understanding on soft power by reviewing the variety of views on the concept. In doing so, this paper examines forty three academic writings on soft power, coming from both Nye and other scholars. Utilizing taxonomy as the method, this paper notices that there are three major themes emerging from those writings, which are: (1) Nye's conception of soft power which focuses on Nye's explanation on the meaning, resources, and the way soft power works and is measured, (2) other scholars' respond to the three aforementioned aspects of the concept, and (3) constructivists' interpretation of the concept that views soft power in a different manner than Nye and other scholars do in the previous two themes. The aforementioned forty three writings can be categorized into these themes as follow: (i) eight Nye's writings including the first one he wrote on 1990 and the most recent one written on 2017, (ii) thirty writings of the second theme that include eighteen positive responds and twelve negative ones, and (iii) five other writings discussing constructivists' interpretation of soft power. Further findings suggest that there are two shortcomings within those academic writings on soft power: (a) Nye did not adequately explain how soft power works and is measured, and (b) there has not been any other authoritative author on soft power than Nye himself. This paper argues that the first shortcoming is caused by the fact that Nye did not conceptualize soft power as an analytical concept, rather it was meant to calm the declinism that had been rapidly growing among American public. Moreover, the second shortcoming was due to the fact that there was a fourteen years difference between Nye's inaugural writing on soft power and the first response coming from another scholar to the concept, giving soft power enough time to be widely accepted. It is also important to note that there has not been any single other authoritative author on soft power because other scholars responding to Nye's soft power come from various academic disciplines."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bob Satyhaprabu
"Fenomena intervensi militer telah berkembang secara signifikan setelah berakhirnya masa Perang Dingin dan hal tersebut juga berpengaruh pada berkembangnya literatur mengenai dampak intervensi militer eksternal pada konflik internal. Perkembangan literatur ini juga sempat menunjukkan adanya penggunaan istilah-istilah serta konsep yang cenderung ditemukan dalam ilmu hubungan internasional dalam berbagai kajian ini. Untuk itu, tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana unsur serta konsep dari ilmu hubungan internasional ini sebenarnya digunakan dalam perkembangan kajian dampak intervensi militer eksternal pada konflik internal. Tulisan ini menggunakan alur tematis yang mengamati dampak intervensi militer eksternal pada unsur kapabilitas militer kedua pihak yang berkonflik, keadaan negara pascakonflik, keberadaan hak asasi manusia dalam konflik internalnya, dan dinamika kawasan yang dapat berubah dari adanya konflik internal ini. Hasil yang ditemukan dari pengamatan literatur dari empat tema tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan unsur power digunakan secara signifikan dalam kajian-kajian ini walau faktor kepentingan yang dimiliki pihak pelaksana intervensi serta bentuk karakteristik dari konflik internal tersebut juga berpengaruh dalam pemakaian power tersebut. Meskipun begitu, hasil pengamatan ini belum memberikan penjelasan yang signifikan mengenai peran bentuk intervensi militer bersifat unilateral maupun multilateral terhadap dampaknya dalam konflik internal ini.

Military intervention as a phenomenon has evolved significantly since the end of the Cold War and this emerging trend has a certain effect on influencing how foreign military intervention's impact on internal conflicts are observed by scholars. This emerging trend also shows something interesting which is the usage of some terms and concepts more commonly found on International Relations' studies in these articles about military intervention and internal conflicts. Because of that, the purpose of this literature review is to look at how International Relations' terms and concepts is implemented by researchers in the development of studies about foreign military intervention's impact on internal conflicts after the Cold War ended. To find how it is used in the literature's development, this literature review uses a thematic structure by forming four different themes in explaining the effects of an external military intervention on a country's internal conflict. By observing the literature's development, it is discovered that the concept of power and its forms is used considerably in the development of its literature although the intervener's interests as well as the characteristics of the internal conflict in question also has its own influence on which form of power is used in the intervention. This, however, does not lead to a detailed explanation about the unilateral or multilateral forms of military intervention's role on defining its effects on the ongoing internal conflict."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Soeryadinata
"Informasi dan teknologi komunikasi seringkali dianggap sebagai faktor pendorong terjadinya globalisasi, Internet merupakan salah satu bukti kongkrit dari fenomena ini. Internet menjadi bentuk teknologi informasi yang sangat modern, pesat perkembangannya, tersebar secara luas, dan signifikan. Namun dibalik berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh internet, teryata internet juga membawa berbagai dampak negatif. Salah satunya adalah mengganggu stabilitas sosial dan politik. Dan sebagaimana negara di belahan dunia lainnya, perkembangan internet di Cina Juga sangatlah pesat. Cina mengalami apa yang dinamakan paradoks modern. Di satu sisi pemerintah memahami bahwa teknologi informasi adalah mesin menuju ekonomi global, sehingga pertumbuhan ekonomi Cina akan sangat tergantung dengan upaya untuk mengintegrasikan Cins dengan Infrastruktur informasi global. Namun di satu sisi, berbagai peristiwa telah membuktikan bahwa internet berkembang menjadi sarana komunikasi bagi kelompok oposisi yang menentang pemerintah, salah satu contoh kongkritnya adalah Falingong Bahkan berbagai kelompok pendukung hak asasi manusia, baik dalam peristiwa Tiananmen maupun Tibet, seringkali memanfaatkan media internet ini untuk menyebarluaskan ide-ide mereka dan menjaring massa dan dukungan. Yang menarik, seolah mengesampingkan berbagai dampak negatif terhadap stabilitas sosial dan politik, pemerintah Cina pada saat bersamaan mendorong masyarakatnya untuk memanfaatkan internet dan mendorong penggunaan internet di semua sektor kehidupan, khususnya ekonomi. Pemerintah secara proaktif berinisiatif mengembangkan infrastruktur internet, meskipun dengan biaya yang tidak sedikit. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah Cina mengambil kebijakan yang mendorong pengembangan intermet di Cina? Apakah faktor-faktor yang melatarbelakanginya? Fenomena ini tentunya sangat menarik dibahas dalam kajian hubungan internasional. Karena sebagai negara yang memiliki karakteristik yang sangat khas, fenomena internet menjadi sebuah kasus yang dapat menggambarkan reaksi pemerintah Cina terhadap sistem internasional secara keseluruhan. Alat untuk menganalisa adalah beberapa kerangka pemikiran yang diantaranya pemikiran tentang pentingnya informasi dalam kepentingan ekonomi, pemikiran Peter F Drunken dalam teori ckonomi baru, pemikiran tentang e-commerce, pemikiran dari Michael Foucault yang mengembangkan ide Jeremy Bentham tentang panoptikon, dan pemikiran fungsi kontrol yang dikemukakan olch Lawrence Lessig Adapun faktor yang meriyebabkan pemerintah Cina mendorong pengembangan internet dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, perkembangan infrastruktur teknologi informasi sebagai infrastruktur internet, akan mendorong kompetituf dan pendapatan ekonomi yang lebih baik bagi perekonomian Cina. Kedua, bahwa justru dengan mendukung penggunaan internet tersebut, pemerintah Cina dapat menerapkan kontrol yang lebih luas sesuai dengan konsep panoptikon yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Kontrol ini dapat dilihat dalam hukum dan peraturan yang dijalankan, arsitektur yang dibentuk, norma sosial yang berkembang, dan mekanisme pasar yang ada. Kedua elenmen ini saling mempengaruhi dan tarik menarik satu dengan lainnya. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi membutuhkan modemisasi teknologi Informasi. Namun disisi lain modernisasi teknologi ini berpotensi untuk mengesampingkan kontrol politik. Oleh karena itu pemerintah Cina kemudian justru menggunakan internet sebagai media dan sarana untuk mengontrol masyarakat pengguna internet di Cina.

Information and communication technology is often considered a driving factor for globalization, the Internet is one concrete proof of this phenomenon. The internet is a very modern form of information technology, rapidly developing, widely spread and significant. However, behind the various conveniences offered by the internet, it turns out that the internet also brings various negative impacts. One of them is disrupting social and political stability. And like countries in other parts of the world, internet development in China is also very rapid. China is experiencing what is called a modern paradox. On the one hand, the government understands that information technology is the engine for the global economy, so China's economic growth will depend heavily on efforts to integrate China with the global information infrastructure. However, on the one hand, various events have proven that the internet has developed into a means of communication for opposition groups opposing the government, one concrete example of which is Falingong In fact, various groups supporting human rights, both in the Tiananmen and Tibet incidents, often use this internet medium to disseminate their ideas and gain mass support. What is interesting, as if to put aside the various negative impacts on social and political stability, the Chinese government at the same time encourages its people to take advantage of the internet and encourages internet use in all sectors of life, especially the economy. The government has proactively taken the initiative to develop internet infrastructure, although at a significant cost. The question then is why did the Chinese government adopt policies that encourage internet development in China? What are the factors behind it? This phenomenon is certainly very interesting to discuss in the study of international relations. Because as a country that has very distinctive characteristics, the internet phenomenon is a case that can illustrate the Chinese government's reaction to the international system as a whole. The tools for analysis are several frameworks of thought, including thoughts about the importance of information in economic interests, Peter F Drunken's thoughts in new economic theory, thoughts about e-commerce, thoughts from Michael Foucault who developed Jeremy Bentham's idea of ​​the panopticon, and the control function thought put forward by Lawrence Lessig. The factors that cause the Chinese government to encourage internet development are influenced by various factors. First, development information technology infrastructure as internet infrastructure, will encourage better competitiveness and economic income for the Chinese economy. Second, that precisely by supporting internet use, the Chinese government can implement broader controls in accordance with the panopticon concept put forward by Jeremy Bentham. This control can be seen in the laws and regulations that are implemented, the architecture that is formed, the social norms that develop, and the existing market mechanisms. These two elements influence each other and attract each other. On the one hand, economic growth requires modernization of information technology. However, on the other hand, this technological modernization has the potential to override political control. Therefore, the Chinese government then actually used the internet as a medium and means to control the internet user community in China.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S10541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 >>