Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hamin Usman
"Padangan Beth Roberts terhadap Bentuk
Sastra pasca kolonial di manapun keberadaannya, pada umumnya mempunyai kesamaan penggambaran, yaitu perlawanan masyarakat yang dijajah terhadap penjajahnya. Namun di Australia bentuk sastra pascakolonial tersebut menjadi unik. Di Australia, perlawanan masyarakat yang dijajah yaitu perlawanan suku Aborijin melawan pemerintah Australia mendapatkan simpati dan bantuan dari masyarakat kulit putih penjajahnya. Melalui media maupun karya tulis, mereka turut menunjukkan sikap yang ditujukan kepada pemerintah Australia atas kebijakankebijakan yang diberlakukan bagi suku Aborijin yang dirasakan tidak sesuai, bahkan terkesan represif.
Beth Roberts, dengan karyanya, Magpie Boy (1989) adalah bagian dari fenomena ini. Di dalam karyanya tersebut, si pengarang kulit putih ini selain menggambarkan kehidupan suku Aborijin dan orang kulit putih, tampak pula memberikan pandangannya terhadap suatu bentuk rekonsiliasi.
Salah satu bagian dari gambaran kehidupan suku Aborijin dan orang kulit putih yang diangkat ke dalam cerita yang dianalisis dalam tesis ini adalah nilai-nilai kemanusiaan mereka. Dari nilai-nilai kemanusiaan yang dikaji melalui tokoh dan penokohan sebagai elemen dalam fiksi, kedua kelompok tersebut dicoba pertemukan dalam bentuk rekonsiliasi.
Namun pada akhirnya terlihat bagaimana penggambaran rekonsiliasi yang dari awal telah diupayakan oleh pengarang, tidak mendapatkan bentuk yang hakiki melalui caranya menghadirkan simbol-simbol yang metaforis. Simbol-simbol tersebut pada dasarnya adalah pesan pengarang kepada pemerintah Australia atas cara mereka menyikapi upaya proses rekonsiliasi di dalam negeri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T9510
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juliana Murniati
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap struktur kognisi diri pada masyarakat di Indonesia. Minat terhadap studi ini beranjak dari temuan Hosfstede di tahun 70-an yang mengungkapkan bahwa budaya-budaya bervariasi menurut individualisme-kolektivisme (III); dengan mendasarkan pada bentuk hubungan individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat: jika hubungan antar individu dalam masyarakat itu erat berarti budaya kolektivisme; sebaliknya jika renggang, berarti individualisme. Bentuk kehidupan demikian berimplikasi terhadap struktur kognisi diri individunya: budaya individualisme akan membentuk struktur kognisi diri yang berorientasi pada pilihan dan prestasi personal; sementara budaya kolektivisme akan membentuk struktur kognisi diri yang berorientasi pada pilihan dan prestasi kelompok tempat ia menjadi anggota. Studi-studi mengenai kognisi diri telah banyak dilakukan dalam budaya individualisme maupun. kolektivisme, namun bukan di Indonesia, yang diindikasikan kolektivisme. Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada penelitian intensif berkenaan dengan kognisi diri yang dilaksanakan dalam lingkungan Indonesia.
Penelitian ini berkiprah pada pandangan yang melihat self sebagai struktur kognisi. Hal ini berarti bahwa pembahasan akan beranjak dari pendekatan kognisi sosial, yakni kajian mengenai bagaimana individu memahami dirinya sendiri dan orang lain dalam situasi sosial. Struktur kognisi diri pada dasarnya adalah tampilan mental seseorang mengenai atribut-atribut pribadi, peran-peran sosial; pengalaman lampau, dan tujuan-tujuan mendatang.
Penelitian ini berupaya mengungkap struktur kognisi diri pada budaya-budaya yang tergolong besar Indonesia, yakni Jawa, Sunda, Minang, dan Batak. Sampel penelitian terdiri dari siswa/i SMU dari empat suku bangsa itu, yaitu Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, baik yang berdiam di daerah asal maupun yang berdiam di Jakarta sejak lahir, tetapi masih menggolongkan dirinya ke dalam salah satu dari keempat suku bangsa itu. Dalam penelitian ini, keempat suku bangsa yang berdiam di Jakarta dikategorikan sebagai golongan budaya tersendiri, yakni budaya Jakarta. Usaha ini ditempuh dengan Twenty Statements Test (TST) atau the I am technique, yang pada dasarnya merupakan instrumen bebas budaya untuk menggali kekayaan kognisi diri yang muncul secara spontan dan salient. Data-data kemudian diolah dengan menggunakan analisa multidimensional scaling (MDS), analisa kluster, dan analisa koresponden.
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur kognisi diri masyarakat Indonesia berada pada kontinuum privat-kolektif, yang juga berarti bahwa Indonesia berada dalam dimensi individualisme-kolektivisme, dan agaknya tepat berada di ambang individualisme. Meskipun tampaknya sedang terjadi pergeseran menuju individualisme, namun nilai-nilai budaya tampaknya masih cukup mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Tentu saja, ini adalah kesimpulan yang masih sangat dini, sehingga penelitian-penelitian lanjutan harus dilakukan.
Hasil analisa juga menunjukkan bahwa Jawa memiliki struktur kognisi diri publik, yang sangat concern dengan bagaimana orang lain menilai dirinya; Sunda cenderung ke struktur kognisi diri kolektif, yang mementingkan keanggotaan kelompok. Sementara Minang, Batak, dan Jakarta didekatkan satu sama lain oleh atribut-atribut psikologis yang menunjukkan struktur kognisi diri privat. Ketiga golongan budaya inilah yang tampaknya lebih condong pada individualisme. Tentu saja, kesimpulan ini masih dini, sehingga sangat diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melalatoa, Muhammad Junus
"Satu karangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku bangsa Gayo yang cukup menyeluruh dan mendalam pernah di tulis oleh C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul Hot Gayoland enzinae Bewoners (1903). Karangan yang sudah berumur 80 tahun ini, isinya tentu saja sudah banyak berbeda dengan kenyataan yang ada pada masa kini. Beberapa karangan lain yang berasal dari masa puluhan tahun yang lalu itu tidak ada yang seluas dan semendalam hasil karya C. Snouck Hurgronje tadi; di antaranya hanya membahas unsur-unsur tertentu saja dari kebudayaan Gayo. Kita dapat melihat misalnya buah tangan dari G.A.J. Hazeu, Gasjosch Nederlandsch Woordenboek met Nederlandsch Gajosch Register (1907). Karangan ini hanya merupakan sebuah kamus bahasa Gayo-Belanda, meskipun kamus ini memang memberikan contoh-contoh yang cukup luas berkaitan dengan berbagai unsur kebudayaan Gayo. Buku ini pun, seperti tanpak dari tahun penerbitannya, berasal dari masa tiga-perempat abad yang lalu. Buku-buku atau karangan lainnya yang semua berasal dari awal abad ini sudah cukup langka untuk bisa diperoleh, dan lagi ditulis dalam bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis (Kennedy, I, 1945; hlm. 50). Di antara unsur - unsur kebudayaan Gayo yang banyak mendapat perhatian ialah sastra. Namun sebagian terbesar dari terbitan mengenai sastra Gayo ini tidak disertai pembahasan atau analisa. Banyak di antaranya hanya merupakan langkah pendokumentasian, sebagai salah satu tindakan untuk menyelamatkan unsur-unsur kesusastraan tersebut dari kepunahan. Buku-buku tersebut masih ditulis dalam bahasa aslinya yang hanya dapat difahami oleh orang-orang yang mengerti bahasa Gayo saja. Seorang ahli folklor, James Danandjaja, menyatakan bahwa terbitan semacam itu menyerupai koleksi kupu-kupu dalam kotak kaca yang merupakan hiasan belaka (Kompas, 5 Nbpember 1973). Kami juga melihat bahwa berbagai karangan tentang kebudayaan Gayo pada masa terakhir ini banyak mengungkap gejala-gejala kebudayaan sebagai pola ideal. Apa yang dihidangkan pada masa ini lebih kurang sama dengan apa yang ditulis oleh C. Snouck Hurgronje 8O tahun yang lalu? "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1983
D211
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrik Ataupah
"Suku bangsa Meto merupakan satu komponen ekosistem sabana semi-ringkai Timor Barat yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Suku bangsa itu menyesuaikan diri secara sosial budaya baik pada karakteristik ekosistem sabana itu maupun pada keadaan perkembangan sejarahnya. Melalui suatu sistem pemukiman terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil, sampai meliputi hampir sebagian besar wilayah Timor Barat. Persebaran penduduk itu dilakukan untuk dapat memanfaatkan pelbagai jenis sumber daya alam yang kesediaannya terpencar-pencar dalam ruang dan waktu, maupun untuk menghindarkan diri dari pengaruh kekuasaan asing yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di Timor Barat. Jadi proses persebaran orang Meto itu tidak selalu didasarkan pada pemikiran tindakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup mereka, melainkan juga terpaksa dilakukan untuk mempertahankan kebebasan dan kepentingan kehidupan sendiri.
Suku bangsa itu pun berinteraksi dengan suku bangsa tetangganya, pedagang dan pelaut Nusantara maupun asing, dari benua Asia. Proses interaksi dengan pelbagai pihak selama satu jangka waktu panjang itu pada hakekatnya merupakan suatu proses pembudayaan berjangka panjang bagi suku bangsa Meto.
Proses pembudayaan itu berlangsung tersendat-sendat. Pelbagai wujud dan unsur budaya serta benda kebudayaan diambil-alih suku bangsa Meto dari suku bangsa-suku bangsa tetangga maupun dari bangsa asing yang pernah berkuasa atas pah Meto dan suku bangsa Meto. Dalam proses pembudayaan itu warga suku bangsa tetangga maupun keturunan orang asing yang terintegrasi ke dalam suku bangsa Meto melalui proses perkawinan. Dalam suasana hidup pencar-pencar dan relatif terpencil secara geografik dan sosiologik itu banyak kali orang Meto menerima bendabenda budaya asing untuk digunakan atau dikonsumsi tanpa mengembangkan pemikiran dan kemampuan teknis untuk memproduksi atau memperbaiki keberadaan benda-benda itu. Pelbagai jenis tanaman dan ternak diterima dari luar Timor untuk dibudayakan tanpa memperhatikan proses produksi yang seharusnya disertai upaya rehabilitasi, restorasi dan atau konservasi lingkungan dan pelbagai jenis sumber daya alam yang rusak oleh proses produksi itu, sampai sekarang pada umumnya suku bangsa Meto belum sadar akan dampak negatif kegiatan produksi pertanian pangan dan peternakan atas pelbagai komponen dan unsur ekosistem sabana yang rapuh kombinasinya dan rentan terhadap proses kerusakan dan pengrusakan.
Di pihak lain lambat-laun tercipta suatu kemampuan budaya tradisional untuk melangsungkan kehidupan sebagai peladang dan peternak tradisional ekstensif di lingkungan sabana semi-ringkai Timor Barat itu. Bukit, gunung, sumber air perenial, hutan lestari yang berpohon besar yang rindang dan tinggi menjulang, tumbuhan pemanjat, padang rumput kering, pelbagai jenis satwa dan burung, tidak hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan biofisik. Pelbagai jenis komponen dan unsur ekosistern itu dijadikan pula alat peraga budaya, sumber pemikiran inspiratif, dan keyakinan religius untuk mengatur kehidupan perorangan, kehidupan kekeluargaan dan kekerabatan yang menjadi soko guru kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan tradisional. Terdapat suatu keyakinan religius bahwa suatu kekuatan adikodrati yang dinamakan nono yang dijunjungkan di atas kepala setiap bayi ataupun anak isteri akan melindungi keselamatan dan keberuntungan.
Nono pun digunakan sebagai satu nama keluarga dan dijadikan alasan religius untuk berpantang makan jenis satwa dan tumbuhan totem tertentu. Keyakinan religius itu diterapkan sejak saat upacara turun tanah setiap bayi, atau sejak saat penyelesaian perkawinan yang diikuti dengan upacara penggantian kekuatan adikodrati dan dipenggantian nama keluarga. Setiap warga suatu kesatuan kerabat dapat meninggalkan kampung-halaman dan keluarganya untuk mencari nafakah kehidupan dan bermukim di wilayah lain tanpa perlu khawatir bahwa is dan atau keturunan akan kehilangan komunikasi dengan warga kesatuan kerabat yang ditinggalkan di kampung halaman. Konsep nano dan penetrapannya dalam kehidupan sosial sehari-hari merupakan salah satu faktor penting bagi persatuan dan kesatuan kekerabatan dan sekaligus merupakan dasar kebudayaan tradisional suku bangsa Meto.
Warga yang berpindah maupun yang menetap beserta keturunan mereka dapat saling menelusuri dengan memperhatikan nama yang digunakan sehari-hari, nama sapaan kehormatan yang digunakan bahasa upacara, atau nama puisi yang digunakan ketika sedang bernaka-naka. Kesatuan kekerabatan diperkokoh melalui sistem perkawinan kemenakan silang, saling membantu pada masa suka dan duka, serta saling menyapa dan menyebut dengan istilah kerabatan dan atau teknonimi tertentu.
Pendatang baru yang tidak mempunyai hubungan kerabatan dengan para pemukim lebih dini dapat diterima untuk bermukim, berladang, dan atau beternak melalui upacaraupacara tertentu lalu dijadikan anak oleh pihak pemukim lebih dini. Melalui perkawinan dengan pihak pemukim yang lebih dini, keturunan pendatang/pemukim baru itu dapat diterima sebagai warga kesatuan kerabat fiktif setelah terjadi penyesuaian sosial budaya timbal-balik dengan sempurna. Keturunan orang asing pun diintergrasikan ke dalam suatu golongan orang Meto melalui proses penyesuaian sosial budaya dan rangkaian proses perkawinan yang lama dan fasih. Kefasihan berbahasa Meto, berlafal tertentu merupakan suatu syarat yang penting untuk ,diterima dalam lingkungan kehidupan sosial budaya suatu golongan orang Meto, yang memukimi suatu wilayah tertentu di Timor Barat. Orang-orang keturunan Portugis dan desertir Belanda, termasuk para pemimpin mereka yang pernah secara de facto menguasai pedalaman Timor Barat lebih dari dua abad, terintegrasi penuh ke dalam suku bangsa Meto karena proses penguasaan itu berlangsung bersamaan dengan proses adaptasi sosial budaya secara timbal-balik di antara suku bangsa Meto dengan para penguasa itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
D20
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adams, Mikaela M.
"The right to determine tribal citizenship is fundamental to the exercise of tribal sovereignty. Deciding who belongs to Indian tribes has a complicated history, however, especially in the South. Indians who remained in the South following removal became a marginalized and anomalous people in an emerging biracial world. Despite the economic hardships and assimilationist pressures they faced, they insisted on their political identity as citizens of tribal nations and rejected Euro-American efforts to turn them into another racial minority. Drawing upon their cultural traditions, kinship patterns, and evolving needs to protect their land, resources, and identity from outsiders, southern Indians constructed tribally-specific citizenship criteria that went beyond the dominant societys racial definitions of Indian. This book addresses how six southern tribes, the Pamunkey Indian Tribe of Virginia, the Catawba Indian Nation of South Carolina, the Mississippi Band of Choctaw Indians, the Eastern Band of Cherokee Indians of North Carolina, the Seminole Tribe of Florida, and the Miccosukee Tribe of Indians of Florida, decided who belonged. By focusing on the rights and resources at stake, the effects of state and federal recognition, the influence of kinship systems and racial ideologies, and the process of creating official tribal rolls, this book historicizes belonging and reveals how Indians established legal identities. The varying experiences of these six tribes belie the notion of an essential Indian and show that citizenship in a tribe is a historically-constructed and constantly-evolving process."
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20469895
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Karl Anderbeck
"Southeast Asia is home to many distinct groups of sea nomads, some of which
are known collectively as Orang (Suku) Laut. Those located between Sumatra and
the Malay Peninsula are all Malayic-speaking. Information about their speech is
paltry and scattered; while starting points are provided in publications such as
Skeat and Blagden (1906), Kähler (1946a, b, 1960), Sopher (1977: 178?180), Kadir
et al. (1986), Stokhof (1987), and Collins (1988, 1995), a comprehensive account
and description of Malayic Sea Tribe lects has not been provided to date. This
study brings together disparate sources, including a bit of original research, to
sketch a unified linguistic picture and point the way for further investigation.
While much is still unknown, this paper demonstrates relationships within and
between individual Sea Tribe varieties and neighbouring canonical Malay lects.
It is proposed that Sea Tribe lects can be assigned to four groupings: Kedah, Riau
Islands, Duano, and Sekak."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nobutaka︎, Suzuki
"Mindanao, a large tract of fertile, unexplored land with abundant natural resources in the southern Philippines, attracted much attention from American capitalists and entrepreneurs as well as Filipino policymakers and settlers beginning in 1898. However, little is known about how it attracted Christian Filipino settlers in the early twentieth century. It remains unclear how the government-led national settlement project of 1939 evolved and was implemented following the Cotabato agricultural colony project. This paper, focusing on the vital role of Filipino technocrats, aims to explore their contribution to the planning of Mindanao’s settlement and the motives behind their drafting of related bills in the Philippine legislature. The technocrats, taking their inspiration from California’s State Settlement Land Act of 1917, drafted bills to promote a similar project—yet their plans had little chance of being enacted, as they were enormously expensive. The settlement plan materialized as the Quirino-Recto Colonization Act of 1934, in response to American concerns that the growing Japanese community in Mindanao threatened the Philippines’ national security. Depicted as a national security issue, the plan became increasingly divorced from its original aims of increasing food production and promoting population redistribution. Further, American intervention both altered Mindanao’s development plans and overlooked indigenous people’s rights."
Kyoto : Nakanishi Printing Company, 2023
050 SEAS 12:3 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 >>