Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abunawas
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian investasi di DKI Jakarta dalam kaitannya dengan dikeluarkannya Kebijakan Pakto 93. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) Memberikan penjelasan mengenai Kebijakan Ekonomi Pakto 93. (2) Memberikan penjelasan mengenai proses perijinan investasi di DKI Jakarta serta, (3) Analisis kebijakan Deregulasi Pakto 93 Bidang investasi di DKI Jakarta terhadap pengusaha yang telah memperoleh persetujuan investasi. Minat penanaman modal PMDN dan PMA di DKI Jakarta pada tahun 1993/1994 relatif rendah yaitu sekitar Rp. 11.670 milyar untuk PMDN dari target investasi Rp. 12.300 milyar, dan USS 2.229 juta untuk PMA dari target investasi USS 4.500 juta. Sementara itu minat investasi ditingkat nasional pada tahun 1993x'1994 adalah Rp. 50.525 milyar untuk PMDN dan USS 8.027 juta untuk PMA. Rendahnya minat investasi di DKI Jakarta ini memberi tanda kemungkinan adanya hambatan kegiatan investasi.
Proses perijinan penanaman modal khususnya di DKI Jakarta sebelum dikeluarkan Pakto 93 yang mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1984 dan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 17.30 Tahun 1985. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tabun 1984 tersebut disebutkan bahwa proses perijinan penanaman modal dilakukan dengan sistim pelayanan tunggal (One Stop Service). yaitu dikoordinir oleh BKPMD yang bekerjasama dengan instansi terkait baik di Tingkat I maupun di Tingkat II. Adapun inti dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tabun 1984 tersebut meliputi 3 hal yaitu :
Ijin Pencadangan Tanah/Surat Pencadangan Tanah diberikan kepada pemohon/calon Investor yang telah memperoleh Surat Persetujuan Sementara (SPS) dari BKPM Pusat dengan melampirkan bukti pemilikan Tanah dan Keterangan Rencana Umum dari Sudin Tata Kota wilayah.
Ijin Lokasi dan Ijin Pembebasan Hak atas Pembelian Tanah diberikan kepada pemohon/penanaman modal yang telah memperoleh Surat Persetujuan Tetap (SPT) atau Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden (SP3) dengan melampirkan bukti pemilikan tanah/bukti-bukti pembebasan tanah, keterangan rencana kota, dan rekomendasi Analisis Dampak Lingkungan.
Untuk Ijin Bangunan akan diberikan kepada pemohon/penanam modal setelah BKPMD terlebih dahulu mengadakan konsultasi teknis dan kelengkapan administrasi dengan Dinas Pengawas Peinbangunan Kota (DP2K) dan telah melunasi biaya retribusi yang telah ditentukan.
Sedang untuk Ijin Undang-Undang Gangguan baru akan diberikan kepada penanam modal setelah permohonan tersebut oleh Biro Ketertiban c.q. Bagian Undang-Undang Gangguan meneliti dan memeriksa keberadaannya di lapangan. Secara keseluruhan proses perijinan dan pemberian pelayanan ini dibutuhkan waktu selama 221 hari.
Setelah keluarnya Pakto 93. maka terjadi pemangkasan birokrasi, dimana beberapa perijinan penanaman modal PMA dan PMDN kewenanganya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, yaitu. meliputi (1) Ijin lokasi sesuai dengan Rencana Tata Ruang, dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. (2) Hak Guna Bangunan. Hak Guna Usaha dan Hak Pengelolaan dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. (3) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Dati II/Satuan Kerja Teknis atas nama Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan atau Kepala Dinas P2K (bagi DKI Jakarta) atas nama Gubernur KDKI Jakarta. (4) Ijin Undang-undang Gangguan (HO) dikeluarkan oleh Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat II atas nama Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan atau Kepala Biro Ketertiban atas nama Gubernur KDKI Jakarta.
Dengan berlakunya Pakto 93 berdasarkan perhitungan dan hasil studi lapangan menunjukkan adanya keterlambatan dalam pengurusan perizinan khususnya dalam pemberian Ijin Lokasi dan Pembebasan Hak Atas Pembelian Tanah serta Pemberian Hak Atas Tanah sebagai akibat dan hambatan internal (instansi pemberi pelayanan) maupun sebagai akibat hambatan eksternal (pengurusan untuk penyelesaian pemrosesan perijinan). Rata-rata lama proses perijinan investasi baik PMA/PMDN adalah 515 Mari, sedangkan khusus untuk PMA lama keterlambatan proses perijinan adalah 599 hari, serta untuk PMDN 423 hari.
Realisasi investasi nasional baik PMA maupun PMDN, realisasinva masih rendah. Untuk PMA realisasi investasi dari tahun 1993 - 1994 sebesar 40,7 persen dan terus menurun dimana pada tahun 1996 - 1997 hanya sebesar 27,3 persen. Sedangkan untuk PMDN pada tahun 1997 sebesar 58,6 persen. dimana pada tahun 1995/1996 sebesar 60,4 persen dan pada tahun 1996/1997 mengalami penurunan sehingga menjadi 54,5 persen. Untuk menarik minat investasi. tindak lanjut dari berbagai kebijaksanaan untuk mengurangi hambatan investasi sebaiknva dilakukan usaha untuk mempercepat lamanya waktu pemrosesan perijinan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Budhiman
"Mewujudkan sukses pembangunan dalam hal ini pembangunan kepariwisataan, bukanlah suatu hal yang mudah. Harapan besar yang diletakkan di atas pundak sektor pariwisata untuk menjadi andalan utama penghasil devisa non-migas, tentunya haaus dijawab dengan kerja keras dan keterpaduan seluruh lini yang terkait dengan sektor ini. Dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang ada, maka menjadi suatu tantangan bagi seluruh pelaku dunia pariwisata, untuk mendukung berbagai kebijaksanaan yang mengarah pada pencapaian keberhasilan tersebut.
Penulisan tesis ini mencoba untuk menelaah kondisi kebijaksanaan pembangunan kepariwisataan di DKI Jakarta. Penelitian difokuskan kepada implementasi kebijaksanaan Sapta Pesona, yang dinilai berdasarkan persepsi para wisatawan yang berkunjung ke Jakarta. Data primer diperoleh dari kuisoner yang dibagikan kepada responden. Di sisi lain, dikemukakan pula kinerja kepariwisataan DKI Jakarta melalui penelitian data sekunder.
Sapta Pesona merupakan kebijaksanaan yang bertujuan mewujudkan daya tarik suatu Daerah Tujuan Wisata. Komponen-komponen yang membentuk daya tarik tersebut, adalah: Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Keindahan, Kesejukan, Keramah-tamahan, dan Kenangan. Memperhatikan hasil-hasil penelitian yang dilakukan, terdapat kekhawatiran Sapta Pesona hanya terkesan sebagai slogan, dan bukan sebagai suatu kebijaksanaan publik yang harus didukung oleh semua pihak.
Terdapat tiga komponen yang menjadi kelemahan utama, yaitu kesejukan, kebersihan, dan ketertiban. Disamping itu, komponen yang dikategorikan sebagai tiga unggulan utama, adalah keramahtamahan, keindahan, dan keamanan. Berdasarkan kondisi tersebut, Jakarta harus bekerja ekstra keras, apabila ingin berdiri sejajar dengan daerah tujuan wisata "kelas dunia" lainnya.
Bertitik tolak dari temuan tersebut, direkomendasikan prioritas kebijaksanaan pembangunan kepariwisataan menggunakan pendekatan daya tarik kota, melengkapi pendekatan ekonomi sebagaimana yang selama ini dilakukan. Implementasi model kebijaksanaan tersebut, diharapkan dapat menjadi perspektif baru dan memberikan dukungan yang kondusif bagi pencapaian keberhasilan pembangunan kepariwisataan di DKI Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siswoyo
"BASTRAK
Pada Repelita VI Tahun 1994-1999 telah dicanangkan sasaran jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi, yang berupa jasa nonfaktor dan pendapatan faktor. Namun demikian, pada perencanaan sasaran tersebut dijumpai adanya nilai defisit yang semakin membesar, yaitu pada pengangkutan, biaya angkutan, dan jasa-jasa lain, serta bunga dan transfer keuntungan penanaman modal asing dan bank asing. Sementara itu, pada sektor jasa perjalanan, pariwisata, dan transfer tenaga kerja menunjukkan perangkaan yang selalu surplus.
Pokok masalah dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor internal dan eksternal apa yang mendukung dan menghambat usaha pelayaran nasional Indonesia, apakah Paket November 21 Tahun 1988 dapat meningkatkan usaha pelayaran di Indonesia, dan strategi apa yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk menumbuhkembangkan usaha pelayaran nasional Indonesia di masa yang akan datang ?
Data yang digunakan sebagai bahan analisis diperoleh dari data sekunder dengan mengumpulkan laporan-laporan, buletin-buletin, dan pustakan lain yang kompeten dengan usaha pelayaran di Indonesia. Penelitian ini juga dilengkapi dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang mendalam dengan para pengambil keputusan yang berkepentingan dengan usaha pelayaran. Wawancara dilakukan terhadap pejabat pada Direktorat Jenderal Lalulintas Angkutan Laut dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat INSA.
Berdasar hasil analisis menunjukkan bahwa Paket November 21 Tahun 1988 mempunyai pengaruh yang besar dan positif terhadap usah pelayaran di Indonesia, seperti jumlah perusahaan pelayaran dan nonpelayaran mengalami peningkatan dan pangsa dan laju pertumbuhan jumlah dan kapasitas kapal pada armada pelayaran internasional meningkat. Namun demikian, perlu diakui pula bahwa kebijakan ini juga mempunyai dampak yang negatif, seperti ekses demand tenaga kerja pelaut profesional disubstitusi oleh tenaga kerja asing.
Sehubungan dengan penerapan Paket November 21 Tahun 1998, saran yang disampaikan adalah Indonesia harus mempercepat pengembangan kapal samudera modern yang bertonase besar. Tranparansi kinerja industri strategis perkapalan harus ditingkatkan. Pemerintah perlu melakukan diplomasi anti dumping terhadap operasionalisasi kapal oleh negara pemilik kapal atau perusahaan.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Adam Kamil, auhtor
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menguji pengaruh institusi politik di pemerintahan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Institusi politik disini didefinisikan sebagai dukungan partai
politik yang memiliki kursi terbesar di legislatif terhadap eksekutif dalam pilkada.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa jika eksekutif didukung oleh partai terbesar di
legislatif maka berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam tesis ini
juga ditemukan bahwa dominasi partai politik dalam legislatif memiliki peran penting.
Jika partai terbesar dalam legislatif mendukung eksekutif maka pengaruhnya terhadap
pertumbuhan positif, terlebih jika partai tersebut semakin dominan. Dan sebaliknya,
jika partai terbesar tidak mendukung eksekutif maka akan menghambat pertumbuhan,
terlebih jika partai tersebut semakin dominan.

ABSTRACT
This thesis aims to examine the effect of political institut ions on economic growth.
Political institutions are here defined as the support of a political party that has the
most seats in the legislature to the executive in the elections. The results show that
if the executive is supported by the largest party in the legislature then has a
positive effect on economic growth. In this thesis also found that the dominance of
political parties in the legislature has an important role. The largest party in the
legislature supporting the executive tend to have positive effect on growth,
especially if the party is increasingly dominant. And conversely, if the largest
party does not support the executive then will inhibit growth, especially if the
party is more dominant."
2013
T39287
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Fendayani Haryn
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh variabel institusional dari Bank Dunia, yaitu kritik dan akuntabilitas Voice of Accountability, stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan Political Stability and Absence of Violence, efektivitas pemerintah Government Effectiveness, kualitas regulasi Regulatory Quality, supremasi hukum Rule of Law, dan pengendalian korupsi Control of Corruption bagi penanaman modal asing di negara di negara di BRICS Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan dan Negara MINT Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki. Periode penelitian adalah selama enam tahun, sejak tahun 2010 hingga tahun 2016. Penerapan analisis ekonometrika ini menggunakan regresi linier berganda multiple linier regression data panel untuk mengestimasi parameter dalam hubungan antara variabel terikat berupa Penanaman Modal Asing PMA, dengan variabel bebas berupa 6 indikator institusional dari Worlwide Governance Indicators WGI. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa ada 2 variabel institusional WGI yang berpengaruh signifikan pada PMA, yakni Rule of Law signifikan negatif dan Regulatory Quality berpengaruh positif.

The purpose of this study is to conduct an analysis of institutional variables from World Bank which are Voice of Accountability, Political Stability and Absence of Violence, Government Effectiveness, Regulatory Quality, Rule of Law, and Control of Corruption for Foreign Direct Investment in BRICS countries Brazil, Russia, India, China, South Africa and MINT countries Mexico, Indonesia, Nigeria and Turkey. The research periods are six years, from 2010 to 2016. This study applied econometrics analysis, using multiple linier regression of panel data to estimate the parameters of the relationship between the dependent variable in the form of Foreign Investment PMA, with the independent variable in the form of 6 the institutional indicators from The Worlwide Governance Indicators WGI. It is found that there are 2 institutional variables of WGI which have significant influence on PMA, namely Rule of Law significant negative and Regulatory Quality significant positive."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49972
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Setyogroho
"ABSTRAK
Tingkat atau bobot risiko kredit debitur sangat penting diketahui pihak perbankan, agar dalam menyalurkan fasilitas kreditnya kepada debitur dapat dilakukan secara aman dan memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential banking). Untuk itu, tingkat risiko debitur harus terukur. Terdapat 7 buah faktor risiko debitur yang dapat dijadikan variable terukur, yakni kondisi keuangan, legal status, hubungan eksternal debitur dengan bank, posisi pasar, manajemen, viabilitas dan prospek usaha. Dengan menggunakan metoda Credit Risk Scoring, yaitu pembobotan atas faktor risiko debitur maka bobot risiko debitur menjadi lebih terukur.
Pembobotan dapat dilaksanakan terhadap seluruh debitur dan berbagai sektor usaha, namun tidak berarti bahwa debitur yang bergerak dalam sektor usaha yang sama akan mempunyai tingkat risiko yang sama pula. Beberapa jenis usaha mempunyai jenis faktor risiko yang spesifik dan dominan, faktor ini dapat dijadikan pegangan dalam penentuan bobot risiko. Namun beberapa sektor usaha lainnya sama sekali tidak memilikinya sehingga harus dievaluasii secara individual.
Pada dasarnya seluruh faktor risiko perperan dalam pengukuran tingkat risiko, namun terdapat beberapa yang menjadi penentu dalam mengukur tingkat risiko debitur yakni kondisi keuangan dan status legal. Tingkat risiko sangat situasional karena banyak faktor internal eksternal yang mempengaruhi sehingga tingkat risiko suatu perusahaan perlu direvaluasi secara berkala.
6 dari 7 faktor risiko nampak dominan pada beberapa sektor usaha debitur, yakni kondisi keuangan, status legal, posisi pasar, manajemen, viabilitas dan prospek usaha. Karena mempunyai tingkat homogenitas tinggi (sd <1), sehingga kecenderungan tersebut dapat dijadikan sebagai patokan dalam menghitung tingkat risiko suatu debitur. Bagi debitur pada sektor usaha yang tidak mememiliki faktor dominan tetap harus dihitung secara individual.
Kisaran bobot yang relatif sama dimiliki oleh 5 dari 19 sektor usaha, yakni sektor Automotif, industri bahan Kayu, Industri Logam/Baja, Industri Kertas dan Tekstil.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa pada proses analisis risiko kredit debitur korporasi harus diperhatikan :
Mengutamakan pengukuran bobot risiko secara individual, berdasarkan penilaian 7 faktor risiko (seven risk factors)
Faktor risiko yang spesifik dan dominan pada beberapa sektor usaha hendaknya hanya dijadikan pedoman saja karena sifat debitur yang sangat individualistik. Nilai Faktor risiko akan berubah setiap ada perubahan kondisi makro.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadjari Iriani Sophiaan
"ABSTRAK
Tesis ini dikembangkan terutama untuk membuktikan bahwa dalam era menuju globalisasi yang diwarnai oleh demokratisasi, liberalisasi dan deregulasi ini, pemerintah Indonesia tampaknya tetap berusaha untuk mempertahankan proteksi terhadap beberapa komoditi yang dianggap strategis.
Kekuatan tesis ini terletak pada pendekatan yang dipakai yaitu, pendekatan ekonomi politik, yang menekankan pada bidang politik, atau penulis sebut sebagai mashab politik. Yaitu analisa distribusi kekuasaan dalam pasar, suatu pendekatan yang belum banyak digunakan oleh mereka yang berasal dari disiplin ilmu politik di Indonesia. Kekhususan pendekatan ini terletak pada penggunaan parameter-parameter tata niaga seperti mobilisasi, alokasi dan distribusi, yang dianatisis melalui paradigma politis. Artinya menyangkut proses pembentukan kebijakan dan interaksi kekuatan antar aktor dan institusi dalam tata niaga dan pasar tepung terigu.
Berkaitan dengan pendekatan tersebut beberapa pertanyaan mendasar dipakai sebagai acuan untuk menjawab: siapa aktor/pelaku ekonomi dan politik yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan di Indonesia, sehingga mempengaruhi terbentuknya kebijakan tata niaga dan industri tepung terigu seperti yang ada sekarang. Apa dan bagaimana struktur/institusi, peraturan-peraturan dan koalisi-koalisi yang ada atau yang dibentuk oleh para aktor tersebut, yang memungkinkan diberlakukannya tata niaga tadi. Tesis ini juga menjawab pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam kebijakan tata niaga dan industri tepung terigu di Indonesia.
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa faktor yang melatar belakangi kebijakan yang menghambat atau memperlambat pelaksanaan liberalisasi tepung terigu. Yang pertama adalah karena negara tumbuh menjadi kekuatan yang dominan setelah periode 1965. Dengan dominasi tersebut negara dapat menunjuk langsung aktor yang mengoprasionalisasikan tata niaga tepung terigu, menutup kompetisi untuk umum melalui peraturan DNI, dan menggeser monopoli bidang ini dari negara kepada swasta. Kedua, karena struktur tata niaga yang monopolitis tersebut telah menghasilkan rente ekonomi yang luar biasa, yang menyebabkan kelompok Salim memperoleh kesempatan untuk membangun suatu industri vertikal dan horizontal antara BOGASARI dan INDOFOOD, yang kemudian berkembang menjadi konglomerasi pangan terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Ketiga, karena rente ekonomi yang dihasilkan tersebut telah pula mendatangkan keuntungan politis bagi penguasa, yaitu ikut mendukung pembiayaan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk mempertahankan legitimasi mereka. Antara lain program pengentasan kemiskinan, kampanye, seminar, dan berbagai kongres dari kelompok kelompok korporatis penguasa dan lain-lain.
Tesis ini sekaligus memperlihatkan bahwa konsep pluralisme yang sering disebut sebagai karakteristik yang menunjukan berlangsungnya proses demokratisasi, cenderung tidak berlaku di Indonesia. Karena pluralisme berbagai kelompok yang tumbuh di Indonesia pada kenyataannya adalah dibentuk oleh negara, sebagai `kosmetik' penghias demokrasi, tetapi sesungguhnya hanya merupakan perpanjangan tangan dari penguasa untuk mewujudkan tujuan-tujuan kekuasaan politik dan ekonomi mereka.
Temuan dari tesis ini dengan demikian mungkin akan dianggap sebagai suatu sinisme dari keadaan sosial politik ekonomi di Indonesia, tetapi data yang terungkap dalam tesis ini paling tidak membenarkan dugaan-dugaan yang selama ini ada dalam benak banyak pengamat."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Ramli
"Persediaan tanahå terbatas sedang kebutuhannya meningkat secara linier sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan pembangunan di segala bidang. Di lain pihak, pembangunan sarana dan atau prasarana kepentingan umum tidak mungkin ditunda-tunda terutama pada kota Metropolitan seperti DKI Jakarta.
Masalah utama yang dihadapi Pemerintah adalah masalah kesediaan masyarakat melepaskan hak atas tanahnya dan besarnya ganti kerugian yang tidak sesuai. Pemegang hak atas tanah mengajukan ganti kerugian yang layak agar dapat memperbaiki tingkat kesejahteraannya atau setidak-tidaknya tidak menurun dibanding dengan sebelumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana agar kebijakan pengadaan tanah yang ada dapat lebih dioperasionalkan dan diharapkan dapat diterima semua pihak. Semakin tinggi pencapaian target pengadaan tanah (luas tanah, penyerapan biaya dan penerimaan ganti kerugian) maka semakin baik kinerjanya dan sernakin mudah penerima ganti kerugian meningkatkan kesejahteraannya serta semakin demokratis pelaksanaan pengadaan tanah dimaksud.
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif dan analisis SWOT. Dari penelitian yang dilaksanakan di DKI Jakarta diperoleh hasil-hasil sebagai berikut:
1. Kepres RI No. 55 Tahun 1993 sebagai Kebijakan Publik pengadaan tanah untuk kepentingan umum ternyata lebih baik kinerjanya dan lebih kondusif menyerap biaya yang tersedia dalam APBD serta lebih demokratis pelaksanaannya dibanding Permendagri No. 15 Tabun 1975 yang berlaku sebelumnya.
2. Bahwa selain dengan ganti kerugian, ternyata di DKI Jakarta ditemukan suatu pengadaan tanah untuk lokasi pembangunan kepentingan umum tanpa ganti kerugian yaitu berupa kewajiban pengembang dan konpensasi palayanan Ketata Kotaan dari Pemda DKI Jakarta.
3. Dengan memberdayakan potensi dinamis masyarakat dan simultan dibebani kewajiban sosial menyediakan sarana dan atau prasarana kepentingan umum akan sangat membantu Pemda DKI Jakarta memperbaiki kualitas dan kuantitas pengadaan tanah dengan ganti kerugian.
Hasil analisis temuan dalam penelitian ini merekomendasikan bahwa kinerja Kepres RI No. 55 tahun 1993 masih dapat ditingkatkan dengan memberi batasanbatasan yang lebih jelas dan lebih konkrit mengenai ruang lingkup substansi, mekanisme musyawarah, penggunaan lembaga keberatan, dasar pertimbangan menetapkan besamya ganti kerugian dan mensosialisasikan RUTRD & RBWK. Selain itu pemberdayaan potensi dinamis masyarakat masih sangat relevan ditumbuh kembangkan. Untuk itu perlu ada pemikiran memperbaiki kebijakan publik yang mengatur kewajiban pengembang yang sekarang ini masih berbentuk Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta menjadi Undang-Undang atau Peraturan Daerah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hazir Rani
"Krisis kertas koran yang terjadi pada tahun 1995 dimana kertas koran sulit didapat dipasar dan kalaupun ada jumlahnya terbatas dan harganya mahal melampaui harga kesepakatan antara produsen dan konsumen yang selama ini sebagai dasar mekanisme penetapan harga jual kertas koran, konsumen menuduh produsen sengaja tidak melakukan produksi sesuai kapasitas serta mempermainkan suplai melalui jalur distribusi.
Menurut penulis terdapat lima masalah utama pada krisis kertas koran tahun 1995 diatas, ialah masalah produksi, harga, distribusi, ekonomi politik pemerintah dan struktur pasar industri kertas koran.
Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan Tesis ini adalah penelitian deskriptif, data sekunder diperoleh melalui laporan-laporan, buletin-buletin dan pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan industri kertas koran, laporan-laporan diambil dari Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, data primer diperoleh melalui depth interview.
Hasil penelitian menunjukan bahwa strategi industrialisasi substitusi impor yang didukung oleh kebijakan proteksi telah menghasilkan antara lain ;
1. Produksi nil kertas koran meningkat setiap tahun, dan jumlah kertas koran yang diproduksi sudah diatas kebutuhan kertas koran nasional, sehingga kelebihan produksi tersebut di ekspor. Walaupun demikian dalam 15 tahun perkembangan industri kertas jumlah produsen kertas koran hanya ada empat produsen.
2. Mekanisme penetapan harga kertas koran ditetapkan berdasarkan harga kesepakatan antara produsen dan konsumen jadi tidak berdasarkan hukum mekanisme pasar.
3. Lembaga distribusi dan proses pendistribusian kertas koran untuk kebutuhan Pers ditetapkan secara sepakat antara produsen kertas koran dan Serikat Penerbit Surat Kabar yang mewakili masyarakat Pers.
4. Kebijakan proteksi telah memberikan keuntungan kepada produsen tetapi tidak kepada konsumen, harga kertas koran impor menjadi tidak rasional, produsen lokal bertindak tidak efisien, karena tidak ada saingan dari produsen luar negeri, harga produksi produsen lokal mahal karena itu produsen lebih cendrung ingin menguasai pasar dalam negeri.
5. Sedikitnya jumlah produsen kertas koran, mengakibatkan pasar kertas koran terstruktur menjadi pasar oligopoli.
Efisensi dalam produksi akan tumbuh apabila ada persaingan dalam struktur pasar yang sehat, kebijakan proteksi telah memberikan perlakuan diskriminasi terhadap pelaku ekonomi dipasar, yang berdampak sangat merugikan masyarakat konsumen dan hanya menguntungkan segelintir produsen. Karena itu untuk menghilangkan perlakuan diskriminasi tersebut maka kebijakan proteksi harus dihapus."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supranoto
"Penulisan teals ini dimaksudkan sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk memperoleh derajat Magister Sains Bidang Ilmu Adrninistrasi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Sejak dikeluarkannya kebijakan deregulasi bidang moneter tahun 1988 yang lebih dikenal dengan nama Pakto 1988, dunia perbankan nasional dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada tahun 1992, kebijakan ini diangkat statusnya melalui debat publik di DPR sehingga menjadi bagian inti dari UU No 25/1992 tentang Perbankan. Berkaitan dengan BPR, penataan kelembagaan yang dibawa kebijakan ini menetapkan bahwa hanya tiga bentuk BPR yang mempunyai hak untuk beroperasi, yaitu Koperasi BPR yang dimiliki koperasi (umumnya KUD), PD BPR (dimiliki Pemerintah Daerah), dan PT BPR (dimiliki swasta).
Kebijakan tersebut menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap dunia perbankan nasional pada umumnya dan terhadap pasar kredit pedesaan pada khususnya. Hanya dalam jangka waktu lima tahun, jumlah BPR meningkat sebesar 11,63%; dari 7706 buah BPR pada tahun 1988 menjadi 8602 buah. Berarti rata-rata terjadi pertambahan 179 buah BPR baru setiap tahun. Dibandingkan dengan percepatan pertumbuhan jumlah BPR model lama (BPR pra Pakto 1988) yang membutuhkan waktu sekitar 90 tahun untuk mencapai 7000 buah (rata-rata didirikan sekitar 80 buah BPR bare setiap tahun), maka percepatan pertumbuhan jumlah bank desa sebagai akibat Pakto 1988 memang cukup menakjubkan. Selain itu, pertumbuhan jumlah dana yang disalurkan ke, dan diserap dari, masyarakat juga memperlihatkan angka yang amat besar. Antara 1988 sampai 1993, jumlah dana yang diserap dari masyarakat tumbuh sebesar 107,98% sedangkan jumlah kredit yang disalurkan ke masyarakat tumbuh sebesar 127,74%.
Namun dengan pengamatan yang lebih cermat dan mendalam, terlihatlah bahwa di balik sukses besar tersebut terdapat beberapa hal yang mengganjal dan memerlukan pengkajian lebih jauh. Pertama, sekalipun jumlah BPR, jumlah dana yang diserap dan dan disalurkan ke masyarakat mengalami pertambahan yang cukup besar, namun dalam kurun waktu 1988-1993 terjadi penurunan rasio antara jumlah dana yang disalurkan dengan volume usaha (dari 0,67 menjadi -0,57) dari antara jumlah kredit yang disalurkan dengan volume usaha (dari 0,87 menjadi 0,78). Padahal pada saat yang sama, rasio antara modal disetor dengan volume usaha mengalami peningkatan dari 0,13 menjadi 0,19. Meskipun angka-angka ini relatif kecil, namun hal ini menandakan terjadinya penurunan tingkat efisiensi usaha di kalangan BPR.
Kedua, pola penyebaran bank-bank yang baru tumbuh tersebut ternyata mengalami kemiripan dengan pola penyebaran BPR pra Pakto 1988. Hampir semuanya menumpuk di daerah-daerah yang sebelumnya telah padat-bank. Bila diingat bahwa salah satu tujuan penataan kelembagaan di atas adalah menghapuskan rentenir dan memperbesar akses masyarakat pedesaan terhadap pelayanan perbankan, maka pola penyebaran BPR yang baru saja dikedepankan justru menjadi amat memprihatinkan.
Hal-hal itulah yang mendorong penulis mengambil topik studi ini untuk menyusun tesis. Berdasarkan payung besar ekonomi politik kelembagaan, seharusnya studi ini mencakup tiga level analisis, yaitu level analisis kelembagaan atau kebijakan publik, level analisis organisasi, dan level analisis individu. Akan tetapi dalam tesis ini, analisis lebih dititikberatkan pada level individu. Analisis kebijakan hanya digunakan sebagai latar belakang umum mengingat tidak mungkin melepaskan diri sama sekali dari level ini karena aktivitas bisnis pada level organisasi maupun perilaku individu sebenarnya dapat dipandang sebagai reaksi langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan publik.
Level analisis organisasi, yang teorinya merujuk pada Davies dan Brucato Jr. serta Jensen dan Fama, dilakukan. Ini ditujukan untuk melihat pengaruh struktur kepemilikan yang dalam hal ini dimanifestasikan pada bentuk badan hukum BPR terhadap biaya total peminjaman yaitu biaya transaksi dan bunga pinjaman yang ditanggung nasabah. Dengan memperbandingkan biaya total peminjaman masing-masing bentuk BPR dapat diketahui mana di antara ketiganya yang paling efisien ditinjau dari kepentingan nasabah. Meskipun demikian, level analisis ini hanya merupakan bagian kecil dari tesis ini.
Bagian terpenting dari studi ini adalah pada level analisis individu yang teorinya merujuk pada Flora dan Yotopoulos, Guia-Abiad, Stiglitz dan lain-Iain (yang semuanya berbasiskan teori informasi asimetris George A. Akerlof). Teori-teori pada level analisis individu tersebut mengupas pentingnya biaya transaksi nasabah di pasar kredit pedesaan negara-negara sedang berkembang. Biaya transaksi nasabah adalah semua biaya, di luar bunga, yang ditanggung nasabah untuk memperoleh kredit, mulai dari saat datang ke kantor bank untuk memperoleh penjelasan mengenai syarat-syarat mengajukan permohonan kredit, saat pengajuan permohonan, sarnpai saat pencicilan dan pelunasan kredit. Ini meliputi pengeluaran tunai (actual cash outlay) dan ekuivalen rupiah dari kerugian waktu pada seluruh proses kredit (opportunity cost of time).
Berdasarkan kajian teoritis, dapat dihipotesiskan bahwa tinggi rendahnya biaya transaksi nasabah dipengaruhi oleh kredit yang diterima, suku bunga pinjaman, frekuensi kontrak, lama kontrak, jarak rumah nasabah ke kantor bank, dan tipe kolateral. Untuk membuktikan hipotesis ini, dipilih secara purposif dan acak tiga bentuk badan hukum BPR sebagai kasus. Selanjutnya dari masing-masing BPR dipilih dengan menggunakan gabungan antara incidental sampling dan snowball sampling 20 orang responden. Dengan menggunakan daftar pertanyaan terbuka (unstructured questionaire), ke 20 responden tersebut diwawancarai untuk mengukur variabel-variabel penelitian. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode regresi dan perbandingan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa lima variabel, masing-masing lama kontrak, jarak rumah nasabah ke bank, jumlah kredit yang diterima, suku bunga pinjaman, dan frekuensi kredit terbukti mempengaruhi tinggi rendahnya biaya transaksi nasabah. Satu variabel yang lain, yaitu tipe kolateral, tidak terbukti mempengaruhi tinggi rendahnya biaya transaksi nasabah. Selain itu, dari analisis perbandingan total biaya peminjaman, ternyata BPR yang berbentuk badan hukum koperasi membebankan biaya tertinggi terhadap nasabah, disusul kemudian oleh PD-BPR dan yang paling kecil PT-BPR. Ini berarti bahwa ditinjau dari sudut kepentingan nasabah, koperasi BPR adalah yang paling tidak efisien."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>